Lelaki bermata tajam yang berdiri dengan berpangku tangan itu adalah anak dari pemilik perusahaan ini. Bos baru, dan ia memiliki semua catatan hitam tentang Unna. Entah seperti apa ke depannya. Gadis itu hanya bisa menarik napas pasrah.
---
Memasuki ruang produksi, Unna disambut Bertha dengan senyum penuh kemenangan, sebelum ia kembali sibuk berjalan ke sana ke sini, mengawasi karyawan di line yang menjadi tanggung jawabnya. Memperhatikan satu persatu flowsheet yang menempel pada box yang menggunung, dan memilah barang-barang pada box mana yang menjadi skala prioritas untuk dilakukan inspection berikutnya. Lantas, memanggil QC ketika ada operator inspection atau ia sendiri juga ragu menentukan toleransi dari nilai quality product. Dan berbagai kesibukan lainnya yang ia lakukan dengn cekatan.
"Coba perhatikan monster itu," ujar Eva ketika Unna sudah berdiri di sampingnya, bersiap melakukan pekerjaan. "Senang sekali dia kalau melihat kita menderita."
"Sudahlah," lerai Unna. Ia memperbaiki posisi lampu TL yang terlalu ke bawah dan membuat matanya menjadi silau. Beberapa PCB dalam box diraihnya. "Mungkin dia lelah," Lanjut Unna.
Eva menatap Unna penuh selidik. "Apa yang dilakukan Kobayashi San tadi?"
"Aku mendapat SP 2."
"Langsung SP 2?" Ekspresi Eva sungguh berlebihan. Kalau saja Unna tidak dengan cepat membungkam mulut gadis itu dengan telapak tangan, mungkin ia sudah berhasil menjadi tatapan tajam-bukan saja Bertha, tetapi semua orang di dalam ruangan produksi ini karena teriakannya yang lantang.
"Kamu mau membunuhku?" Desis Unna dengan pupil mata melebar. Ia berharap, kekhawatirannya menulari gadis yang berdiri di sampingnya.
"Yang berteriak itu aku, bukan kamu." Balas Eva.
"Kesalahan yang kamu lakukan bukan berarti aku nggak kena imbasnya. Kita ini satu line, satu meja, Eva. Dan kamu tahu kalau aku baru saja mendapatkan SP 2 dari Kobayahi San."
Wajah Eva membiaskan penyesalan. Ia menatap Eva dengan tarikan napas agak berat. "Maafin aku, Na."
***
Rasanya baru saja mereka menghempaskan tubuh dan duduk di rest room ketika bel yang menandakan istirahat pertama usai, berbunyi. Usaha Unna menggerak-gerakan kaki untuk mengurangi pegal karena kelamaan berdiri belum sepenuhnya berhasil. Lima belas menit, gadis itu merasa waktunya terlalu singkat untuk istirahat. Apa lagi kalau waktu sependek itu juga dipakai untuk bergosip. Ketika jam istirahat tadi, semua teman-temannya mengerumuni Unna. Bella yang selama ini terkenal sangat perhitungan masalah duit, tiba-tiba datang dari kantin membawa tahu berisi bakso bulat dengan beberapa botol minuman mineral. Hal yang jarang dilakukan, memuncahkan ledekan dari teman-teman. Bella hanya menggubris dengan senyuman kecut.
"Nggak usah takut sama SP. Itu hanya gertakan." Begitu komentar Bella, menghibur Unna, sekaligus usaha untuk mengalihkan ledekan teman-teman yang tak henti-hentinya.
"Kamu bisa ngomong begitu, karena kalaupun kontrak kerja kamu nggak diperpanjang di sini, kamu bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat di perusahaan lain. Putih, tinggi, cantik. Lah, kita-kita ...." Astuti menimpali. Kenyataan yang tidak adil bahwa orang-orang yang memiliki tubuh yang tinggi lebih mudah mendapatkan pekerjaan sebagai operator produksi di perusahaan elektronik, selain usia yang lebih muda.
Dan cerita tentang lelaki yang berdiri di samping Kobayashi San yang tidak dikenal Unna tadi pun mengalir menjadi gosip.
"Gimana ciri-cirinya?" Buru Bella dengan penasaran.
"Tinggi." Jelas Unna.
"Itu saja?"
"Wajahnya mirip aktor-aktor Korea gitu." Unna menambahi.
Mata Astuti menyipit dengan kedua siku bertumpu pada meja. Dengan kedua tangan menopang dagu, Astuti berkata, "duh, Unna, kamu beruntung banget dipanggil Kobayashi San ke ruangannya."
"Astuti!" Eva menatap gadis pemilik kulit hitam manis itu geram. "Orang mendapat SP 2 kok dibilang beruntung, sih."
"Bukan SP2-nya. Tapi bisa ketemu langsung dengan anaknya Kobayashi San." Balas Astuti.
"Kok kamu tahu dia anak Kobayashi San?" Bella beralih menatap Astuti.
"Ya ampun, Bella, sejak kapan sih kamu kudet? Semua orang sudah tahu kali kalau anak pemilik perusahaan ini akan datang hari ini. Dan kalau yang diceritakan Unna benar, siapa lagi cowok tampan itu kalau bukan Tatsuya San?"
"Astuti naik kelas, euy." Komentar Ratna. "Dan Bella turun kelas." Semua tertawa. Begitu pun dengan Astuti. Hanya Bella yang berwajah muram.
"Terus, terus, terus ...." Astuti menatap Unna dengan wajah penuh bintang. Rasa penasarannnya terlalu menggunung. Sialnya, mood Unna justru tidak seperti yang diharapkannya.
"Terus apanya?" Unna balik bertanya.
"Tentang Tatsuya San. Cerita lagi, dong."
"Kapan-kapan. Sekarang waktunya kita lanjut kerja." Lanjut Unna sebelum Bertha mengamuk mengingatkan bahwa jam istirahat sudah usai.
Garis bibir Astuti tidak lagi sesimetris tadi.
"Ayo, berdiri," Unna menarik tangan Eva, membantu temannya itu bangkit. Semua meninggalkan ruang istirahat, kembali memasuki ruang produksi dan menuju tempat kerja masing-masing.
Unna menarik napas sejenak sebelum akhirnya kembali menekuri papan PCB yang dipenuhi puluhan komponen-komponen elektronik yang kecil-kecil di bawah pencahayaan dua buah lampu TL yang berada dua jengkal di atas kepalanya.
"Hojot, hojot, hojot!" Teriak Berta, melihat beberapa operatornya yang bukannya langsung bekerja, justru sibuk merapikan make up dan lipstik di depan kaca kecil. Mereka segera menyelipkan benda kecil itu di saku celana, sebelum monster itu semakin murka.
"Gimana mau hojot kalau reject-nya banyak begini." Balas Eva dengan suara yang tidak mau kalah. Ia kesal karena beberapa hari ini diberi bahan-bahan yang tidak bagus oleh Bertha.
Bertha menatap Eva dengan sinis. Perempuan berbadan gempal itu paling tidak suka kalau ada karyawannya yang menjawab perintahnya dengan kata-kata. Yang ia mau, ketika ia berkata 'hojot', semua operatornya makin mempercepat kerjanya tanpa berkata apapun lagi.
"Kalau sudah tahu banyak reject, makanya bekerja serius. Jangan kebanyakan bicara." Balas Bertha.
Eva mendengus kesal. "Sudah dua hari aku diberi barang seperti ini, Kak Bertha. Kalau nanti aku dipanggil Kobayashi San karena melakukan kesalahan yang sama dengan Unna, gimana?"
"Makanya inspect dengan teliti." Balas Bertha dengan ketidakmautahuannya tentang apa pun selain target produksi, sebelum ia pergi meninggalkan meja Eva dan Unna.
"Siapa operator SMT-nya?" Bisik Unna.
"Siapa lagi kalau bukan si gondrong itu." Jawab Eva kesal. Kali ini dengan suara yang pelan. Karena kalau Bertha tahu sesama teman berbicara pada jam kerja, sudah dipastikan bahwa monster itu akan murka. Aturannya, tidak dibenarkan berbicara pada jam kerja sesama teman kerja. Kalau ada yang tidak tahu atau ada yang perlu dipertanyakan, hubungi langsung Bertha selaku leader mereka.
Eva meraih flowsheet, dan kembali memperhatikan nama operator SMT yang tertulis di kertas kuning itu. "Kan, benar. Cowok itu." Lanjut Eva gemas.
Unna mengulas senyum. Ia tahu si grondrong yang dimaksud Eva. Cowok Manado yang bekerja sebagai operator SMT, sebuah proses untuk memasang semua komponen pada papan PCB yang menentukan proses kerja berikutnya. Ketika hasil kerja dari SMT bagus, jelas akan memudahkan tugas mereka sebagai inspector. Tetapi, ketika dari proses SMT sudah banyak reject, sudah bisa dipastikan geraham semua operator inspection merapat. Bukan saja karena besarnya peluang reject lewat dan sampai pada customer, yang pada akhirnya komplain berdatangan, tetapi juga karena waktu banyak habis untuk me-repair reject-reject yang ditemukan yang pastinya akan mempengaruhi target perorangan yang sudah ditentukan tiap hari.
***
Seperti namanya, pusat jajanan semua rakyat, Pujasera menjadi pilihan tempat makan siang para pekerja di Kawasan Industrial Batamindo. Pada jam istirahat makan siang. Berbagai macam makanan dan minuman tersedia di sini. Ayam penyet, pecal lele, soto, nasi goreng, mie goreng, masakan sunda, masakan padang, chinese food, dan makanan lainnya dari seluruh pelosok nusantara.
