“Hei, apa kau pernah patah hati?”
“Aku belum pernah jatuh cinta, jadi aku belum pernah patah hati,” sahutku datar.
Ia memutar bola mata kesal mendengar jawabanku, tetapi kemudian ia mengangguk pelan pertanda paham.
“Kau sedang patah hati?” tanyaku.
“Apa aku terlihat seperti orang yang baru saja patah hati?”
Aku mengangkat bahu acuh tak acuh. “Aku hanya menduga karena pertanyaanmu itu.”
Ia tertawa kecil dan berujar, “Kau tahu, aku selalu penasaran dengan apa saja, bahkan hal remeh sekalipun.”
Namanya Mikha. Ia sahabatku. Meski kami jarang bertemu, kami akan meluangkan waktu untuk berjalan-jalan santai sejenak dan membicarakan hal-hal acak setiap ada kesempatan. Bagi kami, terkadang hal sepele pun bisa menjadi sangat penting untuk dibicarakan.
Kali ini, kami sedang duduk di salah satu bangku taman sambil menikmati es krim. Cuaca yang luar biasa panas tak menyurutkan niat kami untuk mengobrol, karena ada sebuah pohon besar dan rindang yang menemani kami.
“Apa yang menggelitik rasa ingin tahumu kali ini?” tanyaku seraya menggigit es krimku.
“Aku hanya ingin tahu, mengapa ada banyak orang yang tetap mengharapkan seseorang yang tidak menginginkan mereka,” sahutnya. “Menurutku, itu sangat aneh.”
“Entahlah. Kurasa cinta memang misterius,” ucapku. Aku mendongak, menatap langit yang terlihat begitu biru di siang hari ini. “Kurasa kau akan mengetahui alasannya ketika kau telah merasakan cinta itu sendiri.”
Mikha menggeleng kuat-kuat. “Aku tidak ingin merasakan cinta. Kedengarannya menakutkan. Itu membuatmu patah hati.”
“Cinta memang membuat sebagian orang patah hati,” ujarku. Aku terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat, kemudian melanjutkan, “Namun, kurasa ada jauh lebih banyak rasa yang ditawarkan oleh cinta selain patah hati. Cinta memang terlihat sederhana, tetapi nyatanya tidak. Cinta bukan hanya tentang patah hati, tetapi juga tentang rasa-rasa lain yang belum kauketahui.”
“Tetap saja, itu terdengar menakutkan.”
“Kau merasa takut karena kau belum merasakannya. Mungkin, kau tak lagi ketakutan ketika kau telah merasakannya.”
“Aku penasaran,” gumamnya. “Aku takut.”
Aku menggigit es krimku hingga tak bersisa, kemudian menatapnya tepat di mata dan berujar, “Bagaimana jika kau mencobanya denganku? Kau tidak akan ketakutan jika bersamaku, bukan?”