Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Sang kapten memilih untuk menetap selama dua hari dua malam untuk beristirahat dari perjalanan lamanya di Tír na nÓg. Satu menit bagi Abi dan yang lain, itu berarti satu hari bagi Gawain di Tír na nÓg. Jika kita hitung secara kasaran, satu hari berarti empat tahun baginya. Tapi Gawain tak menua sedikitpun, itulah keajaiban tanah Tír na nÓg, tanah di mana semua penghuninya selalu awet muda.

   Mereka berkumpul di pondokan. Semuanya berpesta menyambut kepulangan Gawain dengan Kapal Fortuner yang juga dilengkapi dengan bertong-tong Anggur Bourdon. Gawain tersenyum bahagia, ia amat merindukan wajah semua kawannya itu. Saking senangnya, ia mengajak semua orang menari-nari bersama mengitari unggun. Tak tanggung-tanggung, bahkan Gawain mengundang Petra, seluruh klan Tigra, juga peri dari tanah Tír na nÓg.

   Seorang peri berambut biru laut pendek, juga ditemani dengan dua ksatria. Peri berambut biru itu mengenakan baju anggun dan menawan, menampilkan pesona pria muda yang tampan. Abi memang tak mengenal pria berambut biru itu, tapi ia tahu betul dengan dua orang yang mengawalnya. Itu Hilda dan Atras. Dari keduanya, ia paling membenci Hilda setelah melihat bentuk pedang tipis yang melekat di pinggangnya—ujung pedangnya cocok dengan luka tebas Gawain.

   Gawain tak menyinggung kejadian itu lagi, ia sudah melupakannya meski bekas sabetan itu masih terlihat di sekitar lehernya. “Robin! Terima kasih kau sudah datang!”

   Ketiganya bertekuk lutut, “sebuah kehormatan tersendiri mendapat undangan dari Kaisar,” tukas Robin.

   “Maaf, pesta kami tidak begitu mewah seperti di Tír na nÓg, jadi jangan berharap banyak.” Gawain menyuruh mereka berdiri dan ikut berkumpul dengan yang lain. Tapi mereka dihadang oleh Parsha yang langsung menodong pedangnya. Wajahnya menegang lebih garang daripada biasanya. Peristiwa itu sudah menegakkan bulu roma semua orang yang hadir. Gawain segera melerai Parsha, meminta maaf kepada Robin, lalu berusaha mencairkan suasana.

   “Kapiten, para bedebah ini pernah menebasmu! Darah balas darah! Begitulah caraku hidup hingga sekarang!” teriakan Parsha dalam bahasa ogre itu hanya dimengerti Gawain, tapi semua orang tahu pikiran Parsha dari bentakan dan perilakunya itu, “bila engkau tak sanggup melakukannya, maka diriku saja yang melaksanakannya!”

   “Tenanglah Parsha, dinginkan kepalamu,” tanggap Kurish yang beruntungnya mampu mengendalikan emosi. “Malahan, sebaiknya kita dengar cerita kapten kita di sana. Hei, apa aku tak salah dengar—tadi peri-peri itu memanggil kapten kita ini ‘Kaisar’!” Kurish mengangkat tangannya, menyuruh semua orang diam dan duduk, meninggalkan suara unggun api yang menggemeretakan kayu bakar. Semua orang berkumpul satu, duduk bersiumpuh. Ada yang langsung duduk di pasir seperti Kurish dan Parsha, ada yang duduk di atas kayu seperti Petra, bahkan ada yang duduk di atas pohon seperti Abi dan Tigra Lily—Gawain bertanya-tanya sejak kapan kedua gadis itu dekat.

   Hanya Robin dan Gawain sajalah yang berdiri. Atras dan Hilda yang merasa bahwa mereka tidak diterima di sana terbang menjauh ke hutan. Sebelum pergi, Abi mendapati wajah Hilda yang muram, sedih, juga kehilangan, namun tertutupi dengan senyum fana yang palsu meski tetap anggun dan cantik itu. Sorot matanya itu jelas mengatakan bahwa ia pasrah dengan takdir. Apa maksudnya?

   Tigra Lily yang ikut mengamati menyikut siku, “rupanya kau dapat saingan lain, penyihir cilik,” Tigra Lily menghela napas, “empat tahun di Tír na nÓg, terkurung tidak bisa kembali dan mungkin tak ada harapan maupun kesempatan untuk pulang, bukankah wajar jika pemuda itu mendapatkan pengganti di sana?”

   “Meski dia adalah seseorang yang pernah menebasnya?”

   “Hei, benci dan cinta adalah satu sisi koin yang berbeda,” balas Tigra Lily dengan seringai, “awalnya aku membenci Petra... tapi itu berubah semenjak ia berani menyelamatkanku dari putri duyung... ia gagah kala itu...” lamunnya.

   Abi merasa dongkol, tapi ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Gawain. Seperti yang Tigra Lily katakan, umat manusia adalah makhluk bodoh yang berumur pendek; mereka gigih untuk mencari kebahagiaan karena mengetahui bahwa kematian sedekat urat leher mereka. Sekarang ia hanya bisa mengamati Gawain yang kini lebih terbuka dan ceria. “Empat tahun ya... apa ia merindukanku? Atau hanya Florence? Atau lupa keduanya?” gumamnya sembari melihat Gawain membuka cerita.

   Tirai drama di Tír na nÓg dibuka perdana pada malam itu.

                                                                                                         ***

Gawain tak pandai bercerita pengalamannya, apalagi disuruh untuk mengarang. Maka dari itu, Robin Goodfellow, teman perinya itu yang menggantikannya bercerita—lebih tepatnya mengarang cerita. Tidak ada dari para pendengar yang mengetahui bahwa cerita Robin yang terkesan romantis dan komedi itu berbeda dari kisah nyatanya. Lalu bagaimana Aku mendapatkan cerita aslinya, kalian tanya? Mudah, aku hanya mengintip jurnal asli Gawain lalu menelaah dan menulisnya ulang hingga jadilah karya ini. Berikut adalah kehidupan Gawain di Tír na nÓg:

   Setelah Gawain tertebas, ia masih dapat melawan Hilda selama beberapa saat hingga ia kalah jumlah. Ia berhasil melukai Hilda yang mengenakan satu set baju besi hanya dengan berbekal belati dari batu asah. Gawain tak bisa melawan, tubuhnya sudah terkunci ke tanah dengan tangan terborgol. Ketika beberapa pasukan ingin mengejar melalui gerbang portal yang sudah terbuka, tiba-tiba gerbang putih itu lenyap dan hilang. Saat mereka mencoba merapal mantra, gerbang potral tidak terbuka lagi. Itu bagus, pikir Gawain. Dengan itu, satu-satunya akses dari Neverland ke Tír na nÓg terputus.

   “Rupanya kau punya teman yang setia kawan!” sindir Hilda sambil melihati Gawain diseret dan diarak ke kota. Di sana, ia sudah ditunggu dengan dua belas mayat berjajar lengkap dengan dupa dan pendeta yang mendoakannya, juga dengan puluhan prajurit dan puluhan penduduk di sana. Semua dari mereka memandang Gawain dengan mata kebencian dan amarah. Bahkan salah satu pria tua maju menerjang, mencengkeram Gawain dan hendak memukulinya.

   “Putraku! Kembalikan dia!” bentaknya dengan mata berair. Sepasang penjaga segera menahan tangannya, membawanya ke tempat duduk terdekat, lalu memberinya segelas minuman hangat yang menenangkan.

   Gawain tak bergeming. Ia hanya bisa tertunduk setelah melakukan dosa semacam itu dan ia sudah siap dengan hukuman yang ia tunggu. Tentunya, hukuman yang dimaksud bukan hukuman kematian, melainkan kutukan. Tapi kaum peri tidak ingin jiwa-jiwa sesama mereka menderita karena menjadi arwah penasaran yang menagih hutang mereka, maka dari itu sebuah hukuman lain harus dijatuhkan untuk Gawain. Jadi, Gawain harus menghadapi siksaan dan hukuman demi menebus dosanya.

   Hukumannya cukup singkat bagi seorang pembunuh sepertinya, hanya dua belas minggu. Tapi hukuman itu amatlah menyiksa. Di pagi hari, Gawain harus menerima cambukan, tikaman, dan tebasan. Tidak hanya itu, ia harus bekerja di gua yang airnya teracuni merkuri hanya demi sebenih intan. Di malam hari, ia akan dijebloskan ke penjara bawah tanah yang lembab. Yang terburuk dari semua, Gawain tak diberi sekerat roti atau bahkan setetes air.

   Setiap satu minggu berakhir, ia akan di arak ke kota dan diikat di alun-alun. Para penduduk yang menganggap hal ini adalah hiburan baru segera berkerumun membawa apapun untuk dilemparkan. Ada yang melempar telur busuk, batu kerikil, dan bahkan kotoran sapi. Gawain hanya bisa diam dengan semua siksaan itu. Lagipula, semua itu masih dalam rencananya.

   Meskipun ia punya kemampuan regenerasi Florence, tapi fisiknya makin melemah. Alasannya ia tak bisa menggunakan kemampuan regenerasi itu secara terus menerus atau semua ingatannya akan tumpang tindih. Jadi ia hanya bisa menunggu dan berharap.

