Loading...
Logo TinLit
Read Story - Your Moments
MENU
About Us  

“Sepertinya Tuhan membenciku.”

Aku menoleh, menatapnya yang masih duduk di atas tempat tidurku sambil memeluk bantal. Punggungnya disandarkan di dinding kayu kamarku. Matanya menatap lurus ke depan dengan hampa. Sorot matanya seolah ingin mengatakan bahwa tak lagi ada yang bisa diharapkan di dunia ini. Seolah telah kehilangan semangat hidup.

Aku menyandarkan tubuhku di dinding, lalu mendongak, menatap langit-langit sambil bertopang dagu. “Kenapa kau berkata begitu?”

“Aku banyak dosa,” katanya. “Tuhan tidak akan sudi mendengar doaku.”

Aku mengembuskan napas pelan, walau sebenarnya diam-diam merasa gusar. Mengapa dia membesar-besarkan masalah? “Semua orang di dunia ini penuh dosa, kau tahu?” ujarku, berusaha mengendalikan nada suaraku agar tidak terdengar gusar. “Bahkan aku sendiri pun juga berdosa.”

“Dia pasti membenciku,” katanya lagi. Tampaknya ia sama sekali tidak mendengarkan kata-kataku karena kemudian ia melanjutkan, “Dosaku terlalu banyak. Dia pasti membenciku. Dia membenciku, hingga akhirnya Dia membiarkan ini terjadi dalam hidupku.”

Tahu bahwa masih ada yang ingin ia katakan, aku memilih diam, menunggu. Yosi—itu namanya—menghela napas sejenak, lalu melanjutkan, “Aku sedih, Naomi.” Ia terisak kembali, setelah sebelumnya terus-menerus menangis selama tiga hari. “Aku sedih. Aku mencintainya. Dia juga mencintaiku. Tapi, dia meninggalkanku, Naomi. Aku tak bisa hidup tanpanya. Dia segalanya bagiku,” ujarnya. Air matanya kembali tumpah.

“Kau boleh bersedih, tapi kau tidak boleh bersikap seakan-akan hidupmu hancur.”

“Hidupku memang sudah hancur, Naomi!” serunya, isakannya semakin keras. Oh, sepertinya aku salah bicara lagi. “Dia adalah duniaku. Dan sekarang, duniaku meninggalkanku. Duniaku hancur, Naomi!”

“Ini bukan akhir dari segalanya, kau tahu?” kataku, masih berusaha menghiburnya. “Dan, kau harus tahu, Tuhan tidak membencimu.”

“Lalu apa? Lalu apa, Naomi? Jelas-jelas Dia membenciku! Jika Tuhan menyayangiku, jika saja aku tidak melakukan begitu banyak dosa dalam hidupku, Dia tidak akan mengizinkan ini terjadi!” Yosi histeris, tangisnya semakin deras. “‘Ini bukan akhir dari segalanya’, katamu? Kau bahkan tidak pernah memiliki kekasih. Bagaimana mungkin kau tahu rasanya ditinggalkan oleh seseorang yang kaucintai?”

Kali ini aku memilih diam. Menghibur benar-benar terasa salah saat ini. Sementara Yosi masih terus bicara, aku hanya diam di sampingnya. Berusaha menjadi pendengar yang baik, meski aku tidak sepenuhnya setuju dengan semua yang ia katakan.

Sudah tiga hari Yosi begini—menangis, merasa tenang, lalu berpikir negatif atas apa yang ia alami, kemudian menangis lagi. Ini semua hanya karena ia baru saja putus dari kekasihnya. Kekasih yang sangat ia cintai, dan—katanya—mencintainya. Masalah sepele, menurutku.

Hei, bukan berarti aku tidak mengerti bagaimana perasaannya—sungguh, aku sangat mengerti. Aku juga pernah mencintai—terlalu mencintai. Namun, haruskah kau turut menyalahkan Tuhan hanya karena masalah semacam ini? Benar-benar tidak masuk akal. Terlalu membesar-besarkan masalah.

 Lagi pula, menurutku itu bukan sepenuhnya kesalahan kekasihnya. Menurutku, kalau saja Yosi tidak terlalu mencintai laki-laki itu, rasa sedihnya tidak akan sedalam itu. Rasa kehilangannya tidak akan sedalam itu. Bukankah seharusnya ia tahu bahwa segala sesuatu yang “terlalu” itu tidak baik?

