Jeno masuk ke dalam rumah disambut dengan gagang spatula Mamanya ketika melewati pintu dapur. Jeno tersenyum manis kepada Mamanya. Dia tahu dengan pasti kalau Mamanya ingin menyuruhnya mencicipi masakan untuk makan malam. Sudah menjadi kebiasaan Jeno karena kakak dan adiknya tidak ada yang bisa diandalkan. Kakaknya-Mark lebih sering pulang jam tujuh malam tepat ketika mereka makan. Mark sibuk dengan kuliah dan organisasinya sedangkan adiknya-Jeremi, lebih suka bergoleran di kasur daripada turun ke bawah dan menemani Mama masak. Sebenarnya alasan lainnya karena Jeremian itu tidak bisa masuk dapur, bisa-bisa kalau ada Jeremi, semuanya jadi kacau balau. Lebih baik Jeremi itu di kamar, lebih aman dan tidak perlu menanggung resiko besar.
“Mama emang paling baik deh. Nono masuk langsung disuruh makan. Haha.” Jeno mengekori Mamanya yang berjalan menuju kompor yang masih hidup. Di dalam penggorengan ada ikan gurame goreng yang berubah kecoklatan.
“Kamu coba itu cobain ikannya, sama sambel asam manisnya. Udah pas belom?” tanya Mamanya sambil membalik ikan guramenya.
“Udah pas sih Ma. Nono jadi pengen makan sekarang deh.”
“Makan aja sekarang nggak papa. Papa nanti lembur, kakak kamu juga nginep di rumah temennya.” Mama membalik tubuhnya menatap Jeno yang masih menghisap jempolnya bekas sambal asam manis.”Lagian tuh ya, Kakak kamu sama Papa kamu itu kenapa hobi banget nggak pulang kalau Mama lagi bikin makanan enak? Perut mereka itu emang nggak suka dimasakin makanan enak kayaknya.”
Kalau sudah menggerutu seperti ini Jeno hanya bisa senyum sambil menenangkan Mamanya dengan mengelus bahu Mamanya. “Sabar ya Ma, tahu sendiri kan kalau Kakak sama Papa tuh workholic.”
“Kayak Kak Nono enggak aja sih.” Jeremi yang baru masuk ke dapur menyambung pembicaraan Jeno dan Mama. Jeremi menarik kursi tempat biasa dia duduk saat makan tanpa mengidahkan tatapan mata Jeno yang sudah siap menerkamnya.
“Apa? Benerkan Kak?” Jeremi mengalihkan pandangannya ke Mamanya, “Ma laper.”
Mama menggeleng lalu membalik tubuhnya. Mengangkat ikan gurame kedua dan meniriskannya. Mama lalu mengambil dua piring dan meletakkan kedua piring itu di depan Jeno dan juga Jeremi.
“Ambil nasi sendiri, Mama mau ngambil susu.”
Jeno masih setia mengamati Jeremi dengan wajah dinginnya sambil mengambil nasi. Jeremi yang ditatap seperti itu seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal di dalam hatinya, dia ingin menghilang dari bumi aja. Kakaknya itu memang kelewat serius sebenarnya, berbeda dengan Mark yang receh banget.
“Heh! Adikmu takut tuh.” Mama dari belakang menepuk punggung Jeno yang terlihat mengintimidasi Jeremi.
“Bener tuh Ma. Makanya jomlo mulu jadi orang.” Jeremi memeletkan lidahnya dengan bangga karena sudah ada Mamanya yang berada dipihaknya. Jeno kan tidak berani kalau ada Mama.
“Kayak kamu ada yang punya aja.” Jeno balas dengan sewot. Lagipula apa pentingnya jatuh cinta sih?
“Jer, No. Mama tuh suka ga habis pikir sama kalian, berantem aja mulu. Ujung-ujungnya sampe ngomongin jomlo enggaknya.”
“Ya habisnya Ma, Kak No tuh percuma ganteng kalau pacaran sama buku, bukan sama manusia.”
“Jen, apa kamu inget temen kecil kamu? Kamu dulu suka bareng gitu sama dia.”
“Kak No punya temen emang ma?” tanya Jisung sambil menyuapkan suapan pertamanya.
“Punya dulu waktu kecil. Namanya Karina.”
“Wahhh. Ternyata.” Jeremi menggeleng tidak percaya dengan fakta yang dia dengar. Masalahnya kakaknya itu hampir tidak terlihat mempunyai teman.
