Cukup dua detik untuk Unna meyakinkan diri, bahwa ini adalah kali pertama ia melihat lelaki itu. Wajah oval dengan tulang pipi agak ke bawah. Sangat tampan! Tetapi, memiliki mata kecil yang tajam seakan siap meenerkam.
Hups!
Dengan cepat Unna turun dari metromini, tepat ketika angkutan warna hijau yang hanya beroperasi dalam kawasan industri itu berhenti di depan gerbang perusahaan ia bekerja. Berbekal tas punggung berisi beberapa buku yang digunakan untuk melindungi kepala dari gerimis sisa semalam, gadis berusia dua puluh dua tahun itu berlari kecil menembus udara pagi yang basah menuju tempat finger print, mengabaikan senyum petugas keamanan yang berdiri di depan pos penjaga. Pagi ini, tidak ada orang lain yang antri di mesin absensi seperti biasanya, hanya ia sendiri. Oh, Tuhan .... Jangan sampai terlambat.
Yes!
Tepat pukul 07:00 nomor ID dengan nama Unna Sugandhi tersimpan di mesin absensi yang menggunakan sistem finger print itu. Gadis yang sangat mudah diingat dengan tanda tahi lalat di atas garis bibir sebelah kanannya itu mungkin bisa bernapas lega. Tetapi, bukan berarti ia sudah selamat dari marabahaya.
Secara administrasi, Unna memang tidak terlambat masuk kerja. Tetapi, sesuai aturan yang dibuat secara sepihak oleh leader-nya yang bernama Bertha, semua harus masuk ruang kerja sepuluh menit sebelum bel berbunyi. Oh, membayangkan wajah monster itu saja bulu kuduk Unna sudah berdiri. Melebihi ketakutannya menghadapi makhluk yang tak bisa berpijak di bumi.
Unna menyibak rambut panjang bergelombangnya yang sedikit basah. Begitupun dengan seragam kerjanya. Kembali ia mengayun kaki dengan cepat menuju loker, dan mendorong pintu ruangan itu tanpa ampun. Memasang baju wajib memasuki area produksi yang akan menyulapnya bak astronot nyasar dengan tergesa-gesa. Untuk kesekian kali, Unna melirik jam di pergerangan tangan. Ini benar-benar situasi yang menjengkelkan! Semua teman-teman kerjanya pasti sudah berdiri dengan kepala menunduk di depan Bertha seraya mendengarkan instruksi pekerjaan hari ini dan komplain dari customer dari hasil kerja mereka di hari-hari sebelumnya. Sedangkan ia masih di sini. Bersiap-siaplah monster itu murka!
Unnaaaa, ini sudah jam berapa? Kamu nggak masuk kerja?
Sms dari Eva.
Unna keluar dari menu pesan tanpa berniat membalas sms Eva dan memasukan ponsel ke dalam kantong celana. Ah, seharusnya ia mengabaikan saja sms yang masuk. Tidak perduli itu sms dari siapa. Tetapi, Unna adalah gadis yang memiliki rasa penasaran yang super tinggi. Ketika ada sms masuk, ia tidak akan bisa tenang sebelum tahu siapa pengirim sms dan apa isi pesannya. Bahkan miscall sekalipun Unna tidak bisa mengabaikan. Dan itu adalah salah satu sumber tatapan sinis Bertha padanya selama ini.
"Hei, kenapa masih di loker?"
Unna mendongak kaget. Wajahnya pias. Seorang lelaki jangkung berdiri di depannya. Lelaki Jepang itu sudah tua, kurus juga. Tapi untuk urusan pekerjaan, ia masih sangat gesit.
"Ini sudah jam berapa?" Lanjut lelaki itu lagi dengan bahasa Indonesia yang sangat payah seraya menunjuk jam di pergelangan tangan kirinya. Pukul 7 lewat 5 menit. Unna melepaskan pegangan tangannya dari handle pintu loker.
"Maafkan saya, Kobayashi San. saya terlambat." Ucap Unna menundukan kepala.
