•REWIND•
©Elsy Jessy
"Ta, lo udah lama sama Ryan?"
"Ma-maksud lo?"
Pertanyaan macam apa itu. Aku tak ada hubungan apa-apa dengan Ryan. Kenapa semua orang menganggapku sedang menjalin cinta dengannya.
"Lo ceweknya Ryan, kan?"
"Bukan."
"Oh, sorry. Dia jarang bawa cewek, sih. Jadi gue kira lo ceweknya." Nia menjeda. "Tampangnya emang kesannya bad boy tapi hatinya baik, kok. Bahkan belum pernah pacaran kayaknya dia. Banyak yang nge-fans, tapi dia cuek aja. Gue kira dia homo." Nia tertawa renyah. "Eh, pas dia bawa lo, gue langsung tahu kalo lo spesial," jelas perempuan tomboy itu.
Aku masih tak percaya. Iya memang benar Ryan baik dan perhatian padaku. Tapi dia tak pernah benar-benar menyatakannya. Jadi aku ragu dan takut itu cuma perasaanku saja. Karena Ryan orang sangat baik pada semua orang.
Nia menyeringai. "Kenapa? Lo masih ragu sama Ryan?"
"Bu—bukan gitu, tapi kayaknya lo salah paham. Ryan nggak punya perasaan apa-apa sama gue."
Untung saja metromini yang akan kutumpangi sudah datang. "Sorry, gue duluan, ya." Lalu aku segera meninggalkan Nia yang masih duduk di halte.
Hari ini aku dibuat bingung. Entah apa yang aku rasakan sekarang. Campur aduk.
Tiba di rumah sebenarnya aku ingin mandi lalu tidur. Kepalaku butuh istirahat. Namun, kenyataannya tak seperti itu. Dina sudah menungguku di teras rumah. Padahal aku sudah tak ingin berdebat lagi.
"Lo tadi dijemput Arya, kan?" ujarnya sinis.
Aku saat ini sedang tak ingin meladeninya, buru-buru melenggang ke kamar dan menutup serta mengunci rapat pintu. Di luar kudengar suara Dina memanggil dan mengetuk dengan keras. Aku tutup telingaku menggunakan bantal berusaha menulikan pendengaran.
***
Aku membuka kenop pintu lalu menuju dapur karena kelaparan di tengah malam. Setelah mengambil roti di meja dapur dan segelas air, aku kembali ke kamar. Tapi sebelum aku masuk kamar, sudah dihadang oleh Dina. Dia bahkan mengaku tak tidur demi menungguku keluar kamar.
"Kanapa lagi sih, Na?" ujarku malas.
"Lo kenapa ngehindari gue?" tanyanya.
Aku tetap berjalan menuju kamar diekori olehnya. "Lo mau gue jawab gimana, Na? Lo pasti udah tahu kan kalo gue tadi dijemput Arya?" Aku menaruh gelas di meja kemudian membuka bungkus roti lalu memakannya.
"Jadi bener lo tadi pulang sekolah sama Arya?" Dina memastikan lagi.
Aku mengangguk sembari mengunyah. "Bener, Na."
"Terus dia bilang apa? Dia tanya-tanya tentang gue, kan?" Dina mendadak antusias.
Ya Tuhan, aku bingung harus berkata apa. Sebaiknya aku jujur saja. Daripada berlarut-larut dan terjadi kesalahpahaman lagi. Tapi aku takut menyakiti perasaan Dina. Karena aku tahu dia masih mengharapkan laki-laki itu.
Bagaimana perasaanku pada Arya? Aku pun tak tahu apa yang sebenarnya kuasakan. Abu-abu. Aku akui rasa nyaman bersama Arya memang ada. Namun, aku tak ingin jadi tokoh antagonis di dalam drama percintaan Dina. Merebut apa yang menjadi kebahagiaannya.
Akhirnya kuputuskan untuk menjawab seadanya. "Na, dia kecewa dan ngerasa lo sama gue udah mainin perasaannya dia."
"Iya, gue tahu. Tapi kan lo tahu kalo gue nggak ada maksud buat itu."
Aku menarik nafas. "Dia bilang kalo langsung nyaman sama salah satu dari kita yang pertama kali ditemuinnya."
"Iya. Dia juga pernah bilang gi—Oh, my God. Ja—jangan bilang maksudnya itu lo." Dina menutup mulut menggunakan telapak tangannya. Matanya mendadak berair dan kepalanya menggeleng. "Nggak. Nggak mungkin."
"Dia kan waktu itu mau ketemuan sama gue. Jadi gue dong maksudnya. Ya, kan?" Dina mencari pembenaran.
"Na, dari awal emang seharusnya lo yang ketemuan. Jadi nggak ribet kayak gini." Aku berusaha menenangkan Dina yang sudah menangis. Lagi-lagi aku jadi pengganggu. Aku benci ada ditengah kisah orang lain.
Dina mendongak lalu menatapku. "Te—terus Arya mau deketin lo?"
Aku hanya diam tak mengeluarkan sepatah katapun. Walaupun begitu, aku yakin dia sudah tahu jawabannya. Dia langsung bangkit dan berlari keluar kamarku. Kemudian terdengar suara bantingan pintu dengan keras.
Rasa bersalah kembali merasuk dalam hatiku. Aku tak tega melihat kembaranku bersedih. Sorot matanya tadi menggambarkan rasa kecewa dan sedih dalam satu bingkai. Karena aku tahu, dia sangat mencintai Arya. Si penolong yang melepaskannya dari jerat Rey. Aku juga tahu benar apa yang Dina rasakan. Karena Dina memang tak pandai menyembunyikan sesuatu dariku.
***
Keesokan harinya Dina seperti memberi jarak denganku. Dia tak menyapaku seperti biasa. Bahkan dia hanya berbicara seperlunya padaku. Aku tahu dia marah. Tapi kalau dipikirkan lagi, ini juga bukan salahku. Karena aku tak melakukan apapun untuk mendapatkan perhatian Arya.
_____________Bersambung____________