   Dua belas minggu terlampaui lama bagi Gawain. Tubuhnya yang penuh luka itu benar-benar membawanya ke ambang batas. Ia tak bisa berjalan lagi, bahkan ia tak bisa bangun. Tubuhnya yang kerempeng itu mulai dijangkiti penyakit yang tak pernah diketahui manusia. Ia diambang kematian, tapi seseorang segera menyelamatkannya di detik terakhir.

   Tepat di malam terakhir, Ratu Titania memerintahkan Hilda untuk segera mengambil Gawain. Hilda hendak protes, tapi kehormatan dan sumpah peri yang berkata di mana para peri tak bertindak di luar batas mengingatkannya, untuk menurut. Gawain yang mati lemas diobati oleh tangan Hilda sendiri dengan menggunakan salep khusus.

   Luka-luka selama penyiksaan sembuh tanpa meninggalkan bekas. Tapi anehnya, tubuh Gawain masih meninggalkan banyak bekas luka. Dari sana, Hilda tahu bahwa Gawain adalah petarung berpengalaman dan sering bertaruh nyawa untuk sekeping emas. Kehidupan mereka amatlah jauh berbeda: Tír na nÓg hidup dalam kedamaian sementara dunia luar tinggal dalam kekacauan.

   Esok harinya, Gawain bangun pagi hari dan langsung menyadari bahwa ia sudah terbebas. Karena kamar tempat ia diobati terkunci dari luar, ia hanya bisa sabar menunggu. Ketika seseorang membuka kunci dan menekuk gagangya, satu ksatria wanita terlihat. Gawain langsung mengenali sosok itu sebagai Hilda dan langsung menunduk hormat.

   “Aku hanya melaksanakan perintah dan tradisi—kami para peri berlaku adil, selaku masa hukuman usai maka hukuman harus dicabut! Tidak seperti kalian, para manusia serakah!” hardiknya dengan suara ketus. Gawain tak bisa berbuat banyak selain menelan bulat-bulat cemoohan itu, ia sudah terbiasa menerima cemoohan itu selama dua belas minggu belakangan ini. “Ikut aku,” ucap Hilda selagi berbalik meninggalkan Gawain.

   Sebuah lorong lengkap dengan beberapa obor menyapa Gawain ketika keluar. Bagi matanya yang terlatih, keadaan gelap dan remang ini tidak ada apa-apanya. Ia tidak tersandung dan tepat memilih lantai batu yang tak licin. Dari strukturnya, Gawain tahu mereka masih berada di ruang bawah tanah—ia hanya dinaikkan satu tingkat dari penjara paling bawah. Di ujung lorong, ratusan anak tangga yang disusun spiral telah menunggu. Keduanya naik selama lima menit dan akhirnya keluar ke pelataran penjara.

   Untuk pertama kali dalam dua belas minggu, Gawain benar-benar menghirup napas kebebasan. Kulitnya pucat pasi karena jarang terpapar matahari, juga matanya sempat tersengat matahari karena lama dalam kegelapan, begitu pula telinganya yang terbiasa dalam kesunyian. Hilda berhenti sejenak, mengamati pemuda itu dengan wajah meremehkan, “jika kau masih lemah, kembalilah ke selmu dan meringkuk di sana!”

   Tenggorokan Gawain kering kerontang hingga ia tak bisa berkata sepatah pun. Ia hanya menggeleng dengan kepala tertunduk. Mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai ke barak yang pintunya sedang di kawal beberapa penjaga pria. Beberapa dari mereka langsung memalingkan wajah, tak sudi melihat Gawain, malahan ada yang meludah ke tubuhnya. Tak ada yang mencegahnya hingga Hilda naik pitam, “kalian mengotori jati diri peri! Masa hukuman telah usai dan kalian masih melakukannya?! Lalu apa yang membedakan kalian dari binatang tak beradab?!”

   Semua penjaga itu bungkam. Beberapa dari mereka hendak protes, namun terhenti karena takut. Rupanya Hilda adalah ksatria terkuat di semua jajaran ksatria, saking kuatnya ia menjadi pengawal pribadi Ratu Titania. Setelah masuk, mereka diantar oleh dua dayang ke sebuah ruangan. Di ruangan itu, sudah tersedia pakaian rapi dari katun dan sutra juga tersedia bak mandi untuk Gawain.

   Gawain tahu bahwa kedua dayang itu juga enggan melayaninya, maka dari itu ia mengutus keduanya untuk keluar, membiarkan pemuda itu mengurus dirinya sendiri. Tiga puluh menit bersiap, pemuda itu tampil dengan pesona yang berbeda. Hilda dan dua dayang itu tak mengira bahwa beberapa saat sebelumnya Gawain hanyalah tahanan hina, tapi sekarang ia tampak sebagai bangsawan yang penuh wibawa.

   “Maaf Anda menunggu, Lady Hilda,” ucapnya dengan nada suara berat dan serak. “Terima kasih telah membebaskanku.”

   Kalimat itu melepas lamunan Hilda juga dua dayangnya. Dengan memasang kembali kontur wajahnya, ia segera berbalik ke luar barak. Sebuah kereta kuda telah menunggu mereka. Gawain hanya menurut dan duduk di pojokan, sementara Hilda duduk di hadapannya. Keduanya tak bicara sepatah kata apapun hingga kereta kuda berhenti di pelataran puri Titania.

   Tanpa banyak tanya, Gawain mengerti bahwa Ratu Titania lah yang membebaskannya. Tapi yang membuatnya heran, Ratu Titania lah yang menyambutnya di pelataran. Langsung saja ia menunduk berterima kasih atas bantuan dan pertolongan. “Angkat kepalamu, anak muda. Mari kita bicara di ruanganku.”

   Ruangan yang dimaksud adalah ruangan yang sama ketika Titania menjamu Gawain sebelumnya. “Mari kita dengar ceritamu lagi, pemuda. Aku ingin mendengar cerita hidupmu secara lengkap.”

   Gawain rasa ia sudah terbiasa menceritakan kisahnya. Entah kebetulan semata atau apa, tapi dalam perjalanannya ini ia sering ditanyai tentang latar belakang ceritanya. Mulai dari Hartein, Tigra Lily, Petra Pan, hingga yang terakhir Titania. Bukan ia ingin pamer dengan ceritanya, melainkan tak ada pilihan lain selain memberitahu agar ia dapat dipercaya.

   Tanpa kebohongan sedikitpun, Gawain bercerita luwes. Meskipun kalimatnya patah-patah dan pemilihan katanya yang rumit serta salah, Titania masih mengerti inti ceritanya. Dengan senyuman kecil, Titania mengeluarkan sepucuk surat bersegel merah. Gawain langsung tahu segel itu; itu segel keluarga Septim. Itu segel yang sama yang tersemat di insignianya ketika menjadi Agwain Septim.

   “Kau pasti mengenal pengirim surat ini bukan?” jawab Gawain dengan mengangguk, “Septimus, pemuda itu adalah penyihir yang bisa mengintip masa depan dengan akurasi yang cukup akurat. Hanya ada dua orang yang bisa melakukannya, tapi hanya salah satu dari mereka yang bisa mengubah masa depan. Aku mengenal Septim, tapi aku tidak mengenal satu orang yang lain...” Titania membuka segel merah itu, membuka surat yang terlipat dan membacanya perlahan, “tapi apa kau percaya bahwa masa depan sudah ditentukan bahkan sebelum kelahiran kita, atau bahkan sebelum dunia ini diciptakan?” Titania bermuka masam membaca surat singkat itu, lalu menyerahkannya kepada Gawain, “mana yang kaupercaya? Masa depan yang menyimpan misteri dan belum ditentukan atau...”

   Tangan Gawain bergetar. Matanya membelalak tak percaya melihat isi surat itu:

Ratu Titania, sudah lama kita tak bersurat. Jika kau tanya kabarku, maka sudah terlambat; ramalanku mengatakan bahwa waktu di mana kau menerima surat ini, aku sudah lama mati dan membusuk di tanah.

Maaf aku tidak sopan, tapi nasib yang sama akan menimpa Anda, Ratu Titania. Bukan aku menakuti Anda, aku hanya mengingatkan Anda...

Bisa saja ramalanku dari mata tuaku ini meleset, iya aku harap itu. Suami Anda, Kaisar Oberon, telah melakukan hal benar dengan menutup Tír na nÓg selamanya dari jangkauan kami—ia terlalu sayang pada Anda.

Jaga diri Anda sebaik mungkin. Aku harap Anda dapat hidup lama hingga ratusan tahun lagi, dan meninggal karena usia tua atau sudah kehendak Dewa dan Dewi, bukan di tangan orang barbar...

 

Kawanmu, Septimus

 

“... kau percaya pada ramalan dari seseorang yang memiliki bakat?” lanjut Titania. “Septimus adalah seorang peramal yang hebat, aku tahu itu. Dengan usaha kerasnya, ia bisa mengubah lajur pertarungan Penyihir Abadi beberapa tahun silam. Sudah lama sekali aku tak melihatnya. Tapi, tidak semua hal bisa ia rubah...”

   Isi surat itu sama persis dengan surat yang diterima Hartein. Apakah takdir yang sama akan terulang? Apakah Gawain hanya bisa berdiam diri, memandangi kawannya mati satu persatu? Jawabannya: iya.