Sebenarnya, aku sangat ingin mengatakan isi pikiranku ini, tetapi melihat situasi dan kondisinya sekarang, kurasa ia tidak akan mendengarkan. Ia akan lebih percaya dengan pikirannya sendiri.

Ah, jika orang mengatakan bahwa sangat sulit menasihati seseorang yang sedang jatuh cinta, maka begitu juga dengan orang yang sedang patah hati. Dan aku tidak tahu mana yang lebih sulit di antara keduanya.

 

***

“Naomi, aku sudah bertekad,” kata Yosi sembari masuk ke dalam rumahku.

Aku mengernyitkan dahi, bingung. “Bertekad untuk apa?”

Yosi mengempas ke atas tempat tidurku, kemudian duduk bersila di atasnya. Aku tetap berdiri, mengamatinya lekat-lekat. Aku sangat yakin, semalam ia datang ke rumahku sambil menangis meraung-raung, tenggelam dalam kesedihan dan kehilangan semangat hidup. Namun, lihat dia sekarang. Yosi datang dengan senyum merekah, mata berbinar-binar, dan semangat memenuhi dirinya. Seolah tidak ada apa pun yang terjadi.

Apa yang membuat seorang Yosi Christmony berubah dalam semalam? Apakah itu laki-laki lain? Laki-laki lain dalam semalam?

Aku masih mengamatinya tanpa berkedip, mencoba menebak apa yang ada dalam pikirannya, ketika gadis itu bicara lagi, “Aku sudah bertekad, Naomi. Aku akan berubah,” ujarnya mantap.

“Bagus kalau begitu,” kataku acuh tak acuh. “Berubahlah menjadi lebih baik.”

“Ya, aku akan berubah,” gumamnya. “Aku akan mempercantik diriku,” katanya lagi mantap.

“Apa?” Aku menatapnya, heran. “Kau akan … apa?”

“Apa kau tidak dengar? Kukatakan sekali lagi, aku akan mempercantik diri,” ulangnya. “Aku akan berdandan,” tegasnya.

Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Setelah berhasil menemukan suaraku kembali, aku berkata, “Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Kau tidak mengerti? Kau tahu, saat para gadis memoles wajah mereka dengan lipstik, maskara, pensil alis, dan alat-alat semacam itu. Mereka akan—“

“Bukan, bukan itu maksudku,” kataku cepat-cepat sebelum Yosi sempat menjelaskan lebih jauh. “Maksudku, apa hubungannya berdandan dengan kau yang akan berubah?”

Yosi menatapku bingung, tetapi kemudian ia mengangguk kecil. “Kau tahu, cara yang paling ampuh untuk memikat hati para lelaki adalah dengan membuat dirimu terlihat cantik dan seksi,” ujarnya yakin.

Aku mendengus. “Teori macam apa itu?”

“Hei, jika kau terlihat cantik dan seksi, akan sangat mudah untuk mendapatkan hati laki-laki yang kauinginkan, kau tahu?”

“Menjadi dirimu sendiri adalah cara terbaik untuk terlihat cantik dan seksi.”

“Tapi, hal pertama yang dinilai adalah penampilan. Hal pertama yang dilihat oleh mata adalah tubuhmu, kedua adalah wajah, dan ketiga adalah kulit, kau tahu?”

Aku hanya diam dan menatapnya datar. Tampaknya Yosi tidak terlalu peduli dengan reaksiku, karena ia kembali buka suara, “Kau juga sebaiknya mulai berdandan, Naomi.” Yosi menatapku dari atas hingga ke bawah dengan tatapan menilai. “Lihatlah dirimu. Kau terlihat suram. Kau harus mencoba untuk berdandan. Dan juga, cobalah membentuk tubuhmu.”

“Aku bukan tipe orang yang seperti itu.”

“Well, kau harus tetap mencobanya, Naomi. Kau terlihat suram, sungguh. Dan, kalau dipikir-pikir, kau sama sekali tidak pernah berdandan. Pantas saja tidak ada laki-laki yang mau mendekatimu.”

Begitukah?

 

***

“Jadi begitu.” Ia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, “Biar kusimpulkan: seorang Naomi Nakashima bingung apakah berdandan merupakan sebuah keharusan untuk mendapat pacar?”

“Begitulah,” sahutku enggan.

“Wow.” Laki-laki itu berdecak. “Seorang Naomi membicarakan tentang berdandan untuk pertama kalinya, dan itu dengan seorang laki-laki?” suaranya terdengar geli di ujung sana. “Ada apa denganmu, hm?”

