Langit berwarna abu-abu gelap saat aku keluar dari kantorerlalu begitu saja, tidak berhenti di halte bis. Di jam-jam seperti ini, kebanyakan angkot terisi penuh. Begitu juga dengan bis.
Karena itu, saat ada angkot yang berhenti di halte, aku bergegas mendekat.
“Belakang penuh, mbak,” kata sopir angkot. “Depan ya?”
Aku mengangguk, mengatakan, “Iya, Pak,” sambil membuka pintu. Tapi, laki-laki di samping pak sopir tidak mau sedikit bergeser. Jadi aku mengatakan, “Mas, tolong geser sedikit ya, saya mau duduk sini,” padanya.
“Lho, angkot ini bukan jurusan Joyoboyo[1], mbak.”
Jawaban laki-laki itu membuat aku terkejut, hingga mengedipkan mata beberapa kali. “Ah, mungkin suaraku kurang jelas sehingga dia salah dengar,” bisik benakku. Karena itu aku kembali mengatakan, “Mas, tolong geser sedikit duduknya ya, saya mau duduk di sini.”
“Mbak, angkot ini langsung ke Bungurasih[2], tidak mampir ke Joyoboyo.”
Benakku langsung mengatakan, “Waduh, mas ini budek[3].”
Aku menghela napas, sedikit mengeraskan suara saat mengatakan, “Iya, mas, saya juga ke arah Bungurasih kok. Makanya, mas geser sedikit duduknya, biar saya bisa duduk.” Aku memberinya satu senyum kecil, lalu membuka pintu lebih lebar.
Eh, laki-laki itu justru memegangi pintu dan menahannya. “Ya ampun, mbak, kan sudah saya kasih tahu, angkot ini ke Bungurasih, bukan ke Joyoboyo. Kenapa mbak masih ngeyel[4] mau naik juga?”
Aku menghela napas karena jengkel, sekaligus bingung.
Yakin tidak ada gunanya kalau aku kembali meminta laki-laki itu untuk menggeser duduknya, aku memegang pintu dengan kedua tangan, lalu menariknya membuka.
Tapi laki-laki itu kembali menarik pintu angkot, berusaha menutupnya.
Aku menatap laki-laki itu dengan alis bertaut.
Sebelum kata-kata yang menunjukkan rasa jengkel meluncur dari bibirku, sopir angkot memegang lengan kanan laki-laki itu dengan dua tangan, lalu menarik laki-laki itu mendekat kepadanya.
Lalu, sopir angkot menarik lepas tangan laki-laki itu dari pintu sambil mengatakan, “Maaf ya, mbak, mas ini, budek.”
Aku mengangguk, duduk, menutup pintu, dan mengarahkan pandanganku ke sisi kiri. Itu yang aku lakukan selama perjalanan. Aku bahkan tidak menoleh saat laki-laki di sebelahku mengatakan, “Oooo, mbak mau ke Bungurasih juga? Saya kira mau ke Joyoboyo.”
Aku hanya menghela napas panjang.
Aku baru berbicara saat angkot beberapa meter dari tempatku turun. “Pak, saya turun di halte depan ya.”
Angkot berhenti, aku menyerahkan selembar uang pada sopir angkot. “Terima kasih, pak.”
“Sama-sama, mbak.”
Aku membuka pintu saat laki-laki di sampingku berkata, “Kok turun disini, mbak? Bungurasih masih jauh lo, mbak.”
“Ya Allah.” Aku kembali menghela napas panjang.
[1] Salah satu terminal di Surabaya
[2] Salah satu terminal di Surabaya
[3] Tidak bisa mendengar/mempunyai gangguan pendengaran/tuli (bahasa Jawa)
[4] Memaksa (bahasa Jawa)