Lupakan apa? Tidak mungkin, bahkan bisa dibilang Karina terbayang-bayang dengan sosok laki-laki yang berbincang dengan Papanya dua hari yang lalu. Bahkan selama di dalam pesawat dia tidak nyaman, tidak ingin pulang karena ya dia masih berharap ingin bertemu dengan laki-laki itu. Pagi ini pun Karina masih belum bisa melupakan senyuman manis laki-laki itu. Karina mengacak rambutnya lalu bangun dari tempat tidur dan ke kamar mandi untuk bersiap-siap ke sekolah.
Hari senin bukanlah hari yang membahagiakan untuk anak sekolah, apalagi jika ada upacara bendera. Tentu sangat tidak menyenangkan. Karina memilih membolos dari acara itu setiap harinya dan berpura-pura sakit di UKS. Setelah upacara selesai barulah Karina masuk ke dalam kelas. Dia menaruh kepalanya di atas meja sambil bermain ponsel. Dia mengamati foto yang dia ambil kemarin ketika keluar dari hotel sesudah acara dan bertemu kembali dengan laki-laki manis yang dilihat sebelumnya.
Adinda yang baru datang dari lapangan melihat foto diponsel Karina dan mendekatkan kepalanya. Tidak salah kan dia? Adinda lalu mengambil ponsel Karina. Karina melotot lalu dengan reflek mengambil ponselnya dan mematikannnya.
“Ga sopan ngambil hp orang seenaknya,” gerutu Karina sambil mencebikkan bibirnya.
“Tetumben lo ngeliatin cowok? Ada apa gerangan Karina?” tanya Adinda sambil menyedekapkan tangannya.
Karina tidak menjawab dan memilih mendudukkan dirinya kembali. Adinda mengikutinya dan menatap Karina dengan intens sampai membuat Karina merasa terganggu. “Apaan sih?”
“Emang bener ya. Cowok yang difoto lo itu emang ga ada tandingannya. Bisa nyihir siapapun, bahkan lo juga kena sihir. Haha.” Adinda mengakhiri kalimatnya dengan suara tawa yang melengking keras. Karina yang melihatnya memutar bola matanya jengah.
“Emang lo kenal dia?” tanya Karina dengan sewot.
“Siapa sih yang nggak kenal dia? Seluruh sekolah juga tahu dia siapa. Bahkan sekolah sebelah lebih update daripada lo. Lo sih, sibuk sama dunia lo sendiri.” Adinda menggelengkan kepalanya tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“Dia orang indo?”
“Ya iyalah, satu sekolah sama kita bahkan.” Adinda semakin tidak percaya dengan ketidaktahuan temennya itu. Maklum memang Karina anaknya sibuk, sering keluar kota bahkan keluar negeri. Di sekolah pun perempuan itu sibuk mengejar ketertinggalan dibidang akademiknya jadi lebih sering menghabiskan waktunya seorang diri.
“Kasih tahu gue dong, kenapa gue doang yang gak tahu dia kalau sekolah sebelah malah justru lebih tahu.” Karina mengguncang lengan Adinda yang masih bersedekap mengamatinya. Tidak hanya itu, Karina juga memasang puppy eyes andalannya agar Adinda mau memberi tahunya.
“Namanya Jeno. Nama aslinya Jevano tapi lebih sering dipanggil Jeno. Dia itu salah satu murid kebanggaan sekolah kita tau gak Kar. Sering banget lomba dan kebanggaan semua guru. Apalagi guru perempuan.”
“Wahhh.”
“Makanya lo jangan di UKS mulu kalau hari senin. Padahal dia sering menang lomba-lomba gitu, sayang banget lo lewatin. Hari ini juga tadi ada.”
“SERIUSAN?!” Adinda menggangguk membuat bahu Karina meluruh. Kalau tahu mungkin dia tidak akan meninggalkan upacara tiap hari senin. “Kelas apa dia?”
“Anak IPA 1.”
“Ya panteslah gak pernah ketemu. Beda jurusan juga beda lorong.” Kini gantian Karina yang menyedekapkan dadanya. Kesal dengan keadaan juga kesal dengan dirinya sendiri.