Aku memutar bola mataku. Aku tahu, laki-laki itu pasti ingin tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku barusan. Aku meraih cangkir cokelat panasku dengan tangan kiri, kemudian menyesapnya perlahan, membiarkan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhku. “Baiklah, kau boleh tertawa sepuasmu, sekeras mungkin setelah telepon ini berakhir,” ujarku sedikit jengkel. Saat ini aku sedang benar-benar serius, dan dia justru bersikap seakan-akan aku sedang bercanda. Yang benar saja.

“Jangan marah,” ujarnya sambil terkekeh. “Kita berjauhan sekarang—aku di Indonesia, kau di Tokyo—dan kau meneleponku hanya untuk marah-marah?” Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Lagi pula, sudah lama kau tidak meneleponku.”

“Baiklah, baiklah.” Akhirnya aku mengalah. Kudengar desahan lega di seberang sana. “Baiklah, David, aku akan melanjutkan, oke?”

David—sahabat laki-lakiku—hanya menggumam sebagai jawaban, jadi aku pun melanjutkan curahan hatiku. “Aku tahu mungkin dia tidak bermaksud menyinggung, tetapi tetap saja, aku kesal. Kau tahu, rasanya seperti diminta untuk menjadi, untuk terlihat seperti orang lain.” Aku menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan, “Yah, aku tahu topik ini mungkin sedikit aneh untuk dibicarakan dengan laki-laki, tetapi jujur saja, aku memang sama sekali tidak pernah berdandan. Kulit wajahku hanya mengenal sabun pembersih wajah dan pelembap. Aku tidak secantik gadis-gadis lain di luar sana—jika tidak ingin dikatakan jelek—dan tubuhku sama sekali tidak seksi. Tidak cukup cantik dan seksi untuk memikat para lelaki.” Aku terdiam sejenak, lalu berkata, “Jadi, katakan padaku, apakah aku harus berdandan dan bertubuh seksi untuk mendapat pacar, begitu?”

“Dengarkan aku hingga selesai, oke?” ujar David. Tanpa menunggu reaksiku, ia kembali buka suara, “Sejujurnya, pendapat temanmu ada benarnya juga, tentang hal-hal yang pertama kali dilihat oleh para lelaki, maksudku. Ini sama seperti kalian—para gadis—ketika melihat laki-laki untuk pertama kalinya. Sebagian dari kalian juga melihat bagaimana tampang dan penampilannya, bukan?”

Aku mengangguk setuju, meski aku tahu ia tidak bisa melihat anggukanku. Sementara itu, David melanjutkan, “Namun, tidak semua laki-laki seperti itu. Dan aku juga yakin tidak semua perempuan juga hanya melihat tampang dan seberapa keren penampilan kami.”

“Apa yang membuatmu yakin kalau tidak semua laki-laki seperti itu, hm?”

“Menurutmu, kenapa kau yakin kalau tidak semua gadis melihat laki-laki hanya dari tampang dan penampilannya? Kau cukup cerdas, jadi aku yakin kau bisa menyimpulkan sendiri apa jawabannya.”

David terdiam sejenak, lalu berujar lagi, “Aku mengerti, kata-kata dan perlakuan temanmu membuatmu merasa buruk. Tapi, menurutku kau cantik. Bukan karena kamu adalah gadis campuran Jepang-Indonesia, tapi karena semua gadis diciptakan dengan kecantikan mereka sendiri.

“‘Apa kau harus berdandan dan bertubuh seksi untuk mendapat pacar’, katamu? Sebenarnya tidak. Kau tidak harus berdandan dan memiliki bentuk badan yang aduhai untuk terlihat menawan di hadapan kami. Menjadi dirimu sendiri sudah lebih dari cukup untuk terlihat menawan. Jika wajah cantik dan bentuk tubuh aduhai menjadi patokan untuk mendapat pacar, bagaimana dengan orang-orang yang memiliki kekurangan fisik tertentu, yang tidak bisa membentuk tubuh sesuai dengan standar seksi itu?”

Aku terdiam, mencoba mencerna semua yang ia katakan. Roda pikiranku masih terus berputar cepat ketika David kembali buka suara, “Daripada itu, lebih baik kau mengembangkan bakatmu. Kau sangat baik dalam membuat film pendek. Talentamu ada di sana, aku bisa melihat itu. Kembangkan itu. Siapa tahu kau akan menjadi pembuat film pendek yang hebat di masa depan, atau bahkan mungkin lebih dari itu.”

