"Apa kau pernah jatuh cinta?"
Kau menoleh dan menatapnya dengan dahi berkerut. "Kenapa tiba-tiba bertanya?"
Bukannya menjawab, ia kembali bertanya, "Apa kau punya cinta pertama?"
"Jangan terlalu penasaran."
"Apa yang salah dengan penasaran?"
Kau menatapnya tepat di mata. "Jangan terlalu penasaran, nanti kecewa."
Ia terdiam sejenak, tampak berpikir-pikir. "Kau sudah terbiasa dikecewakan, ya?"
Kau hanya diam, jadi laki-laki itu pun bicara lagi, "Apa kau dikecewakan oleh cinta pertamamu?"
Akhirnya, kau pun buka suara, "Bukan begitu."
Laki-laki itu kembali terdiam sebelum akhirnya berkata, "Ceritakan padaku."
"Apa?"
"Ceritakan padaku," ulangnya lagi. "Cinta pertamamu."
"Ceritanya panjang," sahutmu enggan.
"Aku punya banyak waktu untuk mendengarkan."
Kau menghela napas, kemudian berkata, "Kuharap kau tidak bosan mendengarkannya."
*
Sebut saja namanya Nathan. Kau dan dia bersahabat sejak duduk di bangku sekolah menengah. Dan, kata orang, kalian terlalu lengket—terlalu sering bersama.
Tak banyak yang bisa kauceritakan mengenai Nathan. Bagimu, Nathan hanyalah laki-laki supermenyebalkan yang suka mengganggumu di setiap kesempatan. Kau terlalu sering diganggu olehnya hingga menyebalkan menjadi kata favoritmu sepanjang tahun. Hingga kau berpikir sepertinya mengganggumu merupakan suatu kebahagiaan baginya.
Meskipun begitu, kau menyukainya.
Dan kau jatuh cinta padanya.
"Hei!" Seseorang menepuk pundakmu keras-keras, membuatmu terlonjak kaget. "Wah, kau melompat!" Nathan tertawa terbahak-bahak melihatmu yang terlonjak karena ulahnya, seolah-olah ia bahagia sekali.
Kau mengelus-elus dada, mencoba menenangkan jantungmu yang mendadak berdetak lebih cepat. "Kau … berhenti menggangguku," ujarmu dengan napas terengah-engah.
Nathan masih terus tertawa sembari duduk di sampingmu. "Kau harus lebih banyak berolahraga," ujarnya santai sambil menepuk-nepuk pundakmu pelan, seolah-olah ia tak melakukan sesuatu yang salah.
"Terima kasih sarannya. Sangat berguna," dengusmu kesal setelah berhasil menenangkan diri dengan susah payah. "Omong-omong, pinjam jaketmu. Dingin sekali hari ini."
Nathan melepaskan jaketnya dan menyodorkannya padamu seraya berujar, "Lima ribu per jam."
Kau menyambar jaket itu dan segera mengenakannya seraya tersenyum miring, tahu bahwa itu hanyalah satu dari sekian banyak candaan yang selalu dilontarkan Nathan berulang-ulang sejak dulu. Perlahan kehangatan mulai menjalar di sekujur tubuhmu. Samar-samar kau juga mencium aroma parfum yang menempel di sana. Aroma parfum yang kausukai.
"Hangat sekali." Kau merapatkan jaket dengan kedua tangan, seakan-akan sedang memakai selimut. "Jaketmu memang yang terbaik."
"Kau harus ingat membayar tarifnya," sahut Nathan seraya mengacak-acak rambutmu pelan.
Kau menatapnya kesal, mencoba mengabaikan jantungmu yang kembali berdegup kencang karena tatapannya. "Haruskah kau terus menggangguku?"
Nathan hanya diam, jadi kau pun bicara lagi, "Berhenti menggangguku paling tidak satu menit saja."
"Tidak bisa."
"Apa satu menit terlalu berat untukmu?"
"Tidak."
"Kalau begitu, berhenti menggangguku selama satu menit dari sekarang," katamu akhirnya, kemudian membuka buku di sembarang halaman dan mulai membaca.
"Bukumu terbalik," kata Nathan tiba-tiba sambil mengambil bukumu dengan paksa. "Dan, lagi pula, berdasarkan observasi yang telah kulakukan sejak bertemu denganmu di sekolah menengah, mengganggumu merupakan cara terbaik untuk bisa dekat denganmu."
"Apa?" Kau menatapnya dengan mata melebar, ingin memastikan bahwa kau tidak salah dengar.
"Itu merupakan cara terbaik untuk bisa berteman denganmu, dan terbukti sangat sukses sampai hari ini, bukan?" Nathan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dengan santai. "Bahkan, mencapai lebih dari teman—sahabat."
Apa? Untuk bisa berteman?
Oh. Hanya teman. Sahabat.
Kau mengambil bukumu dari Nathan dan kembali membaca. Keheningan mulai menyelinap di antara kalian selama satu setengah jam. Sesekali terdengar suara Nathan yang larut dalam gim yang dimainkannya di ponsel.
"Hei," panggil Nathan tiba-tiba. "Berhenti membaca."
"Berhenti menggangguku," sahutmu acuh tak acuh seraya membalik halaman buku. Tinggal tiga puluh halaman lagi hingga buku itu benar-benar selesai kaubaca.
"Kau tidak kuganggu selama satu setengah jam hari ini," kilah Nathan.
"Main gim lagi saja," sahutmu tanpa menoleh dari bukumu.
"Aku sudah kalah. Lagi pula, aku ingin mengobrol denganmu."
Akhirnya kau menyelipkan pembatas di halaman terakhir yang kaubaca dan menutupnya. "Oke, karena kau sedang ingin mengobrol," kau terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, "bagaimana jika sahabatmu suka padamu?"
"Kau suka padaku?"
"Bagaimana jika, Nathan. Seandainya."
Nathan mengangguk. "Apa yang salah dengan itu?"
Sepertinya kau merasa mulai melihat secercah harapan, karena kemudian kau bertanya, "Jadi, kau tidak masalah dengan itu?"
Nathan mengangguk lagi. "Tapi, jika orangnya adalah kau, mungkin tidak."
Kau hanya diam, tahu bahwa ia belum selesai bicara.
"Maksudku, kurasa kita hanya cocok bersahabat. Aku tidak ingin merusak persahabatan ini dengan hubungan semacam itu," lanjut Nathan lagi. "Lagi pula, jika memang ingin menjalin hubungan, aku tidak cukup baik untukmu."
Kau mengerjapkan mata beberapa kali. Ah, kau terlalu baik untukku dalam bentuk yang lebih halus, begitu?
Alasan macam apa itu?
"Atau jangan-jangan kau memang suka padaku?" Nathan menatapmu tepat di mata tanpa berkedip.
Kau tertawa setengah mendengus, berusaha menahan perasaanmu yang campur aduk dan memilih mengabaikan pertanyaannya. "Jadi, kita tetap sahabat?"
"Memang sahabat, dan akan tetap begitu." Nathan bangkit dari duduknya, lalu menarikmu agar ikut berdiri. "Kau mau es krim?"
"Aku tak akan pernah menolak."
Nathan tersenyum jenaka seraya pergi menjauh, sama sekali tak menyadari bahwa kau masih berdiri mematung di tempatmu.
Saat itu, kau baru memahami bagaimana rasanya patah hati oleh cinta pertama.
*
"Jadi, apa kau menuliskannya?"
Kau hanya diam. Setelah menceritakan sebagian kecil dari kisah cintamu, diam-diam kau bertanya-tanya bagaimana kabar Nathan sekarang.
Melihatmu yang hanya diam, laki-laki itu pun menyimpulkan, "Kau menuliskannya."
"Tidak," katamu. "Aku tidak menulis tentang dia."
"Begitukah?" tanyanya. Ia tampak ragu. "Aku pernah dengar, seorang penulis akan menulis tentang orang yang membuatnya patah hati."
Kau hanya tertawa pelan, menyadari bahwa ia benar.
"Tapi, apa kau tidak berminat untuk mengganti topik?"
Kau menoleh dan menatapnya dengan alis terangkat. "Maksudmu?"
Laki-laki itu terdiam sejenak, mencoba menyusun kalimat yang tepat. "Katanya, jika kau membuat seorang penulis jatuh cinta, kau akan hidup selamanya." Ia mengerjapkan mata, kemudian melanjutkan. "Aku juga ingin seperti itu."
Kau mengerjapkan mata beberapa kali, sepertinya berusaha mencerna apa yang baru saja ia katakan, sebelum akhirnya berkata, "Bagaimana jika kita berkenalan sekali lagi?"
"Senang berkenalan denganmu," ujar laki-laki itu sambil tersenyum jenaka.
"Senang berkenalan denganmu, Nico."