•REWIND•
©Elsy Jessy
Dering telepon genggam membangunkan tidurku malam ini. Aku melirik jam dinding. Ah, masih tengah malam. Aku mengambil ponsel bukan untuk menjawab melainkan mendiamkan ringtone dan mengubah menjadi mode getar. Benar dugaanku, itu panggilan dari Krucul. Siapa lagi yang meneleponku malam-malam begini selain dia.
Aku berusaha kembali memejamkan mata. Meneguhkan hati agar tak tergoda untuk mengangkat panggilan itu. Aku menutup telinga dengan bantal. Benar-benar ingin melupakan laki-laki itu. Menutup rapat-rapat pintu kesempatan kami bersama. Aku tahu, dia juga tak menerima cinta Riska. Tapi itu bukan alasanku untuk terus bersamanya. Aku tak ingin menyakiti perasaan sahabatku dengan menjadi orang ketiga diantara mereka. Dan sepertinya Krucul juga tak akan memilihku. Aku tak mau menjadi perempuan tolol yang sudah tahu akan ditolak tapi masih bertahan juga.
Setelah beberapa kali handphone-ku bergetar, akhirnya berhenti juga. Mataku mulai memanas. Bulir-bulir air mata mulai tumpah ke pipi. Aku bangun dari tempat tidur. Beranjak mengambil gantungan kunci yang aku simpan di laci meja belajar. Aku membuang begitu saja benda kecil itu ke lantai. Melampiaskan kekesalan dan kesedihan yang melebur menjadi satu. Tanganku mengepal, memukul-mukul dada berharap rasa sakit itu hilang. Tapi nyatanya isakanku semakin menjadi.
***
Aku dan Melda berjalan lunglai setelah moving class ke laboratorium bahasa. Sudah waktunya istirahat, tapi aku dan Melda ingin ke kelas saja ketimbang ke kantin. Tiba-tiba Krucul datang dan menghalangi jalan kami. Aku hanya diam sambil menunduk. Ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengannya.
Dia memegang bahuku. "Cil, lo kenapa, sih? Lo ngehindar ya dari gue? Udah seminggu nggak ada kabar."
Aku menghempaskan tangannya. "Gue nggak kenapa-kenapa." Dan menghadiahkan tatapan tajam padanya. Lalu menggandeng Melda menjauh.
Setelah sampai di kelas, Melda melontarkan pertanyaan padaku. "Lo kenapa sama kakak kelas itu?"
Aku menggeleng. "Nggak apa-apa, kok."
"Bukannya kemaren-kemaren kalian akrab banget, ya?" Melda semakin ingin tahu.
Sebenarnya aku tak ingin membahas masalah ini. Tapi Melda sahabatku. Aku tak seharusnya menyembunyikan sesuatu padanya. Siapa tahu dia bisa membantuku move on dari Krucul.
Belum sempat aku menjawab, Melda sudah menebak. "Lo menjauh karena tahu dia gebetan Riska, kan?"
Awalnya aku ingin menampik tapi Melda melihat celah kebohongan di mataku. Akhirnya aku pun mengaku. Aku mengangguk lemah.
"Ini nih yang paling gue sebel dari cowok." Melda mengambil novel misteri di laci meja. "Bisa ngerubah orang baik jadi jahat," lanjutnya sambil mulai membaca.
Aku tak tahu, ini sindiran untukku atau memang suatu ungkapan ketidaksukaan Melda pada cowok.
"Gue bingung." Kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirku.
Melda mengalihkan pandangan dari buku, menatap mataku dalam. "Yang menurut lo benar, jalani. Yang menurut lo salah, perbaiki." Kemudian kembali fokus pada bacaannya.
Aku benar-benar tak mengerti maksudnya. Dia seperti melemparkan teka-teki silang yang jawabannya sulit dipecahkan. Aku ini butuh saran bukan kuis pertanyaan.
Aku mengambil bekal makanan yang ada di dalam tas. Sebelum berangkat, memang aku sengaja membawa bekal roti panggang dengan selai coklat dan kacang. Memakannya dan menawarkan pada Melda untuk mencicipi. Melda mengambil sepotong tanpa melirik. Iya, itu kebiasaannya ketika sedang serius membaca.
Tiba-tiba terdengar ribut-ribut di luar kelas. Segerombol siswa kakak kelas lain masuk ke dalam kelasku. Aku melongo ketika Krucul ada di hapadanku tanpa permisi mengambil bekal rotiku yang tinggal sepotong.
Sambil mengunyah dia berkata, "Sabtu ini Starsyndrome jadi bintang tamu di kafe NEEDU. Nonton, yuk?"
Itu tawaran bagus. Sebenarnya aku ingin sekali mengiyakan. Tapi keinginanku yang ingin melupakannya akan gagal. Aku harus kuat. Kesempatan menonton Starsyndrome bisa ada lain waktu. Lagipula Starsyndrome manggung bukan hanya di sana saja.
Aku memasang wajah cuek lalu menjawab, "Nggak!"
"Serius?" Dia mendekatkan wajahnya di depan wajahku.
Aku mengangguk cepat dan segera menyuruhnya pergi. Tapi dia terus saja tak mau keluar dari kelasku. Sampai akhirnya Riska datang.
Suasana menjadi canggung. Riska menatap Krucul bingung, Kruculpun tak jauh beda. Sedangkan aku hanya mematung dan tak bisa berbuat apa-apa.
Melda angkat bicara. "Dia nggak mau ikut. Nggak usah dipaksa. Lo mendingan pergi dari sini, deh. Lima menit lagi jam istirahat selesai."
Tak ada lagi alasan, Krucul akhirnya meninggalkan kelasku. Aku yang dihadapkan dengan ekspresi wajah Riska yang seakan penuh tanya. Mungkin dalam hatinya bingung kenapa aku bisa mengenal Krucul.
"Kok lo kenal Kak Rian, Ta?" Riska menatapku penuh selidik.
Aku bingung harus berkata apa. Apa aku harus jujur sekarang? Cepat atau lambat Riska juga pasti tahu. Entah tahu dariku atau orang lain. Tapi bukan saat ini. Ya Tuhan, aku harus bagaimana?
Aku melirik Melda yang masih asyik dengan bukunya. Mencoba memberi kode agar Melda membantuku mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan Riska.
"Cowok tadi lagi deket sama Dita."
_____________Bersambung_____________