•REWIND•
©Elsy Jessy
Sudah dua hari aku tak masuk sekolah. Sejak waktu aku pulang dalam keadaan berantakan. Aku memang menghubungi mami untuk dijemput di sekolah sebelum jam pulang berakhir. Mami yang melihat keadaanku yang tidak baik jadi khawatir. Tapi aku beralasan kondisi badanku sedang tidak fit. Memang saat itu karena terlalu sering begadang demi Krucul, daya tahan tubuhku jadi melemah. Jadi gampang terserang penyakit. Dan akhirnya dibawa mami ke klinik untuk memeriksakan kesehatanku.
Jam sudah menunjukkan angka enam, tapi aku masih bergelung dengan selimut tebal di atas kasur. Malas rasanya beranjak dari sana. Aku masih enggan bersekolah.
Tiba-tiba tanpa mengetuk pintu Dina masuk ke kamar. "Ta, lo masih sakit?"
Dia meletakkan telapak tangannya di dahiku. "Kayaknya lo nggak sakit, deh."
Aku hanya meliriknya tanpa minat.
Dia duduk di sisi ranjangku. "Lo kenapa, sih? Cerita sama gue."
"Gue nggak enak badan, Na."
"Iya, tapi kenapa hape lo nggak diaktifin?" tanyanya.
"Lupa ngecas. Iya nanti gue aktifin kok," jawabku asal.
"Alasan aja lo. Udah ngaku aja, lo lagi ngehindarin orang, kan?"
Tepat. Aku bisa menggelabuhi mami dan ayah tapi tak bisa membohongi Dina. Sepertinya Dina bisa membaca pikiranku. Mungkin karena kami identik maka punya kepekaan satu sama lain. Aku juga tak tahu. Yang jelas, aku memang menghindar dari Krucul dan Riska tentu saja. Pasti mereka sudah jadian dan sedang berbahagia. Aku belum siap melihat mereka menjadi pasangan.
"Pasti karena cowok itu, kan?"
Aku tak bisa menutupi keterkejutanku. Kini aku percaya Dina benar-benar tahu perasaanku tanpa aku memberitahunya.
"Kenapa? Lo dicampakin?" tanyanya.
"Nggak. Jadian aja belom," jawabku.
Dina membulatkan matanya. "Jadi lo di-php-in?"
"Wah, nggak bener tu cowok," tambahnya sambil mengepalkan tangan dengan penuh emosi.
Aku menunduk dan mataku mulai memanas. "Bu-bukan. Sebenernya gue aja yang ke-GR-an."
Air mataku akhirnya tumpah. Dina memelukku. "Udah. Di dunia ini cowok bukan cuma dia doang. Tenang aja. Nanti gue kenalin cowok yang lebih baik."
***
Melda mengunjungi rumahku. Mengantarkan barang-barangku yang tempo hari kutinggalkan begitu saja di kelas. Dia juga membawakan buku-buku catatannya agar aku tak ketinggalan pelajaran.
Melda duduk di karpet sambil melepas kaca matanya. Membersihkan lensanya dengan kain khusus dan memakainya kembali. Kemudian bertanya, "Lo kenapa, Ta?"
"Gue nggak enak badan, Mel," jawabku.
Dia menatap mataku. "Bukan itu maksud gue. Kenapa lo dua hari lalu kabur gitu aja dari sekolah."
"Ng ... Nggak apa-apa. Gue cuma tiba-tiba nggak enak badan dan pengen pulang aja," kilahku. Aku langsung beranjak dari ranjang menuju dapur untuk mengambil minum.
"Hm ... Ini nih yang bikin gue males kenalan sama cowok," gerutu Melda yang masih bisa kudengar.
Aku kembali membawa sebotol air dingin dan cemilan rempeyek kacang oleh-oleh dari ayah yang beberapa hari lalu seminar di luar kota.
"Gue bete nih nggak ada lo. Gue diikutin mulu sama si berisik Riska yang lagi galau," ujar Melda sambil mengunyah rempeyek.
"Emang Riska kenapa?" Aku merespon sekenanya. Bukannya Riska sekarang sedang bahagia karena akhirnya perasaannya tersampaikan pada Krucul. Aku masih sebal dan sedih mengingat kejadian di lapangan waktu itu.
"Lho, lo nggak dikabarin Riska?"
Aku menggeleng. "Gue matiin hape dua hari ini."
"Pantesan." Melda meneguk air dingin dari gelasnya. Lalu melanjutkan, "Dia ditolak sama cowok yang katanya jodohnya itu."
Mataku membola. Ada rasa sedikit senang mendengar itu. Tapi lebih besar rasa sedih dan minder. Cewek secantik Riska saja ditolak oleh Krucul, apalagi aku yang punya kekurangan. Mungkin benar, Krucul hanya ingin bermain-main denganku saja. Bodoh. Aku yang salah mengartikan dan malah menyerahkan hatiku padanya.
"Terus?"
"Iya Riska galau banget. Nangis mulu. Gue jadi sebel. Tadinya dia mau ikut ke sini tapi gue larang."
"Kenapa? Lo sama Riska kan sahabat gue."
Melda melirik tajam padaku. "Karena cowok yang ditaksir Riska itu kakak kelas yang lagi deket sama lo."
"Lebay amat lo. Lagian gue sama cowok itu nggak ada apa-apaan." Aku mencoba sebiasa mungkin menanggapinya.
"Iya tapi lo suka juga, kan?"
"Nggak," jawabku cepat.
Melda hanya menghela napasnya.
Aku mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Dan mulai mengaktifkan kembali. Banyak pesan masuk dari orang-orang terdekat. Juga beberapa sandek dari Krucul dan sebelas panggilan tak terjawab darinya. Yang paling membuat jantungku berdegub kencang ketika aku membuka salah satu pesan darinya.
Cil, lo kok nggak ke lapangan? Gue nungguin lo dari siang sampe sore. Tapi nggak apa-apa, Cil. Gue boleh ke rumah lo nggak?
Aku membuka pesan dari Krucul berikutnya.
Cil, gue ketemu kembaran lo. Dia bilang lo lagi sakit dan nggak mau ketemu siapa-siapa. Lo kenapa, Cil?
Cil, lo kenapa?
Cil, nomor lo kok nggak aktif?
Cil, lo sakit apa?
_____________Bersambung_____________