Hari ini kami akan melintasi perairan iblis.
Sudah terhitung dua bulan kita berlayar menuju utara, tapi tak menemukan apapun... ku takut akan berbagai hal... ku takut kita melenceng beberapa derajat dan jauh dari tujuan... ku takut kita terdampar di laut tanpa ujung... ku takut mentari tak akan terbit lagi... ku takut kita masuk loker Davy Jones dan membusuk di sana... dalam kata lain...
Ku takut kematian...
Ini mungkin terakhir ku tulis jurnal ini. Karena ini perairan iblis, kita tak tahu apa yang menunggu kita. Ku kan berdiri di depan kemudi dengan gagah dan bersuara lantang, menggiring keroco-keroco ku menuju takdir kita...
Tapi tidak dengan tugas ini...
Jujur saja, ku jarang takut dengan apa yang kunamakan kematian. Tapi, kali ini tak kupungkiri. Tugas yang kuemban berat dengan surat undangan kematian yang kuterima dari Master Septimus.
Tiap malam, kumimpikan bagaimana caraku mati. Mulai tertikam, teracuni, tenggelam, tercincang, atau tergerus gerigi Leviathan. Ku tak tenang, iya, ku tak tenang. Bagaimana kau tenang bila tanggung jawab ribuan nyawa kau panggul dengan punggungmu?
Tapi, ku rasakan kelegaan sesaat demi melihati wakil kapitenku yang muda ini kan menggantikanku. Ia masih muda, cerdas, berwibawa, tangguh, dan tentunya dapat diandalkan. Semua orang menghormatinya. Kurasakan lega yang tak terkira ketika kutahu ia adalah orang yang bertanggung jawab.
Tapi, bukankah itu kejam? Hei, itu sama saja kurenggut masa mudanya. Tiap malam, ku bertanya-tanya apakah perbuatanku ini salah atau benar. Tapi pemuda itu tak mempermasalahkannya, aku rasa ia cukup bahagia dengan caranya sendiri, meskipun wajah serius itu benar-benar membungkus jiwanya yang melankolis itu.
Saat kulihat punggungnya dari iringan, ia sama seperti Lothius. Punggungnya itu telah menunjukkan beban yang ia tanggung. Jalinan telapak tangannya yang kasar menunjukkan bahwa ia tak kenal lelah mengayunkan pedang dan belatinya. Saat kusadari, ia sudah berusia lebih jauh dari seharusnya... sungguh pria muda yang malang...
Dengan semangat,
Hartein, Alki’ey
Hartein menutup buku jurnal itu, menguncinya rapat dengan rapalan mantra, lalu memanggil Gawain yang sedari tadi menyibukkan diri dengan rangkuman buku pengetahuan yang akan ia berikan untuk Parsha. Saat cukup dekat, Hartein langsung melempar buku jurnal itu. “Apa ini?”
“Sudah wajar kewajiban seorang guru untuk memberi memento pada muridnya. Seperti guru besar sihir membuatkan tongkat tuk muridnya, yah semacam itu.”
Secara simbolik, Hartein telah memberikan semua kekuasannya pada Gawain. Pemuda itu tersentak sejenak, lalu akhirnya manggut-manggut dengan raut wajah menyedihkan. Matanya melirik menuju jam pasir di meja Hartein; yang digadang-gadang sebagai sisa umurnya itu. Meski ukurannya sama persis dengan jam pasir dua mingguan, tapi berkat mantra tertentu jam pasir itu malah menunjukkan sisa usia Hartein, dan sekarang jumlah pasir yang jatuh sudah sangat tipis.
Hartein menepuk bahu Gawain dan menyampirkan seringai sangar seperti biasanya. “Tenanglah, mate. Kau pria yang hebat, kutahu itu!” Gawain mengangguk pasrah. Meski ia sering melihati kematian ketika ia menjadi Si Pengembara Kesepian, tapi rasanya beda ketika ia menjadi Eias. Apakah emosinya membludak tak keruan? Apakah pikirannya menjadi keruh? Apakah perasaannya membuatnya terhenti untuk melangkah?
Dengan gelengan, ia mengenyahkan keraguannya. Hartein menunggunya di pintu kabin sembari menyuruhnya bergegas. Saat keluar, keadaan geladak sudah ramai akan semua kelasi yang berkumpul menunggu perintah lebih lanjut.
Kabut di depan armada tampak amat tebal. Bahkan mata Abi yang tajam tidak bisa menembus dan mengira apa yang ada di baliknya. Memang kabut itu masih sepuluh mil dari tempat armada menaruh jangkar, tapi ketakutan sudah tumpah dari hati semua orang. Beberapa orang tiba-tiba menggigil, bahkan ada yang mengenakan jaket tebal.
Untuk beberapa alasan, suhu di dekat perairan iblis memang lebih rendah daripada perairan hangat yang mereka lalui selama ini. Tapi itu hanya sugesti saja. Sejatinya, bukan cuaca lah yang membuat perairan ini dingin, tapi Tyran bengis dan berdarah dingin lah yang menyebabkan. Tidak ada yang tahu Tyran macam apa yang menunggu mereka di balik kabut. Ada rumor yang menyatakan Tyran bertubuh gurita raksasa sedang menyelam halus di sana, menunggu kapal yang tak beruntung di saat yang tepat. Ada pula rumor Tyran berjuluk Leviathan dengan ratusan deretan gigi-gigi tajam yang berkilauan merah karena darah mangsanya.