Seulas senyum mengembang di bibirku. Dia benar. Aku memang senang membuat film pendek, walaupun hanya untuk mengisi waktu luang.

Mengapa tidak? Itu sama sekali bukan ide yang buruk, bukan?

Ah, dia memang sahabat terbaikku.

Aku baru saja hendak mengatakan sesuatu ketika David bicara lagi, “Satu hal yang harus kauketahui adalah: kau cantik, dengan atau tanpa dandanan. Jadilah cantik dengan apa yang ada di dalam dirimu, Naomi Nakashima,” ujarnya. “Ingat itu baik-baik.”

Aku kembali terdiam, kali ini benar-benar tak tahu apa yang harus kukatakan. Semua yang ingin kukatakan mendadak menguap begitu saja. Sungguh, aku merasa seakan ia bersamaku saat ini dan mengatakan semua itu kepadaku. Seakan ia sedang menatapku, dengan tatapannya yang teduh dan menenangkan. Tatapan yang membuat seseorang merasa disayangi dan dicintai.

Dan, aku merasa ingin menangis. Entah karena kata-katanya, atau karena rasa rindu yang mendadak membuncah dalam benakku.

“David,” gumamku. “Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu, kau tahu?”

Di ujung sana, David terkekeh. “Jangan merindukanku. Kau selalu menangis ketika merindukan seseorang, dan aku tidak suka melihatmu menangis.”

Mataku basah, tetapi aku tahu, aku senang.

Aku sangat menyayangimu, sahabat terbaikku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ketos in Love
1146      651     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...
Faith Sisters
3239      1528     4     
Inspirational
Kehilangan Tumbuh Percaya Faith Sisters berisi dua belas cerpen yang mengiringi sepasang muslimah kembar Erica dan Elysa menuju kedewasaan Mereka memulai hijrah dari titik yang berbeda tapi sebagaimana setiap orang yang mengaku beriman mereka pasti mendapatkan ujian Kisahkisah yang relatable bagi muslimah muda tentang cinta prinsip hidup dan persahabatan
After School
3415      1373     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Story of April
2610      926     0     
Romance
Aku pernah merasakan rindu pada seseorang hanya dengan mendengar sebait lirik lagu. Mungkin bagi sebagian orang itu biasa. Bagi sebagian orang masa lalu itu harus dilupakan. Namun, bagi ku, hingga detik di mana aku bahagia pun, aku ingin kau tetap hadir walau hanya sebagai kenangan…
Bulan dan Bintang
494      365     0     
Short Story
Bulan dan bintang selalu bersisian, tanpa pernah benar-benar memiliki. Sebagaimana aku dan kamu, wahai Ananda.
Once Upon A Time
398      267     4     
Short Story
Jessa menemukan benda cantik sore itu, tetapi ia tak pernah berpikir panjang tentang apa yang dipungutnya.
Alya Kirana
2131      983     1     
Romance
"Soal masalah kita? Oke, aku bahas." Aldi terlihat mengambil napas sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan berbicara, "Sebelumnya, aku udah kasih tau kan, kalau aku dibuat kecewa, semua perasaan aku akan hilang? Aku disini jaga perasaan kamu, gak deket sama cewek, gak ada hubungan sama cewek, tapi, kamu? Walaupun cuma diem aja, tapi teleponan, kan? Dan, aku tau? Enggak, kan? Kamu ba...
Venus & Mars
6114      1576     2     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagunan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan ...
BIYA
3343      1176     3     
Romance
Gian adalah anak pindahan dari kota. Sesungguhnya ia tak siap meninggalkan kehidupan perkotaannya. Ia tak siap menetap di desa dan menjadi cowok desa. Ia juga tak siap bertemu bidadari yang mampu membuatnya tergagap kehilangan kata, yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Namun kalimat tak ada manusia yang sempurna adalah benar adanya. Bidadari Gian ternyata begitu dingin dan tertutup. Tak mengij...
Cinta dibalik Kebohongan
814      560     2     
Short Story
Ketika waktu itu akan datang, saat itu kita akan tau bahwa perpisahan terjadi karena adanya sebuah pertemuan. Masa lalu bagian dari kita ,awal dari sebuah kisah, awal sebuah impian. Kisahku dan dirinya dimulai karena takdir ataukah kebohongan? Semua bermula di hari itu.