"Foto kak Luna kok ngga ada yah?" Gumamku.
Mendengar gumaman dariku, Melli langsung merebut ponsel yang ada di tanganku dan meletakannya di dalam tasnya "Kamu itu masih aja kepoin sosmed nya kak Devan, ini tuh hari-hari terakhir kita bareng tahu! Nanti setelah ospek Universitas ini selesai kan kita pisah" gerutu Melli.
Ya, memang kami akhirnya terpisahkan karena jurusan yang kami ambil berbeda, dengan aku dan Eca yang memilih fakultas ekonomi bisnis di kampus A Untirta, sedangkan Melli dan Ara memilih fakultas ilmu pendidikan di kampus B Untirta yang jaraknya lumayan jauh dari kampus A.
Acara ospek di kampus Untirta di bagi menjadi 3, dan seluruh mahasiswa baru atau biasa di singkat MABA, bebas ingin memilih acara mana yang hendak di ikuti. Yang pertama ada KPK Untirta (Kegiatan Pengenalan Kampus Untirta) yang di laksanakan selama 3 hari berturut-turut, kemudian ada ospek fakultas yang di laksanakan selama 2 sampai 3 hari di lingkungan kampus, dan terakhir ada ospek jurusan atau makrab.
Aku dan ketiga sahabatku memilih untuk mengikuti ketiga kegiatan itu dengan maksud agar dapat bertemu lebih lama. Namun sayangnya kami hanya dapat berkumpul saat acara KPK, karena saat itu semua fakultas di gabung menjadi satu kelompok. Sedangkan pada acara ospek fakultas, kelompok kami hanyalah mahasiswa yang satu fakultas dengan kami di kampus masing-masing. Dan saat ospek jurusan atau malam keakraban, kegiatannya di laksanakan di luar kampus bersama mahasiswa yang satu jurusan. Jadi, sudah pasti kami tidak akan di persatukan lagi setelah acara KPK.
"Kami informasikan kepada para mahasiswi dan mahasiswa baru yang masih berkeliaran, agar segera merapat ke tengah lapangan dan membuat barisan sesuai kelompok masing-masing dalam waktu 1 menit"
Pemberitahuan yang baru saja di umumkan oleh seorang anggota BEM pun membuat kami dan juga MABA lainnya ricuh dan saling berselisipan, demi melaksanakan apa yang telah di perintahkan dengan tepat waktu. Ini bukan termasuk perkeloncoan, sama sekali tidak, ini hanya semangat yang di tunjukan oleh kami generasi muda. Bahkan saking amannya, di acara ini sama sekali tidak mengharuskan kami memakai pakaian aneh ataupun tas dari plastik yang dapat menguji mental kami. Kami hanya di titahkan untuk memakai pakaian hitam putih dan membuat papan nama sebagai tanda pengenal kami. Tugas kelompok pun tidak berat, hanya membuat papan nama kelompok kami dari sterofoam.
"Selamat pagi semuanya, semoga kalian sehat dan bahagia yah. Perkenalkan, nama saya Luna Damayanti. Kalian bisa panggil saya Luna atau apapun sesuka kalian, dan hari ini saya yang akan menjadi pembawa acara sekaligus pengarah kegiatan kalian" ucap salah satu anggota BEM yang sudah berdiri di atas podium.
"Luna lagi" gumamku.
Aku memperhatikan Luna dengan fokus, namun dengan fikiranku yang terus memaki dia, sehingga aku bahkan tidak mengetahui apa yang di katakan olehnya setelah itu. Kuakui visual Luna memang begitu menghipnotis dan membuat kita enggan menoleh ke arah lain. Senyumannya juga cukup memikat, terlihat polos namun sexy di saat yang bersamaan.
"Wajar aja sih Devan sampai tergila-gila" ucapku tanpa sadar.
Eca menyenggol lenganku dan membuatku tersadar dari pemikiran serta pesona yang Luna pancarkan.
"Apa sih Ca?" Protesku sembari menoleh ke belakang.
Eca menunjuk ke arah podium, mengisyaratkanku untuk menoleh ke arah depan. Aku menurutinya, membenarkan posisiku agar dapat fokus ke podium. Saat pandanganku terfokus ke podium, di sana aku melihat Devan yang tengah berdiri dengan setelan jeans denim yang di padukan kaos hitam polos dan di balut oleh almamater maroonnya.
"Kyaaaaaa!!! Ganteng banget" teriak para mahasiswi baru yang menjadi backsound pengiring dari setiap kata yang di keluarkan oleh Devan.
Devan berdehem yang membuat semua terdiam namun juga menunjukan tatapan memuja akan suara bariton yang terdengar sangat menggoda itu.
