Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

“Katakanlah alasan mengapa kau membuat draf setebal ini, Master?” tanya Florence sebelum Gawain kembali. Untuk pertama, mereka berbincang lebih lama daripada sebelumnya. Biasanya Gawain enggan untuk bicara dengan Florence, tapi keduanya sudah terikat dan saling percaya satu sama lain, ditambah Gawain dapat bebas bicara dengan Florence tanpa takut diintip atau didengar oleh orang lain.

   “Musuh kita kali ini adalah peri; kemampuan mereka dalam membaca jiwa lawan bicara cukup merepotkan. Untuk mengelabui mereka, aku harus mengelabui diriku sendiri, dirimu, para pengamat cerita (Gawain benar-benar merujuk kalian, para pembaca), dan bahkan Dewa dan Dewi! Aku harus membuat sosok lemah hingga Titania mengira aku menari di telapak tangannya, membuatnya lengah dan mengakui hati busuknya itu di depan Hilda.”

   “Tunggu dulu, kenapa tiba-tiba Hilda berbalik melawan Titania? Hilda adalah Valkyria kepercayaan Titania yang dikenal setia dan penurut. Lalu bagaimana tiba-tiba ia berganti pihak?”

   “Murni pertaruhan. Kau tahu bukan aku mengajar di sebuah sekolah? Di sana, aku juga mengajar budaya dan tentunya pola pikir serta idealisme. Perlahan tapi pasti, aku meracuni muridku yang berdarah muda untuk menghendaki kebebasan dari tangan besi Oberon. Seperti dugaanku, pengaruhnya cukup masif hingga Hilda tertarik.”

   Florence memang sudah membaca semua bagian draf, tapi ia tetap tak memahami alurnya. Setelah Gawain berbaik hati menjelaskan rencana besarnya, ia paham dengan rasa kagum yang tak dapat ia sembunyikan. “Satu pertanyaan terakhir, Master. Bagaimana kau tahu sifat ratu Titania dan memanfaatkannya?”

   Gawain menoleh kebelakang, “Florence mengajariku kemampuan deduksinya untuk membaca sifat orang. Aku tidak sepintar dia, tapi kurasa cukup untuk saat ini.”

   Logika, begitulah Florence memahami pola pikir Gawain yang begitu rumit. Dalam draf tebal itu tidak hanya satu skenario yang ditulis, melainkan sepuluh skenario dengan kondisi-kondisi tertentu yang teramat detail. Gawain seolah-olah melihat masa depan, bukan sekedar memprediksikan.

   Memang sempat Gawain stres karena jalan yang paling efektif untuk menyelesaikan semua permasalahan adalah kematian Oberon. Dengan itu, Gawain bisa pulang, pun juga membawa setidaknya berkantong-kantong darah kerajaan murni. Tapi bukan berarti tangan Gawain sendirilah yang membunuhnya, ia juga sudah memikirkan bagaimana cara membawa lebih banyak darah murni yang masih segar.

   Dengan satu kedipan mata, Gawain menghilang dari pandangan Florence. Kali ini ia tak bisa berbuat banyak di tanah Tír na nÓg. Sihir tidak mempan dan beradu fisik hanya memperburuk keadaan, ia hanya bisa duduk dan melihat kecerdikan Gawain dalam memanipulasi. “Mari kita lihat babak terakhir drama Tír na nÓg ini,” gumamnya sembari menyeduh teh herbal beraroma tajam.

                                                                                                   ***

Seperti yang Petra katakan sebelumnya, pernikahan kaum peri bukanlah pekara mudah dan sederhana. Bagi kamus para peri, mereka tak mengenal kosa kata ‘bercerai’ selaiknya yang Gawain tahu dan pahami dari Kurish. Sebuah permasalahan muncul ketika pernikahan Titania dan Oberon tidak berjalan harmonis karena perbedaan pendapat: Titania yang ingin bebas menjelajah sementara Oberon yang tak mau berurusan dengan dunia luar dan lebih memilih menutup diri.

   Kita sudah tahu duduk permasalahannya, bukan? Lalu apa kaitannya dengan rencana Gawain? Jawabannya mudah: ia akan bernegoisasi dengan Oberon atas permasalahan alot ini. Pertama-tama ia mengirim surat ke Kaisar Oberon dan berjanji akan membantu asal Kaisar Oberon mendengar permintaannya.

   Kaisar Oberon memang tak percaya, tapi tidak salah juga jika ia menerima dan mendengar sejenak tawaran yang menggiurkan itu. Tawaran yang dimaksud adalah cara untuk membuat Ratu Titania benar-benar tunduk selamanya pada Oberon, dan Gawain menjaminnya dengan nyawanya sendiri bila ia mengalami kegagalan.

   Mereka bertemu. Gawain yang datang seorang diri tanpa pengawal maupun senjata segera digiring ke ruang singgasana. Di sana sang Kaisar sudah menunggu tidak sabaran atas kedatangannya. Segera setelah Gawain datang dan memberi salam hormat, sang kaisar langsung menanyakan bagaimana cara menaklukan istrinya secara mutlak, seperti boneka kayu apik: tanpa nyawa, sepenuhnya dikendalikan oleh Oberon.

   “Cukup mudah, Yang Mulia Oberon. Beri Hamba waktu untuk menyelesaikan ramuan legendaris. Aku tidak tahu namanya, tapi Anda pasti tahu bukan ramuan magis dari suatu sari bunga yang bilamana diusap ke kelopak mata orang yang tidur, orang itu akan takluk pada orang yang pertama kali ia lihat, bukan? Aku bisa membuat ramuan itu, tapi aku ingin kesepakatan.”

   “Apa permintaanmu?”

   “Hanya dua permintaan sederhana: Izinkan aku dan semua anggotaku untuk pulang dan bantu kami dalam melawan Penyihir Abadi, hanya dua itu. Apakah Paduka menyanggupinya?”

   Oberon menaruh kepalanya di sandaran, memanggil beberapa penasihat untuk membisikkan ide dan gagasan-gagasan mereka. Hening sejenak, sang kaisar berpikir dengan mata terpejam selama beberapa saat, lalu mengangkat kembali kepalanya dan tersenyum puas. “Baiklah! Baiklah! Akan kuturuti, pembunuh. Tapi aku mengajukan syarat, kau harus diawasi seketat mungkin dan pergerakanmu dibatasi.”

   “Tidak masalah, Paduka,” balas Gawain sembari membungkukan badan, “oh satu lagi, hamba membutuhkan seorang asisten. Terserah dari pilihan Paduka sendiri atau mungkin satu dari hadirin yang datang di sini berbaik hati mengajukan dirinya menjadi asistenku selama aku menyelesaikan ramuan, bagaimana?” Gawain menyisir para bangsawan yang hadir dan duduk berjajar di sisi kanan-kiri karpet merah tempatnya bicara. Semua dari mereka saling lirik, juga saling bisik satu sama lain, menimang-nimang apakah mantan pembunuh keji itu dapat dipercaya dan diperdaya sesuai dengan kehendak mereka.

   Tepat sebelum Oberon menyuruh penasihatnya menyebut nama yang dirasa “pantas” untuk Gawain, seorang bangsawan muda mengacungkan tangannya dari garis belakang—itu berarti dia bangsawan kelas menengah atau malahan rendah. Gerumbulan bangsawan menyingkir, menampakkan seorang pemuda bangga yang berdiri tegap dengan mata cerah. “Dengan segala hormat, Yang Mulia. Aku, Robin Goodfellow mengajukan diri.”

   Semua orang saling pandang, tak menyangka betul bahwa bangsawan rendahan seperti Robin Goodfellow yang menawarkan dirinya, tapi mereka tak memikirkannya lama; pun toh Robin hanya seekor hama bagi bangsawan kelas tinggi, tapi di mata bangsawan sekelasnya ia dipandang sebagai cendekiawan muda yang tangkas, ambisius, terbuka, dan revolusionis.

   Florence yang melihat langsung melompat girang, juga Gawain berusaha menyembunyikan seringainya karena peristiwa ini sama persis dengan draf tulisan Gawain. “Apa usaha Master untuk menyelamatkan Robin juga termasuk bagian rencana?” tanya Florence yang tak sabaran dan penasaran.

   “Iya. Ketika aku berinteraksi dengan warga ibukota, aku mengenal beberapa nama bangsawan seperti nama ayahnya. Kenapa Aku memilih Goodfellow? Karena letak wilayah kekuasannyalah yang paling dekat dengan puri Titania, jadi Aku bisa menyelidik dan mencuri dengar apa yang mereka lakukan. Suatu hari, mereka berencana untuk melintasi gunung. Jadi, aku memasang perangkap agar mereka terperosok... beruntung sekali hanya Robin sajalah yang terperosok, bukan kambing gunung...

   Sementara Gawain dan Florence bicara, Robin sudah maju dan kini ikut membungkukan badan di sebelah Gawain sembari berbisik, “sekarang waktuku untuk menebus hutang kala itu, tuan penyelamat.” Ia mendongak menghadap kaisar, “bagaimana, Paduka? Apa Yang Mulia menghendaki?”

   “Tentu saja!” jawab Oberon tanpa meminta pendapat penasihatnya, “baiklah-baiklah, terserah, yang penting kau membawa ramuan itu. Sekarang enyah dari pandanganku.” Perintah itu membuat Gawain dan Robin berdiri, membungkuk hormat, lalu berjalan pergi dari ruang singgasana. Di luar, seorang ajudan dan selusin ksatria elit datang dan menggiring mereka ke laboratorium. Peralatannya lengkap, juga bahan yang tersedia beragam dan banyak. Tidak hanya itu, di sana juga terdapat ruangan perpustakaan khusus di mana buku dan literasi menunggu untuk dipelajari.

   Hari pertama, Gawain dan Robin tidak bekerja dan hanya berbincang agar mereka kenal dekat. Beberapa kali Robin menyinggung desas-desus pernikahan Gawain dengan Hilda, tapi Gawain tetap menepisnya, ingin berbicara hal lain yang dapat ia gunakan untuk meracuni jiwa muda Robin yang menghendaki revolusi.

