Dari author:
Halo, Readers!
Memasuki chapter 4. Hmm, kira-kira kamu lebih masuk ke tim Vanesa atau tim Bella, nih?
Btw, kalau kalian suka cerita ini, please, like dan jangan ragu untuk share ke teman-teman, ya. Terima kasih dan selamat membaca.
------------------------------------------
“Bella!” Kudengar suara Vanesa memanggil dari belakang. Aku menoleh. Setengah berlari cewek itu menyusul dan sekarang kami berjalan sejajar melewati pintu security. “Itu tadi papa-lo yang ngantar?”
“Iya, Nes.”
“Kok, nggak biasanya?”
“Mang Udin lagi cuti. Kata mama, saudaranya di kampung ada yang menikah.”
“Ooh ...”
Sejurus kuperhatikan Vanesa. Sepertinya dia punya hairband baru, bentuknya grecian leaf kecil-kecil warna perak. Sangat cocok dengan model rambut gelungannya.
“By the way, lo udah putuskan belum?”
“Soal?”
“Soal audisi.”
Aku menggeleng.
“Kok belum sih, pendaftarannya kan hari ini.”
“Papa nggak mungkin ngijinin, Nes.”
“Ya nggak usah minta ijin sama papa-lo. Nanti gue bantu lo atur semuanya.”
“Tahu deh Nes, lihat ntar aja. Kan, pendaftarannya masih ada waktu sampai jam istirahat kedua.”
“Memangnya ntar sama sekarang itu ngaruh? Pokoknya lo harus ikut. Titik!”
Kami berjalan melewati koridor koperasi. Koperasi terletak di bangunan utama, sedangkan kelas kami ada di ujung sebelah lapangan basket. Kami masih harus melewati dua bangunan lain dan taman-taman sebelum tiba di kelas.
***
SMA Bernadette adalah sekolah pilihan papa. Dulu papa sekolah di sini. Kata papa, sekolah ini bergengsi, fasilitas dan tenaga didiknya punya kualitas terjamin. Tidak hanya itu, Bernadette juga memiliki segudang prestasi. Namun kalau boleh memilih, aku ingin sekolah di SMA biasa saja. SMA negeri atau SMA swasta lainnya, bukan SMA Internasional seperti SMA Bernadette. Alasanya sederhana; karena aku juga cewek biasa saja.
Lihatlah cewek-cewek itu. Mereka seperti bintang iklan dan idola para remaja; punya gaya rambut modis dan dicat mahogani. Pernak-pernik yang mereka kenakan semua bermerek. Walaupun terkadang cewek-cewek itu tidak tahu barang bergengsi yang mereka kira buatan luar negeri, ternyata buatan Indonesia. Seperti ...
“Hey, Vanesa ... you have new hairband, huh? Wow, look so cute. So chic. Where did you buy, in Paris or Greek?”
Seperti cewek yang menghentikan langkah kami dan menyapa Vanesa ini. Namanya Stefani Amore Philadelphia−cewek berdarah campuran Amerika. Dia teman sekelas kami. Rambutnya panjang bergelombang seperti rambut Vanesa. Namun, rambut Stefani cokelat-pirang bak bulu jagung. Stefani mengenakan sepatu Golden Goose warna blue glitter, berkilauan. Entah seberapa kaya orangtuanya, sehingga dia wajib mengenakan gelang emas dengan lonceng kecil-kecil di kaki kirinya. Jika berjalan, langkah kaki Stefani bergemerincingan seperti anjing pudel.
Stefani senantiasa didampingi dua sahabat gengnya; Kristi dan Eleanor. Kemana pun mereka pergi, selalu terlihat bersama. Mereka juga paling banyak merumpi saat berada di kelas. Dari situlah aku tahu, suatu hari, Stefani memamerkan sepatu Golden Goose terbaru yang dibelikan papanya di Italia seharga 500 euro, pada Kristi dan Eleanor.
Yang kutahu tentang Kristi adalah cewek itu asli Jakarta, tapi berdarah Korea. Dia bermata sipit dan beralis runcing. Sedangkan Eleanor, ceweik itu asli Papua, tapi jika ditanya selalu mengaku-ngaku kalau papanya asli Nigeria. Makanya, cewek itu berkulit hitam legam. Meski Eleanor berkulit hitam, dia tetap terlihat sangat cantik. Rambutnya hitam-lurus-dicatok, dan bibirnya secerah jeruk mandarin.
Balik lagi ke Vanesa. Dia menanggapi pertanyaan Stefani. “Ini bukan beli di Paris atau Yunani, gue beli di Blok M, di sana juga banyak. Lo mau nitip? Harganya lima puluh lima ribu rupiah.”
“Ooops!” Raut muka Stefani seketika berubah. Sementara dua temannya di belakang terkikik. “Kirain lo beli di Paris atau Greek, hihihi.”
Aku dan Vanesa bermaksud ingin mengacuhkan mereka, tapi Stefani berbicara lagi.
“Any way, lo ikut audisi besok?”
“Ikut. Bella juga ikut.”
“What? You mean ... She?” Stefani tampak syok. Mulutnya menganga dan menatap kearahku sambil menudingkan telunjuk.
“Yup, Bella akan ikut, dan gue yakin Bella pasti terpilih mewakili sekolah kita.”
“Seriously? Cewek kaku ini mau ikut audisi? Menyanyi? Hihihi… mending suruh teman lo ini belajar ngomong dulu sama kita, iya nggak, gals?”
Mereka tertawa bersamaan.
Vanesa memegang pundakku. Aku tahu dia mencoba membuatku nyaman supaya tidak tersinggung perkataan Stefani, lantas membalas, “Mending lo yang belajar ngomong dulu supaya kata-kata yang keluar dari mulut lo itu nggak nyampah!”
Cegluk! Stefani terlihat kehabisan kata-kata. Dia dan gengnya langsung bungkam. Cewek itu menjejakan kaki kiri ke lantai, membalikan badan, lantas pergi dengan sewot.
“Huh, dasar kumpulan sapi perah!” gerutu Vanesa setelah ketiganya menjauh.
***
Aku kembali melangkah bersama Vanesa melewati deretan kelas. Sementara ketiga cewek tadi berada jauh di depan.
“Bella!” seru Vanesa tiba-tiba saat kami berjalan di koridor kelas sepuluh. Dia mengguncang-guncangkan pundak kananku. “Itu kak Dani Christian!”
“Yang mana?”
“Itu yang wajahnya cakep banget mirip Boy William!”
Aku mengernyit. “Siapa lagi itu Boy William?”
Vanesa berdecak. “Boy William itu artis, sering ngemsi gitu deh di TV.”
“Yang mana, sih?”
“Itu... yang itu! Yah, udah masuk ke ruang guru, deh, lo sih telat. Tadi yang bawa mikrofon sama kabel.”
“Ya udah, kalau gitu kita tunggu aja di depan ruang guru sampai dia keluar.”
“Benar juga… ih, gue nggak nyangka lo kadang punya pemikiran sama kayak gue.”
“Eh, nggak, nggak. Gue cuma asal ngomong, mendingan kita langsung ke kelas aja, deh.”
Akan tetapi, Vanesa menarik pergelangan tanganku sebelum aku berhasil melarikan diri. Kami berdua berjalan cepat dan sekarang berdiri di samping pintu ruang guru layaknya penguntit. Vanesa memiringkan kepala ke tembok lalu mengintip ke dalam ruangan.
“Itu Bella, gue bisa lihat Kak Dani, dia lagi ngomong sama Pak Joni, sini deh.” Kami bertukar posisi.
“Mana, nggak kelihatan.”
“Di depan meja Pak Joni.”
“Iya, nggak ada, cuma ada Pak Joni-nya doang.”
Kami bertukar posisi lagi. “Tadi ada di sana.”
“Betul, kan? Udah yuk ah, mending ke kelas aja.”
“Eh, sebentar dia lagi jalan ke sini.” Vanesa terlihat gugup dan buru-buru merapikan kerah baju dan rambut.
Betul, aku bisa mendengar suara langkah kaki seseorang menuju pintu. Benar saja, kini aku melihatnya. Bahkan cowok itu sekarang berdiri tepat di hadapan kami, tapi dia hanya melempar senyum tipis dan berlalu begitu saja.
“Kak Dani!”
“Ih, kenapa lo panggil dia sih?” kataku lirih.
“Udah lo diam aja di situ.”
Sementara subyek yang bersangkutan menoleh. “Iya ...” kata cowok itu.
“Ng, Kak Dani yang mengurus pendaftaran audisi kan?”
“Iya betul ... aha, mau daftar ya? Nanti ya, pas jam istirahat kalian bisa ketemu gue di aula, oke?”
Cowok itu mengacungkan jempol dan mengedipkan sebelah mata, kemudian membalikkan badan. Sementara itu, kulihat Vanesa senyum-senyum sendiri menatap punggung Dani yang berjalan menjauh.
“Tuh kan, apa gue bilang, cowok itu yang namanya Dani, cakep banget kan? Baik banget lagi.”
“Emang tahu dari mana kalau Kak Dani itu baik banget? Ngobrol sama dia aja nggak pernah.”
“Cowok baik kayak dia mah udah bisa diprediksi dari cara berbicara. Lo lihat lesung pipitnya tadi, ih, gemesin banget. Boy William aja kalah, Kak Dani lebih cakep.”
“Udah yuk ah, buruan ke kelas bentar lagi bel masuk.”
Aku Berjalan mendahului Vanesa. Sebisa mungkin aku mencoba untuk tidak mengakui Dani memang tidak terlihat seperti cowok-cowok populer yang belagu dan sok keren seperti lainnya.
“Dan belum pernah ada lho, berita mengenai Kak Dani mempermainkan cewek-cewek di Bernadette, itu tandanya Kak Dani memang cowok baik-baik.”
“Mulai deh, lo nggak bakal berhenti ngomongin tuh cowok.” Aku berjalan lebih cepat sementara Vanesa tertinggal di belakang.
“Bella, tungguin!”
***
Jam pelajaran pertama Pak Danu mendadak mengadakan kuis. Anak-anak mengeluh kecewa karena waktu menjawab pertanyaan terasa kurang. Beruntung aku masih mengingat materi yang diajarkan Pak Danu mengenai struktur atom, dan reaksi Kimia. Meskipun nyaris keliru menjawab beberapa pertanyaan yang sempat membuat pusing kepala. Pelajaran Kimia memang memusingkan. Kalau boleh jujur, aku kurang menyukai pelajaran tersebut, meski selalu sukses mendapatkan nilai A.
Berbeda saat pelajaran kedua yang menurut Vanesa berlangsung lambat dan menjemukan. Beberapa kali ia kedapatan menguap. Padahal, sorot matahari di luar sana masih setinggi kaca jendela.
Bel istirahat pertama berbunyi. Kulihat wajah Vanesa langsung cerah. Sementara Stefani yang duduk di barisan meja nomor tiga, langsung cipika-cipiki bersama yang lain. Mereka heboh membicarakan pendaftaran audisi. Tidak terkecuali Aldo, cowok si Rambut Bunga Kol itu.
“Bella, ayo buruan ke aula sekarang, makan siangnya ntar aja istirahat ke dua!” Vanesa menarik tanganku. Ah, pasti sebenarnya bukan karena audisi, melainkan ingin bertemu Kak Dani.
yang nyangka bella hamil silakan balas komenan saya
Comment on chapter Chapter 1