Sebelum pemilik perusahaan itu mencatat nomor ID dan mengingat-ingat wajahnya, Unna segera melesat menapaki anak tangga menuju lantai dua, tempat kerjanya.
Perusahaan Jepang memang terkenal dengan tingkat disiplinnya yang tinggi. Dan selama ini, Unna adalah orang yang tidak pernah bermasalah dengan segala aturan dalam perusahaan elektronik ini. Hampir setahun ia bekerja di sini, ini adalah kali pertama ia terlambat. Apesnya, sekali terlambat langsung kepergok sang pemilik perusahaan.
Memasuki ruang produksi, Unna yang dibaluti pakaian yang agak lembab karena gerimis tadi, makin gigil oleh suhu ruangan yang sangat dingin. Di-setting pada angka 10 derajat celcius, untuk melindungi kualitas komponen elektronika yang sangat sensitif.
"Maaf, Kak Bertha, saya terlambat."
"Segera ke line dan langsung bekerja. Jam istirahat menghadap saya." Balas Bertha tanpa memperdulikan Unna. Perempuan tambun itu sibuk sekali dengan beberapa box berisi rakitan PCB yang siap untuk di-check oleh inspector.
Eva yang tengah sibuk menekuri papan PCB yang dipenuhi puluhan komponen elektronik yang kecil-kecil di bawah pencahayaan dua buah lampu TL yang berada dua jengkal di atas kepalanya, mendongak demi menyadari kedatangan Unna, menatap dengan kecemasan yang berlebihan.
"Aku terlambat."
"Miss disiplin terlambat. Dan ini untuk pertama kalinya. Aku rasa ini bagian dari yang namanya prestasi." Ledek Eva dengan suara yang lebih mirip bisikan. Karena kalau ketahuan Bertha mereka berbicara pada jam kerja, maka bersiap-siaplah menerima makian dengan logat bataknya yang khas itu.
"Ceritanya panjang."
"Garis hitam di kelopak matamu itu sudah menjelaskan semua. Berapa kali aku harus mengatakan bahwa tubuhmu itu punya batas kemampuan?"
"Lelahku jelas, Eva. Kuliah malam."
"Oh, kamu ingin kembali mengatakan bahwa apa yang aku lakukan di luar jam kerja sebagai sesuatu yang sia-sia?" Balas Eva dengan geram.
"Hojot, hojot, hojot." Teriak Bertha yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Unna dengan membawa box besar berisi PCB yang siap di-check. Hojot merupakan bahasa Batak yang berarti 'cepat' dan menjadi kata pamungkas bagi Bertha tiap kali melihat bawahannya mulai lalai dalam bekerja.
Sadar kepergok monster, Eva tidak mau mengambil resiko. Secepatnya ia menunduk menekuri pekerjaan, seolah dari tadi ia memang sibuk. Memang jeli memperhatikan semua komponen sesuai drawing. Tidak boleh ada polarity komponen yang terbalik, seperti diode, capasitor, dan komponen elektronika lainnya. Tidak boleh ada jalur PCB yang putus, komponen yang miring-miring, gundukan solder yang harus rapi dan menempel dengan sempurna, dan hal-hal detail lainnya.
Unna meraih box besar berwarna biru itu dari Bertha.
"Jangan lupa menghadapku di jam istirahat pertama." Sebelum pergi, Bertha kembali mengingatkan. Unna mengangguk, mengiyakan marabahaya yang mengancamnya. Bertha, perempuan tambun itu tidak akan pernah memperlakukan pelanggaran kedisiplinan dengan anggun.
"Kenapa smsku tidak dibalas?" Bisik Eva lagi ketika yakin bahwa monster itu sudah tidak bisa menjangkau frekuensi suaranya.
"Bagaimana aku membalasnya kalau Kobayashi San memergokiku di loker."
"Kobayashi San?" Tanya Eva dengan bias wajah yang membuat Unna didera kecemasan. Pupil matanya melebar. Dan mulut yang menganga itu beruntung ditutupi papan PCB sehingga udara yang dihirup Unna masih steril.
"Kamu jangan menakutiku."
"Bukan menakuti. Tetapi kamu sendiri tahu bagaimana Kobayashi San."
