•REWIND•
©Elsy Jessy
Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Reaksiku cukup keget. Kenapa dia ada di sini? Apakah kami memang berjodoh? Atau dia memang mengikutiku? Hei Anindita, jangan berkhayal. Dia pasti tak sengaja melihatmu dan menyapa sekadar basa basi. Jadi jangan besar kepala.
"Cil, udah lama nunggu?" kata Krucul alias Ryan dengan senyum manis alanya.
Aku mengerutkan pelipis bingung. Apa maksudnya menunggu? Iya memang aku sedang menunggu tapi bukan dia yang kutunggu.
"Lo nunggu Riska sama Melda, kan?" ujarnya lagi.
"Iya. Kok lo bisa tahu?"
Bibirnya melengkung menampakan lesung di pipi. "Iya, tadi gue dikabarin Riska. Katanya lo sendirian, karena mereka nggak bisa dateng."
Sial. Ternyata Riska dan Melda sudah merencanakannya. Apa maksudnya membuat pertemuan dengan Ryan? Apa mereka berusaha menjodoh-jodohkan aku dengannya?
"Tapi gue barusan mau balik."
"Eh, tunggu dulu. Anterin gue cari hadiah, yuk," ajak sambil menarik tanganku.
Ah, rupanya kebiasaan asal menarik tanganku masih saja dipelihara. Aku hanya diam dan menuruti apa yang dia mau. Dan tiba kami di depan toko buku yang ada di Mall itu.
"Mau ngapain?" tanyaku sambil terus mengekorinya.
"Cari bukulah. Kesini mau ngapain lagi?" jawabnya sambil terkekeh.
Aku memutar bola mata. Tentu saja aku tahu itu.
Dia menggiringku ke rak buku fiksi. Tumben sekali dia suka baca novel. Padahal setahuku dia tak berminat sama sekali dengan hal-hal seperti ini.
"Cil, Tolong pilihin satu yang bagus, dong." Matanya tetap fokus melihat-lihat isi rak itu.
"Oh. Lo mau ngasih hadiah novel?"
Ryan mengangguk sambil membaca blurb di belakang salah satu buku yang dipegangnya.
"Cewek atau cowok?" cicitku.
"Cewek. Buat Melda."
Aku terkejut. Hatiku sedikit tercubit. Apa Ryan suka dengan Melda?
Sepertinya dia tahu kata hatiku. Buru-buru dia memperbaiki kalimatnya. "Buat Melda soalnya dia udah mau bantu gue." Sambil sesekali melirik ke arahku.
Aku hanya mengangguk pelan. Rasa ingin tahuku mendadak timbul. "Bantu apa?"
"Ketemuan sama cewek yang gue suka." Dia kemudian agak menjauh mengambil buku di ujung rak.
Hatiku mendadak panas. Apa saat ini Melda menjadi mak comblang antara Ryan dengan Riska? Sepertinya aku harus benar-benar melupakan perasaanku pada Ryan. Karena semuanya sudah berakhir. Ryan sudah memilih Riska.
"Gimana kalo yang ini?" Ryan mengambil novel best seller dengan tema teenlit yang sudah diadaptasi menjadi film.
Aku pura-pura baik-baik saja. Kupasang senyum semanis mungkin untuk menutupi suasana hati yang kacau. "Melda kurang suka genre itu. Dia suka genre misteri atau triller."
Aku mengambil salah satu novel triller yang kebetulan ada di depanku. "Ini penulis favoritnya dan Melda kayaknya juga belum punya."
"Oke. Ambil yang ini aja. Thanks." Kami menuju kasir.
Setelah dari toko buku, kini Ryan mengajakku ke toko aksesoris. Apa kali ini dia ingin membeli hadiah untuk gadis pujaannya?
Aku mengikutinya masuk. "Cil, tolong pilihin, dong. Gue bingung, nih."
"Buat Riska, ya?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibirku.
"Iya. Tolongin gue, ya. Soalnya gue nggak tahu seleranya kayak gimana."
Aku mencoba ikhlas dan berusaha menetralisir rasa sedihku. Bagaimanapun Riska adalah sahabatku. Dan dialah yang sudah dipilih Ryan. Jadi aku tak boleh merasa iri atau kecewa. Lagi pula aku tak berhak mengatur semuanya. Yang harus aku lakukan sekarang hanya mendukung dan mendoakan mereka agar selalu bahagia.
Aku memilih jepit rambut baby pink warna kesukaan Riska dengan aksen blink-blink di setiap pangkahnya. Cantik. Sesuai dengan Riska yang faminin. "Ini bagus."
"Oke. Ambil yang ini aja. Lo mau juga?"
Aku menggeleng. "Nggak ah. Gue nggak biasa pake jepit rambut begituan."
Kemudian Ryan menyodorkan ikat rambut bebek warna kuning padaku. "Ini gimana? Warna kesukaan lo, tuh. Lucu, kan? Kayak lo yang sukanya manyun terus."
Dari mana dia tahu kuning adalah favoritku? Ah, sepertinya dulu aku pernah mengatakan itu padanya. Ternyata dia masih ingat.
Setelah keluar dari toko aksesoris, kami berhenti di toko kaset. Aku menurutinya masuk. Dia memilihkan lagu sample untuk didengarkan.
"Ini bagus, nggak?" Ryan menyodorkan headphone padaku.
Aku mendengarkan lagu itu. Seleranya tentang musik memang tak perlu diragukan lagi. Lagu yang mengalun begitu indah dan easy listening. Aku menikmatinya.
Aku mengacungkan ibu jari. "Bagus."
Dia tersenyum lagi. Sepertinya hari ini Ryan sering tersenyum. Moodnya pasti sedang bagus. Lihat saja, bibirnya tak berhenti menyungging. Ah, manisnya. Lama-lama aku bisa tertarik dan jatuh lagi dalam pesonanya. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Ryan sudah memilih Riska. Itu yang harus kuingat.
_____________Bersambung____________