•REWIND•
©Elsy Jessy
Keesokan harinya Dina seperti memberi jarak denganku. Seolah ada dinding besar yang hadir ditengah-temgah kami. Dia tak menyapaku seperti biasa. Bahkan dia hanya berbicara seperlunya padaku. Dia menganggapku orang asing. Padahal kami ini saudara kembar yang sedari di kandungan selalu bersama.
Aku tahu dia marah. Tapi kalau dipikirkan lagi, ini juga bukan salahku. Karena aku tak melakukan apapun untuk mendapatkan perhatian Arya. Laki-laki itu yang akhir-akhir ini sering menemui dan menghubungiku. Walaupun aku sering menolaknya karena lagi-lagi ingin menjaga perasaan Dina.
Aku melihat Dina tak seceria biasa. Dia bahkan sering kali ketahuan tak fokus saat di sekolah. Walaupun aku tak sekelas dengannya, tapi aku tahu dari teman-temannya yang tiba-tiba bertanya padaku tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya. Aku bingung harus menjawab apa pada mereka. Paling-paling aku hanya melempar senyum dan pura-pura fak tahu. Padahal aku tahu benar sebabnya.
Di kantin, seperti biasa aku bersama Melda dan Riska duduk di meja paling kanan. Dan kembali aku melihat Ryan dan genk rusuhnya sedang menggelar konser berisik di kantin. Herannya banyak juga anak-anak yang tak merasa terganggu bahkan suka dengan sajian musik asal-asalan dari mereka. Cukup menghibur katanya. Iya aku akui itu.
Bakso pesanan kami datang, aku segera menyantapnya. Di sela itu, Riska berkomentar. "Kalo mereka udah lulus ntar kantin sepi, ya." Sambil menatap lurus ke gerombolan orkes berantakan itu.
"Ntar juga ada penerusnya," celoteh Melda asal.
Kemudian aku tak menyimak lagi apa saja obrolan mereka. Karena lapar dan rasa ingin menghabiskan semangkuk baksoku dengan cepat.
Tiba-tiba Melda menyenggol lenganku. "Sebelum nyesel, mendingan lo pastiin perasaan lo dulu, deh."
Aku mencerna apa yang dikatakan Melda. Dia memang sudah tahu tentang permasalahanku dan Dina. Aku sudah menceritakan semuanya kemarin. Aku juga menceritakan hal ini pada Riska.
Aku menengok Melda. Dia menunjuk ke arah Ryan —yang sedari tadi rupanya sedang menatapku— dengan dagunya. Aku melirik sekilas pada Ryan. Mata kami beradu. Aku buru-buru memasukan bakso ke dalam mulut. Rasanya seperti tertangkap basah setelah melakukan kejahatan.
Melda dan Riska malah menertawakanku. Apakah aku selucu itu? Hei, jangan salahkan aku jika aku jadi salah tingkah. Ryan menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan. Aku jadi kikuk dibuatnya.
Lagi-lagi Melda seolah memberi kode pada Riska. Ada apa mereka sebenarnya? Jangan-jangan ada yang mereka sembunyikan dariku?
Riska memulai pembicaraan. "Ta, Minggu ini lo ada acara nggak?"
"Nggak. Emang kenapa?"
Riska sesekali menatap Melda. "Gue sama Melda mau ngajakin lo nongkrong. Mau nggak?" tawarnya.
"Mau, ya. Dari pada lo di rumah doang," ajak Melda.
Akhirnya aku mengiyakan ajakan mereka. Kupikir sudah cukup lama juga kami tak pergi bersama. Tapi sepertinya perasaanku tak enak. Ah, aku tak boleh berperasangka buruk pada sahabatku sendiri. Aku tak perlu takut. Mereka tak mungkin mencelakaiku bukan?
***
Minggu siang aku sudah berada di Mall tempat favorit kami. Tapi mereka belum terlihat batang hidungnya. Padahal sudah lewat sepuluh menit dari jam janjian kami. Aku berusaha berpikir positif, mungkin mereka terjebak macet. Tapi ini bukan jam macet dan hari libur pula.
Lama-lama aku jenuh juga setelah menghabiskan hampir dua gelas jus jeruk. Aku mengambil ponsel di dalam tas hendak menghubungi mereka. Pertama yang kutelepon adalah Melda. Dia tak jadi ikut, alasannya sakit diare. Mungkin salah makan karena memang belakangan ini sering mengonsumsi jajan pinggir jalan depan toko buku langganannya.
Kemudian aku memanggil Riska. Sudah beberapa kali tak diangkat juga. Ah, mungkin dia sedang di jalan. Baiklah, sebaiknya aku menunggu saja. Mungkin sebentar lagi dia datang. Aku kembali menikmati jus yang tinggal separuh. Beberapa menit setelahnya, ponselku berdering. Itu panggilan dari Riska. Aku segera menekan tombol hijau. Tampaknya aku harus pulang saja. Katanya tak bisa datang juga karena harus mengantar bunda check up. Bunda memang sakit, jadi beberapa kali dalam sebulan harus periksa ke rumah sakit.
Awalnya aku tak curiga. Mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi apa? Apa mereka benar-benar sedang mengerjaiku? Aku segera menghempaskan pikiran itu jauh-jauh. Tak mungkin mereka melakukannya. Lagi pula buat apa mereka begitu? Daripada berpikir aneh, langsung kuhabiskan makanan dan minuman yang terlanjur kupesan lalu melenggang santai dari tempat itu. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Dan aku berbalik badan dan reaksiku cukup kaget. Kenapa dia bisa ada di sini? Apa memang kami berjodoh?
_____________Bersambung____________