"Tenang saja. Ia tidak tahu namaku. Ia juga tidak mencatat nomor ID-ku. Dan mudah-mudahan ia juga tidak mengenali wajahku."
"Bagaimana bisa?"
"Aku langsung kabur."
"Hojot, hojot, hojot!" Lagi-lagi, mereka tertangkap basah. "Sudah dibilang hojot masih aja ngobrol. Target, target!" Bentak Bertha.
"Reject-nya banyak, Kak." Eva menemukan alasan yang tepat. Tapi, Bertha selalu punya cara untuk selalu menyangkal berbagai jenis alasan.
"Kalau banyak reject, harusnya kamu makin fokus melakukan inspection, bukannya ngobrol."
Iya juga, sih, Eva membathin. Untuk kali pertama ia berdiri pada sisi Bertha dan memusuhi diri sendiri. Di dalam diam.
"Unna, kamu diminta datang menemui Kobayashi San di ruangannya. Sekarang."
Unna memperhatikan wajah Bertha lamat-lamat untuk memastikan bahwa apa yang didengarnya sungguhan. Ia menatap Eva sebentar. Gadis itu mengangguk, membenarkan bahwa pendengaran mereka menerima signal yang sama.
"Menghadap Kobayashi San?" Ulang Unna.
"Ya," jawab Bertha santai.
"Urusan apa, Kak Bertha?"
"Aku bisa saja menduga. Tapi lebih pastinya, baiknya kamu jumpai saja Kobayashi San."
Unna kembali beralih menatap Eva. Pesan yang tersirat dari sorot mata Eva kali ini membuat Unna menciut.
Apa mungkin karena keterlambatannya tadi? Oh, Tuhan .... Tidak ada karyawan yang selamat setelah menghadap Kobayashi San.
***
Pintu itu tak ubahnya seperti gerbang neraka. Siapapun yang masuk ke dalamnya, sudah bisa dipastikan keluar dengan garis bibir yang tidak lagi simetris. Seminggu lalu misalnya. Bella, temannya sesama operator inspection, keluar dari ruangan Kobayashi San dengan membawa selembar kertas yang langsung dibubuhi tanda tangan dengan tinta basah. SP1 alias surat peringatan pertama, karena Kobayashi San mendapat laporan dari Bertha bahwa Bella seringkali ketawa cekikian ketika bekerja. Dan itu mengganggu konsentrasi kerja karyawan lainnya.
Unna yang hendak mengetuk pintu berwarna putih itu, kembali menarik tangan. Ia menarik napas lebih dalam, mengumpulkan keberanian sebanyak-banyaknya.
"Silahkan masuk," begitu suara dari dalam ketika akhirnya Unna memberanikan diri mengetuk pintu. Masih suara yang sama dengan bahasa Indonesia yang terbata dengan logat Jepang yang kental.
Unna memutar handle pintu, mendorong tanpa mengeluarkan banyak tenaga. Pintu terbuka. Kobayashi San duduk di kursi seberang meja. Di sisi kanannya, tepatnya di seberang meja, seorang lelaki berdiri dengan berpangku tangan. Garis wajahnya sama dengan Kobayashi San. Cukup dua detik untuk Unna meyakinkan diri, bahwa ini adalah kali pertama ia melihat lelaki itu. Usianya masih muda, sepantaran dengan gadis itu. Warna kulit sama dengan Kobayashi San, sawo matang. Wajah oval dengan tulang pipi agak ke bawah, dan tulang hidung yang sangat jelas. Ia terlihat sangat rapi dengan kemeja panjang tangan dan rambut klimis. Sangat tampan, dan memiliki mata kecil yang tajam seakan siap menerkam.
Unna kembali memperhatikan Kobayashi San.
"Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?"
Unna menggeleng pelan.
"Bertha tidak memberitahu kamu?"
"Tidak, Kobayashi San."
Kobayashi San mengambil selembar kertas yang berisi flowsheet kerja yang tadi berada di atas meja dan mengangkat setinggi jangkauan yang ia bisa. Gadis itu sedikit membungkuk untuk bisa melihat lebih jelas bahwa pada kertas berwarna kuning itu tertulis namanya sebagai operator inspection.
