•REWIND•
©Elsy Jessy
Sepulang bersama Ryan, buru-buru masuk kamar. Ingin mandi dan tidur. Badanku letih seharian berkeliling dengan Ryan. Karena dari Mall kami tak langsung pulang. Kami mencari toko kue enak yang direkomendasikan temannya. Katanya, selain enak harganya pun murah. Kami memutari kawasan yang disebutkan temannya itu beberapa kali tapi tak menemukan toko kue yang dimaksud. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli kue di toko kue biasa dekat situ. Toko brownies ternama yang katanya enak.
Ryan membeli oleh-oleh untuk mami. Dia bilang itu sebagai permintaan maaf karena terlalu lama mengajakku keluar. Padahal kalau dipikir-pikir itu bukan kesalahannya. Aku yang memang janjian hangout dengan Melda dan Riska malah berujung pergi dengan Ryan.
Mami menyambut dengan ramah, apalagi melihat buah tangan yang dibawa olehnya. Sedangkan Dina yang sedang menonton televisi hanya melirik tak acuh padaku ketika aku lewat menuju kamar.
Setelah mandi dan berganti pakaian, aku mengambil ikat rambut bebek di dalam tas. Melihatnya dengan seksama dan membandingankan wajahku dengan benda itu di cermin. Apa benar wajahku mirip bebek seperti katanya? Tanpa sadar aku tertawa. Aku jadi ingat awal pertemuan tak sengaja di ruang ganti perempuan dengan Ryan. Bahkan saat itu aku tak tahu namanya. Lalu dia menraktir sebagai gantinya. Dan berkat ikat rambutku yang ditemukannya, kami jadi dekat.
Memikirkan dia sudah memilih Riska rasanya agak sedikit kecewa. Tapi ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Aku harus merelakannya. Asal dia bahagia akupun ikut senang melihatnya.
Kemudian aku memakai ikat rambut pilihannya itu. Lucu. Aku suka. Aku mulai mengeluarkan compact disk yang dibelinya untukku tadi. Ternyata dia memilihnya untukku. List lagu yang ada di situ pun sepertinya sesuai seleraku. Beruntunglah Riska yang jadi pacarnya. Dia pasti sering merekomendasikan lagu-lagu bagus.
Ah, kenyataan bahwa dia pacar Riska memang sedikit pahit untukku. Tapi mau bagaimana lagi. Itu kenyataannya. Setidaknya kami masih bisa berteman. Sepertinya jalur pertemanan memang cocok untuk kami.
Tiba-tiba terdengar pintu kamarku diketuk. "Masuk aja. Nggak dikunci," teriakku.
Dina masuk. Tumben dia mengetuk pintu terlebih dahulu sebelumnya. Biasanya nyelonong saja.
"Ta," panggilnya sambil mendekat ke arahku.
Aku membetulkan dudukku. "Kenapa, Na?"
Dia menghembuskan nafasnya. "Gue mau minta maaf," cicitnya.
"Lo nggak salah, kok. Gue yang salah. Harusnya gue yang minta maaf ke lo. Sorry ya, Na."
Dia tersenyum tulus. "Gue ikhlas kalo lo mau sama Arya."
"Emang lo yang pantes buat dia, Ta," tambahnya lagi.
Aku bingung harus menanggapi apa. Karena aku sendiri pun tak tahu bagaimana perasaanku sebenarnya. Aku memang nyaman dengan Arya, tapi aku juga tak bisa menghilangkan perasaanku pada Ryan begitu saja. Walaupun aku juga berusaha untuk melupakannya demi persahabatanku dengan Riska.
Aku malah berniat tak akan memilih salah satunya. Biarlah aku sendiri. Pasti suatu saat Tuhan akan mengirimkan seseorang yang baik dan menerima apa adanya khusus untukku. Aku belakangan ini di setiap doa selalu meminta agar dicintai dan mencintai seseorang tanpa merusak kebahagiaan orang lain. Menjadi peran utama pada ceritaku sendiri. Bukan sebagai orang jahat yang merenggut cinta si pemeran utama.
"Pokoknya gue minta maaf ke lo. Gue udah ngomong kasar dan nuduh lo yang nggak-nggak." Kemudian Dina memelukku.
"Setelah gue inget-inget emang gue yang salah. Harusnya dari awal gue nggak minta lo buat gantiin gue waktu itu. Kalo emang nggak bisa, semestinya gue bilang aja dan ngajuin hari lain buat kopi darat."
"Gue harusnya makasih ke lo karena lo udah bantu gue. Harusnya gue nggak egois," imbuhnya.
Aku tak tahu lagi harus merespon bagaimana. Mataku berair entah kenapa. Mungkin ini yang disebut bertengkar ala saudara. Semarah-marahnya padanya aku akhirnya luluh juga.
"Lo mau nggak gue comblangin sama mantan gue itu?" katanya diakhir acara berpelukan kami.
Aku sebenarnya tak berminat dengan permainan jodoh-jodohan itu. Tapi aku tak enak hati sekaligus takut menyakiti perasaan Dina lagi jika menolak. Akhirnya aku setuju saja.
Kemudian Dina keluar kamarku dengan ceria. Padahal aku tahu itu upaya pengelabuhan seperti yang kulakukan. Hatinya pasti berkeping-keping. Apalagi Arya adalah orang yang menolongnya keluar dari jeratan Rey. Artinya Arya sangat berarti untuk Dina. Dia bahkan mencegah air matanya yang sudah menganak di pelupuk. Dan memilih untuk segera pergi agar tak terlihat.
Aku semakin bingung dengan perasaanku. Sebenarnya cintaku untu siapa? Untuk Ryan, Arya atau malah tak juga keduanya? Entahlah. Sebaiknya aku tidur saja. Mengistirahatkan badan dan pikiran agar besok bisa menghadapi kenyaatan.
_____________Bersambung____________