Kita memandang langit yang sama, berpijak di bumi yang sama. Tapi mengapa kita tak pernah saling menemukan? Itu semua karena kita memutuskan untuk menetap, dan berhenti mencari.
~
Mataku mengerjap perlahan, mencoba memperjelas penglihatanku yang hanya dapat menemukan langit-langit. Hal itu membuatku tahu bahwa aku tengah dalam keadaan berbaring saat ini, dan rasa berat pada kepalaku juga meyakinkanku bahwa tadi aku sempat tak sadarkan diri.
Tubuhku tak mampu aku gerakan, jadi aku hanya menggunakan mataku untuk melihat keadaan sekeliling guna memahami situasi saat ini. Ah, ternyata UKS kampus. Aku kenal tempat ini, tempat yang membuatku kecewa kepada Devan kala itu kan. Apa ini sebuah pertanda bahwa sekarang aku harus kecewa lagi? Jika iya, maka ini tidak adil. Aku sedang tidak memiliki tenaga untuk terluka saat ini.
"Kamu udah sadar?"
Aku sangat terkejut mendengar suara itu, yang membuatku sontak menoleh ke arah samping, tepat dimana suara itu berasal.
"Kak Devan kok di sini?" Tanyaku yang masih tak percaya jika Devan lah yang tengah duduk di kursi tunggu pasien.
Devan tak langsung menjawab pertanyaanku, dia berdiri lalu menaruh telapak tangannya di keningku.
"Kamu ngga panas, tapi wajah kamu pucet pasi. Mau makan apa? Atau kita pulang aja, biar saya yang ijinin" ucap Devan yang mengabaikan tatapan bingungku.
Aku mengenyahkan tangan Devan dari keningku "Kak Devan ngapain di sini?"
Devan membuang nafas pelan lalu menatapku dengan tatapan andalannya, tajam dan begitu menusuk "saya suami kamu, emang salah kalau saya bertanggung jawab sama istri saya?"
Uhuk!
Aku tersedak oleh salivaku sendiri, pipiku juga terasa memanas. Dulu aku berfikir adegan seperti ini adalah hal mainstream yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata, namun nyatanya aku tengah mengalaminya saat ini.
"Ngga usah kaget gitu. Sekarang kita pulang aja, acara KPK selesai sore ini dan di laksanain di lapangan terus. Kamu ngga akan kuat" usul Devan.
Aku mengangguk mengiyakan, namun menggelengkan kepala setelahnya "Kalau kita pulang bareng itu pasti jadi gosip kak, ngga enak juga sama kak Luna. Dan... seminggu yang lalu kita kan udah sepakat untuk menjadi orang asing bagi satu sama lain" ucapku tanpa berani menatap Devan. Katakanlah aku bodoh, bodoh karena menciptakan kehancuran dan rasa sakit bagi diriku sendiri.
"Kak..." Ucapku gugup saat Devan mengangkat daguku dengan lembut dan memaksaku untuk membalas tatapan itu.
Beberapa detik kemudian dia mendekatkan wajahnya dengan wajahku, yang membuat jantungku berdegub dengan sangat cepat.
Cup!
Bibir kami akhirnya bertemu. Bertahan cukup lama, namun tanpa lumatan.
"Mulai sekarang jangan berlagak seperti orang asing lagi, kakak ngga suka. Kamu istri kakak, sudah seharusnya kamu menjalani kewajiban kamu. Besok kan kita pindah ke rumah baru, jadi kakak ngga mau kamu diemin kakak seperti seminggu belakangan ini" ucap Devan setelah mengakhiri ciuman itu.
Aku menangis sejadinya, apa yang aku tahan selama ini akhirnya tercurahkan juga melalui air mata. Aku senang. Di tempat ini aku terluka, lalu di tempat ini juga aku mendapatkan kebahagian yang kuharap dapat bertahan lebih lama.
Devan memelukku yang masih setia berbaring di brangkar UKS itu, dia juga mencium keningku mencoba menghentikan tangisku.
"Kita mulai lagi dari awal yah?" Ucap Devan dengan senyuman yang manis.
Cklek!
"Ta saya..."
Aku dan Devan sontak menoleh ke arah pintu UKS secara bersamaan. Di sana berdiri seorang laki-laki yang tengah membatu dengan wajah terkejutnya. Bukan hanya dia, tapi kami pun ikut membatu.
"Kalian..." ucap laki-laki itu sembari menunjuk kearahku dan Devan secara bergantian.
"Dewa kok kamu di sini?" Tanyaku, gugup. Berusaha mengeyahkan apapun yang terlintas di fikiran Dewa.
Dewa berjalan mendekatiku dengan raut wajah waspada.
"Abang saya maksa nyuruh saya jenguk kamu. Dia lagi ada meeting sama anak BEM lainnya. Jadi..." Dewa menggantung ucapannya, dan menatap Devan dengan ragu dan takut.
"Apa?!" Sentak Devan dengan sorot mata tajamnya, yang membuat Dewa bergidik ngeri lalu mengalihkan pandangannya kearahku.
"Dia ngga bisa kesini untuk lihat kondisi kamu. Tapi katanya dia pengen banget lihat kondisi bidadarinya" ucap Dewa takut-takut sembari sesekali menatap Devan.
Devan yang di tatap Dewa justru beralih menatapku dengan tatapan tanda tanyanya. Aku tahu dia tengah meminta penjelasan dariku saat itu, penjelasan yang aku sendiri tidak tahu jawabannya.
Aku mengangkat bahuku acuh, memberi tanda bahwa aku juga tidak mengerti.
