•REWIND•
©Elsy Jessy
Aku melangkah gontai menuju kamar. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Semuanya sudah terlanjur. Arya sudah mengetahui yang sebenarnya. Dan ini sangat berbahaya untuk hubungan Dina dan Arya. Tiba-tiba Dina menarikku ke kamarnya.
"Lo ketemuan kan sama Arya," todong Dina dengan mata yang penuh amarah. Aku tahu dia cemburu atau salah paham padaku karena tak memberitahukan perihal pertemuan siang ini padanya.
"Arya tadi mutusin gue tanpa bilang apa-apa. Sebenernya apa yang lo omongin ke dia, Ta?!" Dina membentakku. Menyalurkan emosinya dengan tangannya yang menggoyang-goyangkan kedua bahuku.
Aku hanya diam menunduk. Dina semakin menjadi-jadi. Tangisnya pecah. Aku menoleh, wajahnya dipenuhi rasa frustasi tak terkendali.
Dina menatapku sinis. "Jangan-jangan lo sengaja mau ngancurin hubungan gue sama Arya. Karena lo iri nggak bisa jadian sama Ryan. Iya, kan?"
Aku terkejut dengan tuduhan Dina. Tak habis pikir Dina tega mengira aku serendah itu. "Nggak, Na. Biar gue jelasin dulu."
"Nggak perlu. Gue tahu lo emang dari dulu iri sama gue. Sama semua pencapaian gue, kan? Dan lo berusaha balas dendam." Air mata Dina tak kunjung berhenti berlinang.
"Nggak, Na. Gue nggak iri sama lo."
"Alah. Atau jangan-jangan lo suka kan sama Arya? Lo mau nikung gue dari belakang. Iya, kan?"
Aku menggeleng keras. Mataku panas dan tak mampu lagi membendung air mata. Tuduhan-tuduhan Dina padaku sudah keterlaluan. Aku berlari meninggalkan kamar Dina dan masuk ke kamarku. Merebahkan tubuhku sambil menangis. Aku tak mengira Dina akan menilaiku seperti itu. Aku hanya berkata jujur. Dari awal dia yang menyeretku dalam permainannya bukan aku sengaja melakukan itu. Aku menangis sampai terlelap.
Keesokan harinya, aku dan Dina tak saling bicara. Ayah dan mami tampak heran melihat kami berdua. Aku rasa Dina yang seharusnya minta maaf padaku. Aku tak salah. Dia yang salah karena membohongi Arya dan akibatnya tak dipercaya lagi.
"Kalian kenapa, sih? Lagi berantem?" Ayah memulai obrolan di meja makan saat sarapan pagi ini.
Salah satu dari kami tak ada yang menjawab.
"Sama saudara apa lagi kembaran itu nggak boleh bertengkar, lho." Mami ikut berkomentar.
Aku buru-buru menghabiskan nasi goreng lalu pamit berangkat sekolah pada mami dan ayah. Hari ini sebaiknya aku tidak berangkat bersama dengan Dina agar suasana tak canggung. Aku berjalan sampai depan kompleks dan menunggu angkutan kota.
Di sekolah biasanya Dina di jam istirahat mengunjungi kelasku. Tapi saat ini dia bahkan tak sudi lewat depan kelasku. Dia bahkan sering menghindar ketika ada aku di sekitarnya. Seolah aku ini punya penyakit menular dan dia tak ingin dekat-dekat denganku.
"Lo lagi marahan sama Dina?" tanya Melda. Karena dia yang sering melihatku menatap punggung Dina ketika menjauh.
Aku ingin menceritakan semua unek-unek yang ada di hatiku pada Melda. Siapa tahu dia bisa membantu. Atau paling tidak rasa hatiku lega karena sudah berhasil dikeluarkan.
"Artinya Dina salah paham sama lo?"
Aku mengangguk.
"Ya udah lo jelasin lah ke Dina."
"Gue udah berusaha jelasin semuanya. Tapi dia nggak mau denger. Arya juga yang langsung blok semua akses Dina. Jadi akhirnya Dina myalahim gue. Padahal gue cuma mau nolongin mereka aja." Aku meletakkan kepalaku di atas meja.
"Udah nggak usah ngeluh. Coba lo hubungin Arya dan minta dia yang jelasin ke Dina tentang masalah sebenernya."
"Iya, deh. Ntar gue coba."
***
Aku mencoba menghubungi Arya. Setelah beberapa kali telepon, tak ada satupun panggilan yang mendapat jawaban. Sepertinya dia juga tak ingin bicara denganku.
Baiklah kalau begitu aku akan mengirimkan saja pesan padanya.
Ar, tolong angkat telepon gue. Please.
Tak selang begitu lama, Arya membalasnya.
Oke. Sebentar aja. Gue lagi sibuk.
Aku tersenyum mendapat balasan dari Arya. Sepertinya bukan seperti yang kupikirkan selama ini.
***
Beberapa hari setelah pertengkaran itu, kami tetap tak ada jalan damai. Dina masih mendiamiku dan tak mengajakku mengobrol. Dia hanya berbicara padaku seperlunya. Sebenarnya aku tak nyaman dengan keadaan ini. Tapi mau bagaimana lagi, Dina yang sepertinya tak ingin berbaikan denganku. Dia masih saja berpikiran negatif dan menganggapku yang bukan-bukan.
Jujur saja sebenarnya aku tak terimanya tapi apa yang bisa aku lakukan. Percuma menjelaskan kalau Dina juga tak mau mendengar. Tapi hari ini tiba-tiba saja Dina datang ke kamarku. Mengunci pintu dari dalam kemudian mendekatiku yang sedang mengerjakan tugas Sejarah.
"Lo lagi sibuk, Ta?"
Aku hanya melirik sekilas lalu kembali fokus ke layar monitor.
_____________Bersambung____________