"Unna Sugandhi,"
"Iya, Kobayashi San. Itu nama saya."
"Customer kita menemukan sepuluh barang riject pada barang yang mereka terima. Dan itu artinya, satu kontainer barang yang sudah kita kirim ke Singapore, dikembalikan!"
Unna menarik napas dengan susah payah. Ia merasa bahwa malaikat maut sedang mengintainya saat ini dan siap menarik kapanpun berkehendak. Gadis itu menggigit bibir dalam bagian bawah dengan tangan kanan memilintir sudut baju astronotnya. Ketakutan makin mengental. Dalam bathin ia bersuara, hanya pertolongan Tuhan yang bisa menyelamatkan. Tidak Bertha, tidak Eva, dan tidak siapa pun.
Ia sangat paham apa konsekuesi dari kesalahan yang telah diperbuat. Apa lagi kalau sudah berhubungan dengan quality product yang kecolongan hingga ke customer. Tidak akan pernah selesai hanya dengan kata maaf.
Kobayashi San melanjutkan, "ini bukan saja tentang kerugian materi yang perusahaan tanggung karena biaya pengiriman, membongkar semua barang yang sudah di packing rapi, dan melemburkan karyawan untuk kembali melakukan inspection. Tapi ini juga menyangkut kepercayaan customer. Kamu tahu siapa customer-nya?"
Unna kembali memperhatikan flowsheet tadi dengan seksama. Di sisi kanan atas tertulis nama perusahaan yang mengorder product tersebut.
"Epston." Jawab Unna dengan suara serak. Kemudian ia kembali menunduk. Ia tidak berani menatap mata Kobayashi San yang sedang tidak bersahabat.
"Ya. Epston adalah customer tetap kita. Dan kamu pasti juga tahu bahwa Epston adalah perusahaan besar yang sangat concern dengan quality."
Unna mengangguk. Tetiba kedua matanya terasa hangat. Ada buliran hangat yang mengembun di sudut sana. Ia hendak menangis. Tapi ia tahan. Ia harus bersikap secara profesional. Air mata hanya boleh tumpah di pundak almarhum nenek, saudara, dan para sahabat. Bukan pada atasan.
"Ada pembelaan yang akan kamu lakukan?" Kobayashi San kembali bersuara.
Dan Unna tidak lagi bisa bertahan. Buliran bening itu terlanjur merembes. Bukan pada Kobayashi San, tapi pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia melakukan kesalahan yang teramat fatal? Selama ini ia sudah berusaha bekerja sebaik dan seteliti mungkin. Nyaris setahun bekerja di sini, tidak ada kesalahan yang ia perbuat. Bahkan yang sepele sekalipun. Semua orang memuji atas kemampuannya sebagai new inspector. Jadi, kalaupun pertahanannya bobol, bukan karena ketakutannya pada Kobayashi San, tapi ia menangisi kelalaiannya dalam bekerja.
Unna mengangkat tangan dan mengusap air mata yang merembes di wajah. "Tidak, Kobayashi San. Ini kelalaian. Saya siap menerima resikonya."
Kobayashi San langsung mengeluarkan surat peringatan kedua-karena kesalahan yang teramat fatal, dan meminta Unna untuk menandatangani. Sebuah konsekuensi dari kesalahan yang ia perbuat, pun apa yang akan ia dapat jika kembali melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari.
Setelah memberi kuliah pendek tentang komitmen perusahaan dalam menjaga quality product, pentingnya menjaga kepercayaan customer, Kobayashi San mempersilahkan Unna kembali bekerja. Tetapi, baru saja gadis itu hendak melangkah, Kobayashi San kembali memanggilnya.
"Kamu karyawan yang tadi pagi saya temui di loker, bukan?" Kobayashi San menatap Unna lamat-lamat.
Sialan! Catatan hitam tentangnya kembali bertambah.
Unna kembali menunduk. "Iya, Kobayashi San. Tadi pagi saya terlambat."
***