"Jadi hubungan kalian apa?" Tanya Dewa tanpa basa-basi. Ternyata pertanyaan seperti itu memang sulit untuk di hindari.
Aku menggaruk keningku yang tidak gatal. Aku bingung harus menjawab apa, sebab aku tidak tahu apakah Devan ingin orang tahu bahwa kami memiliki hubungan atau tidak.
"Kami berdua pasangan"
Aku terkejut dengan pernyataan Devan, sedangkan Dewa entah mengapa dia bernafas lega.
"Alhamdulillah kalau begitu, kakak saya masih ada kesempatan buat niku-"
"Suami istri" ucap Devan seolah tengah menyambung ucapannya yang tadi.
Uhuk!
Aku dan Dewa terbatuk bersama saat itu. Devan itu memang semaunya sendiri.
****
Setelah masalah kami dengan Dewa sudah terluruskan, Devan menggendongku keluar kampus guna membawaku pulang, tentu saja kami mendapat sorak sorai para MABA saat kami melewati mereka. Entah apa yang ada di fikiran mereka saat itu.
"Kak malu" ucapku sembari menyematkan daguku pada ceruk leher Devan yang sebelah kiri.
Devan terkekeh "Kamu sendiri yang minta di gendong belakang" ucap Devan, sembari memperlambat langkah kakinya.
Aku menutup mataku dan melemaskan tubuhku dengan sengaja, bermaksud agar para MABA berfikir bahwa aku sedang tidak sadarkan diri.
"Cepetan" gumamku.
Tak berselang lama, Devan melepaskan tangannya yang menyanggah pahaku "Turun"
Dengan panik aku semakin mengeratkan tautan lenganku pada leher Devan, juga tak lupa melingkarkan kakiku pada pinggang Devan sebagai penyanggah tubuhku. Beruntungnya aku karena memakai celana bahan hitam saat itu.
"Jangan turunin di lapangan dong kak, malu" ucapku tanpa berani membuka mata.
"Ahhh" desah Devan, yang membuatku membuka mata.
Aku melihat posisiku yang ternyata hampir membuatku menjadi janda muda. Aku melepaskan tautan lenganku dari leher Devan dan turun secepatnya. Ternyata tadi aku bergantung pada leher Devan.
"Kenapa ngga bilang kalau udah sampai? Bukannya bilang sakit kek apa kek, ini malah ngedesah" gerutuku dengan pipi merah padamku. Sebab ini pertamakalinya aku mendengar desahan itu.
Devan mengelus lehernya sembari meringis "Mau gimana lagi, bisa ngedesah aja udah syukur"
Aku terlalu malu untuk mendengar hal itu, jadi aku memilih untuk berjalan masuk ke mobil yang sudah Devan buka pintunya tadi "Kan ada banyak jenis suara lain, menggonggong kek atau meraung kek"
Devan hanya bisa terkekeh melihat reaksi berlebihan yang kutunjukan. Kemudian dia ikut masuk ke dalam mobil, dan mulai menjalankannya menuju ke kediaman orangtua Devan.
"Orang stress mana sih yang udah jadi bucinnya kamu" tanya Devan, membuka percakapan.
"Ada lah"
"Dia abangnya Dewa yang anak BEM yah?"
"Iya mungkin" jawabku, tanpa minat. Entahlah, setelah mendengar Kenzo mengklaimku sebagai bidadarinya, aku tidak tertarik lagi dengannya. Karena tipe idealku adalah seorang tsundere, bukan yang suka menebar pesona.
"Harusnya kalau memang dia bener-bener suka kamu, yah tinggalin itu rapat, banci bener. Atau paling ngga, yah siapin mobil buat kamu pulang kek"
Mobil?
Oh iya, ini mobil siapa? Bukankah tadi pagi Devan ke kampus menggunakan motor.
"Ini mobil siapa kak?" Tanyaku, penasaran.
Devan menoleh kearahku sejenak "Kenzo. Dia baik banget yah, rela pulang numpang ke adeknya loh demi minjemin mobil ini buat nganter kamu pulang" ucap Devan dengan antusias.
Aku reflek menoleh sembari membelalakan mataku tak percaya. Devan benar-benar berkepribadian ganda. Apakah dia tidak tahu bahwa yang tengah dia bicarakan itu merupakan orang yang sama?
Devan menoleh kearahku, lalu mengangkat alisnya sebelah "Kenapa?"
Aku tersenyum kikuk "Ngga kenapa-napa"
Salah satu tangan Devan mengusap kepalaku yang tertutup kerudung dengan sangat lembut.
"Besok biar kakak bawa mobil aja deh, biar bisa anter jemput kamu" ucapnya dengan senyuman yang sangat manis.
Aku yang gugup pun hanya dapat mengatakan hal apa saja yang terlintas di kepalaku "Ngga usah kak, biasanya juga Tata naik angkutan umum" ucapku yang membuatku sangat menyesal, karena berhasil membuat Devan menoleh kearahku dengan tatapan tajamnya.
"Ucapan kakak tentang memulai semua dari awal itu bukan cuma omong kosong, Ta. Emang kakak akui itu ngga mudah, tapi tetap harus di coba. Kita ngga mungkin akan kayak gini terus..."
Devan sepertinya sengaja menjeda ucapannya, ekspresi yang sempat menunjukan keseriusan itu pun tiba-tiba berubah melunak dan terlihat tersipu malu. Ayolah, ini bukan gaya Devan.
"Mami sama papi juga udah pesen cucu yang lucu-lucu" sambungnya pada akhirnya.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain