.
.
.
Lagi-lagi aku tidak bisa mencegah air matamu itu
.
.
.
Biasanya aku jarang memakai gaun dengan gelembung di bagian bawahnya, menurutku pakaian seperti ini menyusahkan. Aku sering jatuh karena tersandung gaunku sendiri, tapi hari ini berbeda, mau tidak mau penampilanku harus sedikit rapi dan terlihat seperti Ratu yang sesungguhnya. Sehari sebelumnya, Lucas memintaku, atau lebih tepatnya memaksaku, untuk bersanding dengannya di acara ulang tahun kerajaan. Berbeda dengan yang ada di novel di mana Diana justru hanya bisa melihat Lucas menggandeng tangan Cecilia, dan hanya bisa melihat mereka di pinggir ruangan. Menyedihkan sih.
Sekarang berbeda, walaupun caranya memaksa, tapi di sampingku sudah ada Raja yang diharapkan oleh Diana yang sebenarnya. Kami tinggal menunggu seseorang yang berbicara di balik pintu ini memanggil nama kami. Canggung juga berada di sampingnya begini.
“Diana.” Lucas menjulurkan tangannya padaku.
“Apa?”
“Tanganmu.”
Aku menunjukkan kedua tanganku, lalu Lucas meraih salah satunya dan memegangnya dengan anggun dan lembut.
“Kalau sampai kau terjatuh, aku tidak akan memaafkanmu.”
Ugh! Orang ini!
“Kalau begitu aku akan benar-benar jatuh dan membuatmu malu!”
Kemudian orang yang sedang berbicara dari balik pintu itu memanggil nama kami, lalu pintu itu terbuka dan Lucas menuntunku masuk ke ruang pesta. Kami masuk ke dalam aula besar di istana utama, lalu menuruni tangga setengah melingkar itu dengan iringan tepuk tangan orang-orang. Kami berhenti tepat di dua anak tangga terakhir. Kulirik Lucas tidak bergeming sama sekali.
Aku tidak terlalu mendengar apa yang dibicarakan seseorang yang perannya mirip seperti pembawa acara itu. Aku terlalu gugup dilihat banyak orang begini, walaupun di dalam sini bukan Diana, tetap saja aku juga punya kekhawatiran diperhatikan banyak orang.
Sampai, seseorang dengan jubah hijau jamrud bergerak cepat menghampiri kami, gerakannya seperti banteng yang menubruk orang-orang di depannya. Dan tanpa bisa aku cegah, orang itu menghunuskan belati yang disembunyikan di balik jubahnya tepat ke arah Lucas. Semua orang terdiam serjenak, sampai kulihat Lucas rubuh dan aku menangkapnya. Orang yang sejak tadi menutup wajahnya dengan tudung, kemudian diserang oleh Alpha, tudungnya terlepas dan aku bisa melihat Tuan Daniel di balik semua itu. Suasana menjadi kacau, orang-orang berteriak sementara aku hanya bisa mematung dan menghentikan pendarahan di tubuh Lucas.
“Diana…”
“Lucas, jangan banyak bicara. Sebentar lagi dokter datang… tolong bertahanlah sebentar lagi…”
Lucas mengelus pipiku dengan tangannya yang sudah berlumuran darah, “Jangan menangis.”
“Aku tidak…”
Belum selesai aku berbicara, Lucas sudah terkulai lemas di pangkuanku.
“Lucas… Lucas… Lucas bangun…” kataku disela-sela isak tangis yang tidak kusadari.
Aku memeluknya, tubuhnya semakin dingin. Aku kalut. Aku tidak tahu harus melakukan apa selain menangis karena bagian dadaku ada yang begitu sakit, sakit sekali sampai aku tidak bisa menahannya.
**
Aku tersentak dari tidurku. Jantungku berdegup kencang, keringat dingin mengucur dari tubuhku. Tanganku bergetar dan kepalaku pusing sekali. Mimpi macam apa itu. Aku meringkuk memeluk kakiku, rasanya malam ini begitu menyeramkan sampai air mataku benar-benar lepas dan tak bisa kukendalikan. Hawa dingin merayap ke sekujur tubuhku, jantungku terus saja berdegup kencang seperti akan pecah. Aku ketakutan, tapi akupun tidak tahu harus melakukan apa untuk meredakannya.