Ratusan kepala dengan berbagai macam warna seragam yang menjadi identitas perusahaan tempat di mana mereka bekerja memenuhi tempat makan yang berada tepat di sisi timur Batamindo Plaza. Pusat perbelanjaan yang menjadi kebanggaan Kawasan Industri Batamindo, yang dikenal juga dengan nama BIP (Batamindo Industrial Park). Di bagian utara Batambindo Plaza terbentang taman yang cukup luas yang ditumbuhi rumput yang menjadi pembatas antara pusat perbelanjaan itu dengan pusat perkantoran BIP. Taman yang pada sore hari banyak dimanfaatkan pekerja untuk melepas penat karena udaranya yang segar. Di sepanjang jalan, bukan saja ditumbuhi pepohonan berusia tahunan, tetapi juga bunga sakura warna putih dan pink yang bermekaran bersamaan dengan datangnya musim semi di Jepang. Sangat indah.
Ada beberapa perusahaan elektronik di Batam yang bekerja sama dengan perusahaan cathering untuk menyediakan makan siang atau pun makan malam untuk karyawan. Tidak gratis memang, karena dipotong tunjangan uang makan. Tetapi, kalau dihitung-hitung, lumayan hemat sebenarnya. Terlebih bagi orang-orang yang memiliki manajemen keuangan sangat buruk. Di perusahaan tempat Unna dan Eva bekerja, mereka juga disediakan makan siang untuk pekerja shift pagi dan makan malam untuk pekerja yang masuk shift sore atau shift malam. Namun, dengan alasan bosan dengan menu yang itu-itu saja, siang ini mereka makan di luar.
Eva menyikut tangan Unna yang hendak menyeruput teh obeng, ketika mereka duduk di sudut kanan Pujasera, hendak menikmati menu nasi Padang.
Tentang teh obeng, dan beberapa nama minuman di Batam yang sedikit menggelitik pendengaran. Terlebih bagi orang-orang yang untuk kali pertama menginjakan kaki di pulau yang bersebelahan dengan Singapore itu. Teh obeng adalah nama untuk teh es. Begitupun dengan teh panas, masyarakat Batam mengenal dengan nama Teh O. Unik, bukan?
"Lihat deh, ada si gondrong."
Unna mengikuti arah retina Eva. Evan berdiri mengantri bersama karyawan lainnya, persis di kantin rumah makan Padang tempat mereka tadi mengantri. Sebenarnya rambut Evan tidak terlalu gondrong. Tetapi modelnya yang mengingatkan mereka dengan model rambut aktor Meteor Garden saja yang menyebabkan gadis-gadis di line yang suka memanggilnya gondrong. Evan, seperti laki-laki Manado kebanyakan, memiliki kulit putih. Wajahnya tampan. Hanya saja, sifat cueknya itu yang membuat gadis-gadis di sini yang bikin gemas. Belum lagi ketika dikomplain dengan hasil pekerjaannya yang sering bermasalah, Evan semakin memperlihat sifat cueknya.
"Kenapa, kamu naksir?"
"Ganteng, sih," ujar Eva dengan kejujuran yang tidak perlu diragukan. "Tetapi, kalau ingat kerjaan dia yang banyak reject-nya, aku benciiiii...."
"Hati-hati. Benci yang terlalu berlebihan bisa kebawa mimpi, loh."
"Jangan sampai!"
"Jangan sampai apa?"
"Jangan sampai kebawa mimpi. Kamu tahu, di perusahaan saja aku sudah tersiksa. Kalau sempat dalam tidur cowok itu juga mengganggu, kamu bayangkan dua puluh empat jam aku menderita."
Eva berlebihan. Dan Unna mulai bisa memaknai kata benci yang Eva maksud. Unna mengulum senyum, Eva mendelik kesal.
***
Tiga puluh menit sebelum jam pulang, Bertha berteriak meminta semua operatornya berkumpul.
Kobayashi San melakukan meeting dadakan di ruang produksi. Selain kembali mengingatkan semua karyawan untuk menjaga quality demi kepuasan customer, Kobayashi San juga memberi tahu bahwa untuk beberapa bulan ke depan ia akan digantikan Tatsuya San. Anaknya sendiri.
Lelaki tinggi itu memasuki ruang produksi dan langsung mengambil posisi berdiri di sisi kanan Kobayashi San. Desas desus pun tidak bisa dicegah. Terlebih Bella. Ia yang tadi berdiri paling belakang, merengsek ke depan. Astuti mendengus kesal karena sempat terdorong.
Unna mengumpat dalam hati. Astuti rupanya benar. Lelaki yang tadi ia temui di ruang kerja Kobayashi San, lelaki bermata tajam yang berdiri dengan berpangku tangan adalah anak dari pemilik perusahaan ini.
Bos baru, dan ia memiliki semua catatan hitam tentang Unna. Entah seperti apa ke depannya.
Gadis itu menarik napas pasrah.
***