“Sebenernya lo nya sendiri sih yang salah. Anak sekolah sebelah malah? Mereka canggih banget kan bisa tahu.”
“Anterin gue ke sana yuk. Sekalian ke kantin, gue laper.”
“Okelah, rapat juga kayaknya masih lama.”
***
Karina dan Adinda melewati kelas IPA 1 yang sebenarnya tidak searah dengan kantin tapi apa boleh buat, demi melihat seorang Jeno, Karina rela memutar arah. Di dalam kelas Karina tidak melihat ada sosok Jeno membuat Karina mencebikkan bibirnya kesal.
“Gaada orangnya. Kantin aja udah.”
Adinda menarik lengan Karina mengarah ke kantin. Mereka melewati area kantor. Pintu kantor tiba-tiba terbuka. Karina yang berada tepat di sebelah pintu kantor membuat kepalanya terbentur dengan keras. Karina meringis sambil memegang dahinya yang terasa nyeri.
“Maaf, Aku tidak tahu kalau ada orang.” Suara lembut dan berat menyapa telinga Karina. Begitu dia mendongak dia terkejut dan membuatnya mundur ke belakang. “Dahi kamu...” Laki-laki itu ikut meringis ketika melihat dahi Karina berwarna merah.
“Aa...” Karina tidak tahu harus berkata apa. Sosok laki-laki yang dicarinya tadi sekarang berada di depannya dengan wajah yang khawatir. Jika dilihat dalam dekat seperti ini Jeno terlihat sangat tidak manusiawi. Rahang yang tegas, mata yang bercahaya indah, alis yang tebal, hidung yang mancung, dan bibir yang tipis berwarna kemerahan. Benar-benar sempurna sebagai sosok manusia.
“Hai?!” Jeno mengibaskan tangannya ke depan wajah Karina karena perempuan itu tidak menjawab pertanyaannya. Sedangkan Adinda sudah cekikikan tidak jelas di tempatnya berdiri mengamati keduanya.
“Oh, hai. Kenapa?” tanya Karina setelah sadar dari lamunannya mengagumi wajah Jeno.
“Dahi kamu udah agak biru. Biar aku obatin di UKS aja, kayaknya parah.”
Karina melirik ke arah Adinda, perempuan itu mengendikkan bahunya sambil tersenyum. Karina lalu mengangguk dan Jeno membawa Karina ke UKS. Mereka berjalan beriringan diikuti Adinda yang masih setia menemani Karina.
“Namamu siapa?” tanya Jeno memecah keheningan.
“Karina.”
Setelah itu tidak ada percakapan lagi. Jeno mendorong pintu UKS dan mendapati beberapa anak PMR yang masih ada di sana. Jeno lalu menghampiri salah satu anak PMR dan menyuruhnya untuk mengobati dahi Karina. Selama diobati, Jeno menunggu sampai selesai. Begitu anak PMR itu selesai mengobati, Jeno berjalan mendekat ke arah Karina.
“Maaf, aku tidak sengaja. Apa masih terasa sakit?” tanya Jeno dengan khawatir yang terlihat jelas di wajahnya. Karina jadi merasa... lucu, laki-laki di depannya ini terlihat lucu. Dia meenggigit bagian dalam pipinya agar bisa mengontrol senyumnya.
“Nggak papa kok. Entar juga sembuh.”
“Ohh oke. Aku duluan kalau gitu.” Jeno lalu meninggalkan UKS.
Karina lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya. Rasanya berada di dekat Jeno membuatnya tidak bisa bernapas dengan baik. Adinda lalu mendekat dan menyolek lengan Karina. “Gimana rasanya diomongin cogan?”
“Uwaw gilak sih, auranya bikin gue gabisa berkutik.”
“Emang beruntung lo bisa ngomong sama dia, padahal baru sehari ngeidolain dia.”
“Enggak sehari sih. 3 hari sebenernya.” Karina berdiri dari duduknya.
“Jadi kantin gak?”
“Enggaklah, udah masuk juga.”