   “Maaf Ratu Titania, tapi aku tidak percaya dengan kuasa semacam ini! Kita sendirilah yang menentukan takdir dan masa depan kita!” sergah Gawain sembari melempar surat itu. “Percayalah pada tanah Tír na nÓg ini! Anda dikawal oleh ratusan ksatria terbaik di antero Tír na nÓg!”

   “Dan puluhan dari mereka meninggal dengan mudah di tanganmu!” seru Hilda sembari mengangkat pedangnya setelah mengerti isi surat itu, “kau, iya hanya kau! Hanya kau yang berani melakukan itu! Dasar pembu—”

   “Hentikan Hilda!” Titania mengangkat tangannya, “bukankah kau dengar sendiri ceritanya?! Ia datang dengan damai, tapi karena kesalahpahaman Oberon, ia terpaksa membela diri mereka. Hal semacam itu bukanlah kesalahan, melainkan sudah hal ikhwal tiap makhluk hidup untuk melangsungkan hidupnya.” Hilda menyarungkan kembali pedangnya, mundur satu langkah, namun tetap mawas dengan matanya, “tapi pemuda, aku tak bisa menuruti permintaanmu itu. Tapi bukan berarti aku tidak menyarankan beberapa hal.”

   Beberapa gagasan solusi keluar dari kepala Titania. Solusi pertama yang terlintas adalah dengan membuat darah peri sintetis. “Dari yang kudengar, kau cukup ahli dalam meramu obat, bukan? Aku akan siapkan beberapa orang untuk menolongmu.”

   Gawain mengernyitkan dahi, ada yang tidak beres, “bagaimana Yang Mulia bisa mempercayakan tugas semacam itu kepada saya? Orang yang bahkan telah dipandang bengis dan hina?”

   Itu benar, siapa yang sudi bekerja sama dengan Gawain? Meskipun itu perintah absolut, tapi tentunya Gawain sadar diri dengan orang yang ia uji. Jadi, solusi semacam itu tidak bisa dilaksanakan. “Maaf atas kelancangan Hamba, tapi aku rasa kita tak menemukan solusi yang bagus...”

   Titania menghela napas, “lalu bagaimana? Apa tekadmu untuk menyelamatkan orang yang kau sayangi hanya sebatas itu?”

   “Tidak Yang Mulia, aku hanya ingin mencari jalan tengah yang terbaik untuk semua pihak. Aku akan berusaha keras untuk itu.”

   Titania menyilangkan tangannya, tampak berpikir, “bagaimana bila aku sendirilah yang memberikan darahku?” Hilda langsung saja menolak gagasan itu, tapi Titania melanjutkan kalimatnya, “asalkan kau menjadi pengawal pribadiku. Kudengar dari ceritamu, kau punya reputasi bagus di dunia luar. Tapi apa kau mengerti risikonya? Jika kau menjadi pengawalku, kau harus patuh dan tunduk terhadap tuntutanku!” Gawain tampak berpikir, kepalanya berputar-putar.

   “Tapi bukankah itu sia-sia? Jika saja aku menemukan bagaimana cara membuat darah peri sintetis tapi aku tidak bisa kembali, bukan?”

   “Mari kita buat sebagai permainan: jika kau dapat menemukannya dalam jangka waktu sepuluh tahun—itu artinya sekitar tiga hari di duniamu—maka kau bisa pulang atas izinku, jika tidak, kau harus merelakan kekasihmu itu dan hidup di Tír na nÓg sebagai pengawal pribadiku selamanya? Bagaimana? Bukankah tawaran itu bagus?”

   Sepuluh tahun... itu adalah waktu yang lama, amat lama bagi Gawain. Ia masih belum tahu bagaimana membuat darah sintetis, tapi ia dapat menarik napas lega. Lagipula, perilaku Titania tepat seperti yang Petra katakan; wanita yang baik hati dan penuh ampunan! Manusia mana yang tidak tertarik dengan tawaran untuk tinggal di Tír na nÓg? Semua petualang memimpikan hal semacam ini dan Gawain hanya bilang bahwa ia ingin tinggal. Tapi di situlah letak ujian Titania; ia menguji keteguhan hati seseorang. Jika saja kegigihan orang tersebut goyah, maka mereka mendapatkan hukuman, tapi sebaliknya mereka malah mendapat hadiah.

   Titania sudah puas dengan Gawain. Pemuda itu tidak tamak dan gigih akan cintanya. Ia malah senang bila Gawain tinggal di Tír na nÓg dan melupakan seluk beluk serta permasalahan yang menunggu di dunia luar, tapi ia tertarik untuk melihat sejauh mana kegigihan Gawain dalam berjuang. “Kalau begitu, terserah kau untuk apa sepuluh tahun ke depan ini, Gawain. Aku izin pamit untuk menemui suamiku: dia pria yang mudah terbakar api cemburu. Kalau ada pertanyaan, tanyakan saja pada Hilda.” Dengan itu, Ratu Titania menghilang di balik pintu, meninggalkan Gawain dan Hilda.

   “Apa yang kau minta? Aku benci menurutimu tapi ini perintah Ratu, aku hanya bisa menurut.”

   “Pakaian petualang dan seikat jerami, hanya itu.” Hilda tak banyak tanya, ia menuruti Gawain dan menggiringnya ke kandang. Di sana, Gawain menerima seikat jeramin dari pengurus kuda. Setelahnya mereka ke gudang, mengambil baju petualang bekas yang ada. “Terima kasih, kalau begitu aku pamit undur diri.”

   “Tunggu dulu! Mau kemana kau?”

   “Tentu saja beristirahat.”

   “Kami sudah menyiapkan kamar untukmu,” serga Hilda mencegah Gawain masuk kawasan hutan.

   “Lady Hilda Anda tak mengerti. Jika saya tinggal di dalam puri, maka saya hanya mendapat cemoohan, yang terburuk wibawa Ratu Titania akan hilang bila seseorang semacam saya menumpang. Bukan hanya itu, Anda akan mendapat pandangan buruk. Lebih baik saya tinggal sendiri. Tenang saja, saya tak akan lalai dengan tugas saya sebagai pengawal pribadi Yang Mulia, saya akan datang kapanpun.” Gawain menepis tangan Hilda, tapi gadis itu mengeratkan cengkramannya.

   “Aku tak tahu etika macam apa yang diajarkan di kepalamu, tapi pengawal tidak boleh meninggalkan posnya!”

   Itu benar, Gawain menurut dan ia diantar ke barak di belakang puri. Tepat di sebelah gudang senjata, terlihat ruangan lusuh di sana, tapi terlihat rapi. “Mulai sekarang ini ruanganmu. Kita akan bertugas mulai dari pagi hingga sore, kita akan beristirahat bila seseorang menggantikan peran kita, kau mengerti?”

   Gawain mengangguk paham, ia mulai mengatur jadwal kapan ia akan bekerja, beristirahat, dan melakukan eksperimen. Di ruangan itu hanya ada meja dan ranjang tua yang kaki-kakinya dimakani rayap. Sederhana, tapi bagi Gawain itu adalah kemewahan tersendiri. Di meja sudah tersedia buku kosong dan pena. Gawain ingin menulis, tapi ia enggan. Ia hanya rebahan dan melamun.

“Mengalahkan Oberon ya... meskipun aku berkata demikian tapi tak pernah terbersit sedetikpun untuk mengalahkannya.” Matanya hanya tertumbuk pada langit-langit, ia benar-benar hampir putus asa akan harapan. Ia kembali ke pertanyaan awal: bagaimana cara mengalahkan Penyihir Abadi? Seperti yang kita tahu, Gawain memerlukan darah peri paling murni untuk mengalahkan mereka.

   Selanjutnya, timbul lagi pertanyaan lain: bagaimana cara mendapatkan darah peri? Darah peri tidak bisa disimpan dalam jangka waktu lama, mereka akan segera berubah menjadi bola cahaya dan lenyap seketika bersama sihir yang mereka bawa. Maka dari itu, Gawain butuh darah segar! “Bagaimana!? Bagaimana caranya?!” umpat Gawain yang tampak kesetanan. Semua ini sudah di luar kemampuannya. “Bagaimana cara mendapatkan darah murni dan masih segar?!” Gawain memegangi kepalanya dan berguling-guling ke sana kemari seperti orang gila.

   “Ini adalah penjara kebahagiaan,” begitulah para penyair tua-tua membuka sajak berkisah Tír na nÓg. Gawain merasa ingin terbebas dengan semua tanggung jawab yang harus ia penuhi. Masa bodoh dengan dunia yang berada di ujung kiamat, ia bahkan tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri untuk bebas dari Tír na nÓg! Ia tak bisa menyelamatkan siapapun! Tidak keluarganya, Florence, petualang-petualang di Antarie, Hartein, dan anak buah kapalnya.

   Sebuah gagasan muncul dari benak Gawain, “apakah aku bisa menunggu dan bahagia di sini? Melupakan Florence dan yang lain?” Gawain duduk termenung. Lesung di pipinya berubah menjadi cekungan yang menakutkan, begitu pula dengan kantung matanya yang menghitam. Tak terasa ia juga sudah tumbuh janggut, namun beberapa darinya rontok karena stres. Gawain tak bisa menjawabnya, ia tak bisa menjawab pertanyaan apapun, ia tak bisa menjawab dan mewujudkan harapan semua kelasi untuk pulang.

   Ketika ia bertanya pada Florence, ia mendapat jawaban yang tak ia duga-duga, “kehidupan ini adalah pilihanmu, Master. Aku memang memiliki kekuatan, tapi pilihan masih ada di tanganmu.”

   Gawain merasa egois. Ia menipu Petra dan Tigra Lily bahwa ia mampu menghabisi Oberon untuk membebaskan mereka dari Neverland, tidak hanya itu, ia juga memanfaatkan Titania sebagai jalan pintas negosiasi dan membujuk Oberon secara pribadi. Gawain terlalu naif karena berpikir bahwa rencana negosiasi akan berjalan mulus, maka dari itu ia punya rencana lain, rencana busuk di luar perkiraan semua kawannya.

   Melarikan diri, begitulah inti rencananya. Ia sudah bilang pada Petra bahwa bila pasukan mengejar mereka hingga ke Neverland, maka Petra bertugas untuk memutus portal dan menghancurkannya agar Tír na nÓg tak tersentuh. Waktu yang dibutuhkan untuk membangun portal itu kembali cukup lama; tiga tahun bagi dunia luar, “itu waktu yang cukup lama untuk bagiku untuk menghabisi Oberon,” itulah janji palsu yang berhasil memperdaya Petra.

   “Tapi bukankah akan berdampak besar bila kau membunuhnya? Tír na nÓg dan Neverland hanya omong kosong belaka, itu berarti...”

   Gawain yang melirik ke dapur, ke tempat di mana Tigra Lily masuk membawa piring dan mencucinya di sana. Ia menghela napas. Entah sejak kapan ingatannya di bawa ke rumah pohon Petra di Neverland, seolah-olah ingatannya memutar rekaman lama dan kali ini dialah yang menjadi orang ketiga dari perbincangan Gawain dengan Petra.

   Gawain menghirup udara lembab, ia tampak berat berpikir beberapa saat lalu bicara, “kalian tak pernah ada dalam dunia ini. Kalau boleh aku bilang, itu sama saja mati. Bedanya kalian tak meninggalkan apapun, bahkan nama untuk diingat dan dikenang.”

   “Tapi—”

   “Sejauh aku berpetualang,” potong Gawain, “terkadang kematian adalah penyelamatan bagi kami, para petualang. Kita tidak akan tersiksa atas bencana yang menimpa kita.”

   Petra tampak tertekan dengan pernyataan itu. Ia menyandarkan kepalanya di telapak tangan, “bahkan tak secuil ingatan ya...” pandangannya berpaling menuju sosok Tigra Lily, “sekarang kutanya balik Gawain kawanku, jika kau berada di posisiku, apa yang akan kau lakukan? Mencabut semua siksaan akan kenangan pahit lalu memilih mati dan menunggu hari pengadilan datang? Atau terus berjalan selaiknya orang bodoh melintasi kobaran api yang menunggu?”

   Gawain sebagai pengamat tampak terkejut dengan pertanyaan itu, pun juga Gawain. Sayang, mulut Gawain terkunci untuk menjawab, pikirannya kosong untuk menerka dan menjawabnya. Tapi tangan Gawain meremas, mengepal, dan bergetar, “seperti kalimatku sebelumnya, aku akan menjadi orang bodoh demi orang yang kucintai.”

   Petra dan Gawain terkejut mendengar jawaban itu. Ia memang ingat pernah mengatakan hal semacam itu, tapi bukankah semuanya hanya untuk kepentingan dan keegoisannya sendiri; hanya untuk membujuk Petra agar mau membuka portal, tidak lebih! Petra mengamati air muka Gawain, “kau cukup kukuh dan gigih, itulah semangat pemuda. Kami sebagai orang tua-tua tak memiliki semangat seperti itu...” kata peri awet muda itu.

   “Apapun opsi yang kalian ambil, semuanya skenario buruk. Jika saja aku gagal membunuh Oberon, cepat atau lambat, sang kaisar akan memburu kalian dan pada akhirnya mati tersiksa, atau bilamana berhasil kalian akan lenyap seketika. Tinggal memilih, kalian ingin mati tanpa nisan; dibuang dan dibakar oleh para ksatria Oberon, atau mati tanpa nama; lenyap selamanya dari ingatan tiap orang?”

   “Keduanya buruk, kawan,” Petra beranjak bangun dari tempat duduknya dan berjalan menuju laci. Dari sana, ia mengeluarkan enam buah bola dari tanah liat. Tiap bola terdapat seutas tali. Petra menaruhnya perlahan di depan Gawain dan memberinya, membiarkan pemuda itu mengamatinya sejenak. Sebelum Gawain bertanya, Petra menerangkan, “itu bom yang kubuat khusus dari Saltpetra. Hati-hati, jangan sampai pecah atau kau tarik talinya, bisa-bisa meledakan tubuhmu berkeping-keping.”

   “Kenapa kau memberinya?”

   “Kenang-kenangan. Memang diriku mungkin tidak pernah ada nantinya, tapi namaku akan tetap tersemat dan teringat di bola-bola kecil itu. Aku menamainya Bola Saltpetra, bagus bukan?”

   “... kau punya selera buruk dalam memberi nama...” canda Gawain sembari memasukkan enam bola itu ke kantong. “Omong-omong, bila aku tidak kembali, aku ingin kau menyampaikan pesanku pada semua kelasi.” Petra memasang kembali kontur wajah seriusnya, tanda ia akan mendengarkan, “semuanya masih berjalan mulus sesuai rencana.”

   Gawain yang mendengar kalimat itu langsung roboh dan berusaha bersandar. Tentunya di kala ia mengatakan hal semacam itu dengan kebohongan belaka! Ia merasa ingin menghantam dirinya sendiri yang pembohong dengan tangannya, tapi ia hanyalah pengamat dari memori lama, tidak lebih.

   Sejenak kemudian, Tigra Lily sudah kembali dari dapur. Melihat hal itu, Gawain berdiri dan mohon undur diri kepada Petra. Sebelum ia dan Tigra Lily pergi, ia menoleh, “bilang pada Tigra Lily nanti malam, ia juga harus tahu tentang apa yang akan terjadi pada kaumnya.”

   Pertemuan itu berakhir, sama berakhirnya dengan rekaman memori Gawain. Dengan daya kejut yang cukup menyakitkan, ia terhentak kembali ke kamar, mendapati dirinya terguling dari ranjang dengan kepala jatuh terlebih dahulu. Sebuah gedoran pintu terdengar nyaring. Ketika tersadar, Gawain akhirnya mendapati bahwa hari sudah berganti. Kini masih pagi buta; ia tahu dari embun yang masih melekat kisi-kisi kaca jendela kamarnya, juga napasnya yang tampak putih karena dingin yang menyergap.

   “Bangun, pemalas! Hari ini kau mulai bekerja!” seru Hilda sembari menggedor-gedorkan pintu. Gawain lantas mengenakan seragam juga zirahnya yang sudah disiapkan di dalam lemari, mengambil tongkatnya, lalu membuka pintu.

   Putus asa memang sedang menggelayuti hati Gawain, tapi ia akan tetap berusaha sekeras apapun itu untuk membuat darah sintetis peri dan membujuk Kaisar Oberon agar membebaskannya. Sekali lagi, ia mengeraskan hatinya, menurunkan derajatnya dari orang bodoh menjadi orang bebal. Mungkin semua yang ia lakukan akan sia-sia, tapi dengan kesia-siaan itu, ia menggantungkan harapan kecil di sana, menunggu harapan itu menyinari kegelapan, membuka matanya untuk melihat ke dalam jalan yang harus ia pilih.

   Tapi ada satu hal yang harus kita ketahui, para pembaca sekalian: Gawain adalah makhluk yang buta namun jenius!

                                                                                                            ***

Tidak banyak yang bisa Gawain lakukan. Meski ia mendapat restu dari sang ratu, tetap saja ia tak mendapat izin dari sang kaisar dan yang lain dengan mudah. Perlu ia menundukkan kepalanya seperti seekor anjing penurut untuk menerimanya. Dimulai dari orang-orang terdekatnya seperti Hilda dan ksatria wanita yang lain. Di manapun tempatnya, budaya untuk memberi makanan akan diterima. Jadi Gawain membuatkan mereka kue yang bahan dasarnya dari susu sapi.

   Itu usaha yang cukup manjur kalau Gawain boleh bilang. Semua orang di puri menyukainya, meski tidak ada yang tahu siapa yang membuatnya; tahu-tahu ketika sarapan, kue-kue itu sudah jadi dan terhidang hangat, menunggu di santap. Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang membuat kue lezat ini setiap harinya. Para ksatria wanita berpikir bahwa Atlia, koki wanita andalan Titania itulah yang mendapatkan inovasi baru ini. Tapi ia menolak fakta itu, ia bahkan juga penasaran tentang siapa yang membuat resep kue itu.

   Suatu hari karena rasa penasaran, beberapa dari ksatria wanita memilih mengintip siapa sosok misterius di balik enaknya kue susu tersebut. Dan ketika malam menjelang pagi, mereka mendapati Gawain yang celingak-celinguk masuk dari pintu belakang dapur dengan membawa sebotol susu kuda liar. Pertama-tama, pemuda itu mengambil panci dan memanaskan susu kuda liar di sana, lalu mengambil mentega, gula pasir, dan tepung lalu mencampurnya menjadi adonan. Ketika adonan itu dicampur,bau harum sudah tercium.

   Tangan gesit Gawain tidak berhenti setelah mengaduk. Ia mengambil loyang dan mulai menata bentuk-bentuk unik dari adonan tersebut di loyang. Tanpa menunggu lama, ia memasukkannya ke dalam tungku pemanas yang entah sejak kapan menyala oleh bara api dan telah panas. Tiga loyang kue dimasukkan dan Gawain tinggal menunggu sembari merapikan dapur sebelum digunakan untuk memasak.

   Tidak ada motif tersendiri selain untuk mencairkan suasana yang menegang antar Gawain dan orang-orang di sekitarnya. Gawain ingin sekali melanjutkan percobaannya, tapi hal pertama yang harus ia lakukan adalah membuat dirinya diterima oleh semua orang di puri, dan langkah sederhana ini telah mampu menaklukan semua orang di puri.

   Pada pagi harinya, di saat waktu sarapan, seperti biasa Gawain lekas mengambil ransum makanan di dapur lalu pergi kembali ke kamarnya. Tapi saat akan berpaling, ia dihadang oleh beberapa ksatria wanita. Gawain menelan ludah ketika melihat tiap dari mereka memiliki pedang di punggung atau pinggang, ia mundur satu-dua langkah, bersiap dengan kemungkinan terburuk ia akan dipukuli.

   Barisan ksatria itu menarik pedangnya masing-masing, mengangkatnya tinggi-tinggi, membuat Gawain mulai gemetaran. Tindakan mereka itu diikuti ksatria wanita yang lain. Sempat Gawain memucat karena tak mengira kematian benar-benar menyusulnya, tapi ia salah besar ketika pedang itu berhenti di genggaman tiap ksatria. Semuanya memegang dengan bangga dan rasa hormat. Gawain memandangi sekitar, ia tak merasakan sedikitpun ancaman dari ratusan pasang mata yang mengelilinginya. “Turunkan pedang kalian!” seru sebuah suara dari lantai atas lantas semua pedang tersarung kembali ke tempatnya.

   Hilda turun dari kantin bagian atas dengan langkah cukup anggun. Ia mendekati Gawain dengan aura yang berbeda dari biasanya. Saat di depan Gawain, ia menyodorkan tangannya, “Bruinhilda, panggil saja Hilda, Valkyria nomor satu di Tír na nÓg, senang berkenalan denganmu.”

   Gawain memiringkan kepalanya dan bertanya-tanya apa maksud memperkenalkan diri pada orang yang sudah dikenal enam bulan belakangan ini? Gawain tak banyak tanya, ia membalas jabatan tangan itu dan memberi namanya, “Gawain, senang juga berkenalan denganmu.”

   Suara tepuk tangan menyusul ketika Gawain menyelesaikan kalimatnya. Entah kenapa ia merasa malu, maka dari itu ia menyegerakan pergi dari kantin. Tapi ia dicegah oleh Hilda yang menariknya paksa ke kursi kosong. Dengan kikuk, pemuda itu makan. Ia tak menghabiskan porsi makanannya, masih khawatir dengan keadaan yang bahkan seharusnya tak ia kira.

   Banyak ksatria lain yang menyalami tangannya, ikut memperkenalkan diri. Gawain hanya membalasnya dengan memberikan nama, dan tentunya memberi senyuman kecil yang rasa-rasa tak cocok dengan notabenenya sebagai pembunuh. Saat selesai, ia segera pergi ke kamar Ratu Titania dan menggantikan dua pengawal wanita yang anehnya juga berperilaku sama. Pagi itu, ia bertugas sendirian karena Hilda sedang bertugas melatih rekruitan baru di ibukota, jadi hanya sang ratu dan dialah yang berada di kamar.

   Dalam keheningan, Ratu Titania tiba-tiba mengeluarkan tawa dari mulut kecilnya ketika melihati Gawain yang cemas dan khawatir. Ratu Titania menceritakan apa yang ia dengar dari bawahannya dan mengimplikasikan bahwa Gawain sudah benar-benar diterima oleh semua ksatria. Itu aneh.

   Tapi Gawain dapat bernapas lega mendengar akan hal itu. Satu masalah setidaknya telah terselesaikan dengan cara yang cukup sederhana. Tapi tetap saja ia terheran-heran dan merasa aneh bila hanya dengan cara semudah itu ia dimaafkan. Alhasil, ia bertanya pada Hilda mengapa ia dengan mudah diterima, dan gadis itu hanya menjawab enteng, “hati makhluk seperti kami cukup sederhana: beri kami kebaikan dan kami akan membayarnya atau beri kami keburukan dan kami akan membalasnya.”

   “Aku adalah pembunuh kaummu, kau tahu itu, bukan?”

   “Kami tak tahu dengan budaya manusia yang ada di luar sana, tapi melalui pengajaran Dewa dan Dewi, kaum kami memiliki hati yang pemaaf. Masa hukumanmu sudah lewat lama, tapi masih banyak dari kami yang menyimpan dendam kepadamu, bukankah itu sama saja mengingkari apa yang Dewa dan Dewi ajarkan? Lagipula kau telah melampaui semua hukuman itu, dan tidak ada lagi alasan bagi kami untuk mengungkit hal yang berlalu.”

   Pada hari itu, lebih tepatnya hampir satu tahun Gawain berada di Tír na nÓg, ia akhirnya diterima oleh seisi puri. Ia tidak sungkan dan malu untuk keluar dan tampil di lorong-lorong, di mana para Valkyria biasa mencomooh dan menindasnya. Kini ia mendapat perlakuan yang beda, lebih tepanya perlakuan yang layak dan setara.

   Tapi bagaimana dengan ibukota? Untuk mengatasi hal itu, Gawain biasanya berinteraksi dengan penduduk di sana. Awalnya ia memang tidak diterima, tapi ketika satu kejadian di mana salah satu anak bangsawan terperosok jatuh ke dalam ngarai dan terluka, Gawain langsung menolongnya. Pertama-tama, ia mengira bahwa seekor kambing gunung tergelincir dan sesegera menghampiri. Tapi yang ia temui bukan kambing, melainkan seorang anak lelaki berambut merah yang terluka dan tak sadarkan diri.

   Ingin rasanya Gawain merapal mantra penyembuh, tapi ia ingat bahwa mantra semacam itu akan langsung dilenyapkan oleh darah peri, maka dari itu ia menggendong anak lelaki itu ke puri, mengobati lukanya dengan salep dan tetanam herbal yang ia tanam di belakang kamarnya. Dua hari berikutnya, anak lelaki itu siuman.

   Di hari yang sama, Gawain menerima kabar bahwa seorang anak bangsawan hilang di tengah-tengah hutan dan masih sekarang belum ditemukan. Merasa bahwa hal ini bukan kebetulan semata, ia melaporkan kejadian itu tapi tak digubris bahkan ia tak dipercaya. Tapi ia bersikeras dan malah dituduh menjadi dalang insiden di mana anak itu jatuh. Gawain ditangkap dan disuruh mengaku.

   Setelah anak lelaki itu ditemukan, Gawain dibebaskan dari segala tuduhan. Hal ini membuat pandangan para peri pada Gawain berubah. Gawain yang digadang-gadang sebagai manusia keji, bengis, dan barbar itu ternyata memiliki kebaikan hati tersendiri. Awalnya tak percaya, tapi bagi peri yang bisa membaca jiwa seseorang, Gawain benar orang yang baik hati.

   Sesaat sebelum melepas kepergian Gawain, anak lelaki itu memberi namanya, “Robin Goodfellow, itu namaku, mohon ingat dan sapa aku bila nanti kita akan bertemu di kemudian hari.”

   Gawain memang mengingatnya, tapi tak pernah terbersit bahwa mereka akan bertemu kembali dan menjadi seorang sahabat karib yang cukup dekat. Waktu itu, sudah dua tahun terlampaui di Tír na nÓg, tapi Gawain belum pernah sedikitpun menyentuh alat-alat percobaannya, tidak sedikitpun, bahkan tidak ada setetes darah peri yang tertuang ke tabung reaksi; ia hampir lupa dengan dunia luar karena kenikmatan penjara kebahagiaan ini.

                                                                                                                    ***

Di tahun kedua, tahun di mana Gawain sudah diterima baik oleh seluruh golongan masyarakat, ia mulai merakit serangkaian alat percobaan dan membuat langkah-langkah, cara, asumsi, hingga hipotesis percobaan. Waktunya cukup banyak, tapi ia tak boleh lengah karena bisa saja ia lalai dan lupa dengan apa yang harus ia kerjakan.

   Berbekal hanya dua kantong darah Hilda, ia mulai menggunakan berbagai cara untuk mengawetkan darah peri agar tetap segar, mulai cara sederhana seperti membekukannya hingga cara yang paling rumit dengan merekontruksinya menjadi gumpalan berupa liat, lalu mengembalikannya lagi menjadi darah. Sayang semua cara itu tidak membawakan hasil yang cukup memuaskan. Untuk alasan yang tak diketahui, setiap Gawain melakukan usaha pengawetan, kadar kemurnian darah akan turun hingga darah itu tak memiliki kekuatan apapun; menjadi cairan pekat merah atau gumpalan yang menyerupai daging janin yang cacat, amis, dan membusuk.