Tapi semua orang tahu, di balik badai yang kan datang, terdapat harta yang didambakkan. Setelah melalui perairan iblis, jika kau beruntung, kau akan tepat mendarat di salah satu pulau mistik. Ada yang mengatakan nama pulau itu adalah Tír na nÓg. Tapi Hartein yang pernah tinggal di sana mengatakan bahwa nama pulau itu sejatinya adalah Neverland. Lalu di mana letak Tír na nÓg sesungguhnya? Di seluruh kapal armada ini, hanya Hartein dan Gawain sajalah yang tahu bagaimana cara menuju Tír na nÓg.
Sebuah cerutu terlihat berputar di jari Kapiten. Ia memasukkan pangkal cerutu ke mulutnya, mengangkat pistol yang berisi mesiu paling kuat, lalu menaruh pucuk pistol itu di ujung cerutu. Dengan tarikan cepat, sebuah suara menggelegar terdengar. Cerutu itu menyala, tapi tak hancur berkat ledakan. Semua pandangan tertuju menuju Hartein yang menghisapi cerutunya satu-dua kali. Setelah yakin semua kelasi akan mendengarnya, ia angkat bicara, “kita di sini adalah keluarga besar yang bodoh. Yah, ku akui itu, kawan-kawanku sekalian. Tujuan kita ada di balik sana,” Hartein menunjuk dengan ujung pistolnya yang masih berasap. Suaranya yang berat dan tegas untuk ukuran wanita itu menggetarkan seluruh armada, serasa meskipun suaranya tak keras, gemanya cukup terngiang di hati tiap orang.
“Kalian adalah orang terbodoh di dunia ini kalau kuboleh bilang! Kalian pertaruhkan nyawa kalian untuk harta yang belum pasti dan mungkin hanya mimpi belaka!” semua orang diam tertunduk, “tapi itulah yang kusukai dari kalian! Kuakui aku orang yang bodoh! Aku tidak tertarik dengan hasil yang kuraih, tapi perjalanan yang kuarungi! Tapi bukankah hal itu yang menyebabkan hasil kita amatlah berharga?!”
Semua orang bergumam dan diam-diam setuju. Wajah yang ketakutan mulai digantikan wajah penuh harapan. Gawain akhirnya memahami betapa sederhananya pemikiran semua kelasi ini. Semakin sulit mendapatkannya, semakin bagus hasil yang dicapai. Pantas saja, Hartein yang memang tidak begitu pintar dapat memimpin satu armada berisikan 500 orang hanya dengan “mengelabui” pemikiran sederhana itu. Tapi tak apalah, dilihat dari manapun, Hartein adalah pemimpin yang tangkas dan sigap.
“AYE! AYE! AYE!” sorak semua anggota di kapal utama, lalu diikuti dengan empat kapal yang lain.
“Angkat jangkar pemalas kita! Kerek bendera kebanggan kita sebagai jati diri pelaut! Turunkan layar-layar kita dan biarkan angin, ombak, dan takdir yang menuntun jalan kematian kita! HA HA HA!” tawanya sembari naik cepat menuju belakang kemudi.
Semua dari mereka ramai-ramai menyenandungkan nyanyian berjudul Drunken Whaler sembari bekerja. Lagu itu membawa ketenangan yang hangat di tengah dinginnya kecamuk laut meskipun mentari sudah menyingsing. Dengan api semangat itu, mereka melaju kencang menembus kabut perbatasan antara perairan tenang dan perairan iblis.
Mereka tak berhenti berlayar lurus membelah kabut. Untuk mengetahui arah masing-masing kapal, tiap pengawas menyalakan suar berwarna merah. Itu ide Gawain untuk berkomunikasi. Biasanya, para pengawas hanya perlu menggerakkan tangannya untuk berkomunikasi. Tapi kali ini pandangan mereka tertutup kabut tebal, jadi suar merah itu membantu para pengawas untuk mengetahui gerakan tangan apa yang dimaksudkan kawan mereka.
Tidak ada apapun yang terjadi selama mentari masih muncul di atas kepala mereka. Hanya kesiur angin yang menjerit karena terbelah haluan kapal yang gagah dan runcing itu. Ketika petang, lampu-lampu minyak mulai dinyalakan dan semua orang bersiaga. Mereka tak berhenti, karena jika saja berhenti maka armada itu jadi sasaran yang empuk. Karena mereka melaju secara non-stop, maka ada pekerjaan digilir.
Untuk hari ini, Hartein memegang kemudi. Esoknya Gawain dan esoknya lagi Hartein. Pergiliran tidak hanya di depan kemudi, melainkan pula juga para kelasi. Mereka diperbolehkan beristirahat selama tidak bertugas jaga.
Satu minggu membelah perairan iblis, armada itu mulai menyaksikan kejanggalan. Mulai dari kemudi yang tiba-tiba berbelok, bagian buritan yang tiba-tiba rusak, haluan yang pecah, dan juga tiang layar yang retak. Tidak sampai itu, semakin mereka melaju ke utara, semakin jelas terdengar gemuruh menyeramkan di dasar laut. Semua orang menelan ludah mendengarnya, merinding ketakutan. Ketika gemuruh itu terdengar, armada itu segera menggulung layar utama dan menyisakan layar sekunder untuk melaju. Mereka melambat karena melaju cepat bukanlah sebuah opsi yang tepat. Kurish mencoba menenangkan kelasi yang gemetaran dengan berbisik satu persatu ke mereka, “kraken buta karena terlalu lama hidup di dasar laut. Tapi mereka peka terhadap perubahan arus air, jadi kita maju perlahan-lahan.”
Tapi nasib tetaplah nasib. Suatu malam yang gelap, gemuruh itu terdengar keras dan semakin mendekat. Semua kapal melambat, tapi tetap saja gemuruh itu mendekat. Salah satu kelasi yang mengawasi meriam melongok ke bawah, melihati bahwa perairan di bawah kapal bukan berwarna kebiruan gelap, melainkan benar-benar gelap dan berbau amis. Cepat-cepat ia melapor ke Gawain dan Kurish di kemudi.
Karena Hartein sedang beristirahat, maka keputusan berada di tangan Gawain. Dengan keringat dingin yang terkucur di dahi, Gawain mengambil keputusan untuk berhenti dan membiarkan takdirlah yang berbicara.
Lekas-lekas Gawain mengirim sinyal ke Abi untuk menyampaikan pesan kepada sisa armada agar berhenti. Abi mengangguk lalu mulai menggerakan tangannya dengan suar untuk meyampaikan pesan. Tepat di saat itulah, suar milik Abi padam secara tiba-tiba. Hanya dari raut wajah panik Abi, Gawain tahu apa yang akan terjadi. Sesegeranya ia membuat suar dari pipa kayu, memberi bubuk mesiu dan perwarna lalu mengantarnya cepat-cepat menuju Abi.
Itu pertarungan melawan waktu. Saat ini mereka benar-benar di atas mulut gurita raksasa yang dapat saja terbuka kapanpun. Bila Gawain terlambat menyampaikan pesan, maka jangan harap armada ini melihat mentari esok pagi.
Saat Gawain melayang naik di udara dengan bantuan pengait, barulah ia menyadari bahwa ia sudah terlambat.
Laut mulai bergejolak dan bergetar hebat. Sejauh tiga ratus depa di timur mereka, terlihat pusaran air. Itu adalah mulut kraken yang menganga menyerap apapun. Dengan mata penuh mawas, Gawain mendapati bahwa dua kapal armada di sisi timur sudah tenggelam menuju jurang kegelapan itu. Sekarang keadaan mulai menegangkan, mereka tak perlu diam-diam lagi.
“Turunkan layar dan siapkan meriam-meriam kalian!” teriak Gawain sembari memegangi tongkatnya. “Larte ush ij nai ne!” Gawain merapal mantra cahaya tingkat tujuh untuk menerangi daerah sekitar sekaligus menghilangkan kabut. Cahaya seterang itu hampir seperti purnama, tapi sepuluh kali lebih terang.
Ketika menyapu lingkungan sekitar, mereka mendapati pemandangan yang amat mengerikan. Lengan-lengan dengan jonjot-jonjot penyerap khas milik gurita sudah muncul di permukaan dan tegap. Panjangnya lebih tinggi daripada tiang layar dan besarnya hampir setengah panjang geladak.
“Kenapa kalian bengong?!” itu suara Hartein. Berkat kegaduhan ia bangun dengan kesigapan seorang kapten. Dalam kepanikan itu, ia cepat-cepat mengambil alih kepemimpinan. Dengan suara lantangnya, ia menyuruh segera menembakkan meriam-meriam ke lengan gurita itu. “Tembak-isi-lalu tembak lagi jika kalian tak ingin disantap monster yang satu ini!”
Gemuruh meriam terdengar bersahutan dengan yang lain. Lengan-lengan itu berada di mana-mana, bergerak liar dan mengerikan. Gawain yang memegangi tongkatnya tak henti-henti menembakkan sengatan petir, bola api, kristal es, dan semua macam serangan dari semua elmen yang ia ketahui dan pelajari dari jurnal ayahnya.
Selama tiga puluh menit bertarung, akhirnya gemuruh itu menghilang, juga dengan lengan-lengan yang kembali lenyap di perairan. Semuanya tenang, tapi ketenagan ini hanyalah tanda badai yang lebih mencekam akan datang. Di tengah-tengah keheningan yang menyayat hati setiap pelaut yang malang itu, tiba-tiba terdengar suara ledakan di sisi barat.
Dari kejauhan, tiga kapal yang formasinya sudah kocar-kacir itu tiba-tiba tertebas dengan ayunan lengan gurita sekaligus, meninggalkan bangkai kapal karam yang menyedihkan dan berputar-putar menuju kubangan tinta hitam gurita. Itu peristiwa yang benar-benar membuat nyali pelaut manapun menciut. Tapi tidak dengan Hartein yang dikenal bengis dan tak berperasaan.
Dengan pikiran dan hati yang tenang, ia memilih memutar kemudi dan menyelamatkan orang-orang yang tersisa di bangkai kapal. Semua orang tahu bahwa itu tindakan bodoh, tapi semua kelasi tahu bahwa kehilangan saudara lebih buruk daripada kehilangan nyawa mereka sendiri. “Siapkan meriam! Kita akan berpesta malam ini!” serunya sembari mengangkat karabin yang tersampir di pinggang kirinya.
Selepas menyelamatkan kru kapal malang itu dan mengobati lukanya dengan balsam serta perban seadanya, kru kapal itu bersiaga. Ada yang menghunuskan pedang seperti Parsha yang gagah, ada yang mengeluarkan pistol seperti Kurish yang cerdik, ada juga yang mengeluarkan tongkat sihir seperti Gawain dan Hartein.
Hartein merapal mantra panjang. Dari bahasa yang digunakan, serta kelengkapan, Gawain tahu bahwa mantra yang dirapal adalah mantra “pedang langit”, mantra penyerang tingkat sembilan. Dengan pedang langit, Hartein bisa melayangkan sepuluh pedang sesuai dengan perintahnya untuk menyayat musuhnya. Pedang yang dilayangkan bukan pedang biasa, melainkan pedang yang ditempa sendiri oleh Dewa Hephiastus, sang Dewa Pemandai Besi. “Sudah lama aku tak menggunakan mantra ini...” gumamnya.
Keheningan menyergap sekali lagi. Kapal itu berhenti. Dilihat dari pola sebelumnya, puluhan lengan gurita akan muncul dan menyerang dengan cepat. Semua orang terjaga dengan mata mawas-mawas. Gawain yang berada di tengah geladak bertugas sebagai tabib yang mengobati luka sekaligus penyihir yang membantu serangan mantra.
Suara decitan kayu di lambung terdengar. Dari sana, semua orang melirik ke bawah. Tampaknya, lengan-lengan gurita itu ingin meremukkan mereka secara perlahan. Para kelasi panik, tapi Hartein menyuruh mereka untuk tenang. “Biarkan dulu. Kita harus menunggu saat yang tepat.”
“Apa rencana Anda, Kapiten?” tanya Gawain dengan gugup.
“Menghabisi iblis laut ini.”
Mendengar jawaban itu, Gawain gemetaran. Meskipun ia abadi dari penuaan, tapi Gawain tak abadi dari kematian cepat. Ia memang bisa menyambung kembali bagian tubuh yang putus dengan Alkemi tingkat tinggi, tapi tetap saja ia akan kalah bila seseorang bisa menghancurkannya dalam sekali serang.
Katakanlah ia tertikam tepat di jantung, selama ia sadar, ia bisa merekontruksi jantung itu dengan mengubah batu arang di tangannya menjadi bagian yang hilang, lalu menaruhnya dengan perlahan. Tapi, bila tubuhnya meledak seketika tanpa sisa secuilpun, maka ia benar-benar tamat. Ia tidak seperti Penyihir Abadi lainnya yang masih hidup meskipun tubuhnya tercacah, ia hanyalah manusia biasa yang ketepatan saja bernyawa separuh Penyihir Abadi.
“Gawain!” tegas Hartein sembari melempar benda bersinar dari tangannya. Dengan tangkas, Gawain menangkap benda itu lalu melihatnya sejenak. Itu anting kesayangan Hartein yang tersemat di telinga kanannya. Saat menerima itu, Gawain tahu apa yang dimaksudkan Hartein.
Lengan-lengan maut itu sudah menjalar menuju tiang dan mematahkan palka utama serta meremukkannya menjadi berkeping-keping. “Muntahkan meriam kalian!” tanpa diperintah pun, sesungguhnya semua kru kapal ingin sekali menembakkan meriamnya. Karena meriam itu benar-benar menempel dengan lengan gurita, tentu saja mereka tak akan meleset dan tentunya akan menyakitkan.
Dum! Dum! Dum! Tembakan meriam itu menghanguskan lengan-lengan gurita itu. Sebagian putus tenggelam ke laut, sebagian meledak tanpa menyisakan apapun, sebagian hangus terbakar. Gemuruh terdengar bergejolak di bawah. Dilihat dari arusnya, tampaknya gurita raksasa ini sedang berenang menuju dasar laut, mundur sejenak setelah mengetahui musuh yang ia lawan lebih kuat dari yang ia kira.
“Apa kita berhasil?” tanya Kurish dengan ragu-ragu.
“Tidak... hanya.... bertambah.... marah!” balas Parsha dengan kecemasan yang tak dapat ia sembunyikan lagi.
Melihat Parsha yang cemas itu sudah mampu menggoyahkan hati dan nyali kelasi yang lain. Di saat itu, Gawain berdiri di atas papan peti kosong dan mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. “Siapkan semua rum dan mesiu yang tersisa di geladak! Masukkan semuanya menuju jaring ikan dan gantung tinggi-tinggi! Kita akan ledakkan monster ini!” teriak Gawain dengan lantang.