   Dan itu berjalan sesuai kemauan Gawain. Robin yang menghormati Gawain setuju dan mulai juga menyebarkan pengaruh Gawain ke bangsawan tingkat rendah dan menengah yang lain, juga ke masyarakat di wilayahnya. Penyebaran itu cukup cepat namun juga rahasia. Hilda yang mendengar aliran revolusi ini mulai mempersiapkan pasukan dan melakukan konsolidasi dengan fraksi revolusi Robin.

   Gerakan bawah tanah mereka hampir tak terendus anjing-anjing setia Oberon. Tujuan mereka hanya satu, yaitu revolusi namun tetap menjaga agar tidak terjadi pertumpahan darah. Setelah mereka mendapat cukup banyak dukungan, Arsina, pemimpin fraksi revolusi sekaligus wakil yang diusung ini mengajak senat untuk berdialog.

   Sementara Gawain dan Robin berusaha keras untuk menyelesaikan ramuan, kursi tiap senat memanas. Oberon yang bertangan besi mulai melakukan penangkapan untuk membungkam fraksi revolusi dan membuatnya lumpuh selama beberapa saat. Fraksi yang dipimpin dan diusung oleh para pemuda ini bersembunyi, memikirkan langkah yang harus diambil untuk melangsungkan cita-cita mereka.

   Tapi, mari kita kesampingkan cerita fraksi revolusi ini dan beralih ke sisi cerita yang lain, yaitu Titania sendiri. Dalam jurnal yang Gawain tulis, ia tidak tertarik dengan mekanisme politik yang sedang bergejolak—dari awal ia tidak tertarik dengan tahta— tapi ia amat menjelaskan bagaimana keadaannya dengan Titania; karena Titania lah musuh utama baginya, seorang peri yang dapat dan tepat membaca hati seseorang hingga membuat Gawain mengelabui dirinya, Florence, kalian, dan seisi dunia.

   Kabar burung berupa Gawain yang tinggal di istana untuk melakukan percobaan terdengar di telinga Titania. Di tiap malam setelah mendengar berita itu, ia selalu meremas dan menggigit jarinya, gemas dengan mainan yang tak jauh dari jangkauan tangannya. Karena tak sabaran, ia akhirnya memilih kembali ke istana Oberon hanya dengan niatan mengamati penderitaan Gawain dari dekat.

   Oberon yang melihat kepulangan istrinya sumringah karena mengira bahwa kepulangannya sudah menandakan kemudahan istrinya untuk takluk meski ramuan itu masih berupa tulisan di perkamen tua. Tapi, lama kelamaan Oberon menyadari bahwa kepulangan istrinya tidak disebabkan oleh sosoknya, melainkan figur Gawain yang tampak memeras otak untuk menyelesaikan percobaan. Senyum yang ditampilkan Titania di depan Oberon berbeda dengan ketika mengamati Gawain yang terkadang berpapasan di lorong atau taman.

   Keraguan mulai muncul di hati Oberon. Ia mempertanyakan apakah namanya masih terukir di hati Titania, atau sudah tergores dan tertindih dengan nama yang lain? Sifat murninya yang mudah terbakar api cemburu mulai menguasai pikirannya yang mulai berencana busuk kepada Gawain. Berhasil atau tidak, ia berencana membui Gawain dan mengakhiri nyawanya, agar Titania selamanya jadi miliknya dan ia tak repot-repot untuk memenuhi kesepakatannya dengan Gawain.

   Jika kalian berpikir bahwa perubahan rencana Oberon tidak termasuk dalam rencana Gawain, kalian salah besar. Dasar dari draf perencanaan Gawain adalah sifat Oberon yang temperamen dan hubungan buruknya dengan sang istri. Lagipula, kutipan Kapten Hock dari jurnal Hartein cukup menjelaskan sifat Oberon: “Oberon bukanlah orang yang memegang kalimatnya...” jadi Gawain sudah tahu cepat atau lambat, Oberon lah yang akan mengingkari janjinya sendiri.

   Dua bulan berlalu cepat, tapi banyak kejadian yang terangkum dalam enam puluh hari terakhir itu. Mulai memanasnya kursi politik, kemunduran fraksi revolusi, kembalinya Titania ke istana suaminya, rencana Hilda dan sisa fraksi revolusi untuk melakukan kudeta dan sabotase, dan yang terakhir, Gawain yang dibantu Robin akhirnya merampungkan ramuan cinta yang dimaksudkan.

   Ketika ramuan itu selesai dan dikemas dengan baik, Robin mengajak Gawain berbicara empat mata dengan berbisik, “Tuan Gawain, ketahuilah bagaimanapun keadaan dan apa jalan yang Anda ambil, kami berada di pihak Anda.”

   “Kami? Siapa yang kau maksudkan?”

   “Anda mungkin tak percaya ini, tapi ketahuilah bahwa hampir separuh Tír na nÓg berbalik mendukung Anda. Kami tergerak dengan pengajaran kebebasan akan bersuara dan bertindak, dan ingin melakukan revolusi agar terbebas dari rantai besi tak kasat mata di leher kami. Kami juga mengakui betul bahwa Anda selama ini dijebak dan dipermainkan oleh Kaisar Oberon dan Ratu Titania, membuat darah kami mendidih mengetahui bahwa selama ini kami dipimpin oleh raja dan ratu yang keduanya busuk hingga ke jiwa!”

   Gawain berhenti bekerja dan memilih mendengarkan, “seperti yang Anda bilang dalam ceramah Anda saat mengajar, kami diumpamakan sebagai tahanan gua—alegori manusia dalam gua di mana mereka ditahan sedari lahir sementara orang beradab hidup di kota, hanya mampu melihati bayangan dari jarum-jarum cahaya matahari yang menembus melalui celah, tanpa tahu kebenaran sejati akan kebebasan. Hingga suatu hari salah seorang dari mereka dibebaskan dari gua, melihat pemandangan luar yang menakbjubkan lalu ingin mengajak tahanan yang lain untuk bebas...”

   “...tapi mereka, tahanan yang lain tak ingin karena mereka tak nyaman dengan kebenaran yang ditunjukkan,” lanjut Gawain yang paham kemana arah pembicaraan ini. “Aku bukan tahanan yang akan menunjukkannya pada kalian.”

   “Tapi Anda lah orang beradab yang mau menolong kami.”

   Gawain menghela napas, “Robin kawanku, sudah kubilang aku bukan siapa-siapa. Seperti yang kau tahu, aku hanyalah seorang petualang biasa yang mencari berbagai jawaban dari pertanyaan yang ada di kepalaku.” Gawain bangkit dan kembali menyelesaikan pekerjaannya lalu merapikan meja dan mengenmas ramuan, “tapi aku senang mendengar bahwa kalian menghormatiku. Terima kasih, Robin. Suatu hari aku akan membalasnya.”

   Suara ketukan pintu terdengar. Keduanya segera bergegas membuka dan mendapati bahwa Atras dengan sekelompok penjaga sudah menunggu dan siap mengantar ke ruang singgasana. Sesampainya di ruang singgasana, di sana sudah menunggu seekor serigala putih dengan rambut keperakan di sekujur tubuhnya. Itu serigala salju dari puncak Gunung Alpenia di Barat yang terkenal ganas dan rakus. Sebuah rantai menahan leher dan keempat kakinya untuk bergerak. Matanya yang tertutup rapat tanda ia sedang berada dalam pengaruh obat tidur atau sejenisnya.

   Gawain menegak ludah. Dengan ukuran tubuh sebesar badak, taring yang putih keperakan mengilat indah, juga kuku-kuku yang tampak bersembunyi di balik telapak kakinya, serigala itu bisa membunuhnya hanya dalam satu terkaman. Ini sebuah ujian. Jika ramuan itu benar-benar manjur; bila diusap ke kelopak mata serigala dan membangunkannya, maka serigala salju itu akan takluk dan tunduk pada Gawain dan selanjutnya ia akan ditangkap oleh perintah Oberon dan mungkin langsung dieksekusi di tempat. Jika tidak berhasil, maka nasib Gawain tak ubahnya seekor mangsa di depan mata serigala salju itu. Keduanya skenario yang buruk.

   Ini pertaruhan besar yang lain di dalam rencananya. Gawain belum mencoba ramuan itu kepada siapapun karena jumlahnya yang sedikit; hanya lima tetes saja dengan satu tetes di tiap kelopak mata. Dan benar dengan dugaan Gawain, Oberon telah menunggu dan menyuruhnya untuk mengusap ramuan yang ajaib itu. Robin bersikeras untuk menggantikan peran Gawain, tapi Gawain menolak, “ini bagian dari tugasku untuk membuat sang Kaisar percaya.”

   Rantai besi sudah terlepas leher dan empat kaki hewan buas itu. Ia masih tertidur, namun bisa saja bangun dan memporak-porandakan seisi istana. Tapi tentunya Oberon telah menyiapkan puluhan pasukan elit yang nantinya menangkap serigala salju atau Gawain. Ramuan hijau itu Gawain teteskan di telunjuknya, lalu cepat-cepat ia oleskan ke masing-masing mata. Gawain bohong bila ia tidak ketakutan, kakinya bergetar, namun menjaga keseimbangannya sebaik mungkin.

   Tepat setelah Gawain selesai mengoleskan ramuan, serigala salju itu beringsut bangun dan melolong panjang. Semua ksatria langsung mengacungkan tombaknya, lalu melingkar dan bertindak sebagai perisai Oberon. Gawain membeku, itulah tugasnya. Dengan mata tertutup, ia maju satu langkah dengan tangan terangkat.

   Suatu sensasi lembut dan halus menyentuh telapak tangan Gawain yang tak lain adalah surai lembut serigala salju. Gawain memberanikan diri membuka mata, melihat elok sekaligus menakutkannya serigala salju dari dekat. Lidahnya yang terjulur menjilati tangan Gawain dengan lembut, lalu menjilati tubuh Gawain hingga terlempar ke lantai. Hewan magis itu tampak seperti anjing raksasa yang manis jika dilihat dari wajahnya; sifat alami semua betina. “Blanc, jika kau mau nama, nama itulah yang cocok untukmu,” gumam Gawain sembari menempelkan dahinya ke moncong kawan barunya itu.

   “Ramuan itu berhasil!” seru Robin yang amat senang, tapi kesenangan itu hilang ketika salah seorang penyihir merapal mantra tidur kepada serigala, lalu gerombolan ksatria maju dan langsung meringkus Gawain. “Apa maksudnya ini, Paduka?!”

   “Tentu saja aku menangkap pembunuh kaumku, apa lagi? Dia telah melakukan kejahatan dan seharusnya dihukum mati. Agar keseimbangan Tír na nÓg terjaga selamanya, maka dia harus mati! Buang dia ke menara dan esok pagi gantung dia!”

   “Menara!” pekik Robin yang tak percaya. Penjara Menara adalah tempat di mana para tahanan akan ditaruh dalam ruang sempit di ujung menara. Memang lebih terang dan nyaman daripada penjara bawah tanah, tapi tetap saja tidak bagus. Semua tahanan yang dibui di sana tak berumur panjang, paling lama satu minggu menunggu di sana—menunggu hari eksekusi. Hukuman eksekusi yang dijatuhkan pun tak tanggung-tanggung, ada yang dijatuhkan ke jurang penuh hewan buas, digantung di tiang pancang lalu dibakar hidup-hidup, dirajam lalu dilempari batu, dan bahkan nyawanya dikutuk hingga ke alam kematian.

   Gawain diseret keluar dari ruang singgasana, juga Blanc. Keduanya lemas tanpa perlawanan. Sebelum keduanya pergi, salah satu ksatria merampas botol ramuan, lalu memberikannya ke Robin. “Aku akan memberimu tugas kehormatan, Robin Goodfellow karena sudah merampungkan ramuan legendaris ini: oleskan keduanya di mata Titania, istriku, malam ini! Dan demi kebaikanmu sendiri, bersegeralah enyah baik dari pandanganku atau kamar Titania sendiri! Kau paham itu?”

   Robin menggemeretakan giginya, tapi ia tak bisa berbuat banyak. “Ini sudah kelewatan!” batinnya dalam hati. Karena merasa muak di ruang singgasana, ia menyegerakan diri berpaling tanpa memberi rasa hormat sedikitpun pada sang kaisar. Dengan dikawal dua ksatria, ia kembali ke laboratorium, meringkas kembali barang bawaannya, lalu mengirim surat ke fraksi revolusi melalui seekor pipit. “Tirani harus dihentikan sebelum Sang Cahaya mati di tangannya!” gumamnya sembari menulis.

   Malam harinya, fraksi revolusi sudah menerima surat dari Robin. Isi surat itu benar-benar mendidihkan semua anggota fraksi yang sebagian besar diisi oleh ksatria dan bangsawan muda selutuh Tír na nÓg, tak terkecuali Hilda. Matanya panas diikuti dengan wajahnya yang merah membara. Ia langsung mengumpulkan semua pemuda-pemudi di desanya, juga bawahan Valkyria yang masih setia padanya untuk menggebrak omong kosong yang memuakkan. Pergerakan mereka cukup cepat hingga tak seorangpun dari pihak Oberon tahu apa yang terjadi di luar sana. Fraksi revolusi melakukan konsolidasi yang berpusat di Hutan O’ak dan mendapat keputusan final bahwa kudeta harus dilaksanakan sebelum semuanya terlambat—sebelum cahaya harapan lenyap di tangan Oberon, selamanya.

   Di tengah malam, Robin masih bersitegang di depan ruang tidur Titania. Ia takut-takut apakah suratnya sampai dan membayangkan apa yang sedang disiapkan oleh fraksi revolusi. Mereka pasti bergerak, itu berarti malam ini adalah malam tenang terakhir. Esok mungkin darah akan tergenang di jalanan, juga mayat-mayat teronggok di sudut-sudut gang, membusuk tanpa penguburan yang layak dengan kematian hina hingga gagak tak mau memakannya, hanya hewan tak berbudi luhur sajalah yang mau memakan daging hina semacam itu.

   Ia berhenti memikirkannya dan memilih masuk ke bilik tidur Titania dengan langkah yang senyap seperti bisikkan angin malam. Saat cukup dekat, ia segera melakukan pekerjaannya dan kembali ke luar secepat mungkin. Sebenarnya ia bisa saja meracuni Titania—ia sudah menyiapkan ramuan lain—tapi ia teringat pesan Gawain untuk selalu berlaku jujur, karena kejujuran adalah mata uang yang paling berharga dan berlaku di manapun. Demi kehormatannya pada Gawain, ia menuruti meski tak mengubah fakta bahwa Gawain besok akan digantung lalu dibiarkan membusuk hingga gagak dan belatung yang mengubahnya menjadi tulang-belulang.

   Oberon dapat tidur tenang. Esok hari ia akan bangun sepagi mungkin, mandi dan berdandan, serta memilih baju sutra paling apik untuk menyambut bangunnya sang istri. Sebuah mimpi sudah terambang di benak mimpinya, tak tahu bahwa mimpi tetaplah angan ketika kita tertidur.

   Tapi tidak dengan Gawain, ia tentu tidak bisa tidur sekejap pun. Bukan karena ketakutan akan eksekusi mati, tapi karena memperkirakan apakah perhitungannya kali ini tepat. Setelah ini, ia masih harus melalui pertaruhan yang lebih besar. Gugup juga khawatir, karena kunci keberhasilan rencana yang ada di drafnya itu bergantung pada malam penentu ini.

   Ketika bulan sabit tua bergeser condong ke barat, hampir digantikan oleh mentari di Timur, fraksi revolusi yang sudah tersebar di segala penjuru dan bahkan di dalam istana Oberon sendiri sudah disiapkan satu kelompok elit yang terdiri dari ksatria terkuat. Tugas kelompok kecil ini adalah membunuh Oberon dan Titania. Anggotanya hanya empat orang ditambah Robin yang menawarkan diri karena ia tahu jalan rahasia yang tersembunyi di ruang bawah tanah istana agar dapat memberi serangan kejutan.

   “Robin, kau tak bercanda bukan ketika bilang Gawain sedang ditahan di Penjara Menara?” tanya Hilda, ketua kelompok elit itu. Mereka semuanya bezirah hitam. Tangan Hilda sudah geram dan gatal untuk menebas, tapi ia tak akan membunuh, hanya melukai.

   “Tidak, Lady Hilda. Jika Anda tak percaya, ikutlah Aku.”

   Serangan masih belum dilakukan, lebih tepatnya menunggu Bintang Alta’ir bergeser barang satu jam derajat. Hilda menyuruh tiga bawahannya menunggu di ruang bawah tanah, sementara dia dan Robin mengendap-ngendap menuju Gawain. Namun, sebelum ke sana, keduanya belok ke gudang senjata, tempat di mana semua barang sitaan disimpan. Mereka mengambil barang sitaan Gawain: mulai dari belati, tongkat, buju jurnal, dan enam bola liat aneh.

   Sisa perjalan mereka ke Penjara Menara cukuplah mudah. Dengan mantra Robin yang membuat mereka tembus pandang, mereka tak menemui rintangan yang berarti. Penjaga-penjaga tampak lengah, dan beberapa dari mereka didapati tidur saat berjaga. Ketika menemui Penjaga Menara yang juga tidur karena mabuk atas hadiah karena berhasil menjebloskan Gawain di Penjara Menara, mereka dengan mudahnya merebut kunci sel dari kantongnya.

   Ruang sel Penjara Menara hanya berjumlah empat bilik, jadi mereka cepat menemukan di mana Gawain berada. Perlahan mereka memasukan kunci dan membuka hingga engsel tua berkarat itu tak mengeluarkan suara sedikitpun. Gawain yang duduk di pojokan sembari menatapi langit malam dari balik jendela jeruji terkejut dengan kedatangan Robin dan Hilda.

   Pias bahagia di wajah Gawain menunjukkan kelegaan, tapi hanya sesaat. “Apa yang kalian lakukan?” tanya Gawain persis seperti dialog dalam draf yang ditulisnya.

   “Menyelamatkanmu, tentu saja,” Hilda segera memberi semua barang Gawain sementara Robin berjaga di pintu bila ada penjaga yang menyadari usaha penyelamatan ini. Gawain segera melengkapi dirinya, mengangguk lalu ikut pergi. Sebelum ia benar-benar pergi, ia meninggalkan satu Bola Saltpetra di ujung pintu, memercik api di tali yang ternyata pengganti sumbu. Robin dan Hilda yang telanjur ke bawah tentunya tak mengetahui apapun tentang ini, mereka merasa cukup dengan keadaan Gawain yang baik-baik saja.

   Mereka semua kembali ke ruang bawah tanah, menunggu perintah dari regu penyampai pesan, juga mawas melihati langit, menunggu waktu yang tepat.

   Di sisi lain, lebih tepatnya fraksi revolusi yang sedang menunggu di luar kota juga di hutan yang telah bersiap. Sambil menunggu, mereka memandangi Penjara Menara yang berlatar gugusan bintang di baliknya. Beberapa dari mereka bergumam tentang siapa sosok cahaya yang menjadi bapak pengajar idealisme kebebasan, beberapa dari mereka yang tahu rupa Gawain bercerita, sementara beberapa memilih beristirahat senyaman mungkin.

   Duar! Penjara Menara itu meledak! Kontan semua orang langsung terbangun melihat pemandangan mengerikan itu. Semua anggota fraksi revolusi yang melihat pemandangan itu padam semangatnya, tapi ada beberapa dari mereka yang berang. “Sang cahaya! Sang cahaya telah dibunuh bahkan sebelum hari eksekusi!”

   Moral semua anggota turun bahkan sebelum medan perang terlihat. Di antara mereka ada seorang peri yang bertudung coklat hingga menutupi seluruh wajahnya. Ia berjalan tenang melintasi orang-orang sembari meniup seruling yang mengusir keraguan hati. Tiupan seruling itu lirih sama seperti angin malam yang menyinggung telinga, tapi entah mengapa semua perhatian kini terpusat padanya.

   Peri bertudung itu maju, lalu berdiri di batu tinggi, membuat figurnya terlihat bagi semua orang. Karena unggun tak dinyalakan, semua mata tak mengenali siapa sosok itu, meski mereka pernah mendengar senandung lagu yang dimainkan oleh jari yang menari-nari di lubang seruling. Beberapa saat setelah keramaian mereda, lagu itu berhenti. Sosok bertudung itu mengangkat serulingnya ke atas, berteriak, “apa yang meragukan hati kalian?! Wahai pemuda-pemudi?!” serunya dengan suara parau yang disengaja. “Apa langkah kalian terhenti?”

   “Tidak,” jawab lirih semua anggota fraksi revolusi.

   “Aku tak tahu darah muda kalian memang lemah dan pengecut; kutanya sekali lagi, apa langkah kalian terhenti?! Apakah kalian akan berpangku tangan pada orang yang sudah mati?! Apa kalian tak bisa berdiri dengan kaki kalian sendiri?! Kalian cacat?!” pekik sosok itu.

   “TIDAK!” seru semua anggota fraksi. Mereka menelan bulat-bulat kobaran semangat dari orang tak dikenal ini. Moral semua orang meningkat, mereka mulai mengangkat senjata masing-masing dan siap untuk diperintah maju.

   “Idealisme tidak akan mati; mereka kebal akan tikaman, sabetan, dan panah! Ingat itu, kawan-kawanku!” Sosok itu hendak turun, tapi ia kembali melanjutkan pidatonya, “jangan buta, kawan. Sesungguhnya kekuasaan yang dibangun dari pondasi darah dan tulang belulang tidak sekuat pondasi dari idealisme; jikalau bisa tidak ada tumpah darah! Sadarkan dan bangunkan saudara-saudara kita agar bisa keluar dari gua untuk menyaksikan kebenaran sejati!”

   Itulah ajaran alegori manusia gua yang dianut oleh tiap anggota fraksi revolusi. Hanya dengan menyinggungnya, api sekecil lilin sudah berubah menjadi seganas bintang terang. Itulah cahaya harapan yang bersinar di tiap hati orang. “Hidup demi esok atau mati malam ini menjadi martir!” teriak sang pemegang seruling.

   “HIYA!” tanpa menunggu perintah, semua orang langsung menyerbu ke ibukota. Jika bisa, mereka tidak bermaksud keras, tapi jika terpaksa mereka akan mengangkat senjatanya tanpa ragu-ragu.

   Satu-satunya orang yang tertinggal di sana adalah sang pemegang seruling. Ia mendongakkan kepala, melihati malam di mana Tír na nÓg akan berubah selamanya. “Kuserahkan padamu, Gawain.” Bayangan kanopi hutan membuat figurnya buram, lalu dalam satu kedipan ia lenyap dari pandangan.

   Kegaduhan di ibukota membuat semua ksatria Oberon meningkatkan penjagaannya. Ketegangan terjadi ketika mereka bertemu. Ksatria Oberon yang merasa bahwa fraksi revolusi melakukan kudeta segera mengangkat pedang dan tombak mereka, adu pedang tidak terelakkan.

   Sementaraa itu, di ruang bawah tanah terdapat lima orang beradu otak tentang bagaimana cara membunuh sang Kaisar. Gawain tak ikut karena Hilda menolak campur tangan Gawain yang pasti tidak setuju dengan rencana semacam ini, tapi pemuda itu bersikeras dan menemukan solusi lain. “Dalam permainan catur, siapapun yang bisa menyudutkan raja yang lain, ia yang menang; dalam artian lain, kita tak perlu membunuh Oberon, melainkan menyudutkannya saja hingga ia mengaku kalah.”

   Hilda sebenarnya tak setuju dengan gagasan Gawain, “bagaimana ia bisa mengampuni musuh yang bahkan mengincar nyawanya sendiri?” batinnya, tapi ia tetap manggut-manggut karena sesungguhnya revolusi ini juga terjadi atas dasar pemikirannya.

   Penjagaan semakin ketat, tapi memang saat ini bukan waktunya untuk bersembunyi lagi. Lekas semua dari mereka keluar dari ruang bawah tanah, pertarungan tak terhindar. Hilda dan tiga temannya bertugas untuk mengalihkan pandangan, sementara Robin dan Gawain yang akan mengurus Oberon.

   Rencana Gawain berjalan cukup mulus selama ini. Jadi, jika prediksinya tepat, maka bilik Oberon dijaga ketat oleh pasukan elit yang diketuai oleh Atras yang menakutkan. Gawain memang memiliki kesempatan besar untuk menang, tapi bukan itu yang nanti akan ia lakukan. Dengan tuntunan Robin yang hapal betul denah istana, mereka bisa menyelinap ketika kegaduhan terjadi dan akhirnya sampai di depan bilik Oberon.

   Kali ini, Gawain sendirilah yang maju dan menyuruh Robin untuk bersembunyi dan menunggu. “Di taman belakang, tunggulah aku di sana,” tukas Gawain sembari muncul dari balik pilar, memamerkan dirinya di hadapan puluhan ksatria yang berjaga. Semua dari mereka langsung bersiaga dan mengacungkan tombak, tapi Atras menghentikan mereka, mengajak Gawain untuk bicara.

   “Rupa-rupanya kau penyebab semua ini, Gawain?”

   “Tidak. Aku tak tahu sama sekali tentang kudeta ini dan tahu-tahu mereka menunjukku sebagai bapak penggagas atau apalah itu, yang penting aku datang untuk mewakilkan mereka. Kalau kuboleh berterus terang, aku juga tak mengira akan hal ini, Atras. Kau juga tahu sendiri bahwa pergerakanku dibatasi dan selalu diawasi, bukan? Jadi, apa kau percaya dan mau mendengarkanku?”

   “Apa maumu?” tegasnya sembari mengeluarkan sebilah pedang. Atras memang terkenal akan kesetiannya juga sifatnya yang keras kepala.

   “Bicara dengan Kaisar dan mencapai kesepakatan, serta menagih janji.”

   Atras maju dua langkah dengan pedang dua tangannya. Ia tak membutuhkan perisai karena baju zirahnya terbuat dari material terkeras, juga gesit dengan memakai zirah yang beratnya sama seperti dua anak ekor sapi. “Sebagai ksatria pilihan kaisar, aku bertugas untuk menjaga waktu istirahatnya. Satu langkah dan kita adalah musuh, Gawain.”

   Gawain mengangkat tongkatnya dan maju bersiaga, “kukira kau orang yang lebih pintar!” hardik Atras.  Wush! Atras melesat maju hanya dengan satu hentakan kaki lalu tiba-tiba jarak di antara keduanya terpangkas. Jarak mereka kini hanya beberapa kaki, Gawain sudah berantisipasi tapi keterkejutannya tetap terlihat di wajahnya. Ia bergeser beberapa derajat, dan wush! Ia berhasil menghindari tebasan maut Atras.

   Lalu dengan kemampuan akrobatiknya, Gawain melompat mundur, menyuruh Florence merapal mantra bola cahaya yang terang untuk membutakan Atras. Mata semua orang di sana terbutakan, membuat waktu berharga bagi Gawain maju lalu memukul keras-keras kepala Atras yang berpelindung helm logam dengan ayunan tongkatnya. Pukulan itu amat keras hingga helm itu terpelanting ke samping, tapi Atras tetap tak bergeming sedikitpun.

   Melihat reaksi Atras yang terlihat sengaja menunggu Gawain menyerang, ia langsung melompat ke udara, membuat pijakan tak kasat mata, dan berdiri di udara dengan pendaratan yang anggun. Tepat saja, jika Gawain terlambat sepereskian detik, maka tangan kekar Atras sudah menangkap tubuhnya lalu melempar atau membantingnya ke dinding. “Mata yang bagus, Gawain. Kau tidak bodoh dengan merapal mantra sembarangan.”

   “Logam zirah itu kebal sihir, aku tahu dari kemilaunya yang cukup aneh. Memang kuakui kuat, tapi bukan berarti tidak memiliki kelemahan.” Atras melirik ke helm besinya yang terlihat penyok di bagian kanan. Bagaimana? Hanya dengan ayunan saja membuat helm itu terlempar dan langsung penyok! Sekarang Atras memicingkan matanya, “seperti yang diharapkan dari seorang pembunuh, kau tahu titik lemah zirah dan menggunakannya sebagai senjata pamungkas.”

   “Maaf mengganggu ucapanmu, Atras. Tapi kutekankan sekali lagi, aku tidak ingin pertumpahan darah setetespun.”

   “Sebaiknya kau berdoa pada Dewa dan Dewi, bukan mengoceh!” kali ini Atras mengeluarkan sayap perinya, lalu terbang menuju Gawain. Gawain menghindar dan mundur menuju koridor, lalu naik ke lantai selanjutnya. “Jangan lari, pengecut!”

   “Terserah bagaimana kau memanggilku!” tujuan Gawain memang bukan melawan Atras secara langsung, hanya sebagai pengalih. Bila hitungannya tepat, satu atau dua menit lagi regu yang dipimpin Hilda akan sampai di bilik Oberon. Semua penjaga yang lain pasti akan ketakutan menghadapi Hilda, alhasil rencana untuk menydutkan Oberon akan berjalan semestinya. Tapi rencana semacam ini tak ada di draf Gawain; ia punya rencana lain yang lebih diutamakan.

   Apa rencana itu? Yaitu melumpuhkan Atras hingga tak sadarkan diri. Caranya cukup rumit dan juga pertaruhan tinggi. Gawain akan menggiring Atras ke lantai atas, lebih tepatnya ke atas bilik milik Titania. Seperti yang dijelaskan Robin, letak bilik Titania dan Oberon berada di lantai yang sama, tapi jaraknya cukup jauh dan dipisahkan oleh lima koridor yang tampak seperti labirin di dalam istana. Gawain sudah hapal dengan jalan dan mungkin juga Atras, tapi Atras yang pikirannya terpusat pada Gawain tak memikirkan sedikitpun niatan Gawain yang lain.

   Sekarang Gawain berhenti, ia sudah tepat di atas bilik Titania, hanya batu dan pondasi bangunan sajalah yang memisahkan dirinya dari ratu yang terlelap. Melihat buruannya itu menghadapi jalan buntu, Atras tertawa mengejek, “kau makhluk bumi yang meniru kami untuk terbang? Bahkan kau tak tahu jalan yang kau pilih hingga terperangkap di jalan buntu! Otakmu bahkan kalah dengan tikus!” untuk kalian tahu saja, makhluk pengerat seperti tikus dan hamster memang diberkahi kemampuan untuk menghapal dan mengenali lingkungan seperti labirin juga intuisi yang cukup hebat untuk kabur dari labirin.

   “Hinalah aku semaumu, Atras, selagi kau punya kesempatan!” seru Gawain sembari berlarian di udara dengan pijakan tak kasat mata. Pertarungan jarak dekat tak terhindarkan. Gawain berusaha menghindari tiap tebasan dengan melompat ke sana-ke mari. Atras makin berang karena ayunan pedangnya tak menggores bahkan sehelai kain. Auranya mulai berubah, ia lebih serius. Gawain tahu dari perubahan auranya yang makin pekat, juga aktivitas otaknya yang cukup keras hingga urat-urat di wajah Atras mulai muncul kebiruan.

   “Florence, rapal mantra petir tingkat delapan di tangan kananku,” gumam Gawain.

   “Huh? Tapi bukankah kau bilang baju besi itu kebal sihir?

   “Lakukan saja.” Gawain mengambil Bola Saltpetra di kantongnya, meremasnya kuat dengan jemari tangan kanannya yang mulai melejitkan lidah-lidah petir berwarna ungu-kebiruan. Dengan belati di tangan tongkat di tangan kiri, Gawain maju menerjang. Atras mawas diri, tapi ia berpikir bahwa usaha Gawain sia-sia karena zirahnya itu kebal segala macam sihir; zirah yang dilumuri oleh darah daging suadara perinya yang mati di tangan Gawain.

   “Dengan dendam atas nama saudaraku, kau akan mati, Gawain!” pedang Atras mulai bersinar kuning, tangannya meremat pegangan tangan kuat-kuat, memusatkan semua tenaga yang tersisa di sana, lalu melakukan tebasan paling cepat.

   Gawain tak meragukan langkahnya sedikitpun, malahan ia menjulurkan tangannya, berusaha menghantamkan Bola Saltpetra dengan lejitan listrik itu ke dada Atras. Cring! Sabetan pedang itu mendarat di tangan Gawain, tapi disusul dengan ledakan hebat, mementalkan kedua orang itu menjauh.

   Atras mencoba bangkit, tapi ia tak bisa menggerakan satu jarinya pun. Ia kesulitan bernapas, ia mulai merasa sesak di dadanya. Apa yang terjadi? Apakah akan mati dengan cara konyol bagi ksatria; mati mendadak di medan tempur karena sesak napas? Itu mungkin tak apa, tapi cukup membuatnya terhina, lagipula ia berhasil menyabet tangan Gawain dengan kekuatan yang cukup menakutkan, sabetan itu bahkan cukup untuk membelah pilar beton!

   “Kau kalah, Atras,” tukas Gawain sembari bangun dan berjalan mendekat. Ia membalikkan tubuh Atras agar pemuda itu bisa melihat keadaan Gawain yang baik-baik saja. Atras terkejut bahwa tangan Gawain masih utuh sepenuhnya, bahkan tidak ada darah segar setetes pun.

   “Kau mungkin bertanya-tanya, bukan?” Gawain membuka sarung tangan yang selama ini menyembunyikan tangannya. Di sana, sebuah noda hitam mengotori kedua punggung tangannya. Atras pernah melihat punggung tangan itu dan mengira bahwa Gawain terjangkit penyakit aneh, tapi ia salah, itu bukan penyakit! “Gelang berlian, begitulah aku menamainya. Hampir semua orang mengangapnya aneh dan menjijikkan, tapi aku senang karena aku tak repot-repot menggunakan gelang dari set baju petualang biasanya.”

   Atras terkagum dengan kecerdikan Gawain yang mampu mengubah kutukan menjadi senjata. Ia mengaku kalah. Ketika ia mampu menggerakan bibirnya, ia berkata, “bunuh...aku...kehormatan ksatria....” napasnya tersengal, otot-otot dadanya lemas dengan alasan yang tak ia ketahui. Perlahan, ia memejamkan mata, lalu tak sadarkan diri.

   Gawain menghela napas, itu tadi pertarungan yang memacu jantungnya. Jika saja ia tidak tepat menghitung lintasan pedang Atras atau terlambat menangkisnya dengan gelang berlian, ia sudah tercacah. Ia tak mampu mengandalkan kemampuan regenerasi Florence karena pedang Atras juga ditempa dengan darah peri, “kenapa semua peri merepotkan?” gumam Gawain sembari menyeret Atras ke ujung koridor lain.

   Kini ia sendirian, ia tak memikirkan apa yang sedang dilakukan Hilda dan yang lain. Sekarang ia hanya perlu menaruh tiga Bola Saltpetra di tengah koridor lalu meledakkannya. Sebuah lubang menganga terbuka menuju bilik di mana Titania terlelap. Bongkahan pondasi yang kini tampak batua tak beraturan jatuh, juga dengan Gawain yang memang sengaja menjatuhkan dirinya dengan posisi tersungkur. Cukup menyakitkan, tapi tak sebanding dengan hadiah di akhir rencana.

   Seperti kita yang terbangun di malam hari karena suatu hal, Titania juga langsung bangun karena mendengar derakan bongkahan batu yang terjatuh. Saat duduk sembari mengucek mata tidurnya, ia melihat sosok yang ia rindukan; mainannya sendiri. Tapi, karena pengaruh mutlak ramuan cinta, Titania langsung takluk dengan Gawain dan memandanganya dengan cinta sejati, bukan seperti gadis yang melihat bonekanya kembali.

   Gawain terduduk dan berpura-pura memandang kosong, takut karena masih ada kemungkinan bahwa ramuan cinta itu tak mempan di Titania. Tapi ketika Titania memeluk Gawain dengan kedua tangannya sudah menunjukkan bukti bahwa ramuan itu benar-benar berhasil.

   “Gawain! Gawain! Oh, Gawain! Betapa aku merindukanmu!” tukas Titania sembari erat memeluk Gawain.

   Tangan Gawain membalas pelukan itu, membenamkan wajahnya di dada Titania dengan senyum hati yang licik. “Bagaimana rasanya diperbudak dan dipermainkan oleh budakmu sendiri?” batin Gawain.

   Kemenagan Gawain sudah di depan mata.

                                                                                                                ***

Florence memeriksa lagi draf yang ada di tangannya sambil bergeleng kagum. Semua ini benar-benar tepat dengan perhitungan Gawain. Rencana yang sempurna. Ia makin menghormati Gawain sebagai tuannya, meski Gawain adalah seorang penipu yang membenarkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Itulah api kebencian Gawain, api hitam yang menjadi bahan bakar tindakan Gawain selama ini juga bayaran utama yang Florence minta.

   Gawain orang yang baik hati. Itu fakta, tapi juga orang yang penuh kebencian. Itulah manusia sesungguhnya, hati mereka yang acak akan kebaikan dan kebencian tercampur jadi satu, dalam artian lain tidak ada manusia sempurna selain segelintir Pembawa Pesan kepercayaan Dewa dan Dewi yang memang ada.

   Tapi itulah daya tarik Gawain. Semua perbuatan itu tak lain hanya untuk melindungi orang yang ia kasihi. Jika ia tidak memiliki perasaan itu, maka ia mungkin akan mengorbankan Parsha, Kurish, atau Abi, tapi ia tak melakukannya, ia membiarkan dirinya sendiri yang berjuang. Pria sejati yang hanya ingin melindungi apa yang ia sayangi, tidak lebih.

   Kini Gawain dan Titania sudah melompat turun ke taman. Karena pengaruh ramuan, ke manapun Gawain pergi ia akan selalu diikuti Titania, bahkan keluar dari Tír na nÓg dan Neverland sekalipun. Secara tidak langsung, Gawain telah membawa kantong darah peri yang murni sekaligus segar. Tapi yang jadi pertanyaan, bagaimana ia pulang? Hanya ada dua peri yang bisa membuka portal: Petra dan Oberon sendiri. Seperti yang kita ketahui, Petra tidak bisa melakukannya lagi karena bola kristal di kuil Neverland sudah ia pecahkan sementara Oberon tak bisa melakukannya dengan cuma-cuma, ia butuh waktu bertahun-tahun untuk membuka portal untuk kembali dan kecil kemungkinan Oberon menerima permintaan Gawain.

   Jadi, bagaimana cara Gawain pulang? Cukup sederhana: dia sendirilah yang akan menjadi Oberon.

   Seorang peri muncul dari balik semak, itu Robin yang telah menunggu dengan gugup dan tidak sabaran. Dia bingung kenapa Ratu Titania mengikuti Gawain dan hendak menanyakannya, tapi Gawain menolak pertanyaan apapun dan segera beregegas ke kota, tempat di mana pertarungan terjadi.

   Ketiga orang itu melayang melintasi udara. Saat sampai, pertarungan baru saja terjadi beberapa menit dan belum ada korban di kedua pihak. “Titania, gunakan kemampuanmu untuk meredakan suasana,” suruh Gawain dengan nada kasar, tapi Titania yang selamanya di bawah pengaruh ramuan tak protes, malahan senang hanya dengan mendengar suara Gawain. Sungguh gila pengaruh ramuan cinta itu. Titania mengumpulkan suaranya, menyanyikan lagu penenang dan membuat semua orang di sana berhenti dari aktivitas lalu melihat ke angkasa di mana sang ratu yang ditemani dua orang lainnya. Figur dua orang itu tampak samar karena sang ratu lah yang paling mencolok.

   “Ikuti ucapanku, Titania,” bisik Gawain. “Seluruh peri Tír na nÓg, dengarkan suaraku!”

   “Seluruh peri Tír na nÓg, dengarkan suaraku!” beo Titania.

   “Kita adalah saudara satu sama lain; darah kita sama-sama dari satu nenek moyang! Jadi, kenapa ada perseteruan di antara kita? Kenapa harus ada pertumpahan darah hanya karena perbedaan pikiran?” ucap Gawain yang langsung dibeo oleh Titania. Orasi itu cukup menggetarkan hati semua peri, terlebih yang bicara adalah ratu mereka sendiri. “Dewi Athene, dewi kebijaksanaan dan dewi yang kita puji, akan kecewa dengan perlakuan kita di dunia! Apa kalian tak punya malu?!”

   Semua peri berlutut menunduk mendengarnya, mereka tak berani angkat bicara sedikitpun, hanya berani berbisik satu sama lain dan bergumam. Tiba-tiba, dari salah satu genteng bangunan, muncul seorang bertudung yang coklat dengan suling di tangan kanannya. Hanya dia sajalah yang berdiri selain tiga orang di angkasa, dan dia juga berani berbicara.

   Gawain tersenyum kecil, waktu yang benar-benar tepat bagi sosok itu muncul. Robin yang melihat kelakuan sosok itu ingin saja menampar wajah dan memberinya pelajaran, tapi Titania mencegahnya, dan bertanya, “siapa namamu, pemuda pemberani?”

   Pemuda itu tak menanggalkan tudungnya, ia hanya tersenyum, “nama Hamba tidak begitu penting untuk diingat Anda, Ratu Titania. Hamba akui perlakuan ini tidaklah sopan, tapi izinkan Hamba untuk bicara mewakilkan kedua idealisme yang sedang berselisih di sini. Satu pihak ingin kebebasan dan yang lain ingin tetap di tempat nyaman mereka, bagaimana pendapat Anda, Ratu Titania?”

   Tepat Titania membuka bibir, tangan Gawain menghentikannya, “kali ini, biarkan aku yang mengatasinya, Titania,” Gawain lompat ke bawah, lalu mendarat ke bangunan tinggi hingga semua orang benar-benar bisa melihatnya.

   “Sang cahaya! Sang cahaya masih hidup!” seru anggota fraksi revolusi. Beberapa mata buncah hanya dengan melihat sosok Gawain.

   Dengan tarikan napas, Gawain angkat bicara, “kutanya semua dari kalian, apakah ada dari kalian yang menyukai warna biru?” sekitar dua ratus mengangkat tangannya, “hijau?” seratus orang mengangkat tangan, “atau kuning?” lebih banyak lagi yang mengangkat tangannya. Mereka bertanya-tanya, tapi Gawain segera melanjutkan, “kombinasikan warna itu dan jadilah pemandangan yang kita lihat; itulah rahasia eloknya kehidupan yang tak lain adalah perbedaan. Aku tak tahu mungkin satu di antara kalian mengidap buta warna, tapi sekarang kutanya, apakah ada dari kalian mengidap buta warna?”

   Tidak ada yang menjawab. Peri memiliki darah yang cukup bagus dan kaya akan energi sihir, jadi mereka tak memiliki kecacatan semacam itu. Tapi satu sosok mengangkat tangannya, itu pemuda pembawa suling, “Anda benar, rasa-rasanya terlalu hambar dan monoton. Ingin rasanya aku normal seperti yang lain, tapi apa daya, inilah berkah kehidupan yang diberi Dewa dan Dewi padaku.”

   “Kalian lihat? Bahkan orang buta ingin melihat! Dan kenapa kalian yang dapat melihat perbedaan malah memalingkan pandangan? Kalian ingin buta?” seru Gawain.

   “TIDAK!” jawab serempak semua orang.

   “Baiklah kalau begitu, anak-anakku,” Titania ikut turun ke atap bangunan, kini berjajar dengan Gawain, “benar apa yang dikatakan Gawain; perbedaan memperkaya kehidupan, jadi jatuhkan pedang dan tombak kalian, dan peluklah musuh yang sejatinya saudara kalian sendiri.”

   Trang, trang! Suara logam jatuh ke paving jalanan terdengar bersahutan. Semua dari mereka melihat sekeliling, melihati sejatinya musuh adalah sifat dan ego mereka sendiri. Bodoh memang, tapi jika diumpamakan dengan alegori manusia gua, ini merupakan langkah besar karena mereka sendirilah yang akhirnya memilih untuk membuka diri, sebuah konklusi lain dari pemikiran para filsuf terdahulu.

   Semuanya tampak senang dan bahagia, tapi pertempuran Gawain belum usai. Tinggal satu pertarungan lagi dan ia bisa tidur dengan tenang. Gawain segera berlari kembali, hilang dari pandangan semua orang seperti si pembawa seruling yang juga hilang di balik cerobong asap. Robin dan Titania segera mengikutinya, lalu bertanya tentang apa yang terjadi.

   “Hilda dan yang lain, mereka pasti masih bertarung!” seru Gawain. Dan dugaan Gawain benar ketika masuk ke pelataran istana yang sudah separuh hancur menjadi bongkahan-bongkahan batu. Pertempuran besar telah terjadi, tapi tidak ada dari mereka yang tahu siapa yang bertarung dan meninggalkan saksi bisu berupa patung cupid kecil yang masih berdiri di tengah kolam depan dengan satu tangan masih memegang anak panah berbentuk hati. Kepalanya hilang entah ke mana, tapi ia masih tegap berdiri dengan satu kaki, juga separuh badan yang tenggelam ke kolam.

   Hanya suara gemericik pancuran kolam yang menjadi saksi bicara, berusaha keras menyampaikan bagaimana jalan pertarungan yang ia saksikan, tapi tak ada yang mengerti. Dua-tiga peri terlihat teronggok lemas di salah satu pilar. Robin langsung mengenali dua peri itu sebagai anggota fraksi revolusi, lebih tepanya regu Hilda. Keduanya tidak terluka, tapi tidak sadarkan diri. Nadi keduanya lemah dan hampir tak terasa, mereka meregang nyawa.

   “Titania, obati mereka,” suruh Gawain yang langsung saja dituruti. Titania menaruh telapak tangannya di dada mereka, menyanyikan lagu lirih hingga tangannya memancarkan sinar hijau yang menghangatkan. Itu teknik penyembuhan tertinggi yang ia kuasai, tapi ia melipat dahinya, menggeleng lemah.

   “Oberon...Oberon!”

   Titania sekarang tak ubahnya anak kecil: tak pintar, dan hanya berpikiran sederhana hingga ia tak bisa berbicara dengan benar. Rupanya Gawain kelewatan dengan ramuan yang ia ciptakan, tapi itu tak apa, ia suka dengan anak kecil.

   Dum! Dum! Suara berdebum menggema dari dalam istana, membuat ksatria yang lain kocar-kacir dari medan tempur. Sekalinya mereka melihat sosok sang ratu, mereka langsung berlutut dan melaporkan apa yang sebenarnya terjadi, “Ratu Titania! Syukurlah Anda baik-baik saja! Sang Kaisar, sang kaisar mengamuk dan mulai memporak-porandakan istana! Kami tak bisa menghentikannya; hanya Anda sajalah yang mampu.”

   Titania menoleh ke Gawain yang mengangguk. “Robin, apapun yang terjadi awasilah kami, jangan sampai kau masuk pertarungan. Dilihat dari tempat ini saja, Oberon punya kekuatan yang tak sebanding dengan dirimu.”

   “Jagalah dirimu, Tuan Gawain.”

   “Pasti,” Gawain dan Titani berjalan masuk lobi istana. Mereka mengikuti suara erangan Oberon yang keras dan menggema di dinding. Dengan langkah cepat, keduanya sampai di sumber suara yang tak lain adalah ruangan singgasana. Perlahan Gawain membuka pintu raksasa berbalut emas tipis itu, mengintip pertarungan sengit dari dua peri. Satu peri wanita berzirah hitam dengan ayunan pedang yang cukup ganas, satunya seorang pria yang tampak masih berumur tiga-puluh tahunan, tapi ia cukup menerima dengan menepis tiap serangan hanya dengan gerakan jarinya. Tak bergeming sedikitpun. Aura mana terpancar pekat, sudah jelas Hilda tak memiliki kesempatan menang, tapi tetap saja mengayun pedang.

   Gawain mungkin tidak menang, tapi justru itulah tujuannya. Pepatah lama mengatakan: kita tidak harus memenangkan semua pertarungan untuk memenangkan perang. Lagipula mengapa Gawain merepotkan diri untuk bertarung, bila kemenangannya sudah mutlak?

   Tangan halus Gawain menyentuh peregelangan Titania yang kini bersemu merah karena senang. Gawain memberi Titania sebilah belati hitam yang bertuliskan namanya. “Titania, aku ingin tanya suatu hal?”

   Titania menelengkan kepalanya, mencoba berlagak manis, “apa itu?”

   Seulas senyum menakutkan tersampir di bibir Gawain, ia tak perlu menyembunyikan niatan kejinya. “Apa kau mau mati untukku?”

   Titania hanya mengangguk menurut, lalu memegang erat belati itu dan membukanya. Rasa sakit langsung menerpa tangannya, lalu diikuti dengan sinar kehitaman yang terpancar. Itu kutukan dari sihir kepemilikan. “Barang siapapun yang mengayunkan belati itu, akan dikutuk hingga jiwanya lenyap, tak menyisakan apapun,” pesan Hefias, sang pemandai besi dari Tulious, tapi karena ingatannya tumpang tindih, figur Hefias telah digantikan oleh Florence.

   Gawain meninggalkan Titania, ia kini mengangkat tongkatnya, mengirim lejitan petir ke Obreon. Lejitan itu tak kuat, tapi cukup membuat Oberon teralihkan dari Hilda yang mulai kewalahan dan langsung jatuh, beruntung Robin langsung terbang menangkapnya dan mendarat dengan aman.

   “Kaisar Oberon, kuperingatkan sekali lagi, menyerahlah!” tegas Gawain sembari mengangkat tongkat yang menjadi penopang kakinya itu. Ia bertumpua dengan tongkat, berlagak angkuh dan kuasa, seolah-olah mengejek Oberon. “Atau kau akan mengalami kematian yang paling pahit yang pernah kau bayangkan!”

   Florence merapal mantra peluru angin. “Kalau begitu kubuat Anda menyerah.” Oberon juga mulai mengumpulkan mana berbentuk bola bersinar. Bola plasma, begitulah penyihir memanggil mantra yang berisikan mana beracun yang dapat membuat seseorang langsung tewas karena jiwanya teracuni, begitulah yang terjadi dengan dua ksatria di pelataran.

   Bush! Gawain menembak peluru angin bertubi-tubi. Dum! Sementara Oberon mengirim bola plasma itu dengan cepat. Jika diukur dengan kasaran, mantra Gawain tentu saja kalah adu kekuatan dengan bola plasma, tapi karena Florence amat ahli dalam segala jenis mantra, peluru angin itu meliuk-liuk menyerempet bola plasma, menghindarinya dengan mudah tanpa halangan berarti. Oberon yang tak mengira bahwa peluru angin bisa meliuk menghindar, ia hampir terlambat merapal kembali mantra pertahanan. Tahu-tahu, keningnya sudah tersayat angin dan mengeluarkan darah.

   Gawain tak menghindar, ia membeku di sana seolah tak mau pergi. Dalam sepersekian detik berikutnya, bum, crat! Suara cipratan darah terdengar ngilu dan menggema di ruang singgasana. Robin hanya mampu melihat karena Gawain berpesan ia tak boleh menginjakkan kakinya di medan tempur, ia hanya bisa menggigit bibir dan gemetaran melihat beda kekuatan antara Gawain dan Oberon yang tampak bagai langit dan bumi.

   Tidak ada yang berani bersuara hingga Oberon yang memecah keheningan, “cukup kuat! Kau bahkan mampu menggoresku dengan mantra murahanmu! Dasar manusia rendahan!”

   Matanya mengawasi mayat Gawain yang teronggok dengan dada yang berlubang tepat di bagian jantung. Asap masih terlihat di lubang, seolah-olah luka bakar itu masih ingin menggosongkan daging dan tulang Gawain. Ia berjalan mendekat, memandangi mayat itu sekali lagi dari ujung kaki hingga ujung rambut.

   Matanya terbuka lebar dan hampir-hampir keluar, tak lupa darah segar keluar dari sudut bola matanya yang kini berwarna kemerahan. Pemandangan biasa bagi mayat, tapi ada satu hal yang janggal dari wajah Gawain, yaitu senyum lebarnya yang menegakkan bulu roma. Senyum itu sudah cukup menakutkan, apalagi darah keluar dari mulutnya, membuat Gawain seperti mayat hidup yang sengaja mati.

   Oberon merasa terhina. Ia mengangkat kakinya, hendak melangkahi mayat Gawain lalu meludahinya. Tapi ia terhenti dengan Titania yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, berlarian kecil menghampiri keduanya. Oberon mengurungkan niatnya karena melihat sang istri, ia menegapkan postur tubuh dan membusungkan dadanya juga membersihkan debu dan darah yang mengotori baju kebanggannya. “Oh sayangku!” ujarnya dengan membuka tangan, menawarkan pelukan pada Titania.

   Tapi orang yang mendapat kehangatan Titania adalah Gawain. “Gawain...Gawain...” dengan satu hentakan tangan Titania, Oberon terlempar menjauh hingga ke singgasana. Bingung dan ketakutan mulai menggerogoti Oberon hingga akhirnya tersadar apa yang terjadi ketika Titania mengangkat belati hitam ke dada, lalu menancapkannya dalam-dalam.

   Ikatan suami-istri dalam tradisi peri amatlah kuat, jika satu terluka maka yang lain juga terluka. Apa niatan Titania? Ia ingin mengambil jantungnya sendiri, lalu menaruhnya ke dada Gawain, agar mereka bisa mati bersama sebagai sepasang kekasih. Tentunya Titania lupa dengan suami sahnya, Oberon, yang kini muntah darah dengan dada yang juga berlubang dan menyakitkan.

   “Titania! Henti—blurgh!” Oberon jatuh tersungkur mengerang kesakitan. Ia berusaha merangkak dengan sisa tenaganya untuk menghentikan Titania yang masih merogohi dadanya sendiri. Darah Titania juga mulai menghitam, itu darah karena kutukan belati hitam, tapi Titania tetap teguh mencari jantungnya.

   Robin hanya bisa meringkuk dan menutup mulut melihat kejadian mengerikan itu. Ia tak menyangka bahwa pengaruh ramuan akan membawa Titania untuk bertindak sejauh itu. “Titania... kumohon...” pekik Oberon yang mulai memucat dan lemas. Sama seperti Titania, darahnya mulai berubah menjadi lumpur hitam yang menjijikkan, rupa-rupanya ia juga berbagi dengan kutukan yang diterima Titania.

   Crash! Tangan Titania akhirnya berhasil menarik jantungnya keluar, lalu dengan sisa kesadaran menaruhnya ke lubang dada Gawain. Oberon mencoba mengutuk Gawain, tapi sia-sia, karena sejatinya bukan Gawain lah yang membunuh Oberon. “Terkutuk...kau...terkutuk!” seru Oberon dalam sisa napasnya, lalu mati lemas dengan posisi tengkurap.

   Florence bertepuk tangan melihat drama yang akan memasuki babak akhir ini, sementara Gawain dengan tenang meneguk teh dan memakan kue sembari bersandar. Dilihat dari air mukanya, ia kelelahan karena semua usaha yang telah ia kucurkan, tapi tampak lega dengan semua keringat yang ia peras.         Sekarang mereka hanya menunggu seseorang berbaik hati merapal mantra penyembuhan khusus peri.

   Robin akhirnya bergerak dengan hati-hati. Dilihatnya dada Gawain yang hancur itu, tapi sebuah jantung lain siap mengisinya. Robin tak punya pilihan banyak, ia menyambung jantung Titania ke dada Gawain, merapalinya dengan mantra tingkat tinggi. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang melakukan praktik transplantasi jantung dan Robin lah yang menjadi pertama. Berkat pengetahuannya akan makhluk hidup, ia mengerti letak jantung dan merakit tiap pembuluh, menjalinnya satu sama lain, lalu mengikatnya dengan otot-otot.

   Keajaiban terjadi di depan mata Robin. Luka itu dengan cepat tertutup dengan kekuatan keabadian Florence. Robin berjingkat mundur, mawas dan berhati-hati dengan memegangi pedang dengan tangan bergetar. Gawain tak kunjung sadar, tapi Robin tahu bahwa ia masih hidup bila dilihat dari kembang-kempis dadanya yang mulai teratur. Dengan kaki yang bergetar, ia menggelosor ke pilar dan terduduk di sana. Lubang di langit-langit ruang singgasana mulai memamerkan sinar keemasan, hari baru telah datang. Karena kelelahan, Robin terlelap tidur nyenyak, merasa bahwa semuanya berakhir.

   Gawain dan Florence masih di alam bawah sadar mereka, menikmati teh hangat di pagi hari. “Anda dapat semuanya, Master. Anda membunuh Oberon tanpa mengotori tangan Anda sendiri, bahkan dengan kematian paling pahit. Juga dapat darah peri berupa jantung Titania; menjadi manusia berdarah peri.”

   “Tidak hanya itu, Florence,” balas Gawain yang tiba-tiba tertarik karena ia dipuji, “seluruh Tír na nÓg jadi milikku; aku dapat bidak lain untuk digerakkan. Dengan ini, Neverland dan Tír na nÓg masih ada dalam ingatan; Distorsi Waktu tidak akan pernah terjadi karena sejatinya penguasa Tír na nÓg belum mati, hanya diganti.” Gawain bangkit dari duduknya, berlutut memegangi punggung tangan Florence dan menciuminya, “kau imitasi persis darinya, Florence.”

   Mata Gawain menyinarkan harapan. Senyumnya yang tulus itu menghangatkan suasana, juga membuat Florence bersemu merah. Ah, andai saja ia Florence yang asli. Gawain memilih berdiri, mengucapkan selamat tinggal, dan berpesan ia akan datang mampir suatu saat. Florence yang terdiam mulai berpikir tentang apa yang akan terjadi. “Aku takut, ia mulai berubah...”

                                                                                                        ***

Cukup banyak yang terjadi setelahnya. Dimulai dari fraksi revolusi dan penduduk yang masuk ke ruang singgasana demi mendapati dua penguasa mereka sudah tewas mengenaskan, melahirkan sesosok penguasa baru yang disebut Sang Cahaya. Butuh satu hari istirahat bagi Gawain untuk pulih dan langsung turun tangan mengurus segala hal. Ia menjembatani dua persepsi yang berbeda, mendamaikan dua idealisme antara fraksi revolusi dan bangsawan kerajaan.

   Tindakannya ini membuatnya ditunjuk sebagai penguasa Tír na nÓg yang baru. Gawain sebenarnya enggan, tapi ia harus melaksanakan tanggung jawab yang baru ini hingga sebuah dewan senat baru yang lebih demokratis dibentuk untuk memilih seorang penguasa dengan cara yang lebih demokratis. Selama waktu itu pula, Gawain berusaha keras membuka portal menuju Neverland sekaligus merakit kembali tiruan Kapal Fortuner.

   Empat tahun terlampaui. Kapal Fortuner sudah siap lepas landas, portal Neverland juga sudah terbuka, dan dewan senat juga sudah dibentuk. Gawain mulai mengucapkan salam perpisahan pada semua orang. Blanc yang kini bebas ingin ikut berlayar bersama Gawain, tapi pemuda itu menolak, menghimbaunya untuk tetap di Tír na nÓg. Satu orang lain yang amat bersikeras untuk ikut adalah Hilda, “Kaisar, bolehkah Hamba ikut dengan Anda? Janjiku sebagai ksatria adalah berjuang sebagai pedang sekaligus perisaimu.”

   “Hilda, bicaralah jujur sebagai wanita, bukan sebagai ksatria.”

   Hilda menunduk dan terdiam. Dengan posisinya yang masih berlutut, ia angkat bicara, “Gawain, apakah kau mau menerimaku menjadi pendampingmu? Kau tahu, keluargaku sudah merestuinya!”

   Gawain diam tak menjawab. Apakah ia harus membalas cinta Hilda? Atau membiarkannya? Tepat sebelum Gawain membuka mulut, Hilda melanjutkan kalimatnya, “wajar saja jika penguasa sepertimu memiliki istri dan selir, Gawain. Semua orang tahu itu. Aku bohong bila tidak kecewa menjadi yang pertama tapi aku mau bila menjadi yang kedua atau keti—”

   “Hentikan, Hilda,” tegas Gawain, “demi kebaikanmu sendiri, tolong lupakanlah aku. Kau tahu, tiap wanita yang berhubungan denganku selalu berumur pendek; kau masih muda dan masih banyak pria di luar sana yang siap menjadi milikmu.”

   Hilda menangis tanpa suara. Ia berusaha keras memalingkan wajahnya sembari berlutut, lalu izin pamit diri dari hadapan Gawain dan menghilang di balik pintu kayu kamar, meninggalkan Gawain yang masih berdiri di teras memandangi kapalnya yang siap berlayar pulang. “Iya, ini demi kebaikanmu sendiri, Hilda.”

                                                                                                    ***

Dan seperti yang kita tahu, Gawain pulang ke Neverland dengan cara yang cukup elegan; terbang dengan Kapal Fortuner lalu mendarat dengan anggun di perairan yang langsung disambut hangat oleh semua kru. Di malam harinya, tiga peri datang untuk ikut bercengkrama dan mengusaikan perselisihan di antara keduanya.

   Cerita yang dikarang oleh Robin Goodfellow cukup menarik dan humoris—benar-benar menutupi fakta yang berlainan. Di awali dengan Kaisar Oberon dan Titania yang berbeda pendapat tentang seorang anak manusia yang mereka temukan. Oberon menginginkan pemuda itu (Gawain) untuk jadi seorang ksatria sementara Titania menginginkannya menjadi pelayan pribadinya.

   Karena merasa jengkel, Oberon menyuruh Robin Goodfellow untuk membuat ramuan cinta agar Titania takluk. Setelah ramuan itu rampung, Oberon menemui dua pasang kekasih yang sedang berselisih satu sama lain dan menyuruh Robin untuk menyelesaikannya dengan ramuan cinta, tapi ia keliru dan malah membuat hal-hal lain berantakan.

   Bahkan saking kacaunya, ia membuat Ratu Titania jatuh cinta pada seorang pemain drama yang ketepatan saja berlatih dan tanpa sengaja membangunkan sang ratu. Oberon marah dan akhirnya menghukum Robin dengan cara yang konyol pula; membuatnya jatuh cinta pada seekor keledai.

   Di akhir cerita, sang pemuda telah menjadi ksatria dan bahkan memiliki jabatan yang tinggi, sementara masalah dua pasangan yang berselisih itu usai. Cerita itu cukup kocak dan menghibur serta mudah dipahami oleh kru kapal yang tak pandai berpikir. Robin benar-benar menghapus tragedi, menggantikannya dengan cerita komedi yang lugas dan mempesona.

   “Wahai pemirsa, maafkan atas kecerobohanku; marilah kita anggap serangkaian cerita tadi sebagai mimpi. Iya, seperti tajuk cerita ini: Impian di Tengah Malam Musim Panas.” Suara siulan juga tepuk tangan saling bersahutan menutup akhir cerita. Gawain tersenyum puas, tak menyangka bahwa temannya itu bisa mengubah kepahitan menjadi suatu hal yang cukup manis.

   Di sisa malam, Robin mengajak Hilda dan Atras untuk bergabung minum. Namun tentunya mereka menolak karena hanya mengotori kehormatan ksatria. Setelah cukup puas, ketiga peri itu izin undur diri untuk pulang ke Tír na nÓg, “jika kami ada waktu, kami akan berangkat menuju Unomi, Tuan Gawain. Oh iya, Anda tak perlu sungkan-sungkan datang: Anda tetaplah penguasa di hati kami.”

   “Selamat jalan, Kaisar,” ujar Atras dan Hilda dengan nada yang cukup terkendali.

   Robin hendak berbalik, tapi ia mengeluarkan botol kecil dari sakunya. Itu botol berisi ramuan cinta yang mereka buat. Bila dihitung-hitung, sisa ramuan itu hanya satu tetes saja, tidak cukup untuk membuat seseorang untuk takluk, tapi Gawain tahu maksud pemberian Robin, “terima kasih, Robin. Memento ini akan selalu kuingat, kawan.”

   Keduanya berpelukan lalu berpisah. Ketiga peri itu terbang ke Utara, ke tempat di mana portal terbuka dan hilang di balik rimbunnya pepohonan yang menutupi pandangan Gawain.

   Hampir semua orang tertidur. Gawain yang masih terjaga memilih untuk menghampiri kapal kebanggannya, berdiri di depan tiang, lalu menatapi langit. Tiba-tiba, sebuah siluet bayangan terleihat di ujung tiang. Gawain cepat-cepat menarik rantai, membuat mekanisme tali dan pengait mengangkatnya ke atas untuk memuaskan rasa penasaran tentang sosok yang ia lihat.

   “Butuh kawan minum, Abi?” tawar Gawain sembari melempar satu botol anggur. Abi diam tak menjawab, hanya menerima botol anggur dan meminumnya.

   Abi merogoh sakunya, mengeluarkan buku jurnal coklat milik Gawain. “Kau telah kembali, juga dengan ingatanmu, Erno Orkney.”

   Gawain tersenyum kecut, “hanya ada segelintir orang yang tahu nama itu... jadi apakah kita masih bisa bekerja sama? Ada jiwa Penyihir Abadi di tubuh ini...”

   “Jangan memberi harapan palsu padaku, Gawain,” Abi bersandar di bahu Gawain. Selaiknya kucing, ia menggerakan kepalanya ke Gawain dan minta dielus. “Kita sama; kau pernah bilang itu padaku. Dan itu benar, kita sama-sama abadi.”

   Gawain tidak terkejut dengan pernyataan Abi, seolah-olah ia sudah tahu bahwa cepat atau lambat Abi akan mengaku. “Bagaimana Anda mengetahuinya?” tanya Florence yang bingung.

   “Dunia ini sempit. Lagipula, ada yang kejanggalan dari cerita Abi; mengapa ia repot-repot memburu Penyihir Abadi? Jika aku jadi dia—seorang pemanah biasa—aku pasti lari sejauh mungkin dari tanah terkutuk ini, tapi dia tidak; dia pasti memiliki kekuatan yang setara dengan Penyihir Abadi.

   Florence menggelengkan kepala, ia masih tidak memahami cara berpikir Gawain. “Nanti akan kujelaskan,” gumam Gawain yang kini menghadap Abi di sampingnya, “kau tahu, kita nanti bisa jadi musuh.”

   “Teman sekarang dan musuh nanti. Aku rasa kita punya jalan yang sama untuk saat ini,” ia beranjak, mengangkat kepalanya tinggi-tinggi memandang laut, “musuh kita masih banyak dan kuat, bukankah logis bila kita membangun aliansi sesaat di permainan ini, Gawain?” Abi tersenyum dan mengulurkan tangannya, mengajak Gawain ikut berdiri.

   Sebagai balasannya, Gawain menerima uluran tangan itu, berdiri, lalu memperkenalkan diri. “Namaku Gawain, setengah Penyihir Abadi dan manusia, namun darah peri mengalir di tubuhku,” dengan jabatan tangan, ia menambahkan, “Abi, giliranmu.”

   “Abigail William. Lahir di Salem, kota yang bahkan sejarah tak mencatatnya karena terkutuk.” Seringai manis terpapar di wajah Abi. Keduanya senang: Gawain dengan mendapat ‘ratu’ sebagai bidak baru sementara Abi senang mengetahui bahwa masih ada kesempatan untuk merebut Gawain. Rakus kalau boleh kubilang, tapi aku mengerti ketamakan gadis itu karena aku juga ingin menginginkan orang yang sama. Hei, bukankah kita bisa berbagi? Yah, mari kita kesampingkan hal ini terlebih dahulu, masih banyak waktu untuk bercerita.

   Tirai drama Impian di Tengah Malam Musim Panas turun, menyudahi babak berlatar tanah para peri ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
Mana of love
234      166     1     
Fantasy
Sinopsis Didalam sebuah dimensi ilusi yang tersembunyi dan tidak diketahui, seorang gadis tanpa sengaja terjebak didalam sebuah permainan yang sudah diatur sejak lama. Dia harus menggantikan peran seorang anak bangsawan muda yang dikenal bodoh yang tidak bisa menguasai teknik adu pedang yang dianggap bidang unggul oleh keluarganya. Namun, alur hidup ternyata jauh lebih kompleks dari ya...
Code: Scarlet
25199      4917     16     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.
Deep Sequence
558      463     1     
Fantasy
Nurani, biasa dipanggil Nura, seorang editor buku yang iseng memulai debut tulisannya di salah satu laman kepenulisan daring. Berkat bantuan para penulis yang pernah bekerja sama dengannya, karya perdana Nura cepat mengisi deretan novel terpopuler di sana. Bisa jadi karena terlalu penat menghadapi kehidupan nyata, bisa juga lelah atas tetek bengek tuntutan target di usia hampir kepala tiga. N...
Switched A Live
3450      1366     3     
Fantasy
Kehidupanku ini tidak di inginkan oleh dunia. Lalu kenapa aku harus lahir dan hidup di dunia ini? apa alasannya hingga aku yang hidup ini menjalani kehidupan yang tidak ada satu orang pun membenarkan jika aku hidup. Malam itu, dimana aku mendapatkan kekerasan fisik dari ayah kandungku dan juga mendapatkan hinaan yang begitu menyakitkan dari ibu tiriku. Belum lagi seluruh makhluk di dunia ini m...
Nope!!!
1484      682     3     
Science Fiction
Apa yang akan kau temukan? Dunia yang hancur dengan banyak kebohongan di depan matamu. Kalau kau mau menolongku, datanglah dan bantu aku menyelesaikan semuanya. -Ra-
Kebaikan Hati Naura
633      358     9     
Romance
Naura benar-benar tidak bisa terima ini. Ini benar-benar keterlaluan, pikirnya. Tapi, walaupun mengeluh, mengadu panjang lebar. Paman dan Bibi Jhon tidak akan mempercayai perkataan Naura. Hampir delapan belas tahun ia tinggal di rumah yang membuat ia tidak betah. Lantaran memang sudah sejak dilahirikan tinggal di situ.
Kisah yang Kita Tahu
5725      1726     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...
When I Was Young
9215      1918     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
Jalan-jalan ke Majapahit
4605      1411     8     
Fantasy
Shinta berusaha belajar Sejarah Majapahit untuk ulangan minggu depan. Dia yang merasa dirinya pikun, berusaha melakukan berbagai macam cara untuk mempelajari buku sejarahnya, tapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah website KUNJUNGAN KE MAJAPAHIT yang malah membawanya menyebrangi dimensi waktu ke masa awal mula berdirinya Kerajaan Majapahit. Apa yang akan terjadi pada Shinta? ...
The Skylarked Fate
6888      2072     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.