   Hal itu membuatnya frustasi. Ia sudah menghabiskan enam bulan hanya berkutat pada permasalahan yang sama demi mendapat hasil yang amatlah mengecewakan. Pemuda itu menahan emosinya; menahan tangis, amarah, dan kekecewaan yang terpendam di hatinya. Wajahnya benar-benar mencerminkan keadaan hatinya yang benar-benar hancur itu. Apa ia tak bisa berbuat apa-apa? Apa memang itulah batas kemampuannya?

   Sementara melanjutkan percobaannya, Gawain juga mengajar pada sebuah sekolah di ibukota. Mulai dari tua hingga muda, ia mengajar siapapun yang tertarik pada dunia manusia juga cara hidupnya yang tampak unik di mata peri. Memang di awal ia tidak mendapat sambutan hangat, namun perlahan dengan berjalannya waktu dan usaha Gawain untuk mengambil hati khalayak, ia mampu diterima dengan mudah.

   Sepulangnya dari sekolah tempatnya mengajar budaya, ia masih mendapat giliran untuk bekerja sebagai pengawal Titania hingga sang ratu beristirahat. Memang tidak berat, ia hanya berdiri di belakang Titania yang duduk memandangi langit, minum teh, membaca buku di perpustakaan, atau membahas perbincangan yang menurutnya menarik. Setelah sang ratu merasa bosan dan memilih untuk beristirahat, Gawain bisa langsung pamit undur diri ke kamarnya demi melanjutkan percobaan.

   Satu kantung telah habis, itu berarti Gawain harus lebih berhemat lagi dalam melakukan percobaannya. Ia menelaah buku-buku lama, mengamati teknik-teknik yang dianggap kuno oleh kaum peri sendiri, membuat hipotesis lain, lalu mencobanya dengan penuh harap hanya demi menemui kegagalan lain yang mengiris hatinya.

   Tiga bulan terlampaui lagi—begitulah menurut hitungan kepala Gawain yang semakin acak. Ia tidak hanya lupa berapa hari, minggu, bulan, atau bahkan tahun yang terlewati; ia tidak ingat itu, ia hanya mengingat dan menghitung kegagalan dari puluhan hingga ratusan percobaan. Sorot matanya itu lama-kelamaan tampak seperti mayat, juga langkah kakinya yang lemas. Kalau Kurish melihatnya sekarang, ia akan diejek habis-habisan, maka dari itu Gawain selalu menggunakan topeng penuh senyum di hadapan orang lain.

   Hanya seorang saja yang benar-benar mengerti isi hati pemuda yang bahkan mampu menyangkal perasaannya sendiri, yaitu Ratu Titania. Di suatu kesempatan, Sang Permaisuri membuatkan secangkir teh untuk Gawain guna menemaninya. Memang, tidak jarang Gawain dan Hilda diajak minum teh bersama, bahkan sudah menjadi kebiasaan tersendiri. Di kesempatan itu, sang ratu akan menanyakan kabar keduanya, terutama Gawain, lalu menggoda atau mengiming-imingnya untuk tinggal selamanya di Tír na nÓg. Tentu saja Gawain menolaknya secara halus demi kehormatan sang permaisuri sendiri, tapi tidak dengan malam itu.

   Ctrang! Cangkir teh itu tergelincir dari tangan Gawain disertai tubuhnya yang rubuh kedepan. Pemuda itu tersungkur ke lantai. Hilda menangkapnya, lalu membaringkannya di sebelah sementara Ratu Titania tampak manggut-manggut bergumam, “ramuan Hypnosis, membuat siapapun yang meminumnya akan tertidur dan menurut... tapi tak kusangka hanya akan sekali teguk ia langsung terpengaruh.”

   “Apa artinya, Yang Mulia?”

   “Semakin cepat seseorang tertidur, maka semakin goyah pula hatinya.”

   “Dengan segala hormat, Yang Mulia, Gawain adalah orang paling teguh bahkan di antara kami, para ksatria Tír na nÓg.”

   “Kalau begitu, lihat saja wajahnya yang menyedihkan itu!” Hilda menoleh, mendapati wajah menyedihkan Gawain yang tampak kan menangis dalam tidurnya. “Mari kita dengar keluh-kesahnya; hanya ada segelintir hal yang mampu mengubah seorang pria hingga menyedihkan seperti ini!”

   Titania, yang kali ini menaruh kepala Gawain dalam pangkuannya itu dan mengelus rambut hitamnya perlahan-lahan, selaiknya seorang ibu yang menjaga putranya yang bermimpi buruk, menghiburnya dengan nyanyian rindu nan belaian yang hangat di kening sang putra. “Ceritakan mimpi burukmu, putraku...” bisiknya halus.

   Mulut Gawain mulai bergerak dengan matanya tetap terkatup rapat. Ia mulai menceritakan ketakutan yang bercokol dari kegagalan. Air matanya mulai mengalir dan tumpah, tapi Titania tetap mengusapnya dengan sarung tangan tenunannya. Hilda yang mendengar itu tak percaya bahwa percobaan Gawain selama ini hanya berbuah duri kegagalan. “Dia berbohong! Dia selalu bangga dan berbahagia ketika kami menanyaianya seperti itu!” ungkap Hilda yang lupa bahwa ia berhadapan dengan sang ratu.

   Setelah mendengar cerita, Titania menghela napas. “Hilda, bawa dia kembali ke kamarnya. Esok pagi bilang bahwa ia diberhentikan dari pekerjaannya dan suruh dia bekerja penuh untuk eksperimennya... pria kecil yang malang...”

   Hilda mengalungkan tangan Gawain di lingkaran lehernya, lalu menyeret pria itu. Sebelum di ambang pintu, ia berhenti, “Yang Mulia, maafkan atas perkataanku selanjutnya yang lancang setelah ini. Dengan segala hormat Yang Mulia, kenapa Anda bersikukuh untuk melihat pemuda ini? Apa pemuda ini menarik minat Anda?”

   Ratu Titania duduk bersandar di kursinya sembari menatapi kesunyian malam, “tidak lebih dari seorang tamu. Aku menyukai siapapun dari mereka yang bertaruh untuk sampai ke tanah penuh kejayaan ini. Tapi pemuda ini berbeda, ia tidak tertarik dengan tanah ini sedikitpun. Bodoh dan congkak kalau aku bilang, tapi ia tulus dengan tugas yang ia emban, jadi itulah yang membuatku tertarik dengan pemuda yang satu ini. Aku memang tak sepenuhnya percaya dengan ceritanya; seorang petualang sering mendramatisasi cerita, tapi kali ini ia benar-benar jujur, dan aku tak punya hati bila terus mempermainkannya.”

   Hilda menunduk lebih dalam, “Yang Mulia, maafkan hamba yang lancang: bukankah saat ini Yang Mulia sedang bermain dengannya? Memaksanya untuk bekerja keras demi menghadapi hasil yang sia-sia belaka?” nada suara Hilda meninggi, ia hampir lupa tata krama dan posisi kepada siapa ia bicara.

   Titania tersenyum lebar, matanya bersinar cerah. Itu senyum yang menakutkan bagi seukuran peri, senyum jahat yang licik, “justru di sanalah kesenangannya!” Hilda membelalak tak percaya bahwa sang ratu dapat tersenyum seperti itu, “apa kau pernah melihat sang protagonis opera sabun sengsara di akhir cerita? Jika tidak, kutawarkan kursi kosong untukmu dan melihatnya. Aku tertarik dengan opera sabun kali ini! Hebatnya lagi, kita dapat berinteraksi langsung dengan para pemain!” senyum keji itu tambah melebar, membuat bulu kuduk Hilda bangun dan meremang.

   “Yang Mulia, apakah Anda baik-baik saja?”

   “Tentunya aku amat baik-baik saja! Malahan tiap detik ketika pemuda ini datang hatiku sudah berpacu karena rasa penasaran! Kalau kubilang, dia adalah kejutan dan hiburan dari kebosanan, bukankah kau berpikiran sama, Hilda?”

   Hilda bungkam dan mengatupkan rahangnya. Ia benar-benar tak percaya dengan ucapan yang ia dengar malam itu. Darahnya mulai mendidih naik ke ubun-ubun. Jika saja ia tak berhadapan dengan sang ratu sendiri, ia sudah maju dan menebas. Bagaimana ia tak marah mendengar bahwa pemuda yang selama ini ia anggap sebagai teman sekaligus sahabat diperdaya oleh iblis berwujud peri ini? “Sejak kapan? Sejak kapan Anda berencana melakukan ini?!”

   “Ah, sejak kapan, kau tanya? Sejak kami bertemu, tentu saja! Kau masih ingat bukan raut wajah kecewanya—raut wajah keputusasaan? Ia merasa dunia bagai runtuh saat i—”

   “Diam!” bentak Hilda. “Jadi semua ini—mulai dari keberangan Kaisar Oberon hingga membuat Gawain membunuh para ksatria, hari siksaannya, pembebasanya, hingga eksperimen payahnya itu hanya menghasilkan kegagalan—adalah hiburan Yang Mulia semata?!”

   “Oh, kau lupa dengan siapa berbicara?” Titania bangkit, berjalan menyusuri ruangan besar itu, “kau tahu, awalnya aku tadi hanya berencana untuk membuatnya jujur dengan cerita kegagalannya! Iya! Tangisan itu benar-benar menghiburku!” Titania melirik Hilda, “tapi kau mengacaukan hiburan ini dengan pertanyaanmu... yah tak kusangka kejutan semacam ini ada, tapi tetap saja aku terhibur!”