Para kru kapal sudah tak berpikir. Semuanya bahu membahu mengangkat tong-tong alkohol dan mesiu dari palka kapal menuju geladak. Saat di sana, mereka mengikatkannya menuju tiang layar sekunder yang telah patah setengah. Tidak terlalu tinggi dan itu berbahaya bila meledakkannya.
Lima belas menit bekerja, semuanya telah siap. Usainya pekerjaan mereka dibarengi dengan kembalinya gemuruh menakutkan. Saat Gawain ditanya hal apa yang harus dikerjakan, ia menjawab lantang, “turunkan sampan! Kita tinggalkan kapal! Mendayunglah untuk mentari esok!”
Ketika mendengar itu, semua kelasi terdiam. Banyak dari mereka bertanya-tanya mengapa melakukan hal selaiknya pengecut; lari dari medan perang. Salah seorang dari mereka maju, mengangkat keraj jubah Gawain lalu meledeknya, “rupanya wakil kapiten baru ini amat penakut untuk mati, ya? Kau memang tak pan—”
Cring! Sebuah cutlass teracung ke kelasi kurang ajar itu. Orang yang mengacungkannya adalah Parsha. Dengan nada yang masih gemetaran, ia angkat bicara, “perintah kapten... mutlak!”
“Dia bukan kapten! Dia hanya anak beruntung yang diangkat menjadi wakil kapten! Kapten kita masih berada di depan kemu—”
Dor! Kali ini Kurish yang sedari tadi bergelagat tak sabaran berbicara. “Lihatlah telinga kanannya, Hosil.” Mata Hosil menelisik benda yang tersemat di telinga Gawain. Itu anting kebanggaan Hartein sebagai kapten. Dalam tradisi pelaut, anting adalah benda yang berharga. Di sana, banyak dari pelaut menulis nama mereka, asal lahir mereka, dan di mana mereka mau dikuburkan. Hosil yang sudah lama mengenal Hartein sebagai kelasi senior tahu maksudnya; Gawain diangkat menjadi kapten untuk melanjutkan perjalanan.
“TURUNKAN SAMPAN!” teriaknya dengan keras juga diikuti Kurish dan Parsha. Dalam tiga menit yang tampak sempit dan menegangkan, sampan-sampan sudah turun dan beberapa orang sudah menaikinya. Jumlah sampan hanya dua puluh dan tiap sampan hanya mampu menampung enam orang dewasa. Memang tidak sebanding dengan jumlah satu armada penuh, tapi mengingat sudah banyak pelaut pemberani yang meregang nyawa, hanya lima belas sampan sajalah yang diturunkan.
Beberapa sampan sudah bertolak dari Fortuner, kapal yang akan tenggelam ini. Hanya beberapa orang sajalah yang masih memilih tinggal. Orang-orang itu adalah Hartein dan beberapa kelasi senior yang memilih menjadi umpan demi keselamatan yang lain. Gawain awalnya ragu untuk meninggalkan kapal. Bukan ia meragukan nyawanya—ia sudah punya cara tersendiri untuk lolos dari mulut maut kraken—tapi ia meragukan tanggung jawab yang akan ia emban kali ini.
Selama ia menjadi wakil kapten, ia sering meminta saran dari Hartein untuk mengambil keputusan. Tapi ketika ia membalikkan pandangannya, ia mendapati wanita pemberani dengan sepucuk karbin di tangan dan setangkai cerutu yang menyala membara mencerminkan hatinya. Di balik mata merah wanita itu, Gawain tahu bahwa Hartein cemas akan kematian yang menyongsongnya. Tapi di balik mata yang sama, Gawain mengenali kecemasan akan kematian dikalahkan oleh kecemasan akan tanggung jawab yang tak terselesaikan.
“Cepatlah Gawain!” Abi mendorong tubuh Gawain hingga tersungkur ke sampan di bawah mereka. Dengan busur perak serta dua lusin panah tersemat di punggung, Abi meluncur mulus selaiknya tupai turun dari pohon. Parsha yang telah menunggu mereka segera mendayung mengikuti yang lain. Gawain memegangi tongkatnya, berjaga-jaga bilamana mereka diterkam tentakel kraken. Kali ini, mereka sasaran empuk. Dengan pertaruhan pada keberuntungan semata, mereka seperti prajurit yang perlahan merangkak di lintasan penuh ranjau darat yang bisa-bisa saja meledak hanya karena sentuhan kerikil.
Di depan kemudi Fortuner, Hartein hanya mengamati dengan lega bahwa sebagian besar kelasi akhirnya menurut pada perintah Gawain dan kembali melanjutkan perjalanan, tapi ia juga bersyukur masih ada beberapa orang yang tak mau meninggalkannya. “Kalian... memang orang-orang terbodoh yang kukenal... jangan salahkan aku bila kalian membusuk di loker Davy Jones...”
Semua kelasi membalasnya dengan tertawa lebar. Banyak dari mereka adalah kelasi-kelasi bekas kapal karam sebelumnya. Beberapa kehilangan kaki, tangan, mata. Ada satu-dua orang yang kehilangan setengah badannya dan memilih tinggal demi menyongsong kematian. Ada yang menyerah tanpa alasan yang berarti. Yang jelas, mereka menemani kapten mereka.
“Baiklah, kita tunggu mangsa kita di sini!” Hartein mengirim tembakan menuju udara diikuti yang lain, mencemooh kraken untuk segera datang dan bertarung secara jantan.
Lagi-lagi, terdengar suara gemuruh. Berbeda dari sebelumnya, gemuruh kali ini lebih mencekam dan mengancam. Ombak dan arus air mulai berubah dan naik, hingga-hingga sampan yang Gawain tumpangi terjungkir terbalik. Tentunya Gawain panik, tapi ia memilih menenangkan dirinya dengan melebarkan tubuhnya dengan posisi terlentang, membiarkan gaya angkat air membuatnya terapung bebas mengikuti arus air.
Ia tidak punya pilihan lain. Jika saja ia berenang cepat dan tergesa-gesa, bisa jadi ia diterkam dan ditarik menuju gelapnya lautan. Abi dan Parsha mengikuti tingkah laku Gawain. Lalu dengan keberuntungan murni, kepala Gawain tertumbuk sampan pelaut yang lain. Mereka menolong ketiganya, dan kembali mendayung menjauh dari arena pertarungan.
Krak! Terdengar lenguhan keras dari kayu-kayu yang berderak pecah. Dari kejauhan, orang bermata tajam seperti Abi menyaksikan pertarungan yang mengerikan. Puluhan tentakel berukuran raksasa tampak mencabik-cabik kapal. Di tengah kecamuk itu, terdengar pula suara senapan yang memuntahkan peluru bersahutan. Di tengah-tengah geladak, tampak beberapa sinar menari-nari di tengah seseorang. Itu Hartein dan pedang langitnya. Ia berkonsentrasi penuh mencabik musuh dan menembakinya dengan cekatan dan akurasi yang tepat meskipun kehilangan salah satu matanya.
Berkali-kali ia harus menghindari gerakan ganas tentakel itu. Lama-kelamaan, staminanya terkuras karena ia harus berkonsentrasi mengendalikan pedang langit, bidikan pedang, pijakan, dan hindaran secara bersamaan. Lima menit penuh tegang, akhirnya ia mulai tersandung dan tersungkur.
Crat! Kali ini tentakel itu menembus tubuh Hartein yang lemah itu. Seketika itu pula, ia kehilangan kontrol atas pedang langit. Tubuhnya melemas, ia tak bisa menggerakan seincipun jarinya. Hartein melihat sekitar, mendapati bahwa kapalnya ini sudah siap tenggelam. Air asin sudah mengisi sebagian besar lambung kapal, bahkan ujung jari kakinya samar-samar sudah terasa basah. Dari yang Hartein ketahui melalui matanya yang buram, ia tahu bahwa ia adalah yang terakhir.
Ingin rasanya ia mengangkat tangannya untuk membidik dan menembak semua tong-tong penuh mesiu dan alkohol itu. Ia tersenyum pahit. Ia memang bisa mengulur waktu agar kawanan yang lain dapat kabur, baik dari kraken itu sendiri dan juga radius ledakan yang besar. Tapi keadaannya yang sekarat saat ini tidak bisa berbuat banyak. Dengan doa penuh syukur, ia menutup mata menghadap mulut jurang hitam yang menganga di depan matanya sendiri.
Tumpukan tong-tong itu sudah tepat di depan mulut kraken. Hanya satu tembakan dan kraken itu akan hancur berkeping-keping. Tapi sayang Hartein tak bisa menembaknya, ia sudah tak kuasa bertugas.
Langit tampak bergemuruh. Sebuah badai tiba-tiba datang entah dari mana. Air hujan yang dingin menetes dari langit, menghujam penuh menuju lautan yang juga tak kalah beringas. Petir-petir juga mulai menghujam ganas. Satu dari mereka berhasil meledakkan tentakel yang menusuk Hartein di perut. Kraken tampak mengamuk dan kembali membabi buta, tapi naluri Hartein yang tajam memaksa tubuhnya bergerak lagi. Wanita itu memanjat pilar tiang yang separuh tenggelam dan menaikinya ke ujung. Dengan langkah tertatih-tatih sembari memegangi perutnya yang berdarah-darah, ia mengamati dari kejauhan sampan-sampan yang mengambang di ambang cakrawala utara di matanya.
Tapi, ada satu sampan yang tertinggal. Di sampan itu, terlihat seorang pria muda memegangi tongkat sihirnya yang bercahaya biru. Dengan mata menyipit, Hartein tahu bahwa itu Gawain. “Jadi, kau bahkan bisa mengendalikan cuaca ya... memang hebat anak ini...”
Di sisi lain, Gawain berteriak kepada kru lain untuk mendekat agar ia bisa lebih mudah membidik dan mengarahkan petir agar tepat mengenai kraken. Dengan ragu-ragu, Parsha menurutinya tapi hanya lima ratus depa, selebihnya ia tak berani menyia-nyiakan pengorbanan kawan mereka dengan mati konyol karena mendekati medan tempur.
Karena Gawain tak bisa membidik dengan akurasi yang tepat, ia meminta arahan Abi untuk membantunya. Abi menurut. Ketika berusaha membidik, Abi mengamati Hartein yang berdri bersandar tiang rubuh. Dari gerakan tangannya, tampaknya Hartein ingin menyampaikan suatu hal. Abi memicingkan matanya, mencoba membaca gerakan mulut Hartein yang patah-patah itu.
“Tongnya! Bilang pada Gawain si keparat itu untuk membidik tongnya!”
Abi diam sesaat dan ragu sejenak hingga suara Gawain mengejutkannya. “Di—na letak si guri— itu.” Karena gemuruh guntur yang bersahutan, suara Gawain tampak terputus-putus.
“Lima derajat ke kanan, naik satu klik!”
Gawain mengangguk mantap, menyuruh Florence untuk sekali lagi merapal mantra petir. Mantra itu panjang, tapi Gawain masa bodoh dengannya. Ia hanya perlu fokus mengumpulkan mana ke tongkat pemberian Hefias dari Desa Tulious itu, menjaga bidikannya, lalu membiarkan Florence melakukan sisanya. “Semuanya bersiap! Petir kali mungkin puluhan kali lebih kuat daripada sebelumnya!”
Awan hitam di atas kepala Hartein tampak menggumpal menjadi satu. Sebersit kilatan berwarna hijau ke biruan terlihat sekilas lalu lenyap ditelan awan. Itu kilatan dari udara yang terionisasi, mengandung jutaan energi listrik dan siap melesat menuju target. “Éclair!”
Sries! Saking kuatnya, bahkan suara gesekan antara petir dan udara terdengar nyaring. Saat sampai di target yang dimaksud—tumpukan peti-peti berisi berton-ton mesiu dan puluhan tong berisi alkohol, sebuah ledakan masif terjadi. Cahaya dari ledakan itu amatlah terang menyilaukan mata, juga suara dan daya kejutnya mungkin membuat semua orang tuli.
Gawain dan kru kapal lain terlempar jauh. Pertarungan sudah berakhir dengan kru armada Hartein menjadi pemenanganya. Dari kejauhan, beberapa kru kapal yang menyaksikan aksi heroik Gawain bersorak-sorai, tak mengetahui bahwa tubuh lemas Gawain terlempar dan akan tenggelam kapan saja.
Tapi sebelum ia benar-benar tenggelam, Parsha meraih tangannya, mengangkatnya kembali menuju sampan dan membaringkannya. Wajah pria muda itu pucat pasi. Suhu tubuhnya turun, juga degup jantung dan pola napasnya. Tapi ia masih hidup—sebuah keajaiban tersendiri ia masih hidup setelah merapal mantra sebesar itu.
Orang kedua yang kembali ke sampan adalah Abi disusul dengan kru kapal lain. Parsha adalah orang yang bodoh jika dibandingkan dengan Kurish, tapi ia adalah pria lembut dan pintar membaca hati seseorang dari gerak-gerik dan tingkah lakunya. Dari air muka Abi, ia tahu bahwa gadis ini cemas akan keadaan Gawain. Maka dari itu, ia dengan kasar menyuruh kru kapal lain untuk pindah ke sampan kosong di dekat mereka. Ketika ditanya mengapa, ia menjawab, “adakah... kalian... yang... mengobati?”
Kru kapal yang memahami kosa kata Parsha itu menggeleng lemah. Tidak ada dari mereka yang bisa mengobati Gawain—hanya Gawain sajalah tabib armada yang masih hidup. “Biarkan... Si Pembawa Lentera... mengobatinya!” dengan anggukan seolah-olah mengerti, kru kapal yang lain itu menurut saja. Selang beberapa menit, Parsha juga ikut-ikutan pindah; ia tak mau jadi orang tersisihkan jika Gawain dan Abi mulai berbicara.
Abi menunduk berterima kasih pada Parsha yang pengertian. Selepas Parsha pindah, ia mengobati Gawain. Tidak ada luka, hanya kelelahan yang berlebih. Jika luka gores, ia dapat mengobatinya dengan bantuan balsam tumbuk. Tapi kalau luka semacam ini, ia perlu bantuan peri untuk mengobatinya. Karena kejadian semacam ini, peri laut tidak memberanikan diri untuk menerima panggilan Abi. Jadi, Abi menyerahkan perannya untuk mengobati Gawain kepada waktu yang terus berdetak.
***
Gawain terduduk di sebuah altar pemujaan bernuansa putih. Di sana, Florence sedang duduk menunggunya. Ah, Gawain tahu bahwa ia masih berada di alam bawah sadarnya. Ia mengeluh tertahan, ia tak bisa keluar semaunya sendiri ketika di sini. Jadi, ia menghampiri Florence yang terduduk di barisan kedua, duduk di sebelahnya, dan berdoa sejenak pada Dewi Hestias yang dipatungkan di depan mimbar.
“Bagaimana keadaan Anda?” tanya Florence.
“Baik-baik saja...”