"Cukup dengan formalitasnya, karena ini sudah cukup terik. Saya Devan Azzura Pratama, presiden kampus tahun ini sekaligus alumni ketua BEM di sini..."
Prok...prok...prok
Seluruh mahasiswi baru bertepuk tangan dengan gaduh sembari besorak sorai, yang membuat Devan menghentikan ucapannya dan menatap mereka dengan tatapan tajamnya. Hal itu tentu saja membuat mereka langsung terdiam dan menunduk takut.
Devan berdehem lagi, tapi kali ini tanpa sambutan teriakan manja. Semua terdiam dan para dosen yang hadir pun hanya bisa menahan tawanya setelah melihat situasi saat ini.
"Saya tidak akan mengikuti pidato panjang lebar yang sudah di siapkan oleh tim BEM. Tapi saya akan mengucapkan intinya saja, karena sukses bukan berarti harus banyak bicara. Seperti yang kita ketahui bahwa ada presepsi yang mengatakan banyak bicara membuat kita terlihat pintar. Saya akui itu benar, tapi itu bukan berarti kita benar-benar pintar kan?. Pintar saja juga tidak cukup, kalian harus jenius agar dapat menciptakan atau menemukan suatu hal yang baru. Just try to think out of the box dan selalu ingat untuk bicara secukupnya dan bertindak lebih banyak..."
Devan menghentikan ucapannya lagi saat salah satu dosen menginterupsi guna membisikan sesuatu ke telinga Devan.
Dan setelah diskusi singkat dengan dosen itu berakhir, Devan kembali menatap lurus ke arah para MABA yang berada di depannya "Kalau saya boleh menyombongkan diri, saya lulus satu tahun lebih awal. Karena apa? Karena saya jenius. Saya memperhatikan setiap materi, namun tidak menelannya bulat-bulat. Saya mencerna materi itu lalu mengolahnya menjadi pengertian yang lebih singkat dan mudah di pahami. Intinya saya tidak terpaku pada metode menghafal, tapi saya menggunakan metode memahami. Saat kalian hafal namun tidak memahami, kalian tidak lebih dari sekedar buku berjalan yang suatu waktu akan kehilangan hafalannya... Dengan kejeniusan, saya bahkan dapat menolak beasiswa Pascasarjana dari kampus terbaik dunia seperti Stanford University, University of Cambridge, dan University of Oxford"
"Kenapa di tolak ka?" Sahut salah satu mahasiswi baru.
Pertanyaan itu membuat Devan terdiam sejenak. Matanya sibuk berkeliling memperhatikan satu persatu para mahasiswi baru, seperti tengah mencari seseorang.
Deg!
Jantungku seperti berhenti berdetak saat netra Devan menatap lurus kearahku. Getaran aneh menjalar ke seluruh tubuhku, yang membuatku membatu dan terpaku pada tatapan itu.
"Karena saya mempunyai tanggung jawab yang harus saya bimbing di sini, jadi saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana saya di kampus ini" sambung Devan sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Ku lihat di sisi kiri Devan terdapat anggota BEM yang tengah berteriak ricuh, sembari mendorong Luna agar mendekat ke tubuh Devan. Luna terlihat tersipu malu, namun tidak menolak untuk mendekat ke Devan. Hal ini tentu saja membuatku merasa cemburu dan mulai meragukan siapa yang Devan ingin bimbing di sini.
"Devan Azzura Pratama udah sold out manteman" teriak salah satu laki-laki dari anggota BEM yang sepertinya tidak asing bagiku.
"Kenzo" gumamku sembari memutar mataku malas.
Devan melanjutkan sambutannya dan menyambungnya dengan sesi tanya jawab. Ini sudah hampir 1 jam dia berdiri di podium itu, tapi tidak ada tanda-tanda Devan akan menghentikan kata-katanya.
Matahari sudah semakin meninggi, tubuhku mulai terasa dingin karena keringat yang di terpa angin yang sesekali menyapa. Kali ini bukan hanya perasaanku, tapi Devan benar-benar memperhatikanku dari atas podium dengan raut khawatir, sampai ia lupa tentang apa yang sedang dia katakan tadi.
"Saya sudahi di sini saja, terimakasih" ucap Devan yang masih memeperhatikanku.
Saat Devan hendak turun dari podium, hal itu bersamaan dengan rasa pening yang mulai menggerayangi kepalaku. Tubuhku melemas dan pandanganku perlahan memburam.
"Tata!!" Suara teriakan Devan mengiringi akhir dari kesadaranku. Benar kan, kali itu Devan memang memperhatikanku. Syukurlah kali ini aku tidak merasa kecewa.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain