“Satu porsi pasta Carbonara dan es teh lemon, dan—” Ia berhenti sejenak dan menatapku. “Kau ingin pesan apa?”
“Apa pun yang bisa dimakan,” ujarku acuh tak acuh tanpa menoleh dari layar ponselku. Dari ekor mataku, kulihat ia mengangkat bahu dan memesan seporsi pasta Aglio e Olio dan minuman yang sama.
Setelah pesanan dicatat, keheningan menyelinap di antara kami. Ia sibuk dengan ponselnya, dan aku dengan apa pun yang ada di depan mataku. Aku melirik nomor meja tempat kami duduk—meja nomor 25. Ah, angka keberuntunganku.
“Omong-omong,” tiba-tiba ia buka suara, memecahkan gelembung keheningan di antara kami. “Aku penasaran dengan sesuatu.”
“Jangan penasaran. Nanti kecewa.”
Ia berdecak. “Kata-kata dari mana itu?”
“Dari buku yang selesai kubaca kemarin,” sahutku acuh tak acuh.
Obrolan kami terhenti sejenak karena pesanan kami baru saja datang. Setelah doa makan, aku pun bertanya seraya mengaduk-aduk pastaku, “Kau ingin tahu soal apa?”
Ia terdiam sejenak, tampaknya sedang berusaha mengingat-ingat. “Ah, itu.” Ia menatapku dan berujar, “Aku pernah dengar, kata orang, jika seorang penulis jatuh hati padamu, maka kau akan hidup selamanya.”
“Lalu?”
“Mengapa kau tak pernah menulis untukku?”
Aku hanya diam dan menatapnya, kemudian menyuapkan pasta ke dalam mulut. Ia hanya ingin menanyakan itu? Yang benar saja. Lagi pula, dari mana ia mendengar kata-kata semacam itu? Yang benar saja.
“Hei,” panggilnya. “Kau harus menjawab ketika ditanya.”
“Apa itu penting?” tanyaku seraya menyuapkan pasta lagi.
“Sesuatu yang mungkin tidak penting bagimu mungkin saja sangat penting bagi orang lain.” Ia meneguk es teh lemonnya, lalu kembali bertanya, “Jadi, mengapa kau tak pernah menulis untukku? Mengapa kau tak pernah menulis tentangku?”
Aku mendengus. Benar-benar … rasa ingin tahunya itu terkadang membuatku gemas. “Kau ingin aku menulis tentangmu?”
Ia cepat-cepat mengangguk, seolah tanpa berpikir lagi.
“Sayangnya, aku tak ingin melakukannya.”
“Mengapa?” Seketika matanya pun melebar. Ada sedikit kekecewaan di sorot matanya “Apa aku tak cukup menarik bagimu untuk dituliskan?”
Aku terdiam dan menatapnya. Dasar. Ia terlalu banyak berasumsi. “Aku hanya tak ingin membaginya ke orang lain.”
“Apa?”
“Aku hanya tak ingin membaginya ke orang lain,” ulangku. “Aku hanya tak ingin membagi dirimu ke para pembaca. Aku ingin menikmatinya sendiri—momen-momen bersamamu.”
Kali ini ia terdiam, salah sudut bibirnya perlahan terangkat ke atas. “Apa aku sangat spesial?”
Aku hanya diam dan melanjutkan makananku hingga tak bersisa.
Ia sangat spesial. Sespesial itu.