Betapa indahnya duniaku yang tengah kupandangi dengan sangat teliti. Memandangnya lekat-lekat dari bawah sini, meskipun dia tak menatapku karena terfokus pada apa yang harus dia lewati di depannya. Dia menjagaku agar tak terjatuh, memastikan rengkuhannya pada punggung serta bawah lututku tak melonggar. Jangan tanya bagaimana keadaan jantungku saat ini, karena jantungku sudah kacau di buatnya. Dengan debaran tak menentu yang berpacu dalam mengiringi langkah Devan menuju ke kamar kami.
Aku memang gadis remaja yang masih labil, masih belum bisa menentukan pada siapa hatiku tertambat. Aku dengan mudah menganggumi pria ketika melihat ketampanan visualnya, tapi tak benar-benar mengerti apakah itu perasaan suka, cinta, atau hanya sebatas rasa yang tercipta karena terbiasa berfikir bahwa aku menyukainya.
Aku bahkan tak bisa menentukan perasaan seperti apa yang aku miliki kepada Ricko, tapi itu benar jika selama tiga tahun Ricko lah yang membuat jantungku berdebar saat di dekatnya. Namun setelah kehadiran Devan dalam hidupku, perasaanku seolah teralihkan dalam sekejap.
Tapi aku tidak menampik jika ada rasa sakit, sedih dan kecewa ketika Ricko tiba-tiba saja meninggalkanku ke luar negeri tanpa mengabariku terlebih dahulu. Entahlah, aku juga bingung dengan perasaanku sendiri.
"Ganti baju dulu yah, atau sekalian mandi aja" ucap Devan yang membuatku tersadar bahwa aku sudah terduduk di atas sofa empuk yang terdapat di kamar kami.
Aku kebingungan untuk menentukan apa yang harus kulakukan saat ini. Karena semua terasa begitu cepat, sedangkan aku sama sekali belum merencanakan apa yang akan aku lakukan setelah gendongan romantis tadi.
"Nih" Devan menaruh satu set bajunya ke atas pahaku. Maklumlah, selama tinggal di rumah orangtua Devan aku hanya menggunakan baju Devan untuk tidur, karena aku hanya membawa baju yang penting ke rumah ini.
Tanpa perlu bertanya, aku melangkahkan kakiku menuju ke kamar mandi. Sedangkan Devan memilih untuk menyalakan televisi sembari berbaring di sofa.
"Ta jangan lama-lama, kakak mau mandi juga" suara teriakan Devan terdengar dari luar. Dia pasti sangat lelah, sampai berbicarapun tak ada tenaga.
Setelah satu jam berlalu, aku dan Devan telah selesai mandi. Jangan berfikiran aneh, kami mandi di waktu yang berbeda.
Kini aku dan Devan tengah berbaring diatas ranjang sembari menonton televisi. Tak ada acara yang menarik, yang membuat kami di landa kecanggungan yang haqiqi.
Aku menoleh sekilas kearah Devan, berencana mengakhiri kecanggungan yang menyiksa kerja jantungku ini, juga untuk menjaga otakku agar tak memikirkan hal aneh yang mungkin saja terjadi.
"Kak, kok kakak pakai almamater maroon sih?" Tanyaku, yang sudah kembali terfokus pada televisi di depan kami.
Sudut mataku menangkap bayangan Devan yang menoleh kearahku "Untirta emang terkenal almamater maroonnya"
Aku menoleh kearahnya dengan wajah terkejutku "Terus kenapa waktu itu Tata ngeliat kak Devan sama Kak Luna di depan kelas lagi pakai almamater biru? Banyak juga sih yang pakai almamater biru" ucapku, yang setelah itu menutup rapat mulutku yang dengan lancangnya membocorkan rahasia itu.
Devan terkekeh sembari menepuk pucuk kepalaku yang sudah tak tertutup kerudung, karena posisi dia yang berbaring lebih tinggi dariku "Oh jadi kamu pingsan karena lihat kakak sama Luna?".