Florence mendengus kesal, “Anda tahu bahwa Anda bukan penyihir murni. Lebih tepatnya, Anda penyihir terimbas—penyihir gadungan dalam kata lain. Kekuatan Anda tidak murni, Master. Dan ketidakmurnian kekuatan membutuhkan bayaran... Anda masih ingat bukan bayaran yang kumaksud...?”
“Ingatan...” jawab Gawain ragu-ragu. Sesuai dengan apa yang dijelaskan Florence sebelumnya, ingatan adalah hal yang paling Gawain hargai. “Tapi kuingat kau berjanji tak mengambil ingatanku... apa itu bohong?”
“Tidak. Tapi aku terpaksa, Master.”
Gawain memegangi kepalanya, takut bahwa ada memorinya yang janggal dan tumpang tindih. Ia mulai mengingat-ingat masa kecilnya, hal yang ia pelajari, perjalanannya ketika berpetualang dan sebagainya. Melihat itu, Florence menepuk punggungnya untuk tenang. “Ambillah belati dan pedang Anda, Master,” suruhnya.
Gawain tak banyak tanya. Ia mengambil belati hitam dari sabuknya. Seperti yang ia ingat, di sana ada nama aslinya. Ia mengangguk penuh yakin bahwa ia masih ingat itu. Lalu ia mengambil tongkat sihirnya, menarik pelatuk dan gagang bermekanisme rumit, lalu mendapati sebilah pedang hitam yang bertorehkan namanya.
Ditilik dari ekspresi Gawain, Florence menghiburnya, “lihat? Master masih ingat bukan? Jika Master merasa lupa atau bingung, ingatlah jurnal. Alasan mengapa ayah Anda menulis jurnal adalah ketakutan; ia takut bahwa ada sepenggal memorinya terhapus karena kekuatan yang ia minta. Dan itu benar nyatanya. Ia lupa fakta bahwa sejatinya kau bukan darah aslinya dan menganggap serta menyayangi dirimu sebagaimana mestinya. Tapi, setelah ia menelaah buku jurnalnya kembali, ia mulai teringat.”
“Jadi kau berkata bahwa ingatan yang hilang dapat dikembalikan?”
“Tidak, aku tidak berkata seperti itu. Kutekankan, ingatan yang lenyap tidak pernah kembali. Lalu apa yang terjadi pada ayahmu, Anda tanya? Jawabannya mudah, ia menganggap tulisan di jurnalnya ini benar. Jadi, ia menggunakan jurnal itu sebagai dasar ingatannya. Apa Master mengerti?”
“Pantas saja jurnalnya itu tebal dan penuh detail...” gumam Gawain. Kini ia membuka jurnal ayahnya yang lusuh dan mulai tak berbentuk itu. Di sana tulisannya yang kabur masih dapat Gawain baca samar-samar. Ia mendengus pelan, tak menyangka bahwa ia akhirnya akan menulis sebuah buku jurnal.
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Florence. Kau repot-repot memanggilku ke sini untuk memperingatkanku.” Merasa tujuan pertemuan mereka usai, Gawain memilih beranjak dan berjalan menuju pintu keluar. Tepat sebelum ia mendorong pintu raksasa altar, ia menoleh menyampaikan pesan, “omong-omong, terima kasih membuatkanku belati dan pedang ini! Awalnya aku sedikit tersinggung mengapa kau menulis nama lamaku di sini, tapi jika kutahu dari awal tujuannya untuk membuatku ingat selalu akan diriku sendiri, maka aku tak perlu repot-repot marah padamu!”
“Bukan aku yang membuat—” Gawain tak mengindahkan Florence, malahan ia lekas menghilang di balik pintu altar, meninggalkan Florence di alam bawah sadar. Gadis itu berdiri terpaku. Perlahan ia menelan ludah, “ingatannya mulai lenyap sebagian dan bertumpang tindih satu sama lain... ini lebih mengerikan daripada kehilangan memori.”
Mengapa lebih mengerikan? Mari kita buat permisalan untuk menjawabnya. Misalkan Gawain sudah menulis jurnal. Untuk beberapa alasan ia kehilangan beberapa penggalan ingatan, tapi penggalan ingatan yang lain saling bertumpang tindih, seakan-akan mencoba mengisi bagian yang hilang. Alhasil, ingatan versi baru tercipta. Sekilas tampak tidak menakutkan. Tapi mari kita berpikir lebih jauh.
Katakanlah Gawain yang ingatannya tumpang tindih itu membaca jurnal hidupnya. Nah, untuk kasus Loth, ia akan percaya betul dengan apa yang dikatakan jurnal itu dan membuatnya menjadi ingatan yang baru. Tapi untuk kasus Gawain, ia akan ragu dan bertanya-tanya mengapa ingatan yang ia miliki berbeda dengan yang tertulis? Berawal dari keraguan, lama-kelamaan tumbuh menjadi sangkalan. Perubahan yang kecil secara berulang-ulang dapat menjadi hal yang besar. Dan Florence, tidak pernah tahu akan hal apa yang akan terjadi pada Gawain. Entah ia akan menyangkal terus-menerus hingga Gawain berubah menjadi pribadi yang lain, atau sebuah keajaiban datang dan membuat Gawain tetap seperti sedia kala.
ntap
Comment on chapter Fiveteen: Persona