Entah berapa jam aku menangis diantara gelapnya kamar. Malam sepertinya begitu panjang kali ini. Suara-suara nyaring penghuni malam, juga bias cahaya bulan yang sedikit melewati jendela kamar itu, tidak benar-benar memberi arti kehadiran yang kentara. Aku seperti diuji malam untuk merasa sendiri dan kesepian.
Setelah tangis itu reda, aku mencoba meredakan dahagaku, sayangnya air minum di atas nakas sudah habis. Aku juga tidak bisa menjamin jam berapa sekarang, tidak nyaman memanggil Nara hanya untuk membawakan air minum. Sebaiknya aku mengambilnya dari dapur sendirian. Mungkin dengan begitu, rasa sepiku sedikit mereda.
Diantara koridor-koridor istana yang luas ini, kenapa harus malam ini aku menemukan sosok di mimpiku sedang berdiri menghadap jendela. Tak begitu jauh dari tempatnya, meskipun lampu di ruangan ini sedikit redup, aku bisa dengan jelas mengenali postur tubuhnya dan gerak-geriknya yang minimalis. Matanya kemudian menangkap kehadiranku. Ia tidak lagi sendu, tidak ada luka atau darah yang mengalir dari tubuhnya. Ia hadir seperti biasa aku menemukannya diantara banyak objek yang bisa ditangkap oleh mataku.
“Sedang apa kau malam-malam begini?”
Suaranya masih tetap sama, bukan suara lirih seolah ia sedang pamit untuk pergi selamanya.
“Hikh… hikh…”
Lagi-lagi air mataku tak lagi terbendung, aku berlari menghampirinya lalu menubruk tubuhnya yang menjulang tinggi dariku. Aku menangis dipelukannya, ditubuhnya yang hangat. Aku ketakutan, aku takut tidak bisa melihatnya lagi seperti ini. Berulang kali aku mencoba mengubah alur cerita, pada akhirnya sedikit demi sedikit aku hanya dihadapkan pada kehilangan dia untuk selamanya. Aku harus bagaimana lagi untuk membuatnya tetap ada di sini.
**
Pintu ruang kerjaku diketuk, kukira itu Nara atau Alpha, karena Lucas tidak mungkin seramah itu sampai mengetuk pintuku segala. Ternyata, yang muncul adalah Ibunya Diana.
“Tan—“ Aku hampir memanggilnya Tante. “Ibu,” kataku.
Aku memeluknya, mempersilahkannya duduk, sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan Ibu Diana. Sepertinya beliau tampak jauh lebih sehat dari sebelumnya.
“Tumben Ibu datang sendiri, Ayah kemana?” tanyaku.
“Ayahmu sedang pergi bisnis ke luar kota,” jawab Ibu Diana. Aku meminta Nara membawakan teh dan kue.
“Harusnya Ibu kabari aku dulu jika ingin datang, nanti aku bisa menjemput Ibu.”
“Tidak apa-apa, Ibu juga sengaja ingin bertemu anak Ibu.”
“Maaf ya, Bu. Belakangan aku sibuk sampai tidak sempat mengunjungi Ibu.”
Ibu Diana mengelus tanganku, “Ayahmu bilang kau sibuk karena membantu Lucas. Ibu bangga padamu.”
Aku hanya tersenyum, tanpa diketahui siapapun, aku membantu Lucas sebagai bayaranku bisa tinggal di sini.
“Katanya kau membantu Lucas saat rapat kemarin, Ayahmu yang menceritakannya, katanya kau terlihat berbeda dan mengagumkan di samping Lucas.”
“Saat itu, Lucas kan kecelakaan dan aku yang mengobatinya, baru beberapa hari sembuh sudah ada rapat mendadak. Aku hanya membantunya sedikit, karena kondisinya belum sehat. Aku juga bisa sehebat itu karena turunan Ibu.”
Well, semua anak perempuan yang kulihat saat dipuji orang tuanya, biasanya akan bilang begitu, meskipun tanpaku, Diana bisa mengagumkan jika dia tidak mencintai Lucas sebanyak itu.
Setelah teh yang kuminta datang, kami banyak mengobrol. Tentang beruang yang masuk ke istana, penyerangan Lucas kemarin, pekerjaanku yang sekarang menjadi asisten Lucas, sampai kekhawatiranku tentang penyerangan nanti. Aku tidak secara gamblang menceritakannya.
“Aku ingin membatalkan acara ulang tahun itu. Pasti akan ada banyak orang yang datang ke istana, bukannya aku mencurigai orang-orang itu, tapi tidak semua orang merasa puas dengan kepemimpinan Lucas, bukan? Apalagi setelah kejadian kemarin, rasanya semakin hari aku semakin takut kalau kejadian serupa bisa terulang dan Lucas bisa terluka lebih parah dari itu,” kataku.
Rasanya berbicara dengan Ibu Diana membuatku bebas untuk bercerita tentang pikiran-pikiranku, juga kekhawatiranku. Ibu Diana selalu terlihat penuh perhatian, beliau seperti siap menampung segala yang kuucapkan, rasanya nyaman sekali berada di samping Ibu Diana. Mungkin ini yang dirasakan seorang anak terhadap ibunya. Pantas saja aku iri dengan keluarga Diana, perempuan itu memiliki sesuatu yang tidak bisa aku miliki.
“Kau takut kehilangannya?” tanya Ibu Diana kemudian.
Aku memperhatikannya, matanya teduh, bibirnya tidak pernah kehilangan senyumannya. Persis seperti Nenek Diana yang bisa memberikan perasaan nyaman terhadap orang di sampingnya, Ibu Diana bisa memberikan itu setelah aku kehilangan Nenek Diana. Pertanyaannya yang singkat dan sederhana, entah bagaimana seperti mantra yang membuat semua emosiku meluap dan keluar dalam bentuk air mata.
Aku mengangguk di antara tangisku, “Aku takut dia pergi seperti yang terjadi pada Oma. Aku takut merasakan kehilangan lagi.”
Ibu Diana memelukku, mengelus punggungku yang seperti akan hancur itu, hangat seperti Lucas tapi sedikit berbeda. Aku menangis meraung di pelukan Ibu Diana, rasanya kali ini aku butuh sandaran agar tubuhku tidak benar-benar patah atau hancur karena khawatir.
“Aku tidak tahu kenapa aku setakut itu kehilangannya.”
“Khawatir itu wajar, sayang. Karena manusia punya banyak keterbatasan. Semua akan baik-baik saja. Semua pasti akan baik-baik saja.”
**
Tak terasa hari sudah sore, Ibu Diana pun pamit untuk pulang. Alpha yang akan mengantarnya, katanya sedikit berbahaya pulang selarut ini. Walaupun tadinya aku ingin ikut mengantar juga, tapi dilarang oleh Ibu Diana.
“Sampaikan salam Ibu untuk Lucas ya,” katanya.
“Iya.” Sebelum Ibu Diana sempat masuk ke dalam kereta, aku memeluknya sebentar. “Ibu, kalau memang ada kehidupan lain, apakah Ibu mau menjadi ibuku?”
Sebenarnya ini pertanyaan langsung dariku, benar-benar dari Tiara yang tidak pernah punya orang tua. Kalau nanti aku kembali, kalau ada keajaiban sekali lagi dikehidupanku yang sebenarnya, aku harap hidupku tidak pernah sendirian, aku harap aku juga punya keluarga yang menyayangiku seperti Keluarga Levada.
“Pastinya.” Begitu jawaban Ibu Diana. Kuharap begitu, kuharap aku bertemu lagi dengan beliau.
Salam Hangat,
SR
ig: @cintikus
@sylviayenny thank youuuu :)
Comment on chapter #1