Aku cemberut dan menghempaskan tangan Devan dari kepalaku "di tanya itu jawab, bukannya malah nanya balik"
Devan tertawa gurih "Itu baju kelas. Dan kenapa kamu lihat banyak yang pakai? Yah karena kamu cuma sempet keliling di sekitar fakultas ekonomi dan bisnis doang. Eh udah keburu pingsan karena cemburu" ucap Devan, dengan suara yang terkesan tengah meledekku.
Aku mengabaikan sindiran itu, karena suatu pemikiran yang memaksa keluar dari mulutku "Serem yah"
"Serem kenapa?" Tanya Devan bingung.
"Baju kelas aja harus almamater, mentang-mentang anak kuliahan. Perasaan waktu SMK baju kelas ngga harus warna abu-abu" ujarku yang mengundang gelak tawa Devan.
Devan memegangi perutnya sembari sesekali menghapus air mata yang menetes di sudut matanya. Rasanya indah sekali ketika melihat duniaku tertawa sampai seperti itu.
"Kita jarang banget yah dapet waktu berdua kayak gini. Bisa selepas dan sebebas ini dalam menunjukan personality kita" ucap Devan setelah berhasil meredam tawanya.
Aku menatap Devan yang juga menatapku. Perlahan tangan Devan menyingkirkan guling yang menjadi pembatas kami.
"Kakak mau jujur sama kamu" ucap Devan sembari membawaku ke dalam pelukannya. Aku tidak menolak, aku justru membenamkan kepalaku pada dada bidang Devan. Aku suka wangi itu, wangi maskulin dari parfum yang bercampur dengan aroma tubuh Devan.
"Jujur soal apa?"
Saat ini jantungku berdebar bukan main, karena Devan terdiam sembari memainkan rambutku. Aku menanti ucapan yang akan Devan katakan selanjutnya dengan berharap cemas.
"Ini soal Luna"
Deg!
Aku yang merasa topik ini akan menyakitiku, reflek menarik diri dan menjauhkan diriku dari tubuh Devan. Namun, Devan menarik tubuhku kembali untuk mendekat kepadanya. Dia mengistirahatkan kepalaku ke dada bidangnya lagi, lalu tak lupa mengunci tubuhku dengan tangan kekarnya.
"Kakak tahu ini akan menyakitkan, tapi kamu harus tahu. Kita udah memutuskan untuk memulai semua dari awal kan?"
Aku mengangguk ragu sembari menggigit bibirku.
"Sebenernya Luna dateng saat pernikahan kita" ucap Devan yang membuatku menoleh keatas untuk melihat mimik wajah Devan dengan jelas.
Devan memaksa kepalaku untuk kembali ke tempat semula, yaitu dada bidang Devan "Jangan tatap kakak dulu, dan jangan potong ucapan kakak dengan tatapan meminta penjelasan"
Aku menggeliat di dada bidang Devan guna mencari posisi nyaman, dan Devan berdehem hendak memulai ucapannya lagi, berfikir bahwa gerakanku saat itu berarti bahwa aku setuju.
"Luna udah tahu kalau kamu adalah istri kakak sejak awal, tapi saat itu dia kalut dan meminta untuk tetap melanjutkan hubungan kami dengan berpura-pura ngga tahu apa-apa. Kakak setuju, karena kakak sangat menyayangi dia. Kakak juga ngga perduliin bagaimana perasaan kamu saat itu, karena kakak menganggap kamu adalah perusak cinta kakak".
Devan menghela nafas, memberi jeda sejenak agar aku bisa memahami setiap katanya dengan tepat.
"Awal-awal kakak masih bisa menjalani semuanya, berpacaran dengan Luna di pagi hari sampai sore, lalu menjadi suamimu dari sore hingga menemui pagi. Tapi lama kelamaan, saat kita memutuskan untuk menjadi orang asing bagi satu sama lain. Kakak akhirnya selalu mikirin kamu saat bareng Luna. Seharian penuh selama berhari-hari kakak justru cuma bertindak sebagai suami kamu yang selalu mengkhawatirkan kamu"
Hatiku menghangat mendengarkan pengakuan Devan, semua terdengar murni dan tidak di buat-buat. Aku tidak meragukan kejujuran Devan, karena dia memang selalu jujur sampai-sampai terkadang aku sakit hati sendiri.
