Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Kabar bahwa Gawain diangkat menjadi wakil kapiten armada menimbulkan api kecemburuan bagi seluruh anggota yang lain kecuali kelasi yang mengenalnya di kapal utama. Berita yang tiba-tiba muncul itu membuat semua kepala pasukan dan juru mudi di kapal lainnya bertanya-tanya tentang alasan logis mengapa pemuda baru sepertinya diangkat menjadi wakil kapten armada.

   “Dia orang yang cerdas dan kuat dari cecunguk seperti kalian!” jawaban Hartein malam itu seperti menyiram minyak ke atas api. Agar menenangkan amukan para kelasi, Hartein menawarkan hal lain yang membuat semua orang tercengang. “Jika kalian tak mempercayai kekuatannya, Parsha akan mengujinya dengan pedang sementara Kurish mengujinya dengan pikiran. Bagaimana?”

   Gagasan itu menyeruak cepat. Pada paginya, mereka merubah haluan beberapa derajat hanya untuk mencari pulau tak berpenghuni. Gawain tidak merasa gugup atau gemetar. Baginya, pertarungan antar petualang untuk menunjukkan superioritas adalah hal yang biasa baginya. Jika adu otak, ia sudah merasa mumpuni untuk melawan Kurish dalam berbagai hal. Namun Gawain bimbang. Ada dua poin mengapa ia bimbang: ia belum pernah bertarung dengan pedang dan ia kalah pengalaman bila dibandingkan Kurish dalam melaut.

   Karena merasa tak diunggulkan, ia mengajukan syarat. Untuk adu pedang, ia meminta bahwa senjata yang digunakan tidak hanyalah pedang. Ia meminta bahwa ia deperbolehkan untuk menggunakan belati dan tongkat sihirnya, sementara untuk adu otak, ia meminta pertandingan yang diadakan nanti tidak menguji pengalamannya. Hartein menyetujuinya dengan cepat, tapi masih banyak yang komplain.

   “Makanya kubilang kalian cecunguk tak pandai!” hardik Hartein. “Dia manusia berusia dua puluh tahun sementara Kurish elf berumur satu abad! Jelas kalian bodoh bila membandingkan pengalaman antar keduanya. Poin kedua, dia seorang penyihir! Hei, jika kalian menyuruh penyihir mengayunkan pedang, itu sama saja menyuruh ikan untuk terbang!” suara Hartein yang menggelegar itu menyayat hati tiap anggota. Setelah mereka berpikir-pikir dengan tenang, mereka mengangguk setuju dan menyatakan bahwa pengajuan Gawain itu adil.

   Matahari sampai di tahta tertingginya ketika mereka menginjakkan kaki di pasir putih pada pulau kecil tak berpenghuni. Pulau itu kecil, hanya berdiameter sebesar lima puluh depa dengan sedikit pohon palem-paleman yang tumbuh, cocok sekali sebagai arena pertarungan. Syarat menjadi pemenang sederhana: kalahkan musuh hingga menyerah atau lempar dia perairan.

   Dua sampan turun dari kapal utama, membawa masing-masing dua orang. Satu sampan berisi Kurish dan Parsha sementara yang lain membawa Abi dan Gawain. Ketika turun, Gawain mengambil posisi di utara dan Parsha di selatan. Peran Abi dan Kurish di sini sebagai saksi dengan alasan karena keduanya dikenal adil dan tak berpihak pada siapapun. Setelah melakukan sumpah sebagai saksi, Abi memanggil peri laut untuk membantu mengawasi pertarungan sedangkan Kurish mengambil posisi di tengah.

   “Setelah tembakan ini, kalian resmi berduel dengan aturan yang telah disebutkan. Kalian sudah siap?” Parsha menghunuskan pedangnya dan Gawain memegang tongkatnya bersiaga. Dor! Suara gelegar mesiu terdengar nyaring di seluruh armada. Pertarungan dimulai.

   Kelemahan penyihir dalam pertarungan semacam ini adalah penggunaan mantra yang panjang dan berbelit. Banyak dari mereka tak bisa menyelesaikan mantranya karena sudah tertikam dan tertebas. Tapi Gawain tak merasa gentar sekalipun, karena ia punya orang lain untuk merapalnya. Iya, Florence adalah penyihir yang dimaksud.

   Gawain tak usah pusing-pusing merapal mantra, ia hanya perlu fokus menghindari serangan atau menangkisnya. Pertarungan itu menjadi sengit. Gawain berkali-kali mengirim serangan berupa pasir yang dibentuk menyerupai peluru pistol, berkali-kali pula ia menghindar ayunan pedang maut Parsha. Sepuluh menit duel telah berlangsung, mereka bernapas dengan terengah-engah.

