Beberapa jam setelah pertarungan melawan kraken, sisa-sisa kru armada yang masih hidup kini menggantungkan nyawanya pada pertaruhan arus laut yang bersahabat. Semua dari mereka tak ada kuasa untuk mendayung lagi. Beberapa dari mereka merakit layar dengan cara mengikatkan kain dengan dayung dan menegakkanya di tengah sampan, tapi tak berhasil. Formasi mereka berceceran. Ada yang menjauh menuju barat dan timur tapi tidak ada yang kembali ke selatan.
Sinar hangat matahari menyepuh mata Gawain, membuatnya siuman. Baju petualangnya basah, tapi ia merasa cukup hangat dengan jubah petualang yang menyelimutinya. Seseorang tertidur dengan posisi terduduk sembari memegangi busur, itu Abi. Karena tak berani membangunkannya, ia beringsut perlahan lalu menyelimutukan kembali jubah kepada Abi.
Mengetahui kapiten barunya bangun, Parsha beserta sampannya mendekat. Dari lima orang di sana, hanya Parsha yang benar-benar terjaga. Ketika cukup dekat, keduanya berbisik, “sudah berapa lama kita terombang-ambing?” tanya Gawain dengan bahasa ogre yang fasih.
“Satu malam. Banyak dari sampan yang dayungnya patah, jadi kita benar-benar mengandalkan keberuntungan arus air. Tapi puji Fortuna! Berkat karunia keberuntungannya, kita masih berada di lintasan yang tepat.”
Gawain sedikit merasa lega. Masalah kemana tujuan mereka rupanya terselesaikan. Yang jadi masalah adalah hingga kapan mereka akan terombang-ambing semacam ini? Jika mereka masih diberkahi keberuntungan, maka mungkin hari ini mereka melihat daratan. Tapi Gawain merasa hal itu tak mungkin: terlalu banyak keberuntungan yang telah terjadi. Fakta ia masih bernapas adalah keberuntungan dan syukur yang tak terhitung.
“Ada apa, Kapiten?” tanya Parsha yang mendapati wajah Gawain penuh kecemasan.
“Aku memikirkan skenario terburuk... berpikir berapa hari lagi kita terombang-ambing... berpikir butuh berapa hari lagi kita akan saling bunuh untuk memakan satu sama lain... berpikir akan berapa lama akal sehat kita masih dalam kadar waras...”
Parsha tertegun dengan pemikiran itu. Itu benar. Hasrat fundamental tiap makhluk hidup adalah untuk melangsungkan hidupnya. Bila mereka semakin tertekan akan kondisi semacam ini, banyak dari makhluk hidup, termasuk manusia, akan kembali menganut hukum alam pertama: memakan atau dimakan. Tapi Parsha malah tersenyum, segera mengenyahkan pikiran itu. “Jangan khawatir, Kapiten! Asal kau tahu saja, aku ini sudah bersumpah mengikutimu! Percayalah karena sumpah pendekar ogre itu suci.”
“Meskipun engkau seorang bajak laut?” canda Gawain.
“Itu beda lagi,” jawab Parsha dengan terkekeh. Hal itu cukup menghibur Gawain sementara saja. “Jadi, apa yang kita lakukan, Kapiten?”
“Sama seperti sebelumnya, tetap menjaga formasi dan menuju utara. Kita hanya bisa bertaruh pada cuaca damai yang menuntun kita ini.” Dengan itu, Parsha menjauh lagi, menyampaikan pesan singkat itu ke kru yang lain.
Gawain mendengus kesal, meskipun ia kapten tapi ia tak bisa berbuat banyak. Sejenak ia melamun, tapi segera mengenyahkannya dengan berbuat suatu hal yang berguna. Ia melepas jubah dan mengeringkannya, serta memeriksa perlengkapan-perlengkapannya. Ketika ia menemui jurnal milik Hartein, ia ragu membukanya. Sampul kulit coklat yang serupa dengan milik Loth, tapi lebih halus dan terawat, tanda pemiliknya tidak terlalu sering menulis jurnalnya. Saat membuka, tulisannya terkesan rapi bila mengenal kepribadian Hartein yang berantakan. Serupa seperti Loth, di awal ada nama dan tanda tangan. Halaman-halaman selanjutnya diisi dengan pengalaman yang tertumpah dengan tinta. Tidak banyak yang tertulis, tapi cukup untuk meringkas cerita-cerita Hartein sedari masa mudanya.
Hartein dilahirkan di Neverland. Ayahnya adalah bajak laut keturunan Kapten Hock dan ibunya adalah peri keturunan Petra Pan, Si Peniup Suling. Hal pertama yang Hartein kenal adalah lautan, begitulah cara ayahnya mendidik sepeninggal ibunya ketika melahirkan Hartein. Karena profesi ayahnya sebagai bajak laut, Hartein tentunya memiliki gelagat dan naluri yang sama seperti ayahnya.
Saat ia mulai tumbuh, ia menyadari bahwa laju pertumbuhannya tidak seperti manusia pada umumnya. Akhirnya, sang ayah bercerita bahwa ada darah peri yang mengalir di nadi Hartein; menyebabkan ia awet muda. Setelah mengetahui asal-usul dirinya sendiri, Hartein beserta armadanya bertolak menuju Neverland.
Perjalanannya tidak mudah. Hartein berlayar dengan dua kapal. Satu ia pimpin sebagai kapten armada, dan satu lagi dipimpin oleh pelaut ulung yang sekaligus menjadi mualim laut bernama Kapiten Pepelon. Mereka berangkat dengan aman tanpa gangguan sedikitpun ketika melintasi Perairan Iblis. Seketibanya di Neverland, si mualim Pepelon ingin-ingin rasanya segera enyah dari Neverland; ia tahu betul bahwa penghuni Neverland tak sudi menerima manusia sepertinya.
Maka dari itu, satu hari setelah mereka mendarat, Pepelon beserta satu kapal lain pulang menuju daratan utama. Naas, nasib mereka tidak sebaik angin yang berhembus saat itu. Di nanti hari setelah Hartein menjadi Petinggi Asosiasi, ia bertemu dengan Kapiten Pepelon. Ketika ditanya bagaimana perjalannnya, Pepelon tersenyum pahit seraya berkata, “putri-putri duyung itu sama hancurnya dengan anak buah kapalku... bajingan sekali mereka!”
Dari cerita Pepelon, saat kapalnya dalam perjalanan melintasi Perairan Iblis, ia sudah bersiap untuk apapun. Tapi hati siapa yang tak luluh dengan godaan Putri Duyung; apalagi semua pelaut di sana adalah pria yang kesepian. Alhasil, ia kehilangan anggota, jari pernikahannya, serta yang paling besar: semangat melautnya. Ia bukan seorang pengecut; ia tidak takut kematian, tapi yang ia takutkan adalah kehilangan anggotanya sekali lagi. Di pikirannya, ia tak lebih seorang kapten hina yang meninggalkan anggotanya karam dan mati dimakan putri duyung.
Semenjak itulah, Pepelon melaut di perairan tenang. Berkat pengalamannya sebagai seorang mualim dan bahkan juru kunci laut yang tahu segala seluk beluk laut serta kesetiannya terhadap pelaut yang lain, ia diangkat menjadi kapten kapal oleh seorang saudagar kaya di pelabuhan Junier—yang tentunya Gawain tahu siapa saudagar yang dimaksudkan.
“Dunia ini begitu sempit...,” gumam Gawain sembari terus membolak-balik.
Di Neverland, Hartein disambut oleh kepala suku yang bertempat di sana. Kepala suku itu wanita ras tigra, berambut coklat terang dengan taring yang mencolok seperti harimau pada umumnya. Para penghuni Neverland awet muda walaupun bukan berasal dari ras peri. Alasannya cukup mudah, mereka memburu putri duyung. Untuk beberapa alasan yang Gawain tak ketahui, daging putri duyung dapat membuat awet muda siapapun yang memakannya. Dari Neverland pula lah, Hartein mengetahui asal-usulnya dengan lebih jelas dan kebenaran-kebenaran yang tak diketahui dunia.
Untuk bagian ini, Gawain cukup terkejut dan bertanya-tanya mengapa Hartein menulisnya dengan amat detail. Rupa-rupanya, Hartein cukup peduli dengan latar belakang keluarga yang mengalir di nadinya.
Siapa yang tak mengetahui Petra Pan? Petra Pan adalah dongeng klasik di mana seorang pemuda jahil dan nakal yang sedang melawan bajak laut dan kawanannya; setidaknya itulah cerita umum yang kita dengar. Tapi kenyataannya bukan seperti itu. Petra Pan adalah peri yang berasal dari Tír na nÓg namun diusir karena ia adalah peri yang tak memiliki aturan. Ia diusir di tanah ke pulau kosong yang tak bisa ditemukan siapapun; itulah Neverland.
Ia memang tak memiliki siapapun untuk menemaninya selain peri kecil bernama Thinker Bell, tapi Petra Pan memiliki akal cerdik yang lain. Dengan kemampuan sihir lagunya, ia berhasil membuat ilusi ganda dirinya. Awalnya ia gunakan ilusi itu untuk menemaninya, tapi setelah mengetahui bahwa ilusi itu dapat terbang lolos dari penangkal tak kasat mata Neverland, maka ilusi itu mengarungi tempat-tempat lain. Tempat yang dimaksud adalah tempat di mana kebanyakan anak berkumpul: entah itu taman bermain, panti asuhan, atau bahkan rumah mereka masing-masing.
Awalnya, Petra Pan hanya mengamati mereka. Lama-kelamaan, ia penasaran tentang kebahagiaan macam apa yang tak dimilikinya, membandingkannya dengan anak-anak lain, lalu tumbuhlah rasa iri untuk ikut memiliki kebahagiaan macam itu. Akhirnya, tanpa ragu sedikitpun, Petra Pan menggiring anak-anak menuju Neverland dengan iming-iming yang menggiurkan.
Neverland yang awalnya sepi itu berubah menjadi lebih berwarna. Sekali lagi, dengan sihir ilusi, Petra Pan membuat kehidupannya. Jika ia makan, ia cukup membayangkan makanan di piring lantas memakannya—memakan udara kosong—begitu juga anak yang ia culik. Lama-kelamaan, anak yang ia culik semakin bertambah banyak. Karena semua anak yang ia culik adalah lelaki, maka Petra Pan menjuluki kelompok kecil ini dengan sebutan Lost Boys.
Di sisi lain, lebih tepatnya di tanah Tír na nÓg, ada sebuah kapal yang akhirnya sampai di tanah kejayaan itu. Mereka adalah bajak laut yang diketuai oleh Kapten Hock. Mereka disambut baik oleh Kaisar Oberon dan Permaisuri Titania, tapi karena gelagat mereka sebagai bajak laut yang rakus, mereka hendak memanfaatkan kebaikan itu untuk kepuasan mereka pribadi.
Mengetahui ini, Kaisar Oberon marah besar dan menghukum gerombolan bajak laut itu. Mereka menyerah dan siap saja menerima hukuman gantung selaiknya para bajak laut, tapi Oberon mengampuni mereka dengan satu syarat: habisi Petra Pan. Untuk alasan pribadi, Oberon lebih suka menghukum tawanannya dengan membuat mereka melawan satu sama lain, sungguh keji kaisar peri ini. Dan semenjak itulah, Oberon membenci urusan-urusan manusia dan lantas menutup Tír na nÓg selama-lamanya.
Mendengar hukuman yang sederhana itu, Kapten Hock sumringah. Lekas-lekas ia dengan anggota krunya berangkat menuju Neverland untuk membawa kepala Petra Pan menghadap kaisar. Perlawanan terjadi sengit. Di pertarungan pertama, Kapten Hock kehilangan lengan kirinya karena gigitan buaya yang dikendalikan sihir lagu Petra Pan. Untuk menggantikannya, Hock menggantinya dengan pengait besi. Semenjak itulah, nama julukannya berubah menjadi Hook.
Perlawanan yang lain terjadi. Hasilnya bermacam-macam. Kadang Lost Boys menang, kadang si bajak laut menang, dan bahkan kadang pertarungan dimenangi oleh suku tigra di pedalaman Neverland. Dari semua pertarungan itu, keduanya berbincang melalui ayunan dan dentingan pedang: cara berkomunikasi antar petarung. Akhirnya, keduanya saling memahami satu sama lain: Petra Pan ingin lepas dari kekangan Oberon untuk keluar menuju dunia luar dan Kapten Hock ingin merebut kembali kebebasannya.
Tapi mereka tak berani melawan Oberon yang berkuasa absolut secara langsung. Setelah diskusi yang alot, keduanya tidak menemui jalan dari tujuan mereka.
Tahun-tahun terlampaui cepat. Para pemuda cilik Lost Boys telah tumbuh dewasa, begitu juga dengan Petra Pan meskipun lebih lambat berkat darah perinya. Anggota Lost Boys yang lama digantikan yang baru, begitulah berlanjut. Dengan izin Petra Pan, ia menuntun kembali anggota Lost Boys lama untuk kembali ke dunia mereka masing-masing dan melanjutkan hidupnya. Alasannya sederhana, Petra Pan membenci orang dewasa, termasuk temannya sendiri yang menjadi dewasa.
Mendengar itu, Kapten Hock akhirnya menyarankan untuk menculik seorang gadis lalu menikahinya. “Bagaimana cara membuat gadis itu jatuh cinta?” tanya Petra Pan ragu.
“Cukup mudah. Kau jadi orang baik dan aku jadi orang jahat.” Mendengar jawaban yang sederhana itu, Petra Pan menggeleng lemah. “Oh ayolah, fellas, anak-anak kecil suka dengan cerita semacam ini: cerita di mana mereka diselamatkan oleh pemuda yang tangguh dari cengkraman bajak laut yang keji!”
“Tapi bukankah itu akan memperburuk citramu? Aku tak ingin istriku nanti memandang buruk diri—” belum selesai kalimat itu, Hock menepuk-nepuk bahu Petra Pan.
“Aish, kau bahkan sudah menyebutnya sebagai ‘istriku nanti’! Kau memang sudah waktunya kawan, dan itu memang wajar. Baiklah-baiklah! Lagipula, untuk urusan itu bisa nanti diselesaikan. Sekarang kau lebih baik cari kandidat yang cocok untukmu!” Petra Pan mengalah, lagipula ia juga penasaran bagaimana rasanya memiliki seseorang yang dikasihi.
Beberapa bulan mencari dan ia punya kandidat yang cocok. Namanya Fendy, gadis dari tiga bersaudara di salah satu kota pelabuhan. Ia tak serta merta menculiknya seorang diri, namun juga dua saudaranya dan menikmati Neverland bersama-sama.
Sesuai dengan rencana yang telah disusun Hock, mereka akhirnya menikmati waktu mereka di Neverland. Tapi Fendy yang perhatian akhirnya memikirkan untuk kembali pulang, takut dan khawatir dengan kedua orang tua yang ia tinggal. Dua saudaranya pun berpemikiran sama. Petra Pan tak memiliki pilihan banyak, akhirnya ia membolehkan ketiga orang itu pergi pulang. Namun, tepat di detik-detik sebelum kepulangan mereka, Petra Pan menyatakan cintanya kepada Fendy, mengekang hati gadis itu bersamanya.
Singkat cerita, semua terjadi seperti yang direncanakan Hock. Pria itu senang bukan kepalang ketika melihat keduanya serius dan sesegera mungkin mengadakan pesta perayaan kecil di kapalnya. Geladak pun semakin ramai dengan tamu undangan lain, yaitu kepala desa beserta keluarga besar ras tigra dari pedalaman Neverland.
Dua tahun terlampaui singkat dan akhirnya pasangan Petra Pan dan Fendy diberkahi anak. Semua orang tentunya bahagia. Hock sekali lagi mengadakan perayaan untuk memperingati kelahiran bayi mungil itu. Kali ini lebih meriah karena ia berhasil menjarah sebuah kapal lain. Ketika ditanya mengapa ia merayakannya dengan megah, ia terkekeh bahagia, “aku juga punya anak sepertimu. Ah, andai saja aku bisa bebas pulang dari perairan ini...”
Tahun demi tahun terlalui cepat. Oberon yang menunggu kepala Petra Pan datang di ruang singgasananya kehabisan kesabaran. Dengan paksaan, ia memanggil lagi Kapten Hock. Hock yang datang dengan tergopoh-gopoh langsung berlutut dengan satu kaki dan meminta ampunan. “Ternyata bajingan kecil yang satu ini lebih hebat dari yang kuduga, yang mulia Oberon. Hamba meminta...”
Belum selesai kalimatnya, lidah Hock sudah terbelah. Hock adalah orang baik, tapi ia tidak memiliki pengetahuan seluas Petra Pan. Peri adalah makhluk yang dapat mengetahui kebohongan seseorang dengan mudah, akibatnya Oberon membelah lidah Hock yang penuh kebohongan manis itu. Hock tak berkutik, ia hanya bisa memegangi tenggorokannya yang berdarah-darah.
“Aku tahu kau punya seorang putra di Teluk Farion... dia masih muda; tiga belas atau empat belas. Tapi kurasa ia cukup cakap dengan tugas semudah ini... mungkinkah kau—”
Hock langsung bersujud. Dari air muka pucatnya, semua orang tahu apa yang ia pikirkan, “tolong apapun! Tolong asal jangan putraku!” semacam itu.
“Kalau begitu bawa Petra Pan ke sini! Pancung kepalanya dengan tanganmu sendiri!”
Hock membalikkan badan, ia tak cukup kuasa melakukan semua itu, apalagi pada seorang kawannya yang berharga dan telah berkeluarga. Ia berunding lama dengan kru kapal dan menyuruh siapapun dari mereka untuk mundur bila tak sesuai dengan keputusannya. Karena mereka setia, maka tidak ada satupun dari mereka yang mundur meski selangkah.
Dengan jantan, ia datang ke rumah Petra Pan sama seperti biasanya ketika ia berkunjung. Yang membedakan antara kunjungan sebelumnya dengan kunjungan kali ini adalah sebilah pedang yang terikat di pinggangnya. Ketika ia menemui Petra Pan, pemuda itu langsung tahu sesuatu sedang terjadi kepada Hock. “Apa yang terjadi?”
“Oberon... keparat itu mengancam keluargaku, Petra... Aku tak punya banyak pilihan selain membawamu padanya...” ucapannya itu sudah cukup diwakilkan dari air mata yang membendung di pelupuk matanya.
Andai saja Petra Pan masih sama dengan yang dulu, ia tak mau acuh dan tahu tentang urusan semacam ini. Tapi ini berbeda. Hock juga memiliki keluarga yang harus dilindungi, juga dirinya. Itu tak apa. Lagipula, cara untuk menyelesaikan permasalahan ini adalah berlaga sejantan mungkin.
Seketibanya di Tír na nÓg, mereka langsung memasuki arena dan berduel. Duel itu berlangsung tiga ronde dan dimenangkan oleh Petra Pan atas kematian Hock. Di detik-detik akhir napasnya, Hock bergumam lirih dengan lidahnya yang cacat itu, “Oberon bukanlah orang yang memegang kalimatnya...”
Petra Pan menyadari suatu hal, siapapun pemenang di arena duel ini tidaklah penting bagi Oberon. Suara derap langkah terdengar mendekat. Itu serdadu peri dengan tombak-tombak terangkat. Petra Pan menutup mata Hock yang terbelalak terbuka, ia harus bangkit dan melawan kesedihan. Keduanya benar-benar hanya menari di telapak tangan Oberon. “Biar kutebak... kalian juga ditugasi membunuh semua kru kapal Hock bukan? Kalian keji dan bengis!” raung Petra Pan seperti makhluk buas. Ia main tebas kanan-kiri, tendang atas-bawah, hantam sana-sini untuk kabur dari Tír na nÓg. Ingin saja ia melawan Oberon satu lawan satu, tapi itu mustahil! Ia saja kewalahan dengan pasukan peri elit bentukan Oberon.
Maka dari itu, ia memilih kembali menuju Neverland untuk melatih dan mengumpulkan kekuatan. Tapi sayang, ia tak lagi kembali ke tempat yang seharusnya. Pulau Neverland masih ada sama seperti biasanya, yang tidak ada adalah rumah kayu yang ia bangun bersama istrinya.
“Oberon bukanlah orang yang memegang kalimatnya...” suara itu terngiang di kepala Petra Pan. Rumah itu masih berdiri, tapi api akan membakar segalanya bila ia berdiam diri. Dengan langkah tertatih-tatih, ia menjebol pintu lalu berteriak memanggil-manggil istri dan anaknya. Tapi ia tak menemukan siapapun.
“Petra! Alisa disini!” seru sebuah suara dari bawah. Cepat-cepat Petra melompat turun dan mendapati anak kepala suku sedang menggendong bayinya. Petra merenggut bayi itu, menciuminya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, percaya betul pada keajaiban sajalah yang menyelamatkan bayinya dari serdadu Oberon.
Sehabis rumah itu benar-benar hangus dan rata dengan tanah, Petra Pan memberikan bayinya kepada Tigra Lily, si anak kepala suku ras tigra dan memohon untuk membesarkannya menjadi gadis yang baik. Setelah itu, Petra Pan mengambil lagi pedangnya lalu membalikkan punggung. “Kemana kau, Petra Pan?”
“Berlatih... berlatih agar aku sendirilah yang menikam bajingan itu...” itulah terakhir kalinya Tigra Lily melihat sosok Petra Pan.
***
Tak terasa matahari sudah berada tepat di atas kepala ketika Gawain menyelesaikan jurnal itu. Jujur saja, untuk bagian ketika Hartein mengetahui masa lalu keluarganya, tulisan itu tak tanggung-tanggung menghabiskan tiga puluh lembar penuh. Cukup membuat Gawain terpukau dengan bagian yang satu ini.
Hanya cerita itu sajalah yang mencolok. Penggunaan majas dan gaya berceritanya menunjukkan bahwa Hartein sesungguhnya adalah orang yang memiliki bakat untuk menulis. Di sisa cerita selanjutnya, ia kembali menggunakan gaya cerita sebelumnya: datar dan tidak detail. Lanjutan cerita setelah Hartein mengetahui latar belakang keluarganya adalah bagaimana ia tergabung dalam Asosiasi Sihir, aktivitasnya di Asosiasi Sihir, dan yang terakhir perjalanannya kemari.
Dengan itu, ia menyimpan dan menyelipkan kembali jurnal itu. Gawain membangunkan Abi yang sedari tadi terlelap. Ketika diguncang, gadis itu langsung beringsut siaga dengan panah dan busur teracung ganas. Dari pias di wajahnya, Gawain tahu bahwa Abi mengira ada badai yang datang atau sejenisnya. “Tenanglah, aku hanya membangunkanmu saja.”
“Di mana kita?”
“Masih di Perairan Iblis, kita hanya berpindah dua puluh mil kalau boleh kubilang, cukup jauh dengan hanya menguntungkan arus air.” Gawain merogoh kantongnya, mengambil kail dan pengait pemberian Urs dan memodifikasinya sedikit menjadi alat pancing. Ia tidak punya umpan, tapi meskipun ada umpan apakah ada ikan yang menggigitnya?
Dan ternyata jawaban itu Gawain dapat ketika ia menangkap dua ekor ikan. Sesegera mungkin ia mendayung menuju Parsha dan yang lain. Karena terlalu bahaya untuk menyalakan api di tengah sampan, Kurish yang cerdik menyuruh Gawain menangkupkan tangannya dan menyuruhnya merapal mantra api. Ketika api keluar dari tangan Gawain, Kurish cepat-cepat membuang sisik, mengiris dagingnya, lalu menusuknya dengan serpihan kayu. Gawain akhirnya paham dengan maksud Kurish; pria itu sedang mencoba membuat ikan asap.
Pengasapan berlangsung lama. Ketika petang datang, Kurish selesai dan segera membagikan potongan ke semua kelasi yang kelaparan. Semua orang dapat bagiannya, kecuali Gawain dan Abi yang harus berbagi pada satu potongan. Dengan suara berdeham, Kurish dan Parsha kembali undur diri setelah masing-masing dari keduanya meminta satu set kail guna memancing ikan yang lain.
Abi malu-malu di depan Gawain. Jujur saja, Gawain terpukau dengan pesona Abi. Andai saja ia tak memiliki Florence, ia sudah jatuh hati dengan Abi. Gadis itu dan dirinya sama serupa dan dari pengalamannya melintasi Nixie, Abi adalah orang yang benar-benar bisa dipercaya walau masih banyak pertanyaan tentang siapa dirinya. Gawain tersenyum pahit. Inilah kebiasaan buruk manusia, selalu terayu dengan bisikan iblis untuk mengkhianati orang yang dikasihi. Jadi Gawain mengenyahkan pandangannya dan berpikir, “Abi adalah seorang kawan, tidak lebih.”
Saat bulan cembung muncul di permukaan laut, para kelasi yang lain memilih beristirahat dengan damai guna menyimpan tenaga. Tak satupun dari orang-orang ini yang mengetahui hingga kapan mereka terombang-ambing tanpa arah dan tujuan yang jelas juga nasib apa yang menunggu mereka. Untuk membuat semuanya tenang dan tetap bersemangat, Abi menghibur mereka dengan dendangan lagunya. Suaranya kecil dan bahkan tak terdengar telinga siapapun kecuali dirinya dan Gawain, tapi ketika para kelasi lain melihatinya dari kejauhan tahu betul bahwa Si Pembawa Lentera mencoba menghibur mereka.
Karena kelelahan, Abi akhirnya tidur dengan posisi duduk yang sama seperti sebelumnya: memegangi busur dengan erat. Ketika malam benar-benar larut, hanya Gawain dan Parsha lah yang masih terjaga. Karena merasa kesepian, Gawain mencoba mendekat menuju Parsha lalu berbincang-bincang sejenak.
Rupanya banyak yang mereka bicarakan. Parsha sejatinya adalah orang yang senang bercerita, tapi karena kemampuan linguistiknya tidak bagus sehingga ia tidak memahami bahasa umum dan juga taring rahang bawahnya yang muncul seperti babi hutan liar membuat lawan bicaranya takut-takut bercengkrama dengannya. Ia mulai bercerita ketika hidupnya di desa, alasan mengapa ia pergi melaut, pertemuannya dengan Hartein, dan kesehariannya sebagai kepala pasukan.
Dilihat dari cerita Parsha, ia rupanya bergabung ketika Hartein masih seorang kapten bajak laut yang disegani. Ketika membandingkannya dengan cerita dalam jurnal, Gawain bertanya, “pernahkah kau ke Tír na nÓg?”
“Tidak. Semua dari kami di sini bergabung setelah kepulangan kapten. Oh... coba kau tanya Kurish, dialah yang paling senior di antara kami. Tapi jangan terlalu berharap padanya. Untuk engkau tau saja Kapiten, dia adalah orang yang amat pelupa! Saking pelupanya, dia sudah lupa siapa nama Bapak dan Ibunya sendiri!”
“Hmm, baiklah kalau be—” bruk! Sampan yang mereka tumpangi menumbuk karang. Entah sejak kapan, ketika keduanya asik bercerita laut menjadi berkabut. Karena penasaran, Gawain bangkit dan memeriksa benda apa yang menghentikan mereka. Ketika sampai di ujung sampan, ia menyinari suatu benda di depannya dengan lentera kecil, melihati betul bahwa sebuah batu karanglah yang menyapa pandangannya.
“Batu karang, Parsha! Itu berarti kita sudah sampai di perairan dangkal!” seru Gawain dengan mengendalikan intonasi suaranya. Parsha yang cakap itu sudah mawas dengan mengangkat pedangnya guna berjaga-jaga, tapi ketika mendengar ucapan Gawain ia menghela napas lega. Keduanya membangunkan yang lain, memberitahukan kabar bahagia itu.
Semuanya senang kecuali Abi. Ketika ia bangun, ia tampak terkejut dan langsung memandangi sekitar. Matanya menyipit mencoba menembus kabut tebal, tapi dia mengeluh dan khawatir. “Kau yakin kita sampai di perairan dangkal?” tanyanya sembari melihati konstelasi bintang. Dilihat dari arahnya, mereka benar-benar terus menuju utara, tapi air mukanya tampak benar-benar tak yakin akan hal itu. “Gawain, aku benci kabut; itu musuh utama bagi pemanah sepertiku. Bisa kau hilangkan kabut ini? Aku punya firasat buruk.”
Gawain memang petualang yang berpengalaman, tapi ia tetap manusia dan bisa saja lengah. Lagipula, tidak salah juga jika mereka segera mengenyahkan kabut yang cukup mengganggu itu. Gawain mengangguk, lalu ia menyuruh Parsha dan yang lain untuk kembali bersiaga. “Larte ush ij nai ne!” sebuah bola cahaya mengambang di tengah mereka, menyapu kabut yang menghalangi pandangan. Dengan kendali yang cukup, Gawain mulai mengarahkan bola cahaya itu menuju garda depan, tempat di mana kelasi lain mendahului.
Saat terlihat sebuah sampan, Parsha berteriak, memanggil kelasi yang lain tapi tak terdengar balasan. Abi yang mulai mawas diri menyiapkan busur dan panahnya.
Gawain terdiam sesaat. Rasa-rasanya ia tak asing dengan keadaan semacam ini: perairan dangkal dan kabut. Bagaimana sebuah kabut muncul di perairan dangkal? Bukankah mereka sudah melintasi Perairan Iblis? Bukankah mereka sudah dekat dengan tanah Neverland?
“Merunduk!” teriakan suara Florence mengejutkan Gawain. Dengan intuisi yang cukup tangkas, Gawain berhasil menghindari sebuah lecutan sulur dari arah timur. Lecutan itu cukup cepat, tapi Gawain lincah menghindarinya, dan sebagai tambahan Parsha langsung menebas pecut itu dan akhirnya terjatuh tanpa daya di sampan.
Ketika melihat potongan pecut itu, barulah Gawain sadar tentang apa yang mereka hadapi. “Bersiaplah! Putri Duyung ada di sekitar—”
Belum selesai Gawain menutup mulutnya, lehernya sudah terlilit pecut yang terbuat dari jalinan rumput laut dan serat alga. Sederhana, tapi cukup kuat dan tak mudah putus ketika menarik campuran beton besi sekalipun. Dengan tarikan yang cukup kuat, Gawain terbawa menuju laut. Tidak ada yang sempat menolong Gawain: semua dari mereka menerima serangan yang sama. Parsha dan Abi yang memiliki intuisi tajam sempat menghindar, tapi tidak dengan beberapa kelasi yang naas.
Florence segera merapal mantra api di tangan Gawain yang mencoba memutus lilitan maut itu. Setelah putus, Gawain mengambang-ambang di tengah perairan. Sesegeranya, ia berenang menuju permukaan, tapi ia mendengar beberapa putri duyung berenang cepat menujunya.
Gawain lekas berbalik dengan belati terhunus. Berkat keberuntungan semata, ia berhasil menghindar di detik terakhir karena tendangan kaki yang tak ia sengaja. Mengetahui ada celah terbuka, ia menikam tyran itu tepat di jantung.
Putri duyung yang lain meraung marah melihat saudari mereka mati mengenaskan di tangan manusia lemah. Setelah itu, berkali-kali mereka menerkam Gawain dengan kuku dan taring tajam mereka, berusaha keras membawa Gawain masuk ke dalamnya laut dan menghabisi pemuda malang itu. Tapi pemuda itu memberi perlawanan sengit, terbukti ia mampu menghabisi dua putri duyung yang lain.
Dua menit terlalui. Sesungguhnya, dua menit bukanlah waktu yang lama bagi Gawain yang cekatan dalam bertarung. Tapi kali ini ia tak diuntungkan dengan medan pertarungan; ia tak punya insang dan sirip seperti yang putri duyung punya. Ia kewalahan kali ini.
Di satu kesempatan, ia lemas dan akhirnya kalah. Terkaman itu sebenarnya sama saja, tapi Gawain yang sudah kehabisan napas tak punya daya dan upaya untuk melawan. “Apakah kita berakhir di loker Davy Jones?” batin Gawain yang sepemikiran pula dengan Florence.
Di saat yang mencekam itu, sebuah panah meluncur cepat menembus air. Dengan akurasi yang cukup tepat, panah itu menembus jantung putri duyung yang menerkam Gawain. Di sela waktu sesempit itu, Gawain mencoba meronta dan lolos dari cengkraman maut. Saat melihat-lihat, Gawain menyadari ada sebuah benang kecil yang hampir tak kasat mata. Dengan cepat ia menyadari bahwa ujung panah itu ternyata terikat dengan kail yang ia berikan pada Parsha. Cepat-cepat ia memutus panah, menyisakan ekornya saja lalu memeganginya dengan penuh harap.
Menyadari seseorang lain sedang menarik panah itu, Parsha langsung menarik kail meski tahu jemarinya akan tersayat. Beberapa detik kemudian, Gawain muncul dengan napas terengah-engah. Ia lemas dan pucat, tapi ia tahu bahwa pertarungan masih jauh dari kata usai. Dengan satu tarikan napas dan kesigapan petualang, ia bangkit dengan kuda-kuda bersiaga.
Tapi yang lain malah terduduk kelelahan dengan pias wajah lega. “Tenang, Gawain. Mereka sudah menjauh...” Abi lah yang menjawab pertanyaan Gawain. Ketika melihat sekitar, rupanya pertermpuran sudah usai, kabut sudah lenyap, dan kini siapapun bisa melihat sebuah pulau tropis yang dinaungi oleh palem-paleman. Di sana, beberapa kapal pelayan tampak berlabuh, beberapa yang lain sedang melintas. Dilihat dari baju khas pedalaman yang dikenakan oleh para pelayan, Gawain tahu bahwa mereka telah sampai di Neverland.
“Kapiten!” seru sebuah suara. Ketika menoleh, Gawain mendapati sosok Kurish yang berdiri di sebuah sekoci dengan beberapa suku tigra. Semuanya memegang harpun tajam yang berlumuran darah dan racun. Itu alat dan regu untuk perburuan. Ketika mendekat, Kurish langsung melompat menepuk-nepuk pundak Gawain dan yang lain. “Kalian kemana saja?”
Semua orang mengernyitkan dahi dan saling pandang. Malahan mereka ingin bertanya balik dengan pertanyaan serupa. Tapi mereka disela oleh ketua regu pemburu yang menghimbau untuk kembali dengan bahasa peri. Gawain dan yang lain menyimpan pertanyaannya, menundanya hingga sampai di pelabuhan.
Seketikanya menginjak tanah berpasir, Gawain langsung berjongkok demi menciumi bau pasir. Itu pasir putih, warna, bau, dan rasanya tidak beda dari pasir seperti yang ia kenal. Dengan tangan bergetar, Gawain mulai bertanya, “Kurish, di mana kita?”
“Neverland, tentunya. Omong-omong, kemana kalian pergi seminggu ini? Kalian tahu, kalian menyebabkan kru yang lain khawatir!”
Semua orang mengernyitkan dahinya, tak terkecuali Gawain. Ini aneh. Apa maksudnya mereka menghilang selama seminggu? Gawain menoleh kebelakang, melihati orang-orangnya yang kelelahan dan menyuruh Abi, Parsha, serta kru yang masih hidup untuk beristirahat sekenanya saja malam ini. Mereka menurut dan langsung balik kanan menuju pondok kecil yang telah ditunjuk untuk tempat mereka sementara ini, meninggalkan Gawain yang enggan beristirahat meski tubuhnyalah yang paling basah kuyup, kedinginan, dan terluka.
“Bisa kita bicara di dekat unggun?” tanya Gawain.
Kurish tak banyak bicara, ia memimpin jalan menuju tempat terbuka di mana para regu pemburu tadi berkumpul. Semua dari mereka duduk melingkari sebuah api unggun yang disusun dari batu dan ranting. Ukuran apinya cukup besar bila dibandingkan dengan ukuran ranting yang menjadi bahan bakarnya. Bau daging yang dibakar di dekat unggun tercium wangi, membuat Gawain tak sengaja meneteskan liur dan segera mengelapnya dengan tangan. Kurish mengambil dua tusuk ikan bakar dan memberi satu untuk Gawain. Sembari menunggu ikan itu mendingin, Gawain mulai bicara, “sejak kapan kau datang? Mana yang lain?”
Sama seperti sebelumnya, Kurish menekuk wajahnya, “satu minggu yang lalu.”
“Bukankah tadi siang kita baru saja makan ikan asap bersama?”
“Tidak, itu dua minggu lalu.” Gawain merasa ada yang ganjil di sini. Ditilik dari pengalamannya berbicara dengan Kurish, pria itu tak mungkin bercanda di saat-saat serius semacam ini. Tapi peristiwa mereka terlambat satu minggu dari Kurish juga tak masuk akal. Maka dari itu, Gawain segera bangkit setelah menyelesaikan makanannya, lalu bertanya menuju regu pemburu.
Kurish mencegahnya, bilang bahwa suku pedalaman ini hanya mau berbicara dengan bahasa peri dan mereka kasar. Gawain tahu itu, lagipula ia menyiapkan topik apa yang akan dibicarakan dan ditanyakan. Ketika mendekat, semua tigra pemburu itu menoleh dan melihatinya. Hidung-hidung mereka yang tajam berkedut, membaui tubuh Gawain yang asin oleh air laut, tapi tetap tak menghilangkan bau manusianya yang khas itu.
“Manusia?” bisik seorang dari mereka.
“Bukan, luarnya memang manusia tetapi dalamnya tidak.” Jawab seorang tigra yang mengenakan baju pelaut yang mirip seperti Kurish. Tangannya yang kekar dan berbulu emas itu tampak elegan dan menandakan bahwa dialah pemimpin regu pemburu.
“Hei separuh manusia! Bagaimana? Kau baikan?” tanya yang lain sembari mengejek.
“Itu tidak sopan, Arta. Meskipun mereka tak tahu bahasa kita, tapi kita tak boleh mengejeknya! Bagaimanapun, mereka ini kawan-kawan Hartein!”
Gawain mendesah halus. Ia tidak tersinggung dengan hinaan, tapi ia cukup berhati-hati dengan sebutan separuh manusia. “Penciuman mereka tajam, saking tajamnya mampu membaui jiwa seseorang... berhati-hatilah, Gawain...” bisik Florence.
Dengan satu tarikan napas, Gawain menyapa mereka, “selamat malam, ras tigra Hindian dari Neverland. Sebuah kehormatan bisa berbincang langsung dari suku mitos yang terkenal... namaku Eias, kapten dari armada ini,” balas Gawain dengan bahasa peri yang tak kalah fasih.
Begitu mendengar Gawain berbicara, ketiga tigra meminta maaf atas kelancangan mulut mereka. Gawain tak memikirkannya, lagipula, sejauh ini hanya mereka sajalah yang mampu menebak-nebak; tidak lebih dari tebakan. “Aku juga bingung, kenapa banyak orang mengira aku separuh manusia,” imbuh Gawain untuk mencairkan suasana, “jadi tidak apa-apa. Omong-omong, aku punya beberapa pertanyaan.”
“Aku takut kami tak bisa menjawabnya. Tapi barangkali kepala suku kami bisa menjawabnya. Lagipula, bukankah tujuan Anda sekalian ke sini adalah untuk bertemu Beliau?”
Itu benar, Gawain terlalu terburu-buru untuk menanyakan semua hal sekaligus. Setelah itu, ia izin pamit dan kembali ke pondok untuk beristirahat. Saat sampai, semua orang sudah terlelap di sembarang tempat. Ada yang terbaring di lantai seperti Parsha, juga ada yang terduduk seperti Abi.
Gawain mencoba mengejamkan matanya, namun ia tak kunjung terlelap. Akhirnya, ia memilih melamun di depan ombak malam sembari melihati jalan pulang yang kini berupa laut yang tampak luas. Begitu jauh dari rumah, begitu jauh dari tanah, begitu jauh dari orang yang ia sayangi. Tapi ia tak lupa untuk apa ia kesini: untuk melakukan kesepakatan dengan para peri agar membantu Asosiasi Sihir melawan Penyihir Abadi.
Apa yang terjadi di ujung sana? Ingin rasanya Gawain segera mengirim surat menuju Amarta; menuju Enire dan menanyakan bagaimana kabar Florence juga menanyakan kutukan macam apa yang harus dicabut. Dari sepuluh Penyihir Abadi yang tersebar di segala penjuru Unomi atau bahkan benua dan daerah yang lain, Gawain hanya mengetahui dua orang: Circe dan Lilith, guru Abi.
Musuh utama Gawain adalah Penyihir Abadi yang mampu mengendalikan mayat hidup, dalam kata lain seorang Necromancer (mari kita sebut Si Necromancer dari sekarang). Yang jadi permasalahan, ia tak tahu sama sekali pola pergerakannya. Persis yang seperti Abi katakan, pergerakan mereka cukup cerdik, lihai, dan teliti. Tapi sesuatu pasti terjadi. Asosiasi Sihir pasti melakukan suatu hal untuk membalikkan meja permainan ini.
Bicara tentang pesan, Gawain teringat akan satu hal: jurnal ayahnya. Jurnal ajaib itu dirapali mantra khusus untuk komunikasi jarak jauh. Gawain memang tak mengenal teman bicaranya, tapi ia tak punya pilihan siapa lagi yang dapat ia percaya. Dengan darah sebagai pengganti tinta, ia mulai menulis, “armada karam. Tapi berkat kebaikan Poseida, aku dan beberapa orang selamat...”
Gawain tak punya kegiatan lain selain menunggu balasan.
Di Hyulida, lebih tepatnya di kamar kerja Sofia yang tenang dan hangat itu terdengar sebuah alunan . Sebuah kabar baik ia terima berupa keberadaan Penyihir Abadi selanjutnya. Dari hasil tafsiran Iason, keberadaan Penyihir Abadi selanjutnya berada di perbatasan langit dan bumi. Sekarang, wanita itu sedang memikirkan apa maksud tafsiran itu. Ketika sedang menyeduh teh, tiba-tiba muncul suara goresan dari jurnalnya, dari sana ia tahu seseorang sedang menulis. Mengharap kabar baik yang ia dengar, ia langsung membuka bagian yang ditulis.
Begitu melihat tulisan singkat itu, Sofia meremas tangannya. “Karam? Armada sekuat Hartein karam?” ia segera mengambil pena lalu menulis, “Bagaimana bisa karam?”
“Perairan Iblis menghabisi kami dengan lengan-lengan gurita hitam itu...”
“Siapa saja yang selamat?”
Gawain menyebutkan nama-nama kelasi yang selamat. Karena tak melihat nama Hartein di daftar nama itu, Sofia menyimpulkan bahwa kapten itu telah gugur. “Sungguh malang nasib kalian. Apa yang kalian rencanakan tanpa kepemimpinan Kapten Hartein kalau begitu?”
Gawain diam sejenak, ia memikirkan suatu hal rumit. Ia sudah berkali-kali menggunakan identitas demi identitas, tapi sayangnya Si Necromancer berhasil mengincarnya lagi. Jika saja ia menyebarkan nama Eias, apa sosok Eias ini akan diincar juga? Hanya cukup satu cara untuk mengetahuinya...
“Seorang petualang muda, lebih tepatnya penyihir bernama Eias. Tolong, siapapun dirimu di sana, sampaikan kabar ini kepada Guild dan Asosiasi Sihir; sampaikan siapa yang selamat, sampaikan bahwa kami belum tentu kembali dan mungkin tak akan kembali.”
Sofia cepat-cepat meraih pena lalu menulis nama Eias di sembarang kertas, memilih percaya betul dengan omongan kawannya ini. Lagipula, apa guna mereka berbohong? Tidak ada keuntungan bagi mereka. Tapi memang sedari awal Gawain tak mengincar keuntungan, ia hanya memberikan umpan dan menunggu mangsa mengambil umpan itu.
“Jadi kalian telah sampai di Tír na nÓg tapi kalian tak bisa kembali... apa rencana kalian selanjutnya?”
“Justru itulah yang kami ingin sedang pikirkan. Kapiten Eias adalah orang muda dan pintar lagi cerdik, tapi ia tak sempurna. Dan ia butuh satu kepala lagi untuk berpikir. Sedangkan kami, para kelasi tak ubahnya seonggok kera ketika melihatnya berpikir keras. Kami hanya tahu laut, menebas musuh, menarik temali layar dan rantai jangkar; kami memang bukan pemikir hebat.”
Kening Sofia berkerut, kini ia bertanya-tanya mengapa Master Septim mempercayakan amanah dan beban tanggung jawab yang besar hanya kepada seorang petualang biasa yang sudah tua dan tak tahu apa-apa. “Apa Master Septim salah?... tidak, Beliau tidak akan melakukan kesalahan di saat-saat seperti ini...”
Suatu keraguan tumbuh di hati Sofia. Awalnya ia percaya, tapi kali ini ia sedikit ragu. Untuk segera mengenyahkan keraguannya, maka Sofia lah yang memberikan ide, “bagaimana bila kalian tetap melanjutkan ekspedisi? Bila kalian bisa membujuk Kaisar Oberon, maka pulang bukanlah hal yang mustahil.”
Gawain mengangguk-angguk lemah, ia tidak punya pilihan lagi selain menyelesaikan apa yang ia perbuat. “Baiklah, kupastikan saranmu itu sampai ke Kapiten Eias dan sebaliknya, kau sampaikan kabar ini... aku percaya padamu, kawan.”
Bebarengan, keduanya menutup jurnal. Gawain bangkit dari rebahannya dan kembali ke pondok, kini ia bisa terlelap karena tahu apa yang harus ia lakukan. Sebaliknya, Sofia segera bangkit, cepat-cepat memanggil tiga tigra abdinya itu, lalu menyuruh mereka mencari informasi tentang penyihir bernama Eias ini.
Pagi harinya, tiga tigra itu kembali dan mendapatkan identitas Eias. Seperti yang dibilang dalam jurnal, Eias adalah seorang pemuda, kira-kira berusia dua puluh tahunan. Sayang, informasi itu hanya cukup berhenti di sana. Meskipun sedikit, tapi itu sudah cukup untuk membuat Sofia percaya.
Lain halnya dengan Gawain. Ketika ia bangun, ia merasa tidak percaya pada beberapa hal—terutama dirinya sendiri. Ia menimang-nimang apa yang terjadi bila ia gagal dalam membujuk Oberon? Apakah mereka selamanya terdampar di Neverland tanpa bisa kembali? Untuk mencari jawabannya, Gawain bangun pagi-pagi lalu bertolak menuju pemukiman desa yang ia temui di sekitar ngarai hutan.
Desa di sana tidak terletak di tepi ngarai, melainkan bergelantungan di dinding-dinding kapur yang menua dan tangguh itu. Rumah-rumah mereka yang terbuat dari atap jerami dan berpondasi kayu air tampak tertata berjajar-jajar. Untuk mengunjunginya, seseorang perlu berhati-hati ketika memanjati tebing dan pijakan kecil yang dibuat oleh kaum pedalaman itu. Tidak hanya itu, sebuah sulur terlihat menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lain. Sulur berdiameter satu lengan dewasa itu menjadi jembatan antar rumah. Kaum tigra yang masih saudara dekat dengan kucing mampu menjaga keseimbangan mereka ketika berlarian melintasinya. Anggun dan cepat.
Gawain memang tak bisa menjaga keseimbangan jika ia disuruh berlari melintasi sulur kecil itu, tapi ia cukup bernyali ketika memanjati tebing dan melompati pijakan demi pijakan. Ketika sampai, beberapa bocah tigra yang mengenali Gawain sebagai armada kapal lekas menyapanya lalu mengerubunginya.
Pertanyaan demi pertanyaan bersahutan. Gawain dengan sabar menjawab satu persatu dari mereka sembari berjalan. Ketika sampai di rumah ketua suku, Gawain dihentikan oleh sepasang tigra bertombak. Keduanya berseragam merah dengan rompi baja di dada hingga kaki, mengenakan helm yang sama kuat dan mengilatnya. Dengan nada kasar, mereka bertanya, “ketua suku tidak berjanji akan bertemu dengan kalian! Jika kalian bersikukuh untuk menetap di Neverland, maka kami tak segan mengusir kalian!”
Dari yang Gawain baca dari jurnal Hartein, penduduk Neverland sejatinya tidak membenci pendatang, tapi mereka hanya mau menghindari konflik. Jika saja ada pendatang lain, maka mereka takut kemurkaan Kaisar akan memporak-porandakan mereka. Pendatang di sini tidak disambut baik oleh tuan rumah.
“Aku hanya perlu bicara; tidak perlu langsung. Jika kalian berbaik hati, cukup sampaikan pesanku pada beliau. Apa kalian bersedia?”
Keduanya tak menjawab dengan kata, tapi cukup dengan acungan tombak dari serpihan batu obsidian. Gawain tak mundur, jarak kedua ujung belati itu tak sampai sejengkal dari lehernya. Mata mereka saling bersitatap. Ini adalah langkah pertama dari rencananya. Jika ia tak bisa bicara dengan kepala suku, maka jangan harap ia menemui Oberon. Ia tak bisa mundur, tapi maju berarti pertarungan. “Oh iya? Terkadang suatu permasalahan hanya dapat diselesaikan dengan denting dan benturan logam.” Gawain mengangkat tongkatnya; jika bisa ia hanya memukul dengan benda tumpul bukan menebas dengan belati atau pedang.
“Cukup!” sebuah suara wanita terdengar di belakang mereka, lebih tepatnya di atas beranda rumah. Semua orang menoleh, lalu kedua penjaga tadi menaruh tombak mereka dan bertekuk lutut, juga beberapa bocah tigra. Itu adalah kepala suku yang dimaksud, seorang wanita tigra berambut kuning keemasan. Insting dan nalurinya seruncing daun telinga yang muncul di kepalanya. Pancaran mata emasnya juga menunjukkan ia orang yang penuh kharisma hingga tanpa Gawain sadari ia juga sudah berlutut di depannya.
“Bangun kalian semua!” semuanya bangkit namun dengan kepala tertunduk. Jemarinya menunjuk Gawain, “anak muda, kau ingin bicara padaku?”
Gawain mengangguk mantap.
“Lantas apa alasanmu untuk membuatku mendengarkanmu?”
Hampir saja Gawain kehilangan ide, tapi ia ingat bahwa anting pemberian Hartein sudah cukup untuk memudahkan pembicaraannya. Sambil mengangkat anting keperakan, ia berkata, “aku hanya seorang pengantar pesan dari Hartein, Tigra Lily,” tombak-tombak kembali teracung, tapi Tigra Lily mengangkat tangannya, menyuruh kedua pengawalnya itu untuk mundur. Dengan lompatan anggun, ia turun. Tubuh mereka tampak seumuran, tapi Gawain tak tertipu dengan hal semacam itu.
“Hartein ya... kuharap Petra tidak kecewa mendengar kematian cicitnya.” Tigra Lily balik kanan dan melangkah masuk, sebelum ia benar-benar lenyap, ia bertanya, “kau mau bicara atau berdiri di sana? Masuklah, lebih baik kita bicara di dalam.”
Dengan langkah setengah patah-patah karena mawas akan tombak obsidian yang bisa saja menikamnya kapanpun, ia masuk melewati daun pintu kayu berukiran ombak itu.
ntap
Comment on chapter Fiveteen: Persona