•REWIND•
©Elsy Jessy
Ta, kalo ada waktu siang ini pulang sekolah ketemuan di kafe NEEDU, yuk. Gue mau ngomong sesuatu sama lo. Tapi jangan kasih tahu Dina, ya.
Itu pesan yang kuterima dari Arya siang ini. Aku bingung harus membalas apa. Apa hubungan mereka sedang merenggang hingga aku sebagai saudara Dina satu-satunya ikut dilibatkan. Banyak pikiran-pikiran negatif yang hinggap di kepalaku. Daripada terus menerka-nerka sebaiknya aku temui saja dia.
Aku membalas singkat, "Oke."
Dan di sini aku sekarang. Di meja sudut kafe NEEDU. Tampaknya Arya belum datang sebaiknya aku memesan saja dulu. Saat aku sedang memilih menu, Arya datang dan duduk di hadapanku.
"Udah lama?"
"Nggak kok, barusan. Gimana? Ada yang bisa gue bantu?" Aku menatapnya penuh selidik.
Dia tergelak. "Kayaknya kita pesen dulu aja, deh."
Karena aku suka cokelat, jadi aku memilih milk shake cokelat dan brownies seperti kebiasaanku jika ke kafe ini. Sedangkan Arya memesan late saja.
"Jadi lo mau ngomong apa, Ar," tanyaku ingin tahu.
"Gue cuma pengen tahu tentang Dina. Boleh dong gue tanya-tanya."
"Bolehlah. Mau tanya apaan emang? Lo mau ngasih hadiah ke Dina, ya," tebakku.
Arya hanya tersenyum simpul. "Tapi lo nggak ngasih tahu ke Dina, kan. Kalo gue mau tanya-tanya begini ke lo."
"Iya, tenang aja. Gue bakalan tutup mulut."
Setelah pesanan datang, seperti biasa pramusaji memberikan kami sticky note warna warni untuk titip salam.
"Eh, bentar gue mau titip salam dulu," ujarnya mengambil pulpen dan sticky note warna kuning.
Dia mulai menulis, tapi aku sedikit heran. Yang kutahu Arya kidal tapi kenapa dia menulis dengan tangan kanan. Aku sontak berkomentar, "Ternyata lo bisa nulis pake tangan kanan juga, ya."
Arya lagi-lagi hanya tersenyum sambil terus menuliskan kata-kata di kertas itu.
"Pesannya, jangan tanya kapan Luffi jadi raja bajak laut, ya." Aku tertawa karena tebakanku benar. Kalimat itulah yang dituliskan Arya.
Sepersekian detik aku meruntuki kebodohanku. Kenapa aku berkata demikian. Semoga saja Arya tak menyadarinya. Arya tahu aku Dita kembaran Dina yang baru ditemuinya beberapa kali. Perkenalan kami pun hanya sekedar saling sapa. Tapi kenapa aku seolah-olah lebih mengenalnya. Ah, dasar bodoh.
Dia memandangku. "Gue ambideksteritas."
"Ambi—apa tadi?"
"Ambideksteritas. Bisa nulis pake tangan kanan ataupun kiri."
Aku hanya mengangguk pelan.
"Lo kan yang gue temuin pas pertama kali."
Aku sontak menatapnya. Bagaimana dia bisa tahu. Ini pasti karena tadi aku bicara yang tidak seperlunya. Aduh, bagaimana ini. Dina pasti marah besar.
"Iya, kan?" Arya memastikan lagi.
Aku sudah tersudut dan tak bisa berbohong lagi. Akhirnya aku mengaku. "I—iya. Sorry, ya."
Aku mendengar Arya menghembuskan nafas kasar. "Jadi selama ini gue dipermainkan sama kalian berdua?"
"Ng—nggak. Bukan gitu, Ar." Aku mencoba menjelaskan tapi Arya memalingkan wajahnya seperti tak mau dengar.
"Gue dipaksa Dina buat ketemuan sama lo."
Arya melemparkan tatapan remeh padaku. "Terus lo mau?"
"I—iya gimana lagi. Dina maksa. Lagian gue nggak mau Dina kena pukul Rey lagi gegara ketemu lo," cicitku.
"Oh, jadi gue cadangan?"
"Ng—nggak. Bukan gitu, Ar. Dina emang udah suka dan nyaman sama lo tapi dia nggak bisa lepas dari Rey."
"Tapi Dina bohong ke gue. Katanya dia udah lama putus dari Rey ternyata pas gue PDKT dia belum putus, ya." Arya tertawa miris.
"Lo harus denger penjelasannya Dina dulu. Dia tuh susah lepas dari Rey yang tukang pukul itu. Rey lepasin Dina karena dilaporin ayah ke polisi. Lo harus ngertiin, Ar."
Aku masih berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi selama ini pada Arya. Itu bukan sepenuhnya salah Dina. Dina memang salah sudah berbohong. Tapi dia tak bermaksud mempermainkan perasaan Arya. Aku tahu itu.
"Lo nggak usah belain dia. Dan lo ngantiin Dina bukan cuma sekali, kan?" Arya memojokanku.
"Gue cuma dua kali gantiin Dina. Sumpah."
"Iya, gue tahu. Pertama, pas kopdar pertama di sini dan yang kedua waktu gue mesenin jus jambu itu, kan."
Benar. Ternyata Arya sudah mengetahui sampai sejauh itu. Aku benar-benar tak dapat mengelak.
"Alasan gue gantiin yang kedua kali karena wajah Dina babak belur waktu itu. Dia malu ketemu lo."
"Maksud lo?"
"Iya, Dina dianiaya Rey sampe wajahnya penuh lebam. Dan dia nggak PD ketemu lo."
Arya diam. Mungkin mencoba mencerna kata-kataku. Tanpa babibu, Arya menuju kasir membayarkan pesanan kami kemudian meninggalkanku dalam kesunyian dan rasa bersalah. Aku benci ditinggalkan.
_____________Bersambung____________