“Karina?!” tanya Jeno penasaran. Apa Karina yang dimaksud sama dengan Karina yang beberapa kali Jeno temui di sekolahnya?
“Iya, apa kamu kenal?”
“Ada temen sekolah aku yang namanya Karina Ma.”
“Nah, kamu coba ajak kemarin Jen. Siapa tahu Karina yang kamu maksud tuh sama kayak Karina yang Mama kenal.”
“Kapan-kapan deh Ma. Aku belum deket sama dia soalnya.”
“Oke Mama tunggu.”
***
Jeno masih menyibukkan diri dengan game yang ada dikomputernya. Matanya terfokus pada game GTA yang saat ini sedang mengincar mangsanya, siap untuk menembak lawan dengan taktik yang sudah ada dipikirannya. Ponselnya berdering dengan kencang, nada dering telepon bersamaan dengan getar itu mengganggu konsentrasinya. Alhasil tembakannya meleset dan membuat lawannya kabur dengan mudah.
“Halo kak? Ada apa?” tanya Jeno dengan nada yang sedikit kesal.
“Bukain pintu rumah No. Gue udah di depan ini.”
“Lah ngapa pulang? Kata Mama enggak pulang tadi.”
“Gue kangen nguyel-nguyel lo sih. Haha. Buru deh bukain.” Mark langsung memutus sambungan telepon agar Jeno segera membukakan pintu untuknya.
Dengan rasa berat hati, Jeno melangkah keluar dari kamarnya dan menuruni tangga. Dia lalu membuka pintu rumah dan menemukan kakaknya yang berdiri sambil membawa martabak manis.
“Lah ngapain beli martabak?” tanya Jeno sambil mengunci pintu rumah kembali ketika Mark sudah masuk.
“Bukan gue yang beli. Ini dikasih sama Ajun pas ketemu di toko martabak. Buat lo katanya, makaya gue bela-belain pulang gegara ini.”
“Lah bisa besok kali kak. Nggak usah pulang tengah malem juga.”
“Gue juga mau nanya sama lo sih.” Jeno mengikuti langkah kakaknya yang naik ke tangga. “Lo habis ketemu sama Ajun?” Mark berhenti dan menatap adiknya itu.
“Iya tadi disekolah, kenapa?”
Mark melangkahkan kakinya kembali dan masuk ke dalam kamar Jeno. Dia mengamati kamar adiknya yang bersih dan seperti tidak tersentuh tangan. Pasti adiknya itu masih ngegame saja dari setelah mengerjakan tugas sampai tengah malam.
“Nih!” Mark memberikan satu kantong plastik berisi martabak yang dibawanya daritadi lalu merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur adiknya.”Ketemu di mana?”
“Di sekolah. Dia mau jemput adiknya.”
Mark menoleh ka arah Jeno sambil mengangkat kepalanya. “Ketemu Karina? Satu sekolah ternyata ya. Haha. Gue kirain lo nggak bakalan keteu sama Karina.”
“Kenapa emangnya?”
“Ya udah lama juga gitukan No. Oh ya gue tidur sini yak. Kangen gue sama lo.”
“Halah bang terserah.” Jeno lalu melahap martabak manis berwarna merah itu ke dalam mulutnya. Ajun ternyata masih mengingat makanan kesukaan Jeno yaitu martabak manis. Sekarang tampilan martabak memang lebih bagus makanya Jeno masih menyukainya sampai sekarang.
“Eh No!” Jeno menjawab sambil menggumam.”Lo deket sama Karina?” tanya Mark yang berhasil membuat Jeno tersedak dengan martabaknya.
“Enggak bang, baru aja kenal beberapa hari doang.”
“Ohhh, kalau deket bagus malah sih No. Sekalian ngelindungi Karina.”
“Emang dia kenapa?”
“Nggak apa-apa sih. Ya bagus aja kan kalau deket. Dia ga punya temen soalnya.”
“Kok bisa tahu sih bang?” Perlahan kunyahan di mlut Jeno semakin melambat, dia mencoba mencerna kata-kata Mark.
“Kedua orang tua mereka cerai No. Waktu itu Ajun udah pindah sekolah ke Amrik ya Karina jadi menyendiri gitu. Terus dia ditawarin buat jadi model gitu dia iyain karena emang nggak ada kesibukan terus Papa sama Ajun kan nggak ada buat dia makanya dia ngelampiasin kesendiriannya dengan kerja jadi model.”
“Ohh dia model ternyata.”
“Dah No, gue mau tidur. Besok pagi harus berangkat pagi-pagi banget gue.”