   Hilda bangkit, ia sudah tak tahan lagi melihat sosok keji di depannya. Semakin ia menyaksikannya, semakin ia kecewa dengan ratunya sendiri. Apa ia tak salah dengar? Tidak ia tidak salah dengar ataupun yang lain. “Yang Mulia, izinkan aku bicara satu hal.”

   “Apa itu, Iron Maiden?”

   “Aku menolak tawaran Anda untuk duduk melihat drama di mana sang protagonis mendapatkan akhir yang menyedihkan; malahan aku juga ingin bermain bersama sang protagonis! Sekian, Yang Mulia. Mungkin malam ini adalah waktu terakhir kita bertatap muka. Selamat malam, Yang Mulia”

   “Selamat malam juga, Hilda. Kutunggu cerita kalian di singgasana tempat para pemirsa.”

   Hilda yang membawa Gawain keluar dengan langkah cepat. Sepasang Valkyria yang melihat kedua orang itu keluar segera melapor. Sebelum masuk, keduanya bertanya, “Lady Hilda, apa yang sedang Anda pikirkan? Oh, apakah ini ada kaitannya dengan Ser Gawain?” longok mereka penasaran.

   Untuk beberapa alasan yang kurang jelas, tersebar sebuah gosip di kalangan ksatria wanita bahwa Hilda dan Gawain sedang menjalin hubungan. Gawain yang memang acuh pada pekerjaan tidak menggubris sedikitpun rumor itu, sementara Hilda hanya bisa menggelengkan kepala, bertanya-tanya atas dasar apa gosip seperti itu tersebar. Hanya karena mereka bertugas bersama, lalu sering berlatih bersama, dan Gawain adalah orang yang cukup tampan dan penuh tanggung jawab, ditambah dia adalah pria yang bisa mengurus urusan rumah tangga, membuat imajinasi gadis semakin liar. Yah, aku tidak menyalahkan mereka karena aku juga gadis dan kurasa itu wajar.

   Kontur wajah Hilda berubah seketika. Berang merah di wajahnya lenyap seketika, digantikan senyum tipis yang tersemat di bibirnya. Dengan bisikan halus, ia menjawab, “iya... kalian benar... besok lusa kami akan menemui ayahku.”

                                                                                                          ***

Rumor tentang Gawain dan Hilda yang mangkat dari pekerjaan mereka demi menjalin hubungan keluarga benar-benar menjadi perbincangan hangat terutama bagi kaum gadis. Gawain yang tak tahu apa-apa sebenarnya ingin meluruskan, tapi Hilda menghentikannya. “Hilda, apa yang kau maksudkan? Kau ingin kesalahpahaman ini makin memburuk?”

   “Iya, dan aku serius akan hal ini,” jawab Hilda. Kedua dari mereka keluar dari puri dengan pakaian biasa. Semua orang sudah memberi mereka ucapan selamat jalan, dan bahkan memberi satu buket bunga sebagai ucapan selamat. Banyak dari mereka berlinang mata karena bahagia bahwa kapten mereka yang keras akan pria menemui pasangannya. Keduanya cocok dan saling melengkapi. Keduanya tak membawa apapun kecuali beberapa kantung berisi koin dan pakaian yang terlipat rapi di tas punggung.

   “Tunggu Hilda,” tukas Gawain di tengah perjalanan mereka ke desa di mana Hilda lahir. Rencananya Hilda akan mengenalkan Gawain pada kedua orang tuanya. Sebelum semua ini di luar kendali Gawain, ia ingin menghentikan ini, “apa kau benar-benar serius akan hal ini? Bukankah kau—”

   “Aku tidak perlu mendengar jawabanmu, Gawain. Aku sudah tahu itu,” Hilda berhenti berjalan, memotong ucapan Gawain tanpa menoleh ke belakang. “Tapi tetap saja, aku akan bertindak bodoh... lagipula, kita tidak punya tempat untuk bernaung bukan? Keluargaku akan menerimamu.”

   “...terima kasih, Hilda.”

   Satu hari perjalanan dan keduanya sampai di sebuah desa yang terletak di jantung hutan. Sama seperti Neverland, rumah di sana tergantung di pohon-pohon atau dinding tebing yang mengelilingi hutan. Luas desa tersebut cukup luas, bahkan penduduknya cukup ramai. Ketika seorang penjaga mengenali Hilda, ia langsung memanggil kawannya yang lain dan turun menyambut Hilda. Rentetan kalimat cepat terdengar dan tersebar hingga datang ke telinga ketua desa, yang tak lain adalah ayah dari Hilda sendiri.

   Hilda lahir di keluarga bangsawan kelas menengah, tapi tetap cabang dari keluarga bangsawan lain yang berpengaruh besar. Meski ia dianggap darah bangsawan dan mendapat sebutan Lady Hilda, tapi sebenarnya ia tak menyukai hal-hal berbau politik, memilih jalan sebagai seorang Valkyria, mengabdi pada tanah yang damai ini, dan meninggalkan tanggung jawab sebagai bangsawan.

   Roberto, adik yang menjadi tumpuan ayah Hilda itu datang menyambut keduanya. Ia amat rindu dengan sosok kakak perempannya, terkejut karena seorang pria muda datang dan langsung mengenalinya sebagai Gawain sang pembunuh. Ia hendak mengusir Gawain, tapi Hilda mencegahnya berbuat demikian dan berani mengangkat menghunus pedang ke adiknya sendiri. “Dia tak lebih seorang pembunuh keji!” tegas Roberto, “kenapa Kakak melindunginya?”

   “Karena dia adalah calon suamiku,” ungkapan Hilda itu membuat seluruh orang diam seribu kata. Melihat celah, Hilda menarik lengan Gawain cepat, menggiringnya ke rumah ayahnya. Roberto dan beberapa penjaga mengejar, tapi tak mampu menandingi kelincahan Gawain dan Hilda. Di ujung suatu belokan, terdapat rumah yang begitu mencolok, itulah rumah yang dimaksud. Dua dayang yang sedang berkebun yang mengamati kedatangan putri tuan mereka menunduk, tapi terheran-heran karena kedatangan mereka yang tergesa-gesa.

   “Di mana Ayah?” tanya Hilda.

   “Eh...” kedua dayang tampak kebingungan, tapi segera menjawab, “di ruang kerjanya seperti biasa.”

   Hilda segera masuk dengan mendorong pintu sekeras mungkin. Keanggunan dan tata krama seorang Valkyria sudah lenyap dari tiap inci tubuhnya, membuat kepribadian baru yang tak ubahnya seorang gadis pada umumnya: periang, lincah, bebas, dan tak sedetikpun memikirkan tanggung jawabnya. Gadis itu tampak senang, ia hampir lupa tertawa lebar dan sekarang tawanya lepas di tiap anak tangga yang keduanya pijaki.

   Mendengar suara khas dari putrinya, Si Tua Alphonso keluar dari ruang kerjanya, menyambut dan memluk putri yang perangainya mirip dengan istrinya sendiri. Tinggi mereka semampai, jadi Hilda tidak perlu berjinjit untuk membalas pelukan hangat dari ayahnya itu. Sang ayah berhenti, lalu melempar pandangannya ke Gawain juga dengan Roberto dan beberapa penjaga yang datang dengan tombak teracung.

   Roberto dan Hilda menjelaskan apa yang terjadi hingga Si Tua Alphonso mengangguk paham dan mengerti apa yang terjadi. Demi meredakan suasana, ia menyuruh semua penjaga kembali, lalu mengajak kedua anaknya beserta Gawain bicara. Hanya empat orang itulah yang berada di ruang kerja. Si Tua Alphonso duduk berhadapan dengan Gawain dan Hilda yang gugup, sementara Roberto berdiri di belakang ayahnya sembari mengamati gerak-gerik Gawain, mencurigai bahwa kakaknya sedang diperdaya oleh suatu mantra pikat atau semacamnya.

   “Bicaralah, Hilda. Pasti kau punya niatan sendiri bukan sampai-sampai merepotkan dirimu untuk pulang.”

   Gawain menegak ludah, ia merasa tidak nyaman dengan arah perbincangan, juga Roberto dan Si Tua Alphonso. Tapi Hilda malah membelokkan perbincangan dengan hal yang membuat semua orang bergidik, “aku ingin menggulingkan kekaisaran Oberon dan Titania. Ayah, aku rasa permintaanku tidak wajar, tapi mohon dengarkan penjelasanku setelah ini.” Hilda mulai membeberkan kekuasaan absolut Oberon yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan yang ia pelajari dari Gawain. Setelah mendengar penjelasan itu, keduanya manggut-manggut memahami jalan pikiran Hilda.

   “Kaisar Oberon sudah terlalu lama berkuasa, sedari kakekku muda hingga aku sendiri yang tua. Hanya dengan keegoisannya untuk melindungi sang permaisuri, ia mengurung kita untuk melihat dunia. Kita hanya menjadi seekor kera yang menari-nari di dalam kandangnya; bodoh dan tak mau peduli dengan dunia luar. Baiklah, Hilda, aku akan bicara dengan bangsawan yang lain. Kita lihat apakah kita bisa mengubah hati kaisar ini.”

   “Ayah, bukan maksudku untuk meragukan pengaruh para bangsawan, tapi ketahuilah bahwa sang kaisar memiliki pasukan yang setia di sisinya. Siapapun yang protes hanya akan menemui bui atau mati.”

   “Itu benar, putriku, tapi apa ada cara lain?”

   “Ada,” Hilda memegangi ujung pedangnya, “seseorang harus mengotori tangannya dengan darah,” ucap Hilda dengan meniru nada suara Gawain. “Untuk menggulingkan rezim, pertempuran tidak dapat dihindarkan.” Dengan begitu, Hilda bangkit, menarik Gawain pergi dari sana, “pikirkanlah masa depan anak-cucu kita, Ayah. Apakah mereka akan menjadi kera di dalam jeruji atau burung yang terbebas?”

   Gawain yang tak mengikuti perbincangan menghentikan Hilda di lorong, tapi Hilda tetap menariknya kuat dan menyeretnya ke luar. Saat sampai di tempat yang cukup sepi, Hilda melepas cengkraman tangannya, mundur menjauh dari Gawain. Raut wajahnya berubah menjadi lebih tenang, hal itu diketahui Gawain dari sorot matanya yang meredup—entah karena mereka berada di bawah bayangan kanopi hutan yang lembab atau memang hati gadis itu menyurut. “Gawain... kau ingin pulang bukan?”

   “Iya, tapi tidak dengan cara seperti ini! Kau cukup gila bila menggunakan cara—”

   Hilda mendekap Gawain, membuat pemuda itu bungkam dan bisu. “Aku gila, Gawain. Lebih tepatnya gila padamu; gila karena kau lebih kuat dariku, gila akan keuletanmu, dan juga gila karena tak bisa memilikimu.”

   Gawain diam. Ia tak berani bicara, membiarkan suara belalang juga dahan dan ranting yang bergesekan akibat tiupan angin mengisi keheningan. “Hei, apa yang tidak kumiliki tapi yang dimiliknya?”

   Pertanyaan itu benar-benar menggetarkan hati Gawain. Apa yang dimiliki Florence tapi tak dimiliki Hilda? Keduanya berbeda, dan tak bisa Gawain menyamakan keduanya. Ada beberapa poin yang dimiliki Hilda tapi tak dimiliki Florence, begitu pula sebaliknya. Gawain menggelengkan kepala, ia mendorong bahu Hilda, “biarkan aku bicara dengan Kaisar Oberon, mungkin saja beliau mau mendengarku. Kumohon Hilda, jangan ada pertumpahan darah, apalagi sampai kau membunuh sesamamu!”

   Sebelum Gawain pergi, ia merangkul Hilda dengan erat, lalu pergi menghilang di balik semak meninggalkan desa dan segera bertolak menuju ibukota untuk menemui dan membujuk kaisar. Tentunya, ia akan melakukannya dengan bernegoisasi.

   Saat malam, ia memilih beristirahat setelah menyalakan api unggun. Sepi dan sunyi, tidak ada siapapun di sekitar. Setelah Gawain yakin ia benar-benar sendiri, ia tidur untuk pergi ke alam bawah sadarnya dan menemui Florence. Sama seperti sebelumnya, Gawain langsung duduk berhadapan dengan Florence di gazebo putih di tengah kehampaan yang juga berwarna putih.

   Di depan Florence terdapat sebuah draf berisikan tulisan-tulisan yang rupanya adalah rencana yang telah Gawain susun. Dengan menghela napas, ia mulai bicara, “amat mulus juga sempurna, bahkan aku sendiri hampir tertipu, Master. Anda memang jenius! Tak kusangka Anda merencanakan hal seperti ini!” tukasnya sembari menahan tawa terpingkal-pingkal. “Aku merasa kasihan dengan gadis ksatria itu, tak tahu bahwa perannya di sini hanyalah sebuah pion!”

   Gawain diam tak menjawab, ia menatap draf tulisan itu. Matanya tampak memancarkan keraguan. “Apakah Master ragu? Biar kuberitahu suatu hal, Master: wajar saja jika seorang pria memiliki istri lebih dari satu,” goda Florence dengan nada nakal.

   Semu merah tampak di pipi Gawain. “Hei, tidak hanya gadis ksatria saja. Master ingat peramal di Tulious dan juga teman pemanah Master itu? Semuanya jatuh terpukau dengan Master! Jika Master tanya apa yang membuatmu menarik, boleh kubilang kepribadian Master yang unik, juga kebaikan hati, dan masih banyak, mungkin?”

   “Kau bilang hati busukku ini disebut kebaikan?”

   “Terserah Anda bilang apa. Tapi jika aku boleh jujur, Anda memiliki hati yang mulia. Ketahuilah itu.” Gawain tersenyum lega. Tiap kali ia berbicara dengan Florence, ia teringat Florence. Dan gagasan Florence bahwa seorang pria dapat memiliki lebih dari satu istri membuat hatinya goyah. Ia sumringah dengan wajah berseri, tapi tiba-tiba berubah kusut, “aku takut apa yang terjadi pada Sa’rah terulang.”

   “Tidak, Master! Tidak akan! Anda sekarang berbeda dengan Anda yang dulu! Anda tidak sendiri, Master: kau punya Abi, diriku, semua awal fortuner. Dengan kekuatan Anda sekarang, Anda mampu melindungi siapapun, pegang kalimatku, Master!”

   Gawain tersenyum kecut, “kuharap aku bisa memegang kalimatmu. Kita tidak tahu rencana Dewa dan Dewi kedepannya. Kita hanya bisa melangkah maju tanpa menoleh ke belakang.” Gawain mengambil draf rencana, membolak-baliknya demi mengingat langkah-langkah apa yang harus ia ambil. Dengan senyum merekah dan anggukan mantap, ia bergumam, “waktunya mengucapkan selamat tinggal pada tanah ini.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
BlueBerry Froze
3436      1071     1     
Romance
Hari-hari kulalui hanya dengan menemaninya agar ia bisa bersatu dengan cintanya. Satu-satunya manusia yang paling baik dan peka, dan paling senang membolak-balikkan hatiku. Tapi merupakan manusia paling bodoh karena dia gatau siapa kecengan aku? Aku harus apa? . . . . Tapi semua berubah seketika, saat Madam Eleval memberiku sebotol minuman.
Dream of Being a Villainess
1375      787     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
I N E O
6469      1374     5     
Fantasy
❝Jadi, yang nyuri first kiss gue itu... merman?❞
Dramatisasi Kata Kembali
708      368     0     
Short Story
Alvin menemukan dirinya masuk dalam sebuah permainan penuh pertanyaan. Seorang wanita yang tak pernah ia kenal menemuinya di sebuah pagi dingin yang menjemukan. \"Ada dalang di balik permainan ini,\" pikirnya.
Ballistical World
9937      1948     5     
Action
Elias Ardiansyah. Dia adalah seorang murid SMA negeri di Jakarta. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Suatu hari di bulan Juni, Elias menemukan dirinya berpindah ke dunia yang berbeda setelah bangun tidur. Dia juga bertemu dengan tiga orang mengalami hal seperti dirinya. Mereka pun menjalani kehidupan yang menuntun perubahan pada diri mereka masing-masing.
Noterratus
2496      1030     4     
Mystery
Azalea menemukan seluruh warga sekolahnya membeku di acara pesta. Semua orang tidak bergerak di tempatnya, kecuali satu sosok berwarna hitam di tengah-tengah pesta. Azalea menyimpulkan bahwa sosok itu adalah penyebabnya. Sebelum Azalea terlihat oleh sosok itu, dia lebih dulu ditarik oleh temannya. Krissan adalah orang yang sama seperti Azalea. Mereka sama-sama tidak berada pada pesta itu. Berbeka...
Rain Murder
2542      670     7     
Mystery
Sebuah pembunuhan yang acak setiap hujan datang. Apakah misteri ini bisa diungkapkan? Apa sebabnya ia melakukannya?
If Sarcasm is A Human Being
580      398     0     
Short Story
Apa yang terjadi jika sebuah kata sifat yang abstrak memiliki rupa dan karakteristik bak seorang manusia? Sar tidak memilih hidupnya seperti ini, tetapi ia hadir sebagai satu sifat buruk di dunia.
THE CHOICE: PUTRA FAJAR & TERATAI (FOLDER 1)
3173      1210     0     
Romance
Zeline Arabella adalah artis tanah air yang telah muak dengan segala aturan yang melarangnya berkehendak bebas hanya karena ia seorang public figure. Belum lagi mendadak Mamanya berniat menjodohkannya dengan pewaris kaya raya kolega ayahnya. Muak dengan itu semua, Zeline kabur ke Jawa Timur demi bisa menenangkan diri. Barangkali itu keputusan terbaik yang pernah ia buat. Karena dalam pelariannya,...
The genius hunter S class
79      69     1     
Fantasy
Dunia telah berubah, sudah tak asing lagi dengan lingkaran hitam yang tersebar di berbagai belahan dunia. Semenjak 10 tahun yang lalu, yang dikenal sebagai mimpi buruk muncul sebuah lingkaran hitam, awalnya tidak terjadi apa pun namun seiring berjalannya waktu, sesuatu keluar dari lingkaran hitam tersebut yang menyebabkan begitu banyak kematian. Tepat pada saat itu kebangkitan manusia dimulai han...