   Jika dengan adu kekuatan murni, Gawain sudah kalah sedari tadi. Tapi berkat aturan bebas, Gawain tidak perlu repot-repot meladeni Parsha secara langsung. Tangannya terkepal, giginya bergemeretak, meskipun ia sudah menembak Parsha berkali-kali, pria ogre itu tidak bergeming sedikitpun. Malahan, peluru batu pasir yang ia tembakkan terpental ketika menumbuk otot-otot Parsha.

   Gawain mengangkat tangannya. Banyak kelasi yang mengira ia menyerah, tapi ketika melihat Parhsa juga mengangkat tangan, mereka kembali diam. “Istirahat...lima menit...” tukas Parsha.

   Gawain melempar tubuhnya ke pasir yang. Abi cepat-cepat datang dengan membawa sekantung air untuknya minum. Air itu menyegarkan walaupun sedikit asin tercampur garam. Itu buruk, jika ia mengakumulasi garam berlebihan itu sama saja membunuh dirinya secara perlahan. “Maaf Gawain. Kita tak punya waktu banyak. Kau harus kembali bertarung.” Dengan tarikan cepat, Gawain kembali berdiri dengan kakinya.

   Pertarungan kembali dimulai.

   Kali ini Gawain menggunakan beragam mantra. Mulai dari sengatan petir, semburan api, lecutan air, bahkan duri-duri pasir. Pertarungan menjadi lebih sengit dan seru. Beberapa kelasi mulai memasang taruhan pada siapa yang menang. Dilihat dari pengalaman, Parsha lebih unggul dengan pertarungan jarak dekat, tapi Gawain yang cerdik, lincah, dan mampu merapal mantra dengan cepat juga menjadi pertimbangan siapa yang harus mereka pertaruhkan. Karena tertarik, Hartein juga bertaruh botol anggur terbaiknya yang ia simpan di laci rahasia.

   Pertarungan kali ini berlangsung lebih lama. Setiap menit terasa panjang bagi keduanya, namun terasa cepat bagi para penonton. Ketika jam pasir tiga puluh menitan habis sudah, keduanya mengangkat tangan beristirahat selama sepuluh menit. Gawain sudah kehabisan stamina. Bagaimanapun, kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan Parsha. Tapi bukan kekuatan sajalah yang menjadi kunci kemenangan.

   Saat Gawain mencakari pasir karena berusaha bangun, ia menyadari bahwa kandungan pasir itu banyak mengandung garam mineral. Saat mengendus baunya, lalu melihati suburnya palem yang tumbuh, ia akhirnya tersenyum lebar penuh kemenangan. Garam mineral saltpetra terlihat melimpah ruah di pulau kecil ini. Dalam ilmu alkimia, saltpetra sering kali digunakan untuk menggantikan peran mesiu sebagai peledak skala kecil dalam percobaan. Dengan campuran tertentu, saltpetra bahkan dapat menggantikan lampu spiritus yang berperan vital dalam ratusan percobaan.

   “Abi, sampaikanlah pada Kurish untuk keluar dari sini...”

   Abi yang tak banyak tanya segera berlari menuju Kurish. Setelah berbicara sejenak, mereka akhirnya menurut dan memilih mendayung sampan mereka menjauh. Sama seperti sebelumnya, pertarungan dimulai lagi ketika mesiu pistol Kurish meledak.

   Beda dengan duel sebelumnya, kali ini Gawain yang maju terlebih dahulu. Ia tidak menggunakan tongkatnya, melainkan maju dengan belati terhunus ganas. Siulan terdengar riuh-rendah di geladak kapal. Semua orang kini ingin rasanya melihat pertarungan dari dekat. Gawain yang berkelit lincah dengan belati hitam mendebarkan hati semua orang. Gerakannya yang tajam, luwes, serta elegan itu membuat satu pertanyaan di semua orang.

   “Pemuda itu benar seorang penyihir? Bagaimana bisa ia selincah itu?” gumam hampir semua orang.

   Parsha tak bergerak bebas. Setiap ia mengayunkan pedang, Gawain dapat menghindarinya dengan mudah dan dibalas dengan sabetan belati. Ia mulai geram. Warna kulitnya kini berubah menjadi hijau gelap. Dengan kekuatan berlebih, ia berhasil membalas serangan Gawain dengan menggores lengan kirinya. Gawain terguling. Tangannya mencengkeram tanah. Seringai tipis penuh kemenangan terukir di sana, mengejek Parsha yang naik pitam.

   Pria ogre itu berlari. Gawain yang mengetahui ini maju. Ia lebih lincah. Meskipun tangannya terluka, tapi ia mampu bergerak secara akrobatis, melompat ke sana kemari sambil melihati celah terbuka dari pertahanan Parsha. Suatu kesempatan, Gawain hampir berhasil menikam titik buta Parsha yang terletak di lehernya. Sayang ia meleset dan hanya mengenai bahu kanan Parsha. Karena berontak, Gawain tak sempat menarik belatinya, kini ia hanya menggunakan sepasang tangan tanpa senjata apapun.

   “Berakhir sudah, anak kecil!” ungkap Parsha dengan bahasa ras ogrenya.

   Gawain yang tahu bahasa itu membalasnya dengan bahasa yang sama, “ini belum berakhir, Parsha!” dengan seruan itu, ia merangsek maju. Ayunan pedang Parsha melambat berkat bahu yang terluka, membuat Gawain lebih mudah menghindarinya. Ia meluncur ke belakang punggung Parsha dan menaikinya, lantas mencabut paksa belati tersebut dan melompat berguling. Parsha mengerang kesakitan. Ia kini berbalik mengejar Gawain, tapi pemuda itu tak berhenti sampai sana.

   Ia menyarungkan lagi belatinya, lalu melempar setangkup pasir yang sudah ia rapali mantra. Itu trik kotor. Tapi orang semacam Parsha yang berpengalaman lama tak akan jatuh dengan trik semudah itu. Gawain memanfaatkan sepersekian itu untuk berlari meraih tongkatnya lalu cepat-cepat memanjat pohon palem terdekat yang ia temui dan melompat anggun ke atas.

   Pegangan tangannya ke tongkat tidak seperti penyihir pada umumnya. Ia memegangnya seolah-olah membidik dengan karbin. Tepat di ujungnya, sepucuk api kecil tertembak cepat. Dari ukurannya, api itu tak akan menggores Parsha sedikitpun. Lagipula, lintasan api itu meleset jauh. Semua orang, bahkan Parsha kecewa dengan usaha Gawain.

   “Akulah pemenangnya...” gumam Gawain ketika melayang di udara.

   Boom! Arena pertarungan itu meledak. Tubuh Gawain terlempar menuju batu karang dan langsung tak sadarkan diri ketika kepalanya terbentur. Di sisi lain, tubuh Parsha yang sebagian besar hangus itu terlempar ke perairan. Ia masih sadar, tapi peraturan menyatakan bahwa orang yang kalah adalah orang yang menginjak perairan.

   Sorak sorai juga suara meriam-meriam ditembakkan meramaikan siang itu. Abi dan Kurish cepat-cepat menyusul Parsha yang hampir saja tenggelam dan Gawain yang sekarat. Menang jadi arang kalah jadi abu; itulah pribahasa yang cocok menggambarkan keadaan mereka. Saat sampai, Gawain langsung ditandu menuju kabin kapten dan dirawat, sementara Parsha memilih duduk menyendiri di buritan.

   Dua jam menunggu dan Gawain akhirnya siuman. Hartein menyambutnya dengan belaian halus pipi. “Kau memang gila seperti ayahmu! Tak memikirkan risiko apa yang ditanggung oleh nyawamu sendiri! Tak sadarkah kau bahwa tubuh rasmu itu paling lemah dan paling berumur pendek dari semua ras!” tegasnya.

   “Anda tidak perlu khawatir, Kapiten. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Jadi, tenanglah.” Gawain beringsut bangun, “masih ada satu pertandingan, bukan?” ia lekas-lekas mengenkan pakainnya lagi lalu pergi menuju geladak. Di sana, semua kelasi menyambutnya, memberinya ucapan selamat dan kalimat tak percaya bahwa ada seorang lain yang sehebat Hartein.

   Demi mendengar keramaian, Parsha lekas-lekas kembali dan menemui Gawain. Kerumunan yang mengerubungi Gawain bubar tanpa ada yang mengomando, membiarkan dua pria itu saling tatap muka. Perangai kasar Parsha juga dengan tubuh gelapnya karena terpapar matahari dan luka hangus itu menggetarkan siapapun yang melihatnya, apalagi Gawain. Tapi, demi kehormatan Parsha dan pasukan lainnya, Gawain menatap lurus Parsha.

   Parsha hanya diam. Sekonyong-konyong ia bertekuk lutut lalu menundukkan kepalanya. Kelakuannya yang tiba-tiba itu menimbulkan keterkejutan bagi semua anggota yang lain. Dengan kalimat terbata-bata, juga gemetaran, ia berkata, “kuakui... kalah! Pantas... menjadi... kapiten!”

   Kerumunan tadi dengan bangga mengangkat tubuh Gawain dan melemparkannya ke atas sembari bersorak “Hidup Eias!”. Mereka tak menyangka bahwa pemuda yang satu ini dapat mengalahkan orang terkuat se armada, juga terkuat dari rasnya. Mereka tidak menganggapnya licik meskipun menggunakan trik-trik payah; mereka menganggapnya kekuatan yang berbeda level. Lagipula, semua kelasi akhirnya memahami konsep “jangan menyuruh ikan untuk terbang.”

   Pada malamnya, digelar pertandingan selanjutnya. Kurish mengatakan bahwa permainan adu otak ini terdiri dari tiga pertandingan. Satu pertandingan ditentukan oleh Gawain, satu oleh Kurish, dan satu terakhir ditentukan oleh suara terbanyak dari kerumunan. Semuanya setuju dengan ide tersebut.

   Giliran pertama jatuh ke Kurish yang mengumumkan dengan bangga permainan yang akan dimainkan adalah hasil ciptaannya sendiri. Itu tidak curang karena keduanya tidak berpengalaman dalam permainan yang baru tersebut. Permainan kartu ini ia sebut dengan nama “unos”.

   Satu dek kartu penuh terdiri dari sekitar seratus kartu. Sama seperti remi, tiap jenis kartu terdiri dari empat macam. Sebenarnya Kurish ingin memberi logo khusus untuk menandakan tiap jenis kartu, tapi ia tak punya sebanyak itu. Jadi, empat macam kartu itu diwarnai dengan warna merah, biru, kuning, dan hijau. Adapula kartu khusus berwarna hitam dengan tanda “+4” dan “+2” yang berwarna-warni; keduanya dapat menambah kartu lawan. Aturan mainnya sederhana, siapa yang dapat menghabiskan kartu lebih cepat ia yang menang.

   Pertama-tama, Gawain tidak memahaminya, tapi setelah bermain sebentar ia paham. Semua mata tertuju pada tumpukan kartu di atas peti kayu yang disulap menjadi meja permainan. Dari tatapan kosong semua mata itu, mereka jelas-jelas tak tahu aturan mainnya. Tapi mereka bahagia; mereka hanya cecunguk bodoh yang bahagia karena tanggungan pikiran yang sedikit. Pelajaran moriil kali ini untuk Gawain: jika ingin bahagia, jadilah orang bodoh.

   Karena menggunakan trik-trik curang juga aturan yang ambigu, Gawain kalah tipis dari Kurish. Itu tak apa, masih ada kesempatan baginya untuk menang. Maka dari itu, di pertandingan kedua Gawain memilih permainan catur. Kurish mengangguk ragu-ragu, tapi memberanikan diri untuk setuju.

   Permainan catur berlangsung sengit. Kurish yang cepat paham dan berkembang hampir mengalahkan Gawain ketika ia mampu menyingkirkan ratu Gawain. Tapi itu tak apa. Gawain malahan menunggu kesempatan itu, membuat Kurish terlalu fokus hingga tak melihat bidak milik Gawain sudah sampai di garis belakang pertahanan Kurish. Sesuai dengan peraturan, bidak itu bisa dipromosi sesuai dengan kehendak Gawain.

   “Itu curang!” seru yang lain.

   Tapi semua bungkam ketika Kurish menembakkan peluru ke langit. Itu pistol yang sama ketika digunakan pertandingan tadi. Suaranya yang memekakan telinga itu, juga air muka Kurish yang menegang cukup membuat semua orang bergidik. “Tidak, itu tidak curang. Peraturannya mengatakan seperti itu.” Matanya berkilat tajam, “jadi, siapa yang kau ambil?”

   “Aku ingin istriku kembali,” goda Gawain dengan seringai licik. Kurish yang mengalami nikah-cerai berkali-kali naik pitam. Ia kasar memberi ratu Gawain di tempat di mana bidak tadi mendarat. Beberapa menit bermain, Gawain berhasil menangkap ratu milik Kurish. Kini meja sudah terbalik. Kurish tak dapat bergerak banyak setelah kehilangan ratu andalannya.

   Karena bingung dengan strategi yang sedikit, ia tak menyadari satu bidak lain sudah mendarat di garis pertahanan Kurish. “Apa yang kau minta?” tanyanya dengan kasar.

   “Aku meminta istrimu.”

   Kurish yang mendengar itu langsung pucat pasi. Kini musuhnya punya dua ratu. Ia akhirnya berpikir bahwa lawannya ini tangguh juga berani mengambil risiko. “Kau pria yang menakutkan, kau tahu itu?” tanyanya sembari mengulur waktu berpikir.

   “Iya... kita tidak akan menang sebelum kita mengorbankan hal yang paling kita sayangi...” Gawain mengakhiri kalimatnya dengan senyuman tulus. Air mukanya kini jelas bagi Kurish yang tak peka dengan hati lawan bicaranya. Dari raut wajahnya, Kurish tahu bahwa sudah banyak genangan darah yang dilalui pria muda di depannya ini juga terlalu banyak pengiorbanan yang dilaluinya hingga berani mengorbankan ratu tersayangnya.

   Kurish tertawa. “Aku mengaku kalah, mate! Iya, kuakui kalah di ronde ini! Ini kemenanganmu!” semua orang bertanya-tanya mengapa ahli strategi sekaligus juru mudi mereka ini menyerah tanpa alasan yang jelas. Karena banyak pertanyaan, Kurish menjawab dengan teriakan keras, “seperti yang Kapiten Hartein katakan, kalian cecunguk bodoh; kalian tak kan paham meskipun aku menjelaskan panjang lebar!” ia bangkit dan berdiri di atas papan catur, “mari kita ke permainan yang terakhir, mate!” serunya dengan uluran tangan agar Gawain ikut berdiri bersama di sana. “Sekarang, mari kita dengar suara anggota kita perihal permainan terakhir.”

   Sebelumnya, kita membahas bahwa kebanyakan kru kelasi ini memang tak terdidik dan bodoh. Dan disinilah kebodohan mereka memuncak. “Adu suit!” jawab mereka bebarengan. Dari semua permaian adu otak dan strategi, kita kembali lagi ke permainan paling sederhana yang dilihat sekilas bukan mengandalkan strategi, melainkan keberuntungan.

   Sejatinya permainan suit juga mengandalkan strategi dan probabilitas kemungkinan menang yang kecil. Keduanya saling pandang dengan ironi, tak menyangka betul bahwa pertandingan menentukan ini dipertaruhkan dengan cara yang cukup konyol. Namun, Gawain punya trik licik untuk menang.

   “Sebelum bermain, aku akan mengatakan ini, Kurish: aku akan mengeluarkan kertas. Kau terserah mengeluarkan batu, gunting, atau kertas. Tapi percayalah, aku akan mengeluarkan kertas.”

   Alis Kurish tampak berkedut setelah mendengar itu. Ia bimbang, dan kebimbangan itulah senjata Gawain yang paling ampuh. Pikirannya beradu. Ia ragu-ragu bahwa Gawain berbohong agar menggiringnya untuk mengeluarkan gunting sehingga Gawain mengeluarkan batu. Tapi tidak sesederhana itu. Bila kita lanjutkan, maka ada kemungkinan apa yang Gawain keluarkan semakin ambigu.

   Dengan keputusan cepat, Kurish mengeliminasi bahwa Gawain tak akan mengeluarkan kertas. Sekarang ada dua kemungkinan. Gawain akan mengeluarkan gunting atau batu. Karena Gawain tak mengeluarkan kertas, maka kemungkinan terbaik bagi Kurish adalah batu (jika Gawain mengeluarkan gunting maka ia menang, jika Gawain mengeluarkan batu mereka seri).

   Degup jantung keduanya cepat dan menyatu dengan sorakan semangat. Ketika tangan mereka terulur, terlihatlah pemenang dari ronde terakhir ini.

   “Eias! Pemenangnya Eias!” seru semua kelasi. Tangan Gawain membentuk kertas dan Kurish tetap mengepalkan tangannya. Adu suit yang menegangkan itu mengakhiri pertandingan adu otak dengan kemenangan Gawain. Semuanya bersorak dan langsung mengadakan pesta penyambutan wakil kapiten mereka yang baru.

                                                                                                         ***

Di tengah malam, Hartein terduduk mendongak di bersandar kemudi. Rona wajahnya yang merah anggur itu tampak menyala redup, seredup matanya. Di tengah-tengah keheningan malam yang diramaikan dengan dengkuran keras semua anggotanya, ia merenung. “Jika Master Septim benar, maka umurku tidak singkat lagi...” gumamnya sembari meneguk satu gelas.

   Suara decitan sepatu boots datang menghampirinya. Itu bintang utama malam ini, si wakil kapiten yang baru. Jalannya sempoyongan dengan memegang anggur di tangan kanan, tapi berhasil duduk mendarat dengan mulus tanpa terguling maupun tersandung. Matanya tampak sayu meskipun satu armada menghibur dan menyambutnya dengan suka cita. Dengan senyum pahit, ia mulai bicara, “buruk sekali bagiku... di usia semuda ini aku sudah mabuk-mabukan...” kalau Gawain ingat-ingat, hampir setiap hari setelah Florence sekarat ia meminum anggur. “Apa kata kekasihku bila melihatku jatuh sehina ini?” imbuhnya dengan lemas.

   Hartein membelai wajah wakilnya itu, terkiki dan tersenyum.

   “Ada apa?!” tanya Gawain gusar.

   “Kau sangat mirip dengan Loth! Bahkan di saat-saat mabuk seperti ini!”

   Sekali lagi, Gawain tersenyum pahit. Jika untuk urusan keluarganya, entah kenapa ia menjadi sentimental. Karena penasaran, Gawain bertanya, “bagaimana ayahku di mata Anda?”

   Hartein bangkit dari duduknya dan memegang kemudi kapal. Layar masih tergulung tapi arus air lah yang menuntun mereka untuk mengarungi laut walau perlahan. Gawain samar-samar melihati sorot wajah Hartein ketika dia bercerita. Ceritanya cukup panjang lebar dan amatlah membosankan jika didengar oleh seorang pemabuk, tapi Gawain dapat tahu garis besar ceritanya; ayahnya adalah orang yang baik dan hebat.

   Hal sesederhana itu sudah memotivasinya. Dengan hati kecilnya yang tersulut kebaikan hati semua kru, ia bangkit dari duduknya, berjalan sempoyongan menuju kabin kapten. Hartein awalnya mengira pemuda itu akan beristirahat, namun mengubah pandangannya ketika mendapati lilin kabin masih terlihat menyala lebih dari tiga puluh menit. Saat penasaran, ia mengintip melalui celah kaca pecah yang belum dibenahi, dari sana ia tahu bahwa Gawain belajar.

   Banyak jurnal dan buku di kabin milik Hartein dan itu semua adalah harta yang berharga dari semua perjalanannya. Dengan mempercayakan Gawain pada tugas yang harusnya ia emban, itu berarti Hartein mengikhlaskan harta dan kenagannya bersama Gawain.

   Tanpa mengetuk pintu, wanita itu masuk. Karena terlalu fokus, Gawain tak menggubrisnya sama sekali hingga wanita itu duduk berhadapan dengannya. Ingin rasanya Hartein mengajaknya bicara, tapi pemuda itu terlalu serius. Dengan desahan pelan, Hartein kembali ke bilik kamarnya dan beristirahat di sana.

   Pada pagi hari, ia mendapati Gawain masih duduk di tempat yang sama dengan setumpuk buku yang lain. Wajahnya tidak tampak seperti orang kelelahan sama sekali. Meskipun matanya merah, tapi ia tak letih. Hartein menyuruhnya berbicara dengan kelasi yang lain dan bertugas seperti biasanya.

   Dengan semangat yang sama, Gawain kembali ke posnya, menghabiskan waktu dengan bersih-bersih hingga sore hari, berkumpul dengan kelasi pada petang, dan kembali melanjutkan membaca di kabin kapten.

   Hal itu terulang hingga satu minggu. Satu hal yang membuat Gawain berhenti adalah karena semua buku tersebut sudah habis ia baca. Sorot matanya makin tajam, tanda bahwa wawasannya makin luas. Dari pengetahuan itu, ia mulai bergantian dengan Kurish sebagai juru mudi. Mereka berdua berbincang-bincang selaiknya kawan karib lama. Kurish membicarakan pengalamannya sementara Gawain membalasnya dengan saran dan kritikan.

   Dari puluhan kritik, ada satu kritikan Gawain yang menggugah hati Kurish dan mengubah pola pikirnya. Kritikan ini mengenai alasan mengapa pria elf itu dapat kalah dari juniornya. “Ada dua kesalahan. Anda terlalu fokus di rencana utama dan Anda tidak mudah percaya pada kawan Anda. Anda ingat ketika Anda berhasil mengambil ratu ku? Tapi sempatkah Anda berpikir bahwa aku dapat mengambil ratuku juga merebut ratumu? Anda tidak berpikir sejauh itu, Ser Kurish.”

   “Lalu apa maksudmu dengan tidak percaya kawan? Aku adalah anggota senior di sini! Semua orang menghormatiku dan tentunya aku menghormati mereka...”

   Gawain tertawa kecil mendengar jawaban polos pria itu dan membalasnya, “justruk anggapan bahwa anda senior lah yang membuat Anda tak percaya pada junior. Hei ayolah, jika Anda percaya bahwa aku mengeluarkan kertas, Anda pasti menang, bukan?”

   Dari sana, Kurish akhirnya mengakui satu hal: bukanlah kepintaran seseorang lah yang membuatnya menjadi nomor satu.

   Tidak hanya Kurish saja yang dikritik, melainkan Parsha si pemegang pedang berat. Mereka jarang bertemu tapi ketika Gawain mengutusnya untuk datang menghadap, ia tak segan-segan melangkahkan kakinya. Mereka berdua berbicara di bilik tempat semua kelasi berkumpul. Ketika melihat kedua orang itu bicara, semua kelasi langsung undur diri karena sungkan. Saat tidak ada siapapun, Parsha angkat bicaraa.

   “Jarang ada yang tahu bahasa ibuku. Engkau orang terdidik sekaligus kuat, wakil kapiten. Jadi, perihal apa engkau memanggil hamba?” tukasnya dengan bahasa ras ogre.

   “Aku akan berterus terang: kau terlalu sembrono, Ser Parsha.”

   Parsha memang sering menerima cemoohan dan ia juga sering marah. Tapi ucapan pemuda di depannya kali ini bukan cemoohan, melainkan kritikan dari atasannya. Ia tak berani menjawab pada orang yang telah ia akui sebagai atasannya, ia tertunduk malu.

   “Jadi, sedari sekarang kau harus lebih cerdik dalam bertarung. Aku akui kau seorang yang kuat. Tapi ketahuilah, Parsha, bukan hanya kekuatan sajalah yang menjadi faktor kemenangan.” Gawain mengatakannya dengan berdiri. Untuk orang seperti Parsha, Gawain harus bersikap makin angkuh agar tunduk. Sebelum ia pergi, Parsha menahan tangan Gawain.

   “Kenapa Engkau menahan serangan itu?”

   Gawain mengerutkan dahinya, diam. Parsha melanjutkan bicaranya, “setelah pertarungan, aku tahu bahwa pasir yang Engkau lempar padaku sesaat sebelum pantai itu meledak tlah dirapali sihir plindung. Engkau bisa saja menghabisiku, tapi kenapa?”

   Dengan seringai, pemuda itu menjawab, “sudah jelas bukan? Kami membutuhkan kekuatanmu, Parsha. Jadi, jangan mati.” Dengan gaya angkuh, Gawain berpaling dari Parsha. Parsha tidak tersinggung, malahan ia terhibur. Ia tak salah menundukkan kepalanya pada orang semacam Gawain. Dari momen itu, ia bersumpah seumur hidupnya, bahkan keturunannya untuk mengabdi penuh pada Gawain. Sungguh, ogre yang satu ini amatlah setia.

   Maka dari itu, keseharian kembali menjadi normal hanya ada beberapa perbedaan. Kurish meminta diajari Gawain untuk mengatasi kesalahannya sementara Parsha meminta Gawain untuk mengajarinya. Dengan telaten, ia mengajari dua orang paling terdidik itu (dibandingkan dengan anggota yang lain).

   Hasilnya cukup memuaskan. Dalam satu bulan selanjutnya, Kurish menjadi lebih tangkas dan jurang pemisah antara senior seperti dirinya dan anggota lain tampak hilang. Kurish menjadi orang yang lebih terbuka dan yang terpenting, ia memahami perasaan kawan bicaranya.

   Lain halnya dengan Parsha. Ia memang sedikit terdidik karena pengalamannya yang keras sebagai mantan budak, tapi tetap saja ia sulit diajari. Perlahan dengan pasti Gawain mengajari pria itu sedari awal. Mulai dari membaca, berhitumg, berpikir, mengkaji, dan berbagai hal lain.

   Akhirnya, di akhir bulan kedua, armada kapal Hartein menyaksikan Parsha bicara bahasa umum untuk kali pertama. Mendengar itu, semua orang senang.  Demikian, semua kelasi dapat mengetahui keramahan di balik kulit hijau gelap pria kekar itu. Wajahnya yang kaku mulai mengendur, juga sorot matanya menjadi ramah. Semua ini berkat wakil kapiten muda yang jenius.

   Semua orang terlihat bahagia. Armada Hartein yang dulunya dirumorkan suram dan menakutkan itu kini berbalut tawa. Berkali-kali mereka berpesta untuk suatu hal yang sepele. Itu tak masalah, mereka punya banyak persedian anggur bahkan untuk bertahun-tahun di lautan. Lagipula, semua orang ingin berbahagia sebelum ajal mereka yang menunggu di lautan lepas, apalagi dalam ekspedisi mencari daratan yang semua orang tak ketahui.

   Dari atas sana, seorang gadis pengamat tidak perlu repot-repot turun untuk bahagia, ia cukup melihat wajah wakil kapitennya itu dan tertawa kecil. Iya, gadis itu sudah merasa cukup dengan memandangi wajah pemuda itu....

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
HAMPA
410      283     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
Azzash
308      253     1     
Fantasy
Bagaimana jika sudah bertahun-tahun lamanya kau dipertemukan kembali dengan cinta sejatimu, pasangan jiwamu, belahan hati murnimu dengan hal yang tidak terduga? Kau sangat bahagia. Namun, dia... cintamu, pasangan jiwamu, belahan hatimu yang sudah kau tunggu bertahun-tahun lamanya lupa dengan segala ingatan, kenangan, dan apa yang telah kalian lewati bersama. Dan... Sialnya, dia juga s...
Evolvera Life: Evolutionary Filtration
126      104     0     
Fantasy
.Setiap orang berhak bermimpi berharap pada keajaiban bukan. Namun kadang kenyataan yang datang membawa kehancuran yang tak terduga Siapa yang akan menyangka bahwa mitos kuno tentang permintaan pada bintang jatuh akan menjadi kenyataan Dan sayangnya kenyataan pahit itu membawa bencana yang mengancam populasi global. Aku Rika gadis SMA kelas 3 yang hidup dalam keluarga Cemara yang harmonis d...
Ternyata...
926      554     1     
Short Story
Kehidupan itu memang penuh misteri. Takdir yang mengantar kita kemanapun kita menuju. Kau harus percaya itu dan aku akan percaya itu. - Rey
The genius hunter S class
79      69     1     
Fantasy
Dunia telah berubah, sudah tak asing lagi dengan lingkaran hitam yang tersebar di berbagai belahan dunia. Semenjak 10 tahun yang lalu, yang dikenal sebagai mimpi buruk muncul sebuah lingkaran hitam, awalnya tidak terjadi apa pun namun seiring berjalannya waktu, sesuatu keluar dari lingkaran hitam tersebut yang menyebabkan begitu banyak kematian. Tepat pada saat itu kebangkitan manusia dimulai han...
Thieves Sister
16119      2901     7     
Action
Remaja kembar yang bisa mencuri benda-benda bersejarah milik dunia dan membalas dendamkan kematian kakaknya. Apa yang terjadi selanjutnya?
The DARK SWEET
673      490     2     
Romance
°The love triangle of a love story between the mafia, secret agents and the FBI° VELOVE AGNIESZKA GOVYADINOV. Anggota secret agent yang terkenal badas dan tidak terkalahkan. Perempuan dingin dengan segala kelebihan; Taekwondo • Karate • Judo • Boxing. Namun, seperti kebanyakan gadis pada umumnya Velove juga memiliki kelemahan. Masa lalu. Satu kata yang cukup mampu melemahk...
Evolution Zhurria
348      225     4     
Romance
A story about the evolution of Zhurria, where lives begin, yet never end.
Night Stalkers (Segera Terbit)
620      508     4     
Horror
Ketika kematian misterius mulai menghantui sekolah di desa terpencil, Askara dan teman-temannya terjebak dalam serangkaian kejadian yang semakin tak masuk akal. Dimulai dari Anita, sahabat mereka yang tiba-tiba meninggal setelah mengalami kejang aneh, hingga Ifal yang jatuh pingsan dengan kondisi serupa. Mitos tentang kutukan mulai beredar, membuat ketakutan merajalela. Namun, Askara tidak per...
Chahaya dan Surya [BOOK 2 OF MUTIARA TRILOGY]
11483      2116     1     
Science Fiction
Mutiara, or more commonly known as Ara, found herself on a ship leading to a place called the Neo Renegades' headquarter. She and the prince of the New Kingdom of Indonesia, Prince Surya, have been kidnapped by the group called Neo Renegades. When she woke up, she found that Guntur, her childhood bestfriend, was in fact, one of the Neo Renegades.