"Kakak dan Luna memang benar-benar putus saat tragedi kita hampir melakukan kewajiban itu. Tapi... untuk melupakan kebiasaan saling perhatian dan menyayangi, kakak butuh waktu" ucap Devan yang membuatku mendorong tubuhnya agar menjauh, bahkan aku langsung bergegas pergi ke lantai bawah karena tak ingin tubuhku di tarik lalu di kunci lagi oleh tangan kekarnya.
Apa ini, waktu lagi? Sudah sebanyak itu waktu yang kuberikan, masih saja belum cukup di mata Devan.
"Ta, lo katanya sakit yah? Sakit apa? Udah ke dokter" ucap Davin yang menghampiriku dengan nafas yang tersenggal-senggal, sembari memeriksa keadaanku.
Aku menarik dia menuju ke dapur untuk memberinya minum "kamu ngapain sampai ngos-ngosan gini?"
"Gu...gue...hah...tadi pulang naik angkot...hah... te...terus mogok di tengah jalan. Hah..Cuma karena gue takut-"
Aku menghentikan ucapan Davin dengan menyodorkan segelas air putih dingin ke hadapannya.
Gulp gulp gulp
Dia meminum air itu hingga tandas, lalu mengelap keringatnya dengan menggunakan kemeja putih yang sedang dipakainya.
"Tadi gue dapet kabar kalau lo tiba-tiba pingsan di lapangan. Jadi gue khawatir banget dan langsung bolos dari kampus C tadi" ucapan Davin kini sudah mulai tertata, karena nafasnya mulai teratur.
"Ya ampun segitunya banget, jadi tambah sayang deh. Coba aja kamu yang mama jodohin ke saya, udah pasti saya bahagia banget deh sekarang" ucapku, bermaksud memberi sedikit apresiasi untuk Davin. Harapan itu tidak bohong, hanya saja tokoh yang kucantumkan dalam harapan itu masih Devan, bukan Davin.
"Ngapain sok perhatian ke istri orang?" Suara bariton itu lagi yang menggema ke seluruh ruangan.
Davin mengabaikan ucapan kakaknya yang tengah berusaha menghampiri kami. Dengan sengaja Davin menarik tanganku, bermaksud mengajakku ke suatu tempat, sekaligus menghindari Devan.
Ini bukan ingin mengajakku ke kamarnya lagi kan?
"Lo mau bawa istri gue kemana?"
Davin menoleh ke arah Devan yang masih mengikuti kami dari belakang.
"Jangan bilang lo mau minta mami untuk menceraikan gue sama Tata terus nikahin lo sama Tata"
Pemikiran apa itu?
"Kalo bisa kenapa ngga di coba" ucap Davin yang membuat aku dan Devan terkejut bukan main.
"Vin kamu serius?" Tanyaku memastikan.
Davin menatapku "Kalau dengan begitu lo bisa terbebas dari rasa sakit dan bisa bahagia, kenapa ngga? Gue rela kok terima jandanya lo, lagipula belum di buka segel juga kan sama Devan"
Aku dan Devan hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Davin, kami berdua tidak tahu apakah saat ini Davin tengah serius atau hanya bergurau, karena otak Davin kan terkadang sedikit geser.
Bruk!
"Mami!!" ucap kami bertiga terkejut.
Mami menatap kami satu persatu "kalian ini ngapain berdiri di depan pintu kamar mami?"
Davin melirik kearah Devan sembari menyunggingkan senyumnya "Mi Davin mau ngomong ke mami soal..."
Aku dan Devan menatap Davin dengan tatapan memohon agar Davin tidak melakukan hal konyol itu.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain