Sudah tiga minggu lamanya Kapal Fortuner kembali bertugas membelah ombak laut yang ganas dan tak kenal ampun. Gawain yang hanya bisa duduk di kabin atau bergantian dengan Kurish memegang kemudi, atau hanya bisa ikut bercengkrama dengan yang lain hingga mulai bosan, pasalnya tak ada yang membuat pikirannya beradu selain permainan baru Kurish yang kreatif. Maka dari itu, ia lebih banyak mengurung dirinya di dalam kabin kapiten, melatih kemampuan menulis agar jurnal yang ia buat dapat mudah dibaca dan dipahami.
Ia punya dua jurnal: satu milik ayahnya yang hampir habis, tersimpan dan terbalut dengan sampul kulit yang tahan air dan satunya adalah salinan persis dari jurnal ayahnya ditambah ceritanya sendiri, jurnal inilah yang ia titipkan kepada Abi. Mengapa ia merepotkan dirinya menyalin seluruh konten jurnal? Alasannya sederhana, tinta di jurnal ayahnya mulai luntur karena Gawain sering kali tercebur ke air dan ia tak ingin kenangan ayahnya terbuang sia-sia.
Omong-omong tentang ayahnya, Gawain merasa fitur tubuh ayahnya benar-benar tersalin di dirinya, membuat Hartein benar mengira bahwa ia adalah Lothius muda yang dimaksud Master Septim. Karena penasaran, ia memilih menutup jurnalnya, merebahkan diri di ranjang, dan mulai tenggelam ke alam bawah sadar.
Dalam satu hentakan, Florence sudah muncul di depannya, duduk bersantai di kedai ilusi yang diisi didasari dari kenangan kota di mana Gawain dibesarkan, Junier. Orang-orangnya pun sama persis seperti ingatan Gawain, juga lingkungannya. Mereka sekarang berada di Pasar Leon, satu blok dari Palaza Junier, lebih tepatnya di sebuah kedai pinggiran yang menyajikan ikan bakar bumbu rica-rica khas kota pelabuhan. Itu makanan favorit keduanya, tapi semenjak kematian Loth, Gawain sering disibukkan dengan pekerjaan sementara Florence jatuh sakit lama. Baginya, Florence mengabulkan satu mimpi yang telah terlipat rapi di ujung ruang ingatannya.
“Cukup licik, Florence,” keduanya duduk di ujung, di mana seseorang bisa memanjakan matanya dengan luasnya lautan juga megahnya mercusuar. Sinarnya tampak dari lemak paus yang membara, lalu dipantulkan dengan mekanisme lensa rumit berusaha mengusik kabut yang menghantui mata-mata lelah para pelaut. Aroma garam juga amis ikan saling bercampur, juga dengan keringat para nelayan dan busuknya sisa-sisa makanan yang menggunung tidak jauh dari ujung Pasar Leon tak mengurangi nafsu makan satu orang pun. Acuh tak acuh akan kehidupan, juga dengan takdir dunia.
“Lihatlah orang-orang ini, Master. Tawa dan senyum dari hati mereka yang murni. Bukankah ini bagus?” Florence menyandarkan kepalanya di tangan, puas hanya dengan melihati wajah nelayan tua yang memanggul sekantong ikan dari sampannya yang berlubang, diikuti dengan anak mudanya yang selesai menambatkan tali tampar ke palang terdekat.
Tempias laut perlahan berubah menjadi kemerahan berkat mentari yang menyurut di cakrawala barat. Deretan lampu minyak mulai menyala juga anggur-anggur mulai dikeluarkan, menyambut semua pelaut yang kembali ke peraduan mereka setelah seharian beradu nasib di laut. Nyanyian dari gerombolan gadis muda yang memainkan alat musik gesek dan petik seperti biola dan gambus meramaikan suasana malam musim panas di Junier, membuat siapapun yang mendengarnya ikut menghentakan kaki dan berdansa.
Kesibukkan mulai menghablur. Rasa lelah setelah seharian bekerja akan menguap bagi siapa saja di sana: para petualang, pelaut, nelayan, pemburu, penyair, pedagang dan yang lain. Gawain ikut tersenyum puas memandangi semuanya, ada kesenangan dan kepuasan tersendiri melihat pemandangan sederhana itu. “Inikah utopia yang ayahku cita-citakan?”
“Iya, Anda benar, Master. Inilah dunia yang ingin kami ciptakan setelah permainan ini, memang kami tak akan ada dalam dunia ini, tapi kami cukup bangga mengawasinya dari atas.”
Dua porsi ikan bakar telah datang dibawakan oleh seorang pelayan wanita. Masih panas, bahkan uapnya masih mengepul dari sisiknya yang gosong namun beraroma kuat itu. Dengan masih memandangi laut, Florence melanjutkan kalimatnya, “kita perlu bicara, Master. Banyak yang ingin kutanyakan tentang hal yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi—lebih tepatnya apa yang Anda rencanakan. Meski kita satu tubuh, tapi pikiran kita berbeda.”
“Mulai dari mana?” Gawain berdiri lalu berjalan ke pagar kayu kedai, lalu duduk di sana demi menikmati hembusan angin laut yang menyegarkan.
“Septimus,” entah mengapa Gawain merasa bergidik ngeri mendengar nama itu, “aku akan terang-terangan: siapa orang ini? Sudah dua orang penerima surat mati tragis oleh pesan misteriusnya. Aku tak ingin membahas orang mati, Master, tapi orang yang satu ini bahkan mampu memprediksi kematian seseorang, termasuk kematiannya sendiri. Bagi ilmu ramal, adalah hal tabu untuk melihat takdir kematian seseorang—apalagi melihat kematiannya sendiri.”
Gawain menyilangkan tangannya, berpikir keras dengan otak dan hanya menemui satu jawaban, “Penyihir Abadi...? tidak, kita mengambil kesimpulan dengan melompati analisis dari data yang tak cukup.”
“Aku juga berpikir seperti itu, Master. Tapi hal ini benar-benar mengusik pikiran.”
“Bagaimana kesanmu dengan Master Septim ketika kau masih bersama ayahku?”
Florence memegangi dagunya dan mendongak ke atap-atap, “dia bisa melihat masa depan, aku tahu itu ketika Septimus mengajak Master Loth bermain catur; dan tentunya Master Lothius selalu kalah. Kekuatannya benar-benar murni, tapi ia juga bisa melakukan hal yang tabu. Itu kontradiktif.” Florence meniru gaya Gawain ketika berpikir, membuat beberapa mata tertarik melihatnya.
Gawain benar-benar tenggelam dalam pikiran. Ia bertanya, “lalu ada berapa Penyihir Abadi di Hyulida saat itu? Tiga? Bukan, empat!” seru hatinya. Dengan jumlah itu, semuanya jadi masuk akal. “Katakanlah, Florence, apakah tiap Penyihir Abadi hanya memiliki satu kemampuan unik?” tanyanya dengan menggebu-gebu.
Florence hanya mengangguk sembari mencuil ikan bakarnya dan mulai memakan. Ia menjulurkan lidah karena kepanasan, tapi ia tetap saja mengunyahnya. Dilihat dari ekspresi Gawain, pemuda itu mendapat jawaban logis, “Florence, kau masih ingat kata Titania tentang dua orang yang mampu melihat takdir milik Dewa dan Dewi?”
Florence membelalakan mata tak percaya. “Empat, itulah jumlah Penyihir Abadi yang ada di Hyulida saat itu. Kau, Abi, Necromancer, dan Clairvoyant. Rupanya perburuan sudah berjalan sebelum aku ikut andil,” Gawain menyeringai, ia mulai menyusun rencana. “Siapapun Master Septim, kita tak bisa mendapatkan jawabannya saat ini.” Gawain menggerak-gerakan tangannya, ingin membicarakan topik lain.
“Atras, aku masih penasaran bagaimana Anda dapat mengalahkan Atras.”
“Kau benar-benar menanyakan hal ini?” tanya Gawain dengan wajah tak percaya, “dan kau sebut dirimu ahli kimia terhebat? Oh, yang benar saja, Florence.”
Perasaan dongkol benar-benar tercermin di wajah Florence, tapi ia mengalah dengan kejeniusan Gawain. “Ikatan logam,” jawab Gawain, “seorang filsuf lama menyatakan bahwa sejatinya semua benda di dunia ini terdiri dari rangkaian bola pejal yang amat kecil hingga tak bisa dibagi—ia menyebutnya dengan sebutan atomos. Dari benda-benda atomos itu, logam memiliki ikatan yang paling kuat sejauh sains ketahui, sekaligus fleksibel dan mudah ditempa. Kau masih ingat bukan baju zirah itu juga ditempa dengan darah peri, bukan?” Florence tetap mantuk-mantuk menyantapi daging ikannya.
“Apapun dan siapapun, darah dari makhluk hidup terbuat dari bahan yang sama dengan arang; lemah dan mudah hancur. Hanya berbekal pengetahuan itu dan ayunan yang tepat, kau bisa lihat sendiri helm Atras yang penyok, bukan?” Florence menaruh santapannya, mendengarkan Gawain lebih menyenangkan daripada makan, “zirah itu cukup kuat, tapi tidak cukup kuat dengan serangan daya kejut dari Bola Saltpetra. Jadi, kurapal sihir petir agar ia lengah, mengira serangan petir itu akan dinetralisir oleh baju besinya, membuka pertahannya demi mengayun pedang secepat mungkin untuk menghabisi kita.”
“Daya kejut.... tak kusangka serangan seprimitif itu menjadi kunci kemenangan Anda.”
“Di peradaban dunia, hukum alam masih berlaku; mereka yang memakai insting dan akal, merekalah yang akan bertahan hidup di dunia yang keras ini.” Gawain hampir saja mengumpat, tapi ia teringat bahwa ia sedang berada di utopia Florence, jadi ia menjaga mulutnya, duduk dan mulai menyantap ikan bakar pesanannya.
Dua minuman limun khas Junier dibawa oleh pelayan lain, kali ini Florence yang memesannya. Ia haus dan merasa kepedasan karena bumbu—persis sekali dengan tingkah laku Florence yang asli. Matanya yang buncah juga pipinya kemerahan, ia mengipasi lidah dan bibirnya yang tentunya saja sia-sia. Lekas setelah gelas jeruk ditaruh, ia langsung membasahi tenggorokannya dengan air limun yang menyegarkan.
“Apa lagi yang kau tanyakan?” tanya Gawain.
“Siapa si pembawa seruling saat itu?”
Gawain memiringkan kepalanya, hendak berpikir, tapi ia akhirnya teringat, “tentu saja Petra. Hanya dia sajalah yang bisa melakukan sihir ilusi ganda.”
Akhirnya seulas senyum kepahaman tersampir, ia seperti anak kecil yang akhirnya membuka buku tepat setelah ujian usai. Pantas saja Gawain mempercayai Petra walau baru bertemu, rupa-rupanya dua orang ini memang serupa. Florence tak membahasnya, ia membiarkan Gawain menghabiskan makanannya sementara ia berjalan ke depan, melihati keadaan pasar yang ramai di malam hari meski tidak ada festival. Semua orang berlalu-lalang, banyak dari mereka sepasang kekasih yang sedang bermesraan dengan beragam cara: ada yang saling suap, membeli aksesoris yang sama, atau hanya berjalan mengikuti paving hingga ke bukit, lalu menikmati kekayaan warna Junier dari atas sana.
Suara tawa lepas dari bocah-bocah yang berlarian membawa lilin membuat Florence tertarik. Ada beragam warna lilin mulai dari putih susu, hijau melon, merah jambu, hingga ungu manggis; terlalu banyak warna untuk disebut. Sinar mata mereka lebih terang daripada lilin yang mereka pegang. Senang, hingga salah satu dari mereka tersandung lalu menabrak Florence. Keduanya terjatuh. Anak gemuk itu meminta maaf dengan menahan tangisnya, apalagi setelah melihat minyak lilin yang tumpah ke baju putih Florence.
Gawain bangkit, ia mengelus kepala anak gemuk itu, menyuruhnya untuk berhati-hati lain kali, lalu membiarkannya pergi. Dia suka anak kecil, begitulah Gawain.
“Omong-omong tentang lilin, kenapa Master percaya dengan Si Pembawa Lentera?” singgung Florence tiba-tiba. “Sejauh aku mengenal Anda, semua tindakan didasari dengan alasan yang logis, tapi tidak dengan dia, bukan?”
Gawain menghela napas, “iya, kau benar. Dia adalah gadis setelah Sa’rah,” ia menepuk-nepuk bahunya yang terkena debu, lalu pergi membayar ke kasir. Florence menunggu di depan kedai, berjalan mendahului Gawain.
“Hoh, rupanya kesetiaan Anda patut dipertanyakan.”
Gawain diam, lalu ia tersenyum, “ini semua karena gagasan bodohmu yang mengatakan bahwa pria sudah biasa memiliki lebih dari satu istri. Kenapa aku tidak memilih Hilda, kau tanya? Aku takut dia menanggung beban yang lebih berat daripada seharusnya, tapi jika itu Abi—dan kita sama-sama Penyihir Abadi—aku yakin dia mau.”
“Anda cukup maut untuk urusan wanita, kalau kuboleh bilang.” Florence menggandeng tangan Gawain, mengajaknya ke suatu tempat tertentu. Gawain menurut, ia mengikuti langkah Florence yang makin menuntun mereka jauh dari kerumunan lalu keluar dari Pasar Leon. Mereka belok ke barat, naik ke tanjakan, lalu menemui ribuan anak tangga. Gawain sudah tahu ke mana mereka akan melangkah. Ia enggan, tapi Florence pasti memiliki alasan kenapa menggiringnya ke sana.
Seperti yang Gawain ingat, di akhir ribuan anak tangga itu, terlihat sebuah kuil tua. Bedanya, kuil itu tampak lebih terawat. Atap-atapnya yang berlubang terlihat sudah dibenahi, juga dindingnya yang bobrok mengelupas itu sudah dibangun ulang, tak lupa juga tumbuhan di taman kuil ditanami lagi, membuat penampilan baru yang lebih asri dari yang keduanya ingat.
Jika menghadap ke laut, terlihatlah di sana dua pancang salib dari kayu dan ranting seadanya. Hanya itulah yang masih sama dari kuil selain gapura yang roboh dan belum dibangun ulang. Gawain dan Florence berjalan masuk, menghampiri dua makam. Tanpa peringatan apapun, Gawain berjongkok, mengelus-ngelus pancang kayu milik ibunya. Senyum kecut tersampir di mulut Gawain, ia bertanya-tanya sudah berapa lama ia tak mengurus makam ini.
Sekonyong-konyong, sebuah pertanyaan muncul di benak Gawain, “peringatan yang bagus, Florence. Apa kau serius dengan ini?”
“Seperti yang kukatakan tadi, aku dan ayah Anda tidak akan menikmati utopia ini bila memang benar terwujud.”
“Kalian buruh petani yang bodoh: kalian tanam dan rawat tumbuhan lantas tak menerima buahnya. Lalu apa poin dari pengabulan Dewa dan Dewi?”
“Entahlah, tapi tidak ada jaminan pasti kita ikut menikmati meski kita menang; menang jadi arang kalah jadi abu, begitulah pepatah lama menyebutnya,” Florence bersandar di salah satu pagar, “jadi, apa rencana Anda setelah mengetahui hal ini?”
Gawain meremas tanah kuburnya, menggenggam lalu menaburnya lagi dan melihati hembusan udara yang meniup lonceng angin dengan motif rubah merah. “Rupanya kita direkrut di panggung drama yang lebih besar, Florence. Bukankah harusnya kita senang, bukan? Pasti honor yang kita terima kali ini lebih banyak daripada di Tír na nÓg,” Gawain bangkit dan berbalik, “untuk saat ini, kita ikuti saja apa yang dimau para pemirsa, selebihnya kita lakukan impromptu atau apalah namanya.” Dengan langkah gusar, ia mendahului Florence untuk turun.
Saat itu, seorang pemuda berjas merah khas bangsawan ditemani dengan seorang gadis mungil sudah berdiri di gapura kuil. Mereka membawa sekantong bunga melati putih yang masih segar dan harum. Keduanya memandangi Gawain dan Florence, lalu penasaran dan menyapa keduanya. “Tuan, apakah ada yang bisa saya bantu?” tanya sang pemuda.
“Ah tidak, malahan kami lah yang meminta maaf. Kami sedang mencari tempat yang bagus untuk melihat laut, tapi tak sengaja kami ke kuil ini.”
“Si Pengembara Kesepian?” sebut sang gadis yang Gawain kenal sebagai putri dari saudagar Rei. Dia langsung keluar dari balik punggung Albert, kakaknya, maju dengan girang demi melihat sosok Gawain dari dekat. Matanya langsung bersinar, “iya, tak salah lagi! Anda lah Si Pengembara Kesepian!”
Gawain mengerutkan dahinya. Figur kecil Nia sudah terlihat lebih dewasa dan matang. Dari perkiraan Gawain, mungkin gadis itu sekarang berumur lima atau enam belas tahun, sementara dirinya berumur dua puluh lebih—ia sudah tak ingat berapa umurnya, lagipula dia tetap abadi di usia mudanya. Albert yang merasa adiknya itu mengganggu pendatang baru maju lalu menarik Nia, “maafkan kami, Tuan. Adikku ini pernah bercerita tentang seorang penyelamat; tapi kami tak pernah tahu siapa penyelamat itu.”
Gawain hampir saja merekahkan senyum. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, keluarga Rei pastinya sudah bangkit dari keterpurukan mereka. Itu berita yang bagus, meski hanya sebatas ilusi Florence. Dengan menunduk, Gawain mohon undur diri bersama Florence, menuruni anak tangga yang sebelumnya susah payah mereka daki.
Bertemu dengan Nia dan Albert membuat Gawain merasa ingin kembali pulang ke Junier bersama Florence. Itu kenikmatan lain sebelum akhir permainan. Apakah ia rela meninggalkan Florence demi menyelamatkan dunia tanpa jaminan ia akan kembali? Apa ia bisa melakukan hal semacam itu?
Gawain menggigiti bibirnya hingga mereka turun ke kota. Tepat di Palaza Junier yang kini telah disulap menjadi sebuah lapangan terbuka di mana semua orang bisa menari bersama, terdapat sebuah angan-angan di mana Gawain berdansa dengan Florence. Itu lamunan di tengah delusi, benar-benar hasrat yang ingin Gawain raih. Ia bungkam di tengah sorak-sorai dan riuh-rendah palaza, berdiri termenung di sisi Florence yang mulai ikut menikmati alunan musik.
Dengan tarikan dan sedikit paksaan, Gawain terseret arus massa yang ingin berdansa. Ketika sampai di tanah yang lebih lapang, alunan musik menghipnotis keduanya untuk menggerakan kaki, menghentakannya sesuai tabuhan genderang, dan mengayun sesuai nada lengking dari terompet.
Florence tersenyum ramah. Gawain membalasnya dengan senyuman yang pahit di tenggorokannya.
Florence bukanlah Florence.
***
Di sore hari, Gawain bangun dari mimpi buruknya—buruk karena mengiming-imingi kejayaann dan kesuburan di atas medan perang yang tandus dan berpasir merah darah ini. Dunia berjalan tidak semudah yang kita kenal saat kita belia, yang tampak mudah di mana kita bisa meraih segalanya bila berusaha—nyatanya tidak, kita tidak hanya sekedar ‘berusaha’ saja, kawan.
Pernahkah kalian mendengar pepatah lama yang mengatakan: “seperti ayam, tiada mengais, tiada makan.” Arti yang dimaksud memang sederhana: kita hanya perlu berusaha untuk mengisi perut kita. Tapi mari kita ubah persepsi kita dengan mengubah kata “berusaha” menjadi “mengotori tangan”, yang dirasa memang cocok dengan fakta yang ada.
“Iya, itu benar,” gumam Gawain yang kali ini telah bangkit dari ranjangnya, mengambil buku jurnal dan menulis apa yang ia perbincangkan dengan Florence tanpa menulis rahasia rencana yang ia susun, menyimpannya di hati dan kepalanya lalu akan membeberkannya di saat yang tepat. Lima belas menit berselang, ia keluar untuk mencari udara segar dan ingin berbincang dengan yang lain.
Kurish adalah orang pertama yang ia temui saat ia mendongakkan kepala ke kemudi kapal yang terletak tepat di atas kabin kapten. Wajahnya tak menunjukkan perasaan lelah, tidak sedikit pun, itu Kurish yang sama seperti yang pemuda itu kenal. Ingin rasanya ia mengajak Kurish untuk menjadi tim khusus yang akan ia buat untuk memburu Penyihir Abadi, tapi ia mengurungkan niat tersebut karena ada hutang budi Hartein yang harus segera ia tebus.
Sebelum melakukan perjalanan ini, Hartein telah berjanji kepada semua anggotanya untuk memberikan dua dari enam kapal armada bila mereka dapat pulang kembali ke Hyulida serta berhasil membujuk peri Kaisar Oberon untuk membantu mereka. Memang armada ini gagal membujuk Oberon, tapi Gawain rasa misi yang mereka emban benar-benar berhasil. Maka dari itu, ia harus membayar janji Hartein yang juga merupakan wasiat terakhir di jurnalnya.
“Nanti malam, temui aku di kabin, ada beberapa hal yang ingin kubahas.” Kurish yang cerdas langsung tahu ke mana arah pembicaraan nanti, tapi hanya mengangguk demi menghormati keputusan sang kapten yang kini berlalu turun ke lambung kapal.
Sepi, begitulah kesan yang Gawain dapat pertama kali dapat jika membandingkannya dengan bilik Fortuner lama. Tali-temali tampak teronggok lemas di pojokan, juga menumpuk di atas peti-peti senjata, tak lupa, rantai-rantai yang kokoh meski berkarat juga tergantung di langit-langit bersamaan dengan jaring ikan yang kadang merangkap sebagai tempat tidur gantung para kelasi. Biasanya ada satu-dua kelasi yang rajin membenahi mereka dan memeriksa keadaannya, namun sekarang tidak. Hanya dua puluh orang termasuk Gawain lah yang menumpang kapal ini, itu pun sudah ditambah dengan Petra, Tigra Lily, dan tiga penduduk Tigra yang juga ikut merantau. Ke mana yang lain? Hanya ibu laut sajalah yang mengerti ke mana kepergian mereka.
“Kapiten!” seru sebuah suara berat dari belakang, itu Parsha. Ia kini mengelap meriam samping dengan beberapa kelasi. Mereka tampaknya senang melihat selongsong meriam dan bola-bola peluru berat yang mengilap, seolah-olah pamer pada musuh yang akan tenggelam dan karam. Gawain menyapanya pula, tapi ia ke sini bukan bicara dengan Parsha, melainkan seorang pemuda yang sedang mengangkut satu peti berat berisi pedang ke gudang.
Petra Pan memang bertubuh kecil, tapi tak bisa disangka bahwa kekuatannya hampir sama dengan Parsha dalam urusan berpedang juga kecerdikannya yang setingkat dengan Gawain. Ia tertegun berhenti ketika mata Gawain tertumbuk pada punggungnya, berbalik dan membuka mulut tanpa menaruh peti berat itu. “Ada apa, Kapiten?”
“Temui aku di kabin, malam ini. Ajak Lily untuk ikut bicara. Jangan banyak tanya.”
Petra yang paham langsung balik kanan lagi, turun ke gudang dan tak kembali sebelum ia dengan rajin menata dan memoles semua pedang di sana. Tigra Lily tak terlihat di manapun dan ia juga sering hilang entah ke mana. Tiap kali Gawain mencarinya, gadis itu hilang di sisi lain kapal, mungkin mencoba bersembunyi dari endusan hidung tiap orang.
Langkah kaki Gawain berat menyeret ke dapur yang sekarang juga sepi melompong, hanya satu juru masak yang terduduk, menunggui tungku api memasak sup ikan. Sajian yang monoton dan membosankan, tapi di tangan juru masak ini, entah mengapa sup tersebut selalu terasa enak—padahal hanya ada garam, kemangi, lada, gula, dan cuka. Hanya berbekal bumbu sederhana itu, sup ikan yang disajikan selalu terasa sedap, aneh sekali.
Tak terasa waktu makan malam sudah datang. Hal itu diketahui Gawain ketika mendapati Abi yang selalu datang tepat waktu hanya untuk makan, lalu kembali lagi ke atas dan bertugas semalam suntuk. Sama seperti sebelumnya, ia masih mengenakan jubah tak kasat mata, yang membuat semua orang melabelinya dengan istilah diam dan dingin. Dengan jari, ia memesan dua mangkuk, berjalan ke Gawain lalu memberinya satu mangkuk yang lain. Tanpa kata-kata, mereka menikmati sup itu.
Aneh, bila Gawain ingin mendeskripsikan hubungannya dengan Abi, rumit jika ia boleh menambahkan satu kata lagi. Status mereka bukan pasangan, mungin hanya seorang kawan dekat. Di mata Gawain, Abi adalah orang yang sama pentingnya dengan Florence, tapi tak berani mengatakannya, membiarkan Abi menerka maksud Gawain. Abi juga tidak bergerak—seperti yang kita tahu, ia cukup senang melihati Gawain dari atas sana. Lagipula, keduanya tidak tahu kapan persis seorang dari mereka akan berkhianat.
Hati-hati dan mawas, begitulah Gawain. Ia ingin mengontrol seekor singa hanya dengan seutas tali, tanpa pecut atau tombak. Pemberani, tapi juga bodoh. Seorang pawang malang yang menggantungkan nasibnya hanya di seutas tali dari untaian goni itu sama saja seperti tahanan yang juga menggantungkan lehernya sendiri di tiang gantung, bertaruh apakah tali akan putus dan mengampuni nyawanya.
Begitu selesai, Abi meninggalkan meja makan tanpa membuka bibir sekalipun. Ia berlarian melintasi tangga dan lantai kayu tanpa meninggalkan derak suara, pengendap yang jalannya saja tak didengar siapapun. Gawain hanya bisa mengamati punggung Abi yang memanggul busur dan anak panah itu hilang di kala cahaya lampu minyak tak sampai di sudut koridor, menuang bayangan gelap yang juga menyadur siraman bulan di atas geladak, menembus celah-celah sempit yang bisa ditemui dari lapisan dan jalinan kayu.
Kelasi lain tak kunjung datang, tanda mereka benar-benar larut dalam kesibukkan mereka atau mungkin bercengkrama di geladak. Tapi geladak sepi, hanya meninggalkan satu-dua kelasi yang menjaga bola-bola meriam agar tidak menggelinding, atau menarik tali agar layar tidak lepas. Kurish masih tetap terjaga di kemudi, ia menyapanya, lalu masuk kembali ke kabin kapten.
Tidak ada siapapun yang menyambutnya kecuali nyala lilin dari meja kerja yang telah usang, menunjukkan dua sosok orang yang ia kenal, Petra dan Tigra Lily. Mereka rupanya telah datang dan memilih menunggu Gawain. Petra sekarang tampak seperti pemuda muda di usia dua puluh lima tahun, tegas, dan serius, berbeda betul dengan legenda yang kita dengar selama ini. Sebaliknya, Tigra Lily merubah kelakuannya menjadi gadis muda, ia memang sedari dulu ingin melakukannya; bebas dari tanggung jawab seorang kepala suku yang harus menjaga wibawa di depan mata semua orang. Liar, sama seperti Hilda yang juga melepas statusnya sebagai Valkyria terkuat. Matanya yang oranye itu tampak berubah menjadi kuning cerah, seolah menunjukkan suasana hatinya, sementara Petra semakin abu-abu, warna yang juga mirip dengan iris mata Gawain.
Gawain duduk senyaman mungkin, memejamkan mata sembari menarik napas, lalu mulai bicara, “jika kita telah menginjakkan tanah, kau akan menggantikanku, Petra.”
“Sampai kapan?” tanya Petra yang mulai mengeluarkan serulingnya.
“Waktu yang tidak ditentukan,” Gawain menulis sesuatu di sebuah kertas, “berhati-hati lah dengan Para Petinggi yang lain. Sebelum aku selesai menyelidiki, jangan sampai mereka tahu siapa dirimu, kau paham?” Gawain memalingkan pandangannya ke Tigra Lily, “dan untuk kau Lily, aku rasa kau cukup mengikuti Petra.”
“Eh, kau tak menyuruhku?” tanyanya dengan batin terkejut.
“Tidak, kau punya waktu tersendiri untuk tampil. Kau kartu as, Lily.” Senyuman Gawain merekah. Tigra Lily bukan sembarangan ditunjuk sebagai kepala suku tanpa alasan.
Tigra Lily tak protes, ia terima dengan rencana Gawain asalkan ia bisa bebas. Perannya di sini adalah wild card, tidak dapat diprediksi dan tidak diketahui, senjata ampuh yang belum terlihat moncongnya, menunggu bertugas kapanpun. Dengan anggukan mantap, keduanya pergi dari hadapan Gawain, “tolong panggilkan Kurish,” tambahnya setelah ia membubuhkan tanda tangannya di sebuah surat lantas melipat dan menyegelnya dengan rapat.
Namun Kurish tak datang sebelum benar-benar larut. Suara ketukan terdengar hingga membuat Gawain berhenti membaca, menerawang ke kaca pintu yang separuh transparan, dan mendapati pria elf itu datang dengan membawa sebotol anggur gourdon, anggur kesayangan Hartein. Saat disuruh masuk, perangai Kurish tak ubahnya seorang bawahan yang patuh meski pada orang yang jauh lebih muda darinya juga lebih junior. Ia tak terikat dengan konsep senioritas, tapi demi rasa hormat Gawain pada orang yang paling senior di kapal ini, ia bersungguh-sungguh membahas hal ini.
“Selamat datang, calon kapiten baru!” canda Gawain yang disambut dengan seringai kecil Kurish yang hanya sesaat.
Keduanya duduk berhadapan setelah Kurish selesai menuangkan anggur. Gawain langsung meminum setengah, tapi Kurish tetap diam tak menyentuh. “Ada apa, kawan?”
“Kenapa kau memberi kapal ini pada kami, Kapiten?”
“Kau lupa janji Hartein?”
“Kapiten Hartein adalah Kapiten Hartein; Anda adalah Anda. Kapiten tak perlu repot-repot menebusnya.”
“Wasiat, kawan. Itulah wasiatnya.” Kurish bungkam tepat mendengar kalimat itu, tapi ia sudah menyiapkan jawaban lainnya.
“Fortuner lama telah tidur di Loker Davy Jones bersama sang kapten yang bangga menyongsong kematiannya, sementara ini, Fortuner baru adalah kapal milik Anda dan selalu milik Anda, bukan yang lain; bukan Asosiasi Penyihir atau kami.”
Gawain tidak menjawab karena mendengar ucapan Kurish yang juga logis. Ia diam sejenak, lalu sebuah gagasan keluar dari kepalanya, “kalau begitu, aku titipkan saja padamu. Kau tahu, aku akan sibuk dengan Asosiasi Penyihir, gunakan saja kapal ini untuk berlayar semau kalian, tapi bila kupanggil, kalian akan segera datang di mana kalian berada! Bagaimana?”
“Bagaimana Anda tahu di mana kami berada? Kami selalu di laut!”
Gawain mengeluarkan sepucuk surat yang telah ia tulis, “dari surat ini dan juga seekor merpati, kawan,” ia menyerahkannya kepada Kurish yang langsung memasukkan ke tas kuning kusamnya tanpa ada rasa penasaran ingin mengintip isi surat. “Kau ingat Pepelon?”
“Pepelon... oh demi Dewa dan Dewi! Kapiten Pepelon! Tentu saja saya ingat! Dia seorang mualim muda kala itu, ah, tapi mungkin ia sudah tua jika mengingat ia berasal dari ras manusia. Apakah Kapiten mengenalnya?”
“Iya, tentu saja aku mengenalnya. Sudah lama kami tak bicara satu sama lain, ingin saja aku membelokkan kemudi untuk pergi ke Junier, tapi aku punya tanggung jawab lain, Kurish. Maka dari itu, serahkan surat ini ke Kapiten Pepelon, beritahu bahwa kawannya, Kapiten Hartein telah meninggal dengan kehormatan sebagai pelaut sejati.” Kurish mengangguk. Di pikirannya, ia berasumsi bahwa alasan utama Gawain dipilih menjadi pengganti Hartein adalah kedekatan mereka dengan Kapiten Pepelon, mungkin Hartein mendapat rekomendasi dari Kapiten Pepelon yang memang terkenal pelaut ulung itu.
“Baiklah, Kapiten. Aku akan mengantarkan surat ini seperti yang Anda perintahkan!” ia memberi salam hormat, mohon izin undur diri dengan meninggalkan gelas anggur yang bahkan belum ia teguk sedikitpun. Ketika Gawain menyarankannya untuk menemani minum, Kurish menolak dengan alasan, “seorang juru kemudi tidak boleh mabuk, ia harus siaga di depan kemudi. Jika ia mabuk dan tak sengaja berbelok hanya satu derajat. Dan hanya keburukan saja yang menunggunya.”
Itu benar, tapi Gawain rasa Kurish terlalu memaksa dirinya. Di sisa malam, ia mengurungi dirinya dengan menghabiskan anggur hingga kepalanya terasa berat. Tanpa ia sadari, seseorang mengendap masuk, lalu duduk di hadapan Gawain. Sosok itu hanya cukup memandanginya tanpa mengganggu tidur Gawain. Kelelahan dan bosan, itulah yang menggerogoti jiwa Gawain saat ini. Dalam tidurnya ia mulai mengigau.
Abi tertawa kecil mendengar gigauan Gawain; meski tidak ada namanya yang disebut. Hingga suatu saat, namanya sendiri disebut Gawain. “Abi...maukah kau menikah denganku?”
Abi sontak saja terkejut, tapi ia bisa menjaga kontur tubuhnya meski tak bisa menahan rona merah di wajahnya. Itu cukup mengejutkan dan tawaran yang menggiurkan. “Ini buruk... dari semua skenario, kita akan berakhir menjadi musuh, Abi... kau adalah orang yang kupercaya... iya... tentu saja!” Gawain bangun dengan mata separuh tertutup. Mulutnya berbau alkohol, mukanya sedikit berantakan, tapi itu mencerminkan suasana hatinya.
Tiba-tiba ia teringat ucapan Tigra Lily untuk segera menyatakan cintanya pada Gawain secepat mungkin. Dengan mulut bergetar, gadis itu akhirnya menjawab dengan terbata-bata, “iya... tentu saja, Gawain,” tukasnya dengan memeluk erat Gawain yang juga langsung dibalas. Keduanya berdiam diri, bingung akan memabahas apa, hingga suatu hal terlintas di kepala Abi, “lalu bagaimana dengan Florence?” sekarang ia merasa percaya diri dan melihat Florence sebagai rival yang setara.
“Tentu saja...”
“Tentu saja?”
“Tentu saja kunikahi dua-duanya!” seru Gawain tanpa berpikir panjang.
Wajarnya, semua wanita akan menampar pria yang berani berkata hal semacam itu. Anehnya, Abi hanya tersenyum lemah membalas, “rakus, kau memang rakus Gawain. Oh hei, tapi aku rasa dua lebih baik daripada tiga atau empat,” masih ada pikiran di mana wanita lain akan merebut Gawain. Contohnya saja Hilda. Ia masih menyimpan dendam pada ksatria wanita itu meski mereka sudah ratusan mil dari tanah Neverland dan mungkin tak akan ada kesempatan untuk bertemu lagi, tapi tetap saja Hilda adalah salah satu daftar dari musuh yang berpotensi merebut Gawain.
Sedetik kemudian, Gawain menyeret Abi ke tempat tidurnya. Semua dari kita tahu apa yang akan terjadi bukan? Seorang pemabuk dengan kekasihnya. Bukankah jawabannya sudah jelas? Karena sudah jelas, mari kita pangkas cerita ini dan melanjutkannya di bagian yang lain.
Abi bukanlah Florence.
***
Keesokan harinya, Gawain langsung melompat bangun terkejut mendapati tubuh kecil Abi di rengkuhan tangannya. Tambah terkejut lagi ketika mendapati bahwa, ah, aku rasa tidak perlu kujelaskan. Ia mencoba mengingat apa kelakuannya tengah malam kemarin, namun pengaruh alkohol membuatnya lupa dan sakit kepala. Ada sekelebat kenikmatan tapi ia sedikit menyesal mengapa ia jatuh hina—menjatuhkan harga dirinya dengan alkohol demi kenikmatan sesaat. Panik, jelas. Gawain adalah seorang pria yang jujur hatinya—meski ia sering menipu—untuk hal semacam ini. Dengan keringat dingin yang mulai menggelontor dari sekujur tubuh, ia mencoba menenangkan diri.
Tahu bahwa ada ketiadaan orang di sisinya, Abi bergelung, beringsut bangun, mengucek mata, dan tak lupa menutupi tubuhnya dengan selimut. Wajahnya merah padam, matanya berair buncah, ia memalingkan pandangannya ke bawah, malu-malu kucing mengingat ganasnya Gawain tadi malam. “Pa—”
“Maafkan aku, Abi,” Gawain bergetar. Ia tampak takut bahwa ia melakukan kesalahan besar. “Aku rasa aku harus mengurangi hobi minum anggurku...”
“Tidak perlu, Gawain,” Abi bangkit menyeret selimut, mengenakan pakaiannya yang tergeletak di lantai berceceran di sana sini. Gawain mengikuti, bukan saatnya ia panik. Ia sudah melalui keadaan hidup-mati dan ia bisa menghadapinya dengan tenang, tapi anehnya kini ia tak bisa menahan degup jantungnya yang tak karuan. “Aku suka ketika kau mabuk, menampilkan sisi bodoh dan lemahmu itu.”
“Kau... memaafkanku?”
“Siapa bilang kau dimaafkan?” dengus Abi, mencoba bercanda, “Madame Orkney, aku ingin dipanggil seperti itu.” Gawain linglung, tak tahu harus menjawab apa. “Aku bukan wanita murahan yang bisa kau temui di gang-gang gelap dan amis, dan kau pria terhormat, sudah seharusnya kau—”
“Baiklah Abi, aku mengerti,” Gawain cepat-cepat mengenakan lagi bajunya, “tapi jangan berharap banyak dari orang seperti diriku.”
Abi tersenyum tulus dan di sisa perjalanan pulang ia akan tersenyum seperti itu, lupa mengenakan jubah tak terlihatnya, menampilkan sosok wanita yang entah mengapa sudah memiliki aura keibuan. Dilihat dari ukuran tubuhnya, semua orang pasti mengira ia lebih muda dari Gawain; mungkin awal dua puluh tahun atau bahkan lebih muda. Tapi ia adalah Penyihir Abadi, ia pasti sudah berumur lama meski tetap saja pikiran dan akalnya sama seperti gadis seumurannya.
Satu minggu sisa perjalanan, semuanya sudah mulai tak sabaran menginjakkan kaki mereka di tanah, apalagi ketika cakrawala selatan sudah menunjukkan bentangan Benua Unomi, berjelap-kelip di malam hari dan tampak bersinar jaya di siang harinya. Di hari keenam, semua kelasi berkumpul di geladak atas perintah Gawain. Sama seperti biasanya, mereka juga membawa bertong-tong anggur, mengira bahwa akan ada pesta besar. Sejujurnya, sang kapten enggan mengadakan pesta, tapi demi kesenangan semua orang, ia mengizinkannya, lagipula ini mungkin kali terakhir baginya untuk melihat senyum bodoh tiap kelasi.
Pesta cukup berlangsung lama. Di puncaknya, tepatnya pada tengah malam, beberapa kelasi mengeluarkan tetabuhan dari kayu dan peti bekas, serta alat musik petik serupa banjo yang serat senarnya dari tali. Bisa dipetik, tapi tidak mengeluarkan suara yang merdu. Demi meramaikan suasana, Abi menawarkan diri untuk memetik harpa-panahnya dengan ketukan cepat. Ditemani beberapa peri laut yang bisa menyanyi dan membawa alat musik kecil berupa terompet, alunan musik cepat pun telah bermain dengan sendirinya.
Semua orang melingkar. Beberapa menawarkan diri untuk menari, namun terlalu mabuk untuk bangkit dan sudah sempoyongan untuk berjalan. Tapi tidak dengan Petra dan Tigra Lily, keduanya luwes mengikuti alur musik. Kaki mereka, juga kaki semua kelasi yang terhentak seperti memberi ketukan tersendiri kepada Petra dan Tigra Lily.
Nyanyian sepi khas pelaut mulai ikut mengisi pesta malam itu. Tidak cocok dengan tema senang yang sedang mewarnai, tapi Abi dan peri lain mampu mengubah nadanya menjadi lagu yang cocok didengar. Tidak peduli lagu apa yang disenandungkan, lagu sedih bisa menjadi lagu bahagia dan sebaliknya, semua itu bergantung pada suasana hati penyanyinya, itulah yang Abi pelajari dari Ariel, peri laut yang ia temui di awal perjalanan ini.
“Kapiten! Hendaknya Engkau juga ikut menari!” Parsha memukul punggungnya keras-keras, membuat tubuh kapitennya itu maju tersingkir dari keramaian ke tengah-tengah lingkaran. Di saat yang bersamaan, Tigra Lily dan Petra sudah mendorong Abi turun. Petra sudah mengeluarkan serulingnya, juga Tigra Lily sudah merebut harpa-panah Abi dan mulai memetik.
“Aku tak pandai berdansa,” ucap Abi gugup, tapi ia tetap menjulurkan tangannya sambil menyembunyikan semu merah di wajahnya. Aneh, ia bisa menentukan ketukan tapi tak tahu dasar penentuannya berasal dari gerakan kaki seorang penari. Gawain menjawab tangan itu, memeganginya dengan erat, dan mulai mengikuti alunan.
“Ikuti kakiku, Abi,” bisik Gawain. Semua orang langsung bersorak, tak tahu bahwa kapiten armada ini sungguh menakjubkan. Tidak hanya kuat, cerdik, tapi ia juga pemuda yang lemah lembut pada wanita dan bahkan dapat menaklukannya. Mereka tidak iri, malahan mereka senang hanya dengan melihati kisah asmara Gawain dan Abi. “Benar, kau seorang pembelajar cepat,” puji Gawain yang mengetahui Abi sudah terbiasa dengan alunan musik.
Lima menit terlewati dan akhirnya lagu itu usai, tepat dengan Gawain yang mengayun tubuh kecil Abi hingga ke lantai dan menghentikannya dengan tangan tertahan di pinggang Abi. Menawan, bahkan beberapa kelasi tertegun dengan pesona Gawain meski sama-sama seorang pria. Semua orang bertepuk tangan setelah melihat acara itu. Gawain dan Abi yang berdansa sedari tadi tak menyadari bahwa Kurish, juga beberapa orang yang lain sedang menyelinap ke gudang harta yang tersembunyi di buritan, mengambil sepasang cincin dari emas dan tak lupa menyepuhnya dengan emas putih agar tampak berkilau. Sebenarnya, masih banyak harta lain yang ada di sana dan semua itu milik Gawain sebagai Kaisar Peri, tapi tentunya Gawain tak mau menerima semua kekayaan itu dengan alasan sederhana; ia tak tertarik pada harta.
Tapi setidaknya, mereka sudah berkeluarga dan memang pantas Gawain memberi hadiah sepasang cincin atau bahkan sebuah rumah impian untuk berkeluarga. Kurish tahu bahwa kedua orang itu memang lebih suka bertualang daripada menetap di satu tempat, tapi tetap saja ia dan semua kelasi ingin memberi hadiah pernikahan—hadiah perpisahan terbaik bagi sang kapiten.
Dengan cangkang tiram yang ditemui saat menjaring ikan kemarin, mereka menata dua cincin itu di dalamnya, membuatnya seapik mungkin sebagai hadiah. Kurish memang hebat! Terbukti ia sudah memikat lima wanita—walau kita tahu semua dari mereka bercerai di kemudian hari. Tapi tetap saja, dengan teknik maut juga pengalamannya menaklukan wanita, ia menjamin betul hati Abi akan makin cair.
Saat Gawain kembali ke tepian, ia dihadang Parsha yang mawas menunggu Kurish yang tak kunjung datang. Saat tahu Kurish naik ke geladak, ia langsung memberikan wadah tiram itu kepada Gawain yang kebingungan. Lantas, Kurish mengangkat tangannya, membuat seisi geladak bungkam, lalu dengan bebarengan, semua orang berkata: “selamat atas pernikahannya kapiten!”
Gawain memandangi sekitar, lalu matanya tertumbuk kepada Petra dan Tigra Lily yang mengedipkan mata bersamaan, “rupanya kalian tidak bisa menjaga rahasia,” batin Gawain. Karena ia seorang pria pemberani, ia menjawab sorak-sorai itu dengan membungkuk sedalam-dalamnya, “terima kasih! Terima kasih!” semua ini berkat Petra dan Tigra Lily yang telah bersekongkol dengan semua kelasi. Mereka menyadari ada hal yang aneh dengan kapiten mereka, juga dengan Abi.
Abi tetap membeku di tempatnya tadi, tak mengira bahwa ia menerima hadiah secepat ini dari Gawain juga meminangnya di tengah laut. Indah memang. Di atas ada lautan bintang sementara di bawah ada perairan tenang, juga sepoi angin yang ingin bersuara juga bersiul. Matanya buncah dan kali ini ia tak bisa menutupinya lagi, semua orang sudah tahu di balik wajah tanpa ekspresinya, ia hanyalah seorang gadis, tak lebih.
Pengalamannya sebagai ksatria dari negeri peri membuat Gawain menekuk lutut, mengambil tangan kiri Abi dan mengecupnya. Dengan kotak cincin terbuka, ia menawarkan dirinya sekali lagi, meski semua orang tahu apa jawaban Abi yang bisu, digantikan dengan anggukan lemah. Tanpa menunggu lagi, Gawain memasukkan salah satu cincin emas ke jari manis Abi, lalu sekali lagi mengecupnya, dan beranjak bangkit hanya untuk memeluknya, meski semua orang sudah bersorak “cium!” kepada dua pengantin baru ini.
***
Sepasang burung merpati turun dari angkasa dan mendarat tepat di pundak Gawain. Di kaki kirinya terdapat sebuah tabung dari kulit yang tahan air. Hanya dengan gerakan tangan, salah satu dari mereka terbang ke arah Fortuner, lalu mendarat di anjungan kapal yang kini sudah menghadap ke barat, menuju Kota Junier. Hanya empat orang yang turun dari kapal: Gawain, Abi, Petra, dan Lily yang kini semua dari mereka siap untuk menghadapi tantangan lainnya.
“Selamat jalan Kapiten dan istrinya! Selamat jalan Petra! Selamat jalan Nona Lily!” seru semua kelasi sembari melambaikan tangan dengan topi-topi lusuh mereka kecuali Parsha; ia hanya mengangkat kain bandana di kepalanya, lalu membiarkan angin laut menerpa dan memamerkan kain kemerahan yang tampak terbang.
Setelah cukup jauh dan tak terlihat karena Fortuner sudah keluar dari teluk, keempatnya berbalik arah ke sebuah kedai lalu duduk memesan makanan. Lidah mereka sudah bosan dengan santapan dari ikan, maka dari itu mereka memesan daging rusa panggang juga air limun rekomendasi Gawain. “Mari kita dengarkan rencanamu kembali Gawain, adalah buruk bila kau tak terbuka dengan istrimu sendiri,” gurau Petra.
“Baiklah, tolong dengarkan aku.”
***
Mari kita kesampingkan dulu cerita komplotan Gawain yang telah sampai di Kota Akre, kota pelabuhan paling utara di Kerajaan Laitan yang juga satu dari pelabuhan terluar di garis pantai Unomi. Karena mereka adalah karakter utama, tentu saja mereka memiliki banyak waktu lain untuk tampil di bagian cerita selanjutnya, maka dari itu, di sini kami akan menceritakan karakter lain yang mungkin tidak mendapat cukup perhatian dan sorotan, tapi cukup berjasa di kemudian hari: yakni Kurish dan Parsha.
Kapal Fortuner kembali berlayar membelah lautan menuju cakrawala di mana mentari terbenam. Kurish dan yang lain dikobar api semangat, mereka akan bebas selama burung merpati pemberian Gawain tidak membawa surat. Tapi apa yang akan mereka lakukan? Menjadi bajak laut dan membangun armada sendiri? Tanpa kekuatan Parsha—yang memilih turun untuk pulang kembali ke desa kelahirannya—mereka hanyalah cecunguk lemah tanpa daya. Sempat terpikir di benak Kurish bahwa ia akan melakukan usaha dagang, tapi ia ragu apa yang harus ia jual? Ia memang cerdik tapi tak berpengalaman sedikitpun dengan usaha pasar, jadi ia memiliki kegundahan tersendiri di saat ia memegang dua kemudi; satu ia pegang untuk tetap mengendalikan laju dan arah kapal, satunya ia pegang demi masa depan Fortuner dan awaknya.
Ia jarang tidur, ia memang sudah terlatih akan hal itu. Biasanya ia akan tidur satu hari setelah bertugas tiga hari. Mengenaskan, begitulah pendapat semua kelasi yang melihat juru mudi pertama mereka tidur dalam keadaan terduduk dan bahkan kadang berdiri. Beberapa dari mereka hendak menggantikan peran Kurish sebagai juru mudi ketika beristirahat, tapi malah membelokkannya ke arah yang salah dan membuat jadwal mereka terundur hampir dua hari lamanya.
Itu tak apa, Kurish senang dengan bawahan yang mengambil inisiatif meski tidak berjalan mulus. Alhasil, ia mengajarkan pada mereka cara mengendalikan kapal, “anggap saja ia seperti istri kalian; rawat dia dan ia juga merawatmu bahkan dalam badai ganas sekalipun!” itulah prinsip yang ia ingat dari seseorang: Kapiten Pepelon.
Ah, ia semakin senang melihat wajah seorang kawan lama. Mungkin saja Pepelon sudah lupa dengan rupa muda Kurish, tapi nanti itu urusan mudah, ia akan mentraktirnya satu-dua botol dan mereka akan menjadi sahabat.
Dua minggu melintasi perairan tenang dan mereka telah sampai di Pelabuhan Junier. Ramai, tepat seperti yang Kurish dengar dari Gawain, Junier adalah tempat yang sibuk dan padat akan pekerjaan. Dalam sepanjang hidupnya, Kurish tak pernah turun berlabuh di kota ujung ini, hanya melintas dan melihatnya dari kejauhan. Dengan jangkar dan tali tampar terikat, Fortuner berlabuh mulus tanpa gangguan yang berarti.
Sama seperti pelabuhan yang lain, seorang pejabat pelabuhan langsung mendatangi Fortuner ketika melihat sebuah kapal asing dengan puluhan meriam di sisi samping geladak dan lambung kapal membuat pejabat pelabuhan itu berkeringat dingin. Dengan dikawal dua penjaga kota, ia maju memberanikan diri dan bertanya, “ada yang bisa saya bantu? Tuan kapten?”
“Jangan panggil aku kapten, aku bukan pemilik sah kapal ini,” balasnya dengan bahasa Miriadin yang fasih, “panggil saja Kurish, aku juru mudi pertama kapal ini.”
“Untuk urusan apa Anda datang kemari?”
“Mengantarkan surat dan ingin bertemu dengan seorang kawan lama.” Kurish menandatangani persetujuan agar Fortuner diperiksa. Pejabat pelabuhan memanggil satu regu ksatria, menyuruh mereka memeriksa kapal asing itu. “Omong-omong, apakah aku bisa bertemu dengan kapten dari kapal bertiang tiga bernama Avem?”
“Oh, Avem! Tentu saja! Mari kutemani Anda untuk bertemu dengan kapiten kapal ajaib itu!” tukas sang pejabat pelabuhan sambil berjalan mendahului.
“Ajaib, katamu?” tutur Kurish yang mengekor.
“Benar! Sungguh ajaib! Tiga tahun yang lalu, kapal itu karam dan tenggelam di Teluk Kriets lengkap bersama kaptennya. Tentunya kami mengalami keterpurukan karena Avem sangat fital bagi jalur perdagangan kami, tapi keajaiban datang di selang empat bulan yang penuh krisis itu! Ia, Avem, bangkit dari Loker Davy Jones dengan utuh!”
“Tunggu dulu, apa yang terjadi dengan Kapiten Pepelon?” tanya Kurish yang sudah tak sabar.
Dengan menghembuskan napas panjang, sang pejabat berhenti lalu berbalik, “naas, ia tak ikut dibangkitkan bersama kapal kesayangannya.”
Itu berita baru bagi Kurish. Ia berusaha tetap berdiri tegar demi mendengar berita buruk itu, “kepada siapa Avem diberikan?”
“Juru mudi pertamanya, pemuda berkaki satu bernama Burdier,” sang pejabat langsung saja tertunduk muram, “maafkan aku, Ser Kurish, tapi itulah yang benar terjadi. Jika Anda tak percaya, maka Anda kusarankan untuk bertemu Ser Rei sebagai majikannya. Aku harap beliau mau menerima tamu, ia masih terguncang akibat kematian istrinya baru-baru ini.”
Kurish ingin saja memberi kabar secepat mungkin kepada Gawain melalui merpati, tapi ia juga berkewajiban untuk mengantar surat kepada kapten baru Avem sekaligus mendengar ceritanya lebih detail agar ia bisa menjelaskan apa yang terjadi pada Gawain. “Baiklah, antarkan aku pada kediaman Ser Rei.” Keduanya merubah haluan menuju Mansion Ser Rei.
Mansion Ser Rei tampak megah seperti biasanya. Setelah melalui krisis yang hampir membuat si pemilik rumah bangkrut hingga ingin menjual rumanya sendiri, Mansion itu sudah kembali ke kondisi awalnya: para pelayan dan pegawai berlalu-lalang di lorong juga ruangan. Dari gudang belakangnya saja, semua orang tahu bahwa kesibukkan tak pernah usai diurus oleh Ser Rei.
Tapi saat ini ia tidak sedang bekerja, melainkan duduk termenung di depan meja kerjanya dengan ditemani Nia, putri bungsunya, yang tak bosan-bosan mencoba menghibur dan bahkan mengurus beberapa pekerjaan ayahnya. Menyedihkan, begitulah pikir Rei ketika melihat bahwa putrinya masih cukup tangguh berdiri meski telah kehilangan ibunda tercinta. Senyum juga tawa masih tersemat di wajahnya, walau Rei tahu bahwa terkadang gadis kecilnya itu menangis di sela-sela malam tanpa diketahui siapapun dengan memegangi dompet keemasan pemberian dari seorang penyelamat tak bernama.
Si Pengembara Kesepian, begitulah yang tertulis di surat misterius itu. Ketika Rei mencoba mencari identitas sang penyelamat, ia malah menemui jalan buntu, tak mendengus bau sedikit pun dari Si Pengembara Kesepian kecuali kisah keberaniannya menyelamatkan kota perbatasan, Antarie. Ingin rasanya ia menemui langsung orang yang dimaksud, tapi ia benar-benar lenyap setelah melintasi Hutan Magis Nixie.
Sebuah lonceng terdengar dari bawah, seseorang datang. Arseine yang bertugas langsung turun demi menyambut dua orang tamu. Dengan membungkuk, ia memberi salam, “Ser Alexa, sebuah selamat datang di kediaman Ser Rei, dan...” lirik Arseine yang merasa asing dengan telinga panjang khas milik kaum elf di Junier, “selamat datang tuan elf. Dilihat dari baju Anda, rupanya Anda seorang pelaut.”
“Iya, itu benar.”
“Perihal apa Anda datang ke sini?”
“Menemui Kapiten Pepelon,” balasnya sedih, “tapi rupanya beliau sudah pergi. Jadi, aku bingung untuk mengirim pesan dari kapten kapalku.”
Demi etika kesopanan, Arseine menggiring mereka ke ruang tunggu dan melayani mereka dengan kue dan teh hitam khas Junier yang resep rahasianya masih misteri hingga saat ini. Arseine mohon undur diri demi menemui Rei dan membujuknya untuk berbicara dengan tamu. Rei hanya mengangguk pasrah, enggan. Ia sudah cukup tua dan sekarang seseorang harus menggantikannya. Albert sudah bilang bahwa ia tak tertarik dengan pekerjaan ayahnya, tapi Nia masih terlalu muda untuk diberi urusan rumit seperti ini, jadi ia harus bersabar menunggu Nia tumbuh dewasa atau membujuk Albert untuk mewarisi kekayaannya.
Saat masuk, Rei yang kini berkaki tiga itu melangkah terbata-bata. Dengan bantuan Arseine, ia duduk lantas menaruh kaki ketiganya—yang tak lain adalah tongkat kayu buatan Neils. Nia duduk di sebelahnya, lalu ia membuka dialog. “Ada apa seorang pelaut jauh-jauh datang ke kota kecil ini?”
Kurish menjawab dengan gamblang bahwa ia ingin sebenarnya berniat untuk menemui Kapiten Pepelon, tapi setelah mendengar kabar bahwa sang kapten telah tiada, ia bingung dan ingin bertanya pada sang juragan tentang apa yang telah terjadi.
Cerita yang Kurish dengar cukup mendebarkan dan juga mengejutkan. Ia terkejut bukan karena Avem bangkit, melainkan dibangun kembali lengkap dengan barang dagangan yang lenyap. Ia merasa ada suatu kejanggalan dalam cerita lantas bertanya, “omong-omong, siapa yang membiayai perakitan kapal dari nol dan hanya dalam waktu empat bulan?”
“Kami tak pernah ta—”
“Si Pengembara Kesepian!” potong Nia. “Iya, dia lah yang memberi obat ibu, memberi uang, membangun Avem, juga Karavan Palmite! Dialah sang penyelamat!”
“Si Pengembara Kesepian? Siapa dia?” tanya Kurish yang penasaran.
Nia dengan semangat menceritakan apa yang ia ketahui dari Si Pengembara Kesepian. Mulai dari perkiraan identitasnya, suaranya, tampangnya, bahkan cara ia berjalan! Kurish merasa tidak cukup tertarik dengan pembicaraan gadis berusia enam belas tahun itu, tapi entah mengapa ia tetap tertarik mendengarnya. Arseine menghentikan Nia bercerita, berbisik bahwa tingkah laku semacam itu tidaklah sopan pada sang tamu. Dengan cemberut, Nia menahan emosinya yang benar-benar meluap.
“Baiklah... pada akhirnya aku tak bisa menemui siapapun di kota ini,” Kurish mengeluarkan sepucuk surat lalu menaruhnya di meja. “Mungkin Anda adalah orang yang paling pantas setelah kapten baru Avem untuk membacanya.”
Rei mengangguk pelan, ia hendak mengambil surat itu, tapi tangan Nia merebutnya lalu berdiri dengan tampang tak percaya. “Tidak mungkin,” gumamnya dengan langsung menatap Kurish, “tuan, apakah Anda bersumpah bahwa Anda hanyalah seorang pengantar pesan?”
“Nia!” pekik Rei dengan suara seraknya, merasa bahwa anaknya itu sudah kelewatan.
“Sebentar Papa! Aku hanya ingin mendapatkan jawabannya,” sergah Nia yang segera merogoh dompet kecil di mana ia menyimpan secarik kertas lama. Itu surat lama dari Si Pengembara Kesepian, masih bagus dan terlipat rapi. Tangannya gemetaran mengambil kertas itu, lalu menaruhnya. Kini matanya tertuju kepada surat yang ia pegang, menyobeknya perlahan, dan membuka isi surat yang tak ia sangka-sangka:
Nia, bagaimana kabarmu? Apa aku bisa meminta pertolongan padamu? Singkat cerita, aku kenal dengan satu awak kapal. Mereka tak berkapten saat ini dan bingung tentang langkah apa yang harus mereka ambil.
Jadi, apakah kau mau menerima permintaanku? Tolong terima mereka menjadi bagian dari awak kapal dagang Ser Rei. Mereka sudah membawa kapal, tinggal Nona suruh untuk berlayar demi berdagang.
Apakah Nona mau menerima permintaan saya?
SI PENGEMBARA KESEPIAN
Di kala ia membandingkan tulisan surat lama dengan surat baru yang ia terima, ia melompat kegirangan, “Papa! Dia mengirim surat, Papa! Dia mengirim surat!” serunya dengan menunjukkan dua surat itu agar Rei percaya.
Dengan mata membelalak, Rei kini beralih kepada Kurish, “katakanlah, pemuda elf yang bijaksana, siapa yang menulis surat ini?”
“Kaptenku. Namanya Eias.”
“Sekarang, di mana beliau berada?”
“Aku rasa beliau sekarang sudah di Hyulida. Untuk Anda tahu saja, kami adalah mantan armada Alki’ey Hartein, tapi beliau digantikan oleh Kapiten Eias yang gemilang! Memangnya, kenapa?”
“Kira-kira, berapa umur kaptenmu?” tukas Nia.
“Aku rasa dua puluh tahun, mungkin? Entahlah, dia tak pernah bicara tentang usianya.”
“Arseine... cepat cari informasi tentang Kapiten Eias juga kaitannya dengan seorang pendeta bernama Agwain Septim, kita harus membalas budi tentang apa yang selama ini ia lakukan,” suruh Nia. Arseine mohon pamit undur diri, meninggalkan empat orang yang masih duduk brehadapan. Ser Alexa yang merasa bahwa perbincangan kali ini tidak membutuhkan perannya juga mohon pamit, membiarkan Kurish dan dua juragan tetap di sana.
“Siapa nama Anda?”
“Kurish.”
Nia menjulurkan tangannya seraya berkata, “selamat datang di perusahaan kami, Ser Kurish.”
***
Desa ogre tempat di mana Parsha dilahirkan terletak di sebuah pulau kecil di Semenanjung Tunis, tidak jauh dari Kota Pelabuhan Akre dan hanya berjarak lima hari perjalanan. Parsha benar-benar tidak beristirahat karena mengetahui bahwa ia bisa bebas pulang setelah melaut lama. Karena ia tak pandai berhitung, ia tak tahu sudah berapa lama ia meninggalkan keluarganya di sana, membiarkan kedua putranya tumbuh tanpa pengawasan langsung dari matanya.
Suara sebuah siulan terdengar di hari keempat semenjak perjalanan Parsha dimulai. Ia kenal betul dengan nada siulan itu, lantas membalas siulan dengan nada yang sama pula. Itu berarti ada seorang dari kaumnya sedang berburu dan berkomunikasi dengan siulan. Setelah mendengar siulan Parsha yang cukup melengking karena dipaksakan, terdengar beberapa semak terbuka, juga langkah cepat yang halus di ranting-ranting. Parsha mendongak, mendapati setidaknya satu regu pemburu dari rasnya.
Melihat seseorang dari kaumnya, salah seorang dari mereka turun dan menyapanya. “Siapa dikau?! Dari mana kau berasal?!” tanyanya dengan mengangkat tombak, tapi ia berhenti ketika melihat bandana merah di kepala Parsha, lantas menurunkan tombak dan menyapanya, “lama sekali, Parsha. Sudah lama sekali.”
Parsha mengenali suara yang berasal dari mulut di balik topeng kayu pemburu itu, “Kamirash, kaukah itu?”
Pemburu yang dimaksud langsung membuka topengnya, menampilkan wajah garang seorang pemburu yang bertatokan warna guna berkamuflase dengan lingkungan dan bayangan sekitar. Kini, tanduk yang tersembunyi di balik topeng kayu terlihat. Jumlahnya sepasang, sama seperti Parsha, tapi lebih kecil. Itu adalah tanduk kebanggaan kaum ogre dan juga menunjukkan daya tarik para pejantan. “Betul! Ini aku! Kamirash! Yang lain, tengoklah! Pejuang Parsha kembali s’tlah mengarungi dunia!”
Pemburu yang lain membuka topeng mereka. Semua dari mereka muda, hanya Kamirash yang paling tua di sana. Rupanya Kamirash sedang mengajari bagaimana cara mereka berburu pada generasi muda. “Hanya siulan (saja hari ini), tapi tak menyangka dirimu pulang!”
Kamirash menyuruh yang lain untuk mendahului, sementara ia dan Parsha berjalan santai sembari berbincang. “Bagaimana dengan Lonas dan Jonas?” tanyanya tanpa ragu, “bagaimana dua pria kecilku?”
“K’limatmu sulit paham kami, Parsha!” Parsha tidak lupa dengan bahasa ibunya, tapi bertahun-tahun tak bicara membuatnya tak terbiasa. Karena ia sering berbincang dengan bahasa umum, ia sedikit lupa dengan bahasa kaumnya, tapi ia cukup cerdik dengan menggunakan bahasa tubuh, “pergi, keduanya pergi.”
Parsha terkejut mendengar jawaban itu. Bukankah alasan ia kembali ke desa ini hanyalah untuk menemui dua anaknya? Hanya itu! Apakah kepulangannya ini hanya sia-sia belaka? “Pergi ke gunung dan berguru di sana. Tunggu saja satu-dua hari dan mereka k’mbali.”
Tok! Parsha memukul kepala kawannya yang memang sengaja menggoda Parsha. “Ampun, saudara!” tukasnya sembari menggosok kepala karena kesakitan. Parsha senang, itu berarti masih belum ada jarak yang cukup jauh antara Kamirash dan dirinya, dalam kata lain ia masih dianggap seorang kawan bahkan seorang saudara meski ia sudah meninggalkan tempat kelahirannya ini.
Sebuah menara terbuat dari kontruksi kayu terlihat di balik rimbunnya daun. Seorang pemanah bermata tajam menyapa lalu melambaikan tangan. Parsha tak mengenali pemuda penjaga di atas sana, sudah banyak wajah-wajah lama yang telah digantikan dengan wajah baru yang lebih cerah dan bersemangat, selaiknya daun-daun tua yang kering kerontang akibat kurangnya air, kini digantikan dengan daun hijau yang tumbuh lebih tahan dari krisis kekeringan. Itu sama dengan desa ini; pasti suatu krisis terjadi hingga membuat wajah-wajah lama menghilang.
Dugaan Parsha benar adanya ketika semua penduduk hanya diisi dengan beberapa wajah tua, sementara sisanya generasi muda, mungkin masih berumur lima hingga delapan belas tahun bagi kaum ogre. Jika saja Parsha bisa berhitung, ia tahu bahwa ia sudah berumur lima puluh tahun, artinya ia tak akan hidup lama lagi, paling lama hanya sepuluh tahun dan ia akan mati karena penyakit yang mulai menggerogoti tubuhnya.
Awalnya batuk-batuk biasa, lalu batuk berdahak, dan akhirnya batuk darah dilengkapi dengan sesak napas. Sekarang Parsha sudah sampai di tahap kedua dan dahaknya pun sudah amat kental. Tidak hanya batuk saja, tapi ia juga mengalami sakit di pinggang juga sakit di bagian ulu hati. Seorang tabib baik hati mengatakan bahwa Parsha mengalami komplikasi hati dan ginjal karena terlalu banyak minum minuman beralkohol atau kurang minum air. Parsha memang ingat betul dengan penyakit yang ia derita, sayang ia bodoh; ia tak tahu apa itu minuman beralkohol yang dimaksud, istilah organ hati dan ginjal, apalagi fungsi-fungsinya.
Ada lebih banyak orang yang menderita penyakit yang lebih ‘mengutuk’ menurut kepercayaan kaum ogre, seperti buku-buku kuku yang menghitam dan mulai membusuk perlahan, atau kelumpuhan di usia muda karena si bayi tak menerima susu ibunya, atau yang lain. Tapi sebuah keajaiban tersendiri bahwa Lonas dan Jonas tak menderita kelumpuhan meski tak sepenuhnya merasakan susu ibunya sendiri.
Parsha masih ingat peristiwa itu; peristiwa di mana nyawa istrinya direnggut tepat di depan kedua matanya. Ia yang dahulu tak sekuat sekarang, masih lemah dan tak berdaya. Malahan, ia ingin menikmati hidupnya dengan menjadi seorang penebang pohon dan pengrajin rotan. Indah kalau boleh ia bilang. Meski pernikahannya amatlah sederhana, tapi kebahagiaan yang mengisi keduanya cukup banyak.
Tiga dekade lalu, seperti yang kita tahu, salah satu dari Penyihir Abadi menyatakan perang dengan seluruh dunia. Banyak korban yang berjatuhan, dan salah satu dari ribuan mayat yang tergelimpang tak bernyawa adalah istri Parsha sendiri. Ia sudah putus asa melihat jasad istrinya, namun benar-benar bersyukur bahwa dua putra kembarnya masih utuh tanpa kurang secuil pun, bahkan keduanya benar-benar tidur lelap, seolah merasa aman di dalam rengkuhan sang ibu yang mayatnya saja hanya bersisa dada dan sepasang tangan.
Di tengah medan perang kala itu, terlihatlah seorang pria ogre yang memanggul satu jasad dan dua bayi di satu tangannya, sementara tangan yang lain memegang pedang bermata ganas yang sudah tampak tumpul berkat cipratan darah yang mengendap. Perlahan, tapi ia memang sengaja untuk tidak tergesa-gesa, ia ingin membalaskan dendam pada istri, juga saudara-saudara kaumnya yang mati tanpa sisa hingga tak mendapat kehormatan terakhir berupa pengkuburan yang layak.
Banyak yang ia tebas dengan pedang tumpul itu. Puluhan dan mungkin ratusan. Semua mata orang yang menyaksikan kegagahan Parsha kala itu terkagum. Salah satu dari orang-orang itu adalah Alk’iey Hartein yang saat itu sudah menjabat sebagai Petinggi Asosiasi dan memimpin garis depan perlawanan. Hartein yang tertarik langsung saja merekrut Parsha dan langsung mengangkatnya menjadi tangan kiri kepercayaan—peran tangan kanan sudah diisi oleh Kurish sebagai ahli strategi. Awalnya Parsha tak setuju, tapi ketika Hartein menjamin keamanan tanah kaum ogre, ia langsung saja mengangguk tanpa berpikir lagi.
Perang itu berlangsung lama, tapi berhasil diakhiri dengan kekalahan Penyihir Abadi yang berhasil disegel oleh tujuh Petinggi Asosiasi. Parsha yang mendengar berita kemenangan ini benar-benar bersyukur, lalu lekas pulang ke desanya demi melihat dan mendekap dua putranya dengan senang hati, meski kala itu keduanya masih berusia dua tahun dan belum mengenal siapa Parsha sebenarnya.
Sejatinya, Parsha ingin saja tinggal di desa dan melupakan urusan dunia yang lain, tapi demi kehormatannya sebagai ahli berpedang terkuat di kaumnya, ia harus menepati sumpahnya kepada Hartein di mana ia akan tunduk dan selalu mengikuti Hartein ke mana saja meski ujung dunia sekali pun.
Tapi, apa yang ia lakukan? Ia bersyukur ia masih hidup, tapi hatinya seolah menolak karunia ini karena sumpahnya tak setia, apa boleh buat? Kapten kapal sekarang adalah Gawain, bukan Hartein, dan misi pada waktu itu lebih penting daripada nyawa Hartein sendiri. Itu keputusan yang bijak dan logis, meski cukup berat untuk meninggalkan majikan yang lama kita kenal baik itu.
“Kau pikir apa, saudara?” sikut Kamirash ketika menyadari bahwa sedari tadi Parsha melamun.
“Apa yang terjadi sepeninggalku?”
Kamirash mengerutkan dahi, tak menyangka Parsha akan membahasnya secepat ini. “Tyran. Nixie hancur karena jatuh di tangan Tyran! Itu kejadian cepat dan tiada menduga!” ia memilih duduk di salah satu bangku dari gelondongan kayu, memilih untuk bersembunyi di balik bayangan teduh salah satu atap rumah. Kamirash membuka kaosnya, memamerkan sebuah luka cakar melintang dari dada hingga ke perut. “Beruntungnya diriku! Cukup lolos tanpa buntung! Syukur betul diriku tak mati kala itu!”
Itu bekas luka yang cukup besar. Dari sana Parsha mampu mengira-ngira seberapa besar musuh yang pernah dihadapi Kamirash. Ia tertunduk. Pada akhirnya, dunia ini masih keras dan kasar, juga kematian masih lebih dekat daripada yang selama ini kita kira. Mata Parsha teralih ke bukit di selatan, tempat di mana ia memakamkan sisa-sisa istrinya yang masih dapat ia temukan. Mungkin sebuah tugu dari batu disusun di sana demi mengingat separuh warga yang tewas mengenaskan.
“Bagaimana kau selamat?”
“Murni mukjizat!”
Parsha tahu bahwa Kamirash sering sekali melebih-lebihkan fakta dengan omongannya. “Jangan bercanda,” tukasnya dengan suara parau, “aku bertanya betul, Kamirash.”
Kamirash kembali berdiri setelah mengenakan kembali kaosnya, “jujur sumpah aku, Parsha! Saat itu aku sudah terkapar tak kuasa, lemas mati menanti. Tepat aku sudah berdoa pada pendahulu kita, selintas cahaya biru api cepat menembus dan bahkan membelahnya! Kau mungkin tak percaya akan hal ini, tapi coba kau tanya tetua yang lain.” Kamirash tampak bersemangat, seakan-akan ia benar-benar bertemu dengan malaikat penyelamat kiriman Dewa dan Dewi. Parsha hanya mendesah halus, menurut saja. Lagipula, ia kelelahan setelah berjalan lima hari tanpa memejamkan mata sedikitpun—terlalu berbahaya bila ia ketiduran dan bangun di gerbang akhirat.
Semua mata pemuda-pemudi memandangi Parsha yang melintas jalanan desa dengan. Satu wajah asing tapi terlihat mirip dengan seorang kawan, begitulah pikir mereka, tapi tidak terganggu dan langsung melanjutkan keseharian mereka. Sebuah tenda kecil yang dikelilingi oleh gubuk kayu dengan beragam aksesoris berupa gading dan taring, kepala, juga tak lupa kulit hewan buas terpapang. Menarik dan mahal bila dilelang di kota. Ukiran di gading, sepuhan perak di kuku dan taring macan tutul cukup membuat Parsha tertarik, indah bila ia merakitnya menjadi kalung atau cincin. Itu rumah sang kepala desa yang terkenal eksentrik karena memiliki hobi selaiknya kaum lain.
Mata sang pengrajin sedang bertumpu pada mesin penggiling berpedal yang sedang ia kayuh. Tangannya yang kasar bamun bertubuh kecil itu bergerak halus, mengasah tulang menjadi aksesoris berupa belati berwarna putih. Tak tajam, tapi bila dicampur dengan cairan tertentu, maka belati itu akan sama tajam dan kuatnya seperti logam. Dari semua penduduk, hanya sang pengrajin lah yang mengenakan kacamata berlensa cembung guna melihati tiap cuil detail yang akan ia kerjakan. Tekun dan ulet, begitulah sang pengrajin.
“Kepala suku!” sapa Kamirash seketika ia masuk ke dalam tenda. Pengap juga sesak, begitulah kesan pertama Parsha masuk ke sana. Desing suara mekanisme berpedal membuat suara Kamirash tenggelam, bahkan tak terdengar oleh sang pengrajin. Tangan Kamirash bergerak, hendak menepuk pundak sang pengrajin, tapi ia terhenti.
“Selalu saja tak sabaran Kamirash, selalu saja,” dilihat dari gaya bicaranya, sang pengrajin lebih terpelajar, itu berarti Parsha dapat mudah bicara dengannya. Sang pengrajin berbalik, menaruh hasil kerjanya, lalu mengamati Parsha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Matanya menelisik Parsha yang tampak bugar meski di usia tua, tidak seperti dirinya. Ingatannya buram, ia seperti mencoba mengingat sosok Parsha, tapi tak sampai hingga ia berkata, “duduklah, sungguh tidak sopan bagiku membiarkan tamu berdiri.” Ia bangun berdiri, mengambil dua kursi, satu untuknya dan satu untuk dirinya sendiri.
Kamirash pergi, ingin melanjutkan latihan dengan anak buahnya. Parsha menaruh pedangnya, memberi salam juga menyodorkan tangannya. Seperti yang dikira, sang pengrajin juga membalas jabatan tangannya. “Parsha? Tak pernah kuingat. Omong-omong, namaku Ju’ne, seperti yang kau kira aku bukan berasal dari desa ini. Lebih tepatnya, aku hanyalah seorang pengungsi.”
“Apa yang terjadi hingga seorang pengungsi diangkat menjadi kepala desa?”
“Semua kaum tua mati karena miasma beracun Tyran. Naas. Saat semua masyarakat dilanda kepanikan, seseorang harus memegang kendali. Untuk itu mereka membutuhkan sosok pemimpin.”
“Tindakan Anda cukup untuk menjaga keutuhan desa ini, terima kasih, Tetua Ju’ne,” Parsha menunduk, “saya merasa senang melihat desa ini masih asri meski telah kutinggal merantau laut hampir separuh hidup saya. Terima kasih.”
“Ah, Anda sudah pensiun?”
“Tidak, seharusnya tidak, tapi rasa rindu pada rumah membuat langkah saya berat. Untuk mengobatinya, saya memilih pulang, meski aku takut tak akan kembali menjawab panggilan tugas dari majikanku,” mata Parsha beralih ke koleksi kerajinan di sekitar, tertarik. Ia teringat Hartein yang juga mengoleksi beragam kerajinan tangan di rumahnya, ah, sungguh membawa kenangan. Wanita itu entah mengapa tetap membekas, meski hubungan antar mereka tidak lebih dari majikan-budak.
“Dari mana Anda berguru semua kerajinan ini?” Parsha mengambil sebuah kotak kayu yang bisa mengeluarkan suara. Terlihat lebih berat, itu berarti banyak mekanisme gerigi rumit yang menysusunnya. “Apa ini?”
“Oh, itu terobosan baru dari kaum Dwarf, lebih tepatnya guruku. Beliau bilang bahwa kotak kecil itu bisa menunjukkan waktu! Betapa canggih dan majunya otak mereka. Tapi sayang aku tak tahu cara membacanya.”
Parsha makin tertarik dengan aksesoris lain, hingga tanpa mereka sadari mereka berbincang lama satu sama lain sampai obor pertama menyala sore itu. Parsha ikut keluar, berkumpul dengan yang lain. Rusa yang sudah dikuliti dan digantung kini tertambat di tongkat kayu di atas api unggun yang menyala. Di tengah keramaian, mata Parsha melihat dua sosok yang selama ini ia rindukan. Rupanya Lonas dan Jonas sudah pulang lebih cepat dari yang Kamirash kira. “Ah, pantas saja aku seperti ingat wajahmu, dan rupanya turun ke dua kembar.”
Parsha maju perlahan, bingung apa yang harus ia katakan dan takut bila keduanya tak mengingat Parsha. Saat mendekat, keraguan makin tumbuh di hati Parsha, apa ia memang pantas untuk pulang setelah meninggalkan tanggung jawab sebagai ayah demi menjawab panggilan tugas?
Saat cukup dekat, semua orang otomatis menepi untuk memberi Parsha jalan. Setiap mata ketakutan karena ukuran pedang yang tersemat di pinggang Parsha, juga luka di punggung dan dada yang terpamer. Lonas yang pertama menyadari kedatangan Parsha menatapnya sejenak, seolah berusaha mengenal sang pria. “Ayah?” tanyanya begitu Parsha berhenti tepat di depan. Hening, semua orang mundur satu-dua langkah. Jonas yang sedari tadi masih menguliti kelinci akhirnya menyadari mengapa semua orang diam.
Dan ketika bangun, ia melihat sosok yang selama ini ia impikan. Itu ayahnya sendiri. Mereka memang tak pernah mengingat sang ayah, tapi cerita para pendahulu sering membanggakannya sebagai ksatria terkuat. Selain itu, kain merah bandana Parsha yang juga sama dengan seutas kain di lengan Lonas dan Jonas sudah cukup memberi tahu siapa sosok pria di depannya.
Parsha jatuh tersungkur, ia menangis bahagia tanpa suara. Si kembar memeluk ayahnya yang tingginya hampir sama. Ia memandangi langit, sekali lagi bersyukur bisa menikmati hidupnya yang singkat dan akan berakhir ini.
Lonas dan Jonas dengan semangat mengenalkan Parsha kepada yang lain. Semua dari mereka tentu saja kagum menyaksikan sang legenda di depan mata mereka sendiri. Parsha tidak banyak bicara, begitulah dia. Dia hanya tersenyum, tertawa, menyeringai, mengangguk, atau menggeleng. Jika bicara, ia mungkin hanya berujar satu-dua patah kata, lalu kembali diam. Semuanya cukup senang dengan sosok legenda yang pendiam itu, meski alasan mengapa sang legenda diam adalah karena lupa dengan cara bicara sukunya. Kapasitas otaknya cukup kecil, sekalinya ia mempelajari hal baru, ia lupa hal yang lama; termasuk bahasa.
Pada larut malam, si kembar mengajak ayahnya untuk menyambangi peraduan sang ibu. Dengan berbekal satu ikat bunga di tiap pasang tangan, mereka mendaki bukit, menjelajah semak-semak beri, dan sampai di satu pohon ceri berukuran lima kaki. Dari sana, sebuah batu kayu yang separuh tertanam dapat terlihat dengan samar meski dibantu oleh sinar obor. Ketiganya otomatis menunduk, lalu duduk melingkar, menaruh satu persatu bunga sembari bercerita tentan apa yang terjadi hari ini.
Seperti dugaan Parsha, si kembar mewarisi kecerdikan yang dimiliki ibu mereka. Hal itu terlihat ketika dalam batu nisan sudah tertulis nama istrinya. Ia tak bisa membaca aksara yang memang bukan ditulis dengan bahasa umum itu, tapi ia masih mengingat nama istrinya, juga kenangan yang tersemat dalam nama. Setelah si kembar selesai, giliran Parsha lah yang dipaksa untuk menceritakan pengalamannya di luar sana. Dengan merendah, ia hanya bilang, “tidak seru bila kuceritakan; lebih baik kalian sendiri yang merasakannya.”
“Ayah, ayolah!” rajuk keduanya.
“Baiklah-baiklah, tapi sebelumnya kutanya dulu. Kenapa kalian ingin tahu? Kenapa kalian berlatih dan belajar? Dari jawaban kalian, aku akan mempertimbangkan bagian mana cerita yang akan kutunjukkan.”
Si kembar saling tatap, ayahnya mereka tidak mudah dibodohi seperti yang mereka kira sebelumnya. Ditilik dari sorot mata Parsha, berbohong bukanlah opsi, jadi mereka mengangguk kecil, setuju memberi jawaban yang sebenarnya. “Kami ingin kuat untuk melindungi apa yang kami sayangi!” seru mereka berdua.
Tapi apa yang Parsha lakukan? Ia meludah tepat di depan kuburan istrinya sendiri! Tentu saja tindakannya ini memancing emosi si kembar, tapi Parsha mengangkat tangan melanjutkan, “reaksi yang bagus, dari sana aku mengerti siapa yang kalian maksud dengan apa yang kalian sayangi... yakni ibu kalian yang terbaring di sana, meski melawan ayah kalian sendiri,” si kembar tampak berpikir, lalu memahami apa yang dimaksud. “Aku tahu kalian pintar, jadi kalian pasti mendapat jawabannya bukan? Melindungi seseorang itu berarti menyakiti yang lain; meski orang yang kalian lukai adalah seorang yang kalian kenal pula. Camkan itu. Kita tidak bisa menjadi sosok idealis di tengah dunia ini; kita bukan Dewa dan Dewi, kita hanya kita, tidak lebih.”
Dari ujaran Parsha, si kembar tahu bahwa ayah mereka jauh bijak, tanpa mengetahui sedikitpun bahwa sesungguhnya Parsha mengutip kalimat sang kapten. “Lagipula alasan klasik macam apa itu? Semua orang di luar sana tidak akan percaya dengan omong-kosong semacam itu. Lebih baik kalian bilang: ‘untuk uang’ atau ‘untuk kekasih’ atau apalah terserah kalian.” Parsha enyah dan ingin kembali ke desa, meninggalkan si kembar yang masih terduduk diam satu sama lain.
“Tunggu Ayah!” seru si kembar bebarengan, “pembicaraan kita belum usai!”
Parsha mendesah, “baiklah-baiklah. Apa yang ingin kalian bicarakan?”
Dari nada bicara kedua putranya, Parsha tahu kali ini permasalahan yang dibahas tidaklah berat; hanya masalah gadis. Melihat kedua sorot mata si kembar, rupanya mereka berselisih atas satu gadis, dan mungkin semua latihan dan pelajaran yang mereka terima hanya untuk memikat sang gadis. Bodoh! Pria adalah makhluk bodoh! Maka dari itu mereka memang membutuhkan seorang wanita untuk membimbingnya.
“Mari kita persingkat, siapa gadis yang kalian rebutkan.”
“Seseorang yang kuat,” tukas Lonas, “sebenarnya, kita belum pernah bertemu dengan dia, tapi kami sudah menyelidiki kemungkinan keberadaannya.”
“Lantas bagaimana kalian mencintai seseorang yang bahkan belum kalian temui? Aneh sekali.”
“Dengarkan kami dulu, Ayah!” Jonas tak sabaran membalas, “kami memang tak pernah bertemu, hanya mendengar ceritanya dari para peri, petualang, juga guru kami.” Jonas menghentikan kalimatnya, lalu bertanya ragu, “Ayah, katakanlah apa pernikahan antar ras itu sah?”
“Masa bodoh sah atau tidak. Yang penting kalian temui kebahagiaan di dunia ini. Tapi... tunggu dulu, dari ras mana gadis yang kalian maksud, juga berapa umurnya?”
“Dari ras manusia. Untuk ukuran usia, mungkin sama dan setara jika kita mengukur dari umur manusia. Terakhir kali kami dengar, dia belum menikah meski puluhan pria sudah terpikat!”
“Rupanya sang gadis ini bermain sulit,” Parsha melihat makam sang istri, berusaha mengingat bagaimana ia merebut hati dan akhirnya merangkai rencana dan membeberkannya satu persatu. “Aku tak tahu cara kalian bagaimana, tapi itulah cara yang kugunakan untuk menaklukan ibu. Terserah mau kalian turuti atau tidak. Memangnya, cerita macam apa yang kalian dengar hingga kalian tertarik dengan gadis yang sama?”
Lonas dan Jonas saling pandang lalu mengangguk bebarengan. Mereka bercerita tentang tragedi jatuhnya Nixie di tangan Tyran dua tahun silam yang menyebabkan jatuhnya korban hari demi hari. Di saat itu, munculah seorang pemburu Tyran yang mampu membelah musuh-musuhnya hanya dengan cahaya kebiruan yang menyilaukan mata. Itu cerita yang menakjubkan, kalau Parsha boleh bilang karena ia bosan dengan cerita pelaut. “Memangnya, bagaimana si gadis ini mengalahkan musuh?”
Cerita mereka adalah versi lengkap dan faktual daripada versi Kamirash. Keduanya saling dukung dengan di awal cerita dan saling melengkapi satu sama lain, tapi ketika Parsha bertanya hal ini, keduanya berselisih. Lonas bilang bahwa si gadis membelah menggunakan panah, sedangkan Jonas bilang bahwa si gadis membelah musuhnya dengan suara merdunya.
Pertikaian semakin memanas hingga keduanya mulai saling mengepalkan tangan dan hendak menerjang satu sama lain. Bila saja Parsha tak ada di sana, mungkin keduanya akan baku hantam hingga satu dari mereka menyerah atau keduanya merasa kalah dan menghasilkan keputusan seri. Setelah menenangkan kedua putranya yang juga bersumbu pendek seperti dirinya, Parsha tahu aspek yang disukai dari masing-masing putranya; Lonas dengan kekuatan sang gadis sedangkan Jonas dengan kepiawaian sang gadis.
“Jika kalian berselisih, lalu kapan kalian akan meminangnya? Lebih baik, kalian maju ke depan sang gadis, lalu berduel di depannya. Agar adil, kita biarkan sang gadis yang memilih pertandingan, bagaimana? Kalian setuju?”
Si kembar hanya manggut-manggut setuju. Parsha sudah merasa lelah, ia ingin berbaring dan tidur di gubuk yang teduh juga hangat. Merasa perbincangan selesai, ia bangkit dan mendahului kedua putarnya yang mulai mengekor. “Omong-omong, siapa nama si gadis yang kalian maksudkan ini?”
“... kami tak tahu nama aslinya...”
“Lalu apa yang kalian tahu?” dengus Parsha yang tambah heran.
“Julukannya saja.”
“Apa?”
“Si Pembawa Lentera.”
Parsha berhenti melangkah, lalu berbalik menghadap kedua putranya. Bola mata mereka memancarkan rasa percaya diri juga rasa lega. Ia merasa tak enak bila meruntuhkan semangat hati yang terpancar dari sorot mata mereka, tapi itu semua demi kebaikan mereka sendiri agar tak menyesal di kemudian hari, “maaf, baru lima hari kemarin, aku hadir di upacara pernikahannya.”
ntap
Comment on chapter Fiveteen: Persona