•REWIND•
©Elsy Jessy
"Cowok tadi lagi deket sama Dita."
Bukan aku yang berkata demikian, melainkan Melda. Dia dengan santai meluncurkan kalimat itu begitu saja sambil membalik halaman novel yang dipegangnya.
Riska terkejut. Menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan. Melihat ke arahku sambil membulatkan matanya.
Aku menggeleng. "Ng-nggak, Ris. Bukan. Gue nggak ada hubungan apa-apa sama si Kru ... Eh, kakak kelas itu. Beneran." Aku berusaha menjelaskan.
Aku melihat mata Riska berkaca-kaca. Lalu pergi meninggalkan aku dan Melda begitu saja. Aku tahu dia kecewa padaku. Atau merasa terkhianati saat mengetahui laki-laki yang ditaksirnya mengenalku. Aku hanya bisa pasrah menerima segala perlakuan Riska.
Melda berusaha menangkanku. Tapi tetap saja pikiranku kacau. Aku meninggalkannya sendiri dan lari ke kamar mandi. Masa bodoh bel tanda jam istirahat berakhir telah berbunyi.
Aku menangis tertahan di dalam salah satu bilik toilet. Entah karena apa aku menangis saat ini. Perasaan rasa bersalah yang amat dalam pada Riska.
Setelah puas melampiaskan semuanya, aku bertekad akan memperbaiki hubungan dengan Riska. Dia teman baikku. Teman pertamaku di SMP. Hanya dia yang menerimaku apa adanya saat itu. Tanpa membanding-bandingkanku dengan Dina. Oleh karena itu, dia berharga bagiku.
Aku mengusap wajahku, sedikit merapikan penampilanku dan kembali ke kelas. Bagaimanapun juga aku tak boleh kabur lagi seperti tempo hari. Sampai di kelas untung saja pak Dasuki tak masuk jadi aku bisa agak bebas. Aku mengintip di kelas tetangga lewat jendela. Melihat Riska yang tampaknya baik-baik saja sedikit membuatku merasa lega. Aku senang. Paling tidak, dia masih bisa mengikuti pelajaran seperti biasa.
***
Jam pulang sekolah adalah saat yang paling aku hindari. Kenapa? Aku yakin pasti Krucul menghadangku di depan gerbang utama. Karena dia sudah mengirim pesan akan menungguku di sana. Rasanya aku ingin menghilang saja atau menjadi transparan agar tai terlihat. Aku bahkan belum berbicara seperti biasa dengan Riska. Tapi Krucul malah ingin menambah hal yang membuatku dan Riska salah paham lagi.
Aku sengaja meninggalkan Melda dan kabur lewat pintu samping sekolah dekat kantin. Menghidar dari Krucul adalah langkah yang baik untuk saat ini. Tapi ternyata dugaanku salah. Aku melihat Krucul ada di depan pintu samping sambil menenteng tasnya. Dia pasti sudah memprediksi kalau aku akan menghindarinya dan lewat sini.
Aku langsung berlari menjauh. Dia mengejarku. Kakinya lebih panjang, jadi dengan mudah dia mengejar kemudian menangkapku.
"Kenapa lo menghindar dari gue, Cil?" Dia berkata sambil terus menarik tasku agar tak kabur.
"Ng-nggak. Gue nggak menghindar." Aku membela diri. Walau kenyataannya aku memang begitu.
"Kenapa? Apa gara-gara temen lo itu?" Dia melonggarkan tarikan tasku tapi tetap memegangnya.
Aku berbalik menatap wajahnya dan menjawab jujur. "Iya!" seruku.
Dia melepaskan pegangan dari tasku. Di kesempatan itu aku langsung kabur. Meninggalkannya yang masih diam tak berkutik di tempatnya.
Aku berlari keluar lewat gedung utama. Untung saja Dina dan mami sudah di sana. Jadi aku bisa segera pulang. Aku bersyukur untuk itu.
"Kenapa lari-lari, Ta?" tegur mami di kursi kemudi.
"Kebelet pipis, Mi," dustaku.
"Emang di sekolah lo nggak ada toiletnya?" Dina ikut berkomentar.
Tak mau menanggapi lebih jauh, aku memohon ke mami agar cepat menuju rumah.
Sampai rumah, aku pura-pura bergegas ke kamar mandi dekat dapur untuk menyempurnakan alibi. Lalu buru-buru masuk kamar dan mengunci pintu. Belum sempat berganti pakaian, suara teriakan Dina menggangguku di balik pintu.
Aku membuka pintu. "Kenapa, Na?"
"Gue pinjem komputer lo, dong." Dina nyelonong masuk.
Lagi-lagi dia ke kamarku hanya untuk meminjam barang.
Aku melirik, dia menancapkan modem lalu membuka akun media sosialnya. Dina memang akhir-akhir ini menggandrungi Friendster. Mungkin memang sedang tren. Aku hanya memandangnya tanpa minat. Lalu melenggang ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
Setelah aku kembali, dia menanyakan pendapatku. "Ta, menurut lo cowok ini cakep nggak?" Dita memperlihatkan foto laki-laki dengan hoodie biru sedang tersenyum dalam layar monitor.
Cukup menarik. Tapi bagiku tetap Krucullah yang terbaik. Ah, kenapa aku masih memikirkan laki-laki itu. Aku mengacungkan ibu jariku pada Dina. Lalu berkata, "Lumayan."
Dina tersenyum senang. "Gebetan gue itu, Ta. Kita lagi deket."
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala. Hei, tapi Dina sudah punya pacar. Kenapa dia memiliki orang yang ditaksir? Apa dia berniat untuk berselingkuh?
"Lo masih kan sama Rey?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirku.
"Masih," jawabnya singkat.
Aku ingin tahu lebih lanjut, mengambil kursi dan duduk di sampingnya. "Terus? Kenapa lo malah deket sama cowok lain?"
Dengan mata berbinar, Dina menjelaskan siapa laki-laki yang baru saja dipamerkannya itu. "Namanya Arya. Gue belum ketemu sih sama orangnya. Tapi dia tuh asik banget diajak ngobrol. Nggak suka ngatur dan posesif kayak Rey." Dia menyipitkan mata dan berbisik di telingaku. "Kayaknya gue bakalan mutusin Rey, deh."
Mataku membola. Tak percaya dengan apa yang Dina katakan barusan. Karena mereka sudah menjalin kasih hampir setahun.
______________Bersambung____________