the next day...
chapter 6: The Twins Found Something (part 1)
Pagi hari berikutnya sesudah Brandon terbunuh, Chester memasuki kamar saudari kembarnya. Kamarnya sendiri persis berseberangan dengan ruangan yang hampir saja menjadi lokasi kematian Cheryl ini.
Perempuan cantik jagoan kita ini tidak sedikit pun merasa trauma, meskipun pikirannya tidak dapat diistirahatkan semalaman.
Baru saja kesadarannya berpindah sebentar ke alam lain, kedua telinga Cheryl mendengar suara pintu kamarnya dibuka oleh seseorang. Seluruh tubuhnya masih terasa lelah untuk digerakkan. Maka dia diam saja.
Chester melangkah dengan cemas. Menghampiri sofa empuk yang cukup panjang bagi dirinya untuk berbaring. Sambil menguap lebar dengan suara kencang.
Sebelum merebahkan tubuhnya yang masih terasa letih di situ, sambil menggaruk kepala, laki-laki jagoan kita ini berujar, "Aku tidak bisa tidur."
Pancaran sinar matahari pagi sudah berusaha menembus masuk tirai jendela kamar Cheryl.
Sang pemilik kamar ingin berkomentar hal yang sama. Karena otot-otot mulutnya masih mengunci rapat, suara yang keluar terdengar seperti igauan yang tidak jelas.
Chester menoleh sesaat ke arah ranjang. Berpikir bahwa kembarannya juga merasakan keletihan yang sama.
Tubuh serta pikiran letihnya menangkap kondisi kamar saudarinya ini yang justru dapat membuat dirinya tidur lebih nyenyak—ketimbang kamarnya sendiri. Ruangan kamar mereka dipilihkan oleh pelayan perempuan berumur yang bernama Mrs. Rusty.
Pada pagi ini, ketiga anak Cherlone lainnya juga bangun lebih siang dari biasanya. Mereka semua baru saja melewati sebuah hari Rabu yang berat.
Meski tidur kurang dari lima jam, Cheryl bangun pada pukul setengah delapan. Mendapati saudaranya masih terlelap di sofa empuk kamarnya.
Benaknya terisi kembali dengan segudang informasi dan kejadian hari sebelumnya. Semuanya itu menyerbu masuk ingatannya bagaikan ombak samudera yang maha dahsyat. Termasuk saran dari Agen Lindsay Fletcher tentang kamera pengawas.
Tiba-tiba Cheryl penasaran akan suatu hal. Terinspirasi sebuah kalimat panjang yang dilontarkan Don semalam: 'Jika Farah sampai mereka tempatkan di ruangan rahasia yang sama dengan lokasi penyekapanku, berarti rekaman sebelum kedatangan Chester dan Cheryl juga patut diperhitungkan.'
Hal itu menunjukkan fakta bahwa Sarron beserta seisi rumah—terutama para pengawas keamanan di ruangan mereka—satu kali kecolongan, ketika komplotan Simmons beraksi dengan memasuki ruangan rahasia. Mereka berhasil masuk ke dalam dengan lancarnya—sebagai langkah pertama.
Pertanyaannya—di manakah orang-orang yang bekerja untuk Simmons dan Farah palsu?
Sangat tidak mungkin kedua penjahat saja—si Simmons dan si Farah palsu itu—yang menggotong Farah asli ke dalam ruangan rahasia, dan berhasil keluar dari situ tanpa diketahui Sarron atau salah seorang pelayan.
Satu hal lagi, orang-orang asing itu berhasil masuk ke dalam rumah Cherlone dengan mulusnya melewati tiga pasang mata pengawas di ruang keamanan mereka.
"Analisis yang sangat menarik," suara tiba-tiba Chester tanpa membuka kedua mata nyaris membuat jantung Cheryl melompat keluar. "Ternyata kau lebih berbakat menjadi penyelidik daripada bekerja di firmanya Fryers."
"Sejak kapan kau mulai sadar?" Cheryl mulai bersikap ketus, menuding saudaranya dengan satu telunjuknya, "Jangan pernah mengatur-atur hidupku! Dan, bukankah sudah kukatakan...."
"Jangan pernah mengintip isi pikiran orang lain, sekalipun saudaramu sendiri," sahut Chester menyela. Sambil tersenyum renyah, dia membuka kedua matanya. "Begini saja, pagi ini kita berbagi tugas. Supaya kita dapat mengumpulkan informasi yang lebih banyak dari kemarin."
Cheryl merenungkan kalimat terakhir saudaranya itu.
Chester beranjak dari sofa, menghampiri saudarinya yang duduk di pinggir ranjang. Sambil menepuk pelan bahu perempuan itu, dia bertanya, "Ayolah, kau tidak mau tahu siapa otak di balik pembunuhan ayah?"
"Baiklah," dengan menjawab begitu, Cheryl merasa dirinya aneh. Baru kali ini mau saja menuruti ajakan Chester tanpa ada pertentangan lagi dari dalam hatinya.
"Aku saja yang melihat rekaman kemarin sebelum kita datang," sahutnya riang.
"Boleh saja, dan sekalian juga korek informasi dari Marlon tentang elcar asing yang meluncur di halaman depan," balas Chester santai.
"Jadi kau sudah mengetahuinya? Ada di rekaman?" Cheryl jadi penasaran, yang kemudian berubah menjadi kekesalan, "Lalu apa yang akan kau lakukan? Melanjutkan tidur di sofa?"
"Aku belum melihat rekaman kamera di luar rumah. Namun, analisismu barusan yang mengatakan perihal melewati Marlon beserta dua anak buahnya membuat pikiranku membayangkan kejadian itu. Si Marlon pasti belum pernah satu kali pun melihat elcar ini," jawab Chester cerdas.
"Posisi yang kau duga itu tepat. Bukankah memang ada sofa empuk di ruang rahasia? Aku akan berbaring di sana, untuk menikmati sekaligus mengeksplorasi tempat misterius tersebut," lanjutnya dengan gaya santai.
"Curang!" bentak Cheryl, "Tidak bisa! Aku tidak mau! Kau harus melakukan salah satu yang dapat kau perbuat!"
"Apa yang kau pikirkan, itulah yang harus kau lakukan," ujar Chester sambil mengarahkan satu telunjuknya ke samping kepalanya.
Cheryl menggeram. Dengan raut muka yang masam, kedua telapak tangannya terkepal menantang ke bawah, "Baiklah, akan kulakukan sekarang juga."
Tanpa pikir panjang dan membuang waktu lagi, dia melangkah ke pintu kamarnya dengan ekspresi marahnya.
Chester segera melompat dari ranjang, lari mendahului, dan menghalangi saudarinya di balik pintu, "Tidak, kau tidak boleh melakukannya sekarang dalam keadaanmu yang begini..."
"Memangnya kenapa! Kau sendiri yang...."
"Lihatlah penampilanmu," kata Chester lantang. "Pada tubuhmu cuma ada kaus tidur yang panjangnya sampai setengah paha," jelasnya sambil memandangi fisik aduhai saudarinya.
"Kakimu menggiurkan laki-laki mana pun yang melihatnya. Marlon dan kedua anak buahnya pasti setidaknya menelan ludah menyaksikan betapa mulusnya paha bawahmu. Pokoknya, pakai lengkap pakaianmu!"
Cheryl tersenyum. Dengan nada merajuk, dia merasa terhibur, "Oh, jadi kau tidak ingin diriku jadi santapan empuk mata laki-laki lain? Terima kasih, Ches."
Lima menit kemudian, keduanya tiba di ruang makan. Menu sarapan sudah tersedia di atas meja.
Don dan Farah tengah menikmati sepotong roti panggang. Chester mengambilkan lebih untuk kembarannya.
Ketika ditanyai keberadaan Sarron, Don menjawab, "Pikiran dan batinnya lelah sekali terpakai habis kemarin dari pukul enam pagi hingga hampir tengah malam. Sepertinya dia akan bangun satu atau dua jam lagi."
"Sedangkan kami—," sambung Farah kesal, "—pikiran kami terjaga sepanjang malam hingga detik ini, setelah tertidur seharian gara-gara obat bius."
"Apa kau tidak menghubungi seorang dokter bagi kalian berdua?" tanya Chester pada Don sambil meletakkan pantatnya ke atas sebuah kursi.
"Pukul tujuh tadi, kami sudah diperiksa oleh Reyna Faraday," sahut Farah, "Don telah diberi semacam penangkal efek samping. Nona Faraday adalah dokter pribadi Don, Sarron, dan diriku."
"Secara resmi sejak menginjakkan kaki di rumah ini sebagai anak-anak Brandon, kesehatan kalian juga menjadi tanggung jawab Dokter Faraday," kata Don memberitahu.
Lalu dia menguap lebar, sebelum meneruskan, "Satu jam usai sarapan, kami akan bertukar posisi dengan Sarron."
Wajah Don dan Farah telah menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
"Memang sebaiknya kalian beristirahat saja siang ini," saran Cheryl berempati.
"Tapi aku tidak bisa menghabiskan waktu yang lama. Sebagai anak tertua, aku harus mengurusi jenazah ayah beserta rencana pemakamannya, mulai pukul satu nanti," keluh Don.
Seandainya saja dirinya merupakan anak resmi Brandon dari istri yang sah—yang diakui oleh masyarakat luas selama ini--Chester sangat ingin menggantikan kakak tiri sulungnya. Tapi apa daya....
Apa kata dunia jika jenazah pebisnis besar Brandon Cherlone diurus oleh anak dari perempuan simpanan?
Itu sama saja dengan mencoreng reputasi baik keluarga di mata publik.
Di tengah-tengah adik tiri mereka yang masih menikmati sarapan, Don dan Farah meninggalkan meja makan. Karena sudah cukup makan dan minumnya. Sehingga hanya indra penciuman Chester sajalah yang terbuai dengan aroma menyenangkan dari Cheryl.
"Aku menyukai aroma wangi pilihanmu," katanya memuji.
Siang ini, Cheryl terlihat cantik dengan balutan kaus kuning muda bergambar Mickey Mouse dan Donald Duck yang dipadu jeans pendek selutut.
Ketika dia melangkah memasuki ruang keamanan rumah, Marlon terkesima melihatnya. Langsung dihampirinya sang kepala keamanan ini.
Sebelum majikan barunya sempat berbicara, Marlon berkomentar, "Anda sungguh memahami Nona Farah, Nona Cheryl. Dia sangat menggemari tokoh-tokoh Disney—ciri khas kakak Anda."
Wajah Cheryl menunjukkan pandangan yang menanyakan di mana letak kesalahannya. Marlon tertawa, membuat fokus perhatian kedua anak buahnya sempat teralihkan pada sosok bos mereka dengan sang majikan. Karena jarang sekali muka kerasnya memperlihatkan keceriaan seperti begitu.
"Anda terlihat semakin cantik dengan pakaian ini, Nona Cheryl. Aku sampai tidak bisa membedakan dengan diri nona yang bersama Tuan Chester hari kemarin."
"Terima kasih, Marlon," balas Cheryl ramah, menghargai pujian yang telah terbiasa diterimanya sejak remaja. Sesuatu yang tak pernah sedikit pun membuatnya menjadi tinggi hati dan sombong.
Kemudian tangan Marlon mengarah ke dinding belakang ruangan—mengajak Cheryl 'menepi' ke sana, agar percakapan mereka tidak sampai mengganggu kinerja pengawasan kedua anak buahnya.
bersambung ke part 2
@yurriansan saya luruskan ya.. judul sebelumnya, The Cherlones Mysteries. Kalo seri, saya baru masukin Duo Future Detective Series yang cerita pertamanya ya dwilogi The Cherlone Mysteries dan The More Cherlone Mysteries ini.
Comment on chapter #3 part 2Oh ya, kalo mao nulis cermis ya harus baca jenis cerita ini terlebih dulu. Dwilogi ini lahir setelah saya getol baca serinya Sherlock Holmes dan punya si ratu cermis Agatha Christie