Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Eternal Witch
MENU
About Us  

Sesungguhnya, langit malam itu tidak mendung juga dingin. Angin darat bertiup sepoi-sepoi turun dari bukit menuju laut, mendorong layar-layar putih menuju tengah lautan, tempat di mana para nelayan mengundi nasib dengan merajut jala-jala mereka demi menangkap ribuan ikan di sana. Tepat di bawah langit yang kosong, kalian akan nampak ujung gunung yang diselimuti kabut gelap, tempat para priyayi dan pertapa tinggal jauh dari pemukiman rakyat pada umumnya. Sayang, pemandangan di ujung gunung itu pada malam ini tak terlihat, juga arus angin yang meniup layar-layar putih di dermaga Junier.

   Sebab-musababnya adalah api dan asap. Karena perubahan panas, arus udara malam itu berbalik, menyebabkan angin laut bertiup memaksa perahu-perahu kecil untuk kembali. Api yang kecil tidak akan mengubah arus sebesar itu: hanya api yang besarnya sebanding yang dapat mengubahnya.

   Dan itulah yang sedang terjadi. Seisi kawasan itu dikejutkan dengan guncangan serta suara gemuruh yang menggelegar. Beberapa mengira bahwa Dewa dan Dewi sedang mengamuk, melihati manusia-manusia pembangkang yang hidup di dunia mereka, beberapa lain mengira bahwa badai akan datang tiba-tiba seperti tahun lalu, beberapa berpikir bahwa insiden ledakan yang sama terulang. Apapun alasannya, semua orang di Junier gemetaran.

   Namun tidak dengan segelintir orang yang cukup berani dan bernyali untuk berdiri bahkan menghampiri Grende, letak di mana pusat api sedang mengamuk. Salah satunya, Sa’rah si Half-Elf di bagian cerita ini.

   Matanya bersinar dengan kilatan amarah. Itu reaksi wajarnya sebagai bagian dari anggota pelindung hutan magis. Dalam derap langkah cepat, ia berhasil menembus penghalang tak tembus pandang yang kian merapat. Saat ia menjejakan kaki, peri-peri hutan sudah melayang ke sana kemari membentuk barikade dan formasi rumit, sedia menyerang siapapun yang berani menjejakan kaki di Grende. Ketika mata kecil mereka mendapati Sa’rah, mereka berhenti sesaat, memberikan laporan dari yang mereka ketahui.

   “Adakah saudara dan saudari kalian yang masih hidup di dekat sana?”

   Semua peri hutan menggeleng, berbisik melalui melodi alam bahwa api menelan menelan semuanya hingga tak bersisa.

   Peluh dingin langsung mengucur dari dahi Sa’rah yang terlipat. Pertanda buruk, batinnya. Ia kembali berlari menembus semak-semak hutan diikuti ribuan peri hutan di belakangnya. Sa’rah menajamkan semua indranya dan mengambil alih kepemimpinan semua Peri Hutan.

   Semakin ia menyelusup masuk, rasa gelisah semakin bertumbuh di hatinya. Bau miasma sihir yang anyir lama-kelamaan memekat, diikuti dengan kabut miasma hitam yang yang sudah bercampur dengan asap. Itu asap beracun. Sa’rah menyadarinya sebelum benar-benar terlambat. Ia sempat menghirupnya sedikit, lalu merasa dadanya rontok seketika. Di belakangnya, sudah ribuan peri sekarat dengan busa yang keluar dari pori-pori di sekujur tubuh mereka. Itu peristiwa yang jeri, namun sekarang bukan saatnya untuk berdiam diri. Dengan kesigapan, Sa’rah memanjat pohon terdekat.

   Saat setengah jalan memanjat, ia tersadar bahwa tetanam di tanah dan di pohon depannya itu sudah mulai meranggas. Beberapa pohon sudah tampak tumbang. Dengan tetap menyimpan napasnya, ia memanjat berhati-hati dan cepat. Saat ia melalui kanopi besar, ia dapat melihat kobaran api di tengah-tengah hutan. Itu jantung hutan, tempatnya selama ini hidup.

   Getaran-getaran kecil terasa di kakinya, merambat lurus dari pohon. Matanya mencoba menyelusup tebalnya miasma bercampur api, namun gagal. Bagai sebuah sihir penangkal mengerubungnya.

   Sa’rah mengatur napasnya. Cepat atau lambat, pohon yang ia tumpangi ini akan roboh, sebelum itu ia harus turun. Sempat terbersit ide untuk lompat dari satu dahan ke dahan, namun itu berisiko tinggi. Siapa yang menjamin dahan itu tetap tangguh jika pohon itu sudah meranggas dan menua? Harus ia akui itu adalah cara tercepat, namun juga yang paling berbahaya.

   Dengan luncuran cepat sembari menahan napas, Sa’rah mendarat anggun di tengah rerumputan yang mati layu dan mengering. Ia mengedarkan pandangan di sekitar, mendapati hanya bentang darat yang menyedihkan. Sa’rah maju perlahan, berlari hanya membuat napasnya menjadi tak teratur.

   Dalam tiap langkahnya, ia menerka-menerka apa yang sedang terjadi. Lalu beberapa potong ingatan tersirat di pikirannya. Dalam kalut kepalanya itu, ia mencoba mengaitkan semua potongan-potongan ingatan itu menjadi satu.

   Miasma hitam, insiden Orkney di Junier, ledakan yang sama setahun lalu. Dari tiga fakta itu, ia menyimpulkan suatu hal yang di luar dugaannya.

   “Sial, rumor itu benar...” Sa’rah merasa pahitnya penyesalan. Andai saja ia percaya pada rumor dan membicarakannya pada Tetua. Andai saja ia tak lengah, iya andai saja.

   Langkah Sa’rah terseok, tubuhnya semakin melemah. Meskipun ia tak menghirup miasma, namun cukup dengan melakukan kontak dapat perlahan membunuhnya. Ia merasa kulitnya terbakar dan nyeri yang tak terkira. Namun ia tetap melangkah untuk pulang menuju tempat yang ia panggil rumah. Walaupun ia tahu, bahwa rumah itu mungkin sudah hancur.

   Tinggal dua ratus depa lagi. Miasma hitam mulai menipis. Sebagian besar sudah menguap menuju langit, sebagian telah mengendap di tanah dan terserap, sebagian terakumulasi pada mayat yang telah mati. Sa’rah yang tadinya kehilangan napas bersyukur ia tak merusak dadanya lagi. Tak ada manusia yang dapat menahan napasnya selama tiga puluh menit lebih, begitu pula dengan Half-Elf.

   Sebelum memasuki kawasan desa, ia berhenti di rumah pohonnya yang telah jatuh itu. Ia bersembunyi sejenak mengatur napas di sisa-sisa puing rumahnya juga meminum beberapa ramuan penyembuh. Ramuan itu bekerja, namun tak banyak. Luka dari miasma itu tetap saja menyakitkan, seolah tidak hanya tubuh saja yang dikoyak, melainkan juga jiwa.

   Sa’rah juga mengambil beberapa pisau lempar, bersiap. Setelah menyiapkan diri, ia berjalan mengendap-ngendap menuju desa. Sesampainya di sana, ia menyembunyikan diri di balik pohon yang entah mengapa belum tumbang. Matanya mengintip sesaat, mendapati puluhan sosok berjubah hitam berdiri. Rupanya mereka masih belum mengetahui Sa’rah.

   Sa’rah membidik sesaat ke salah seorang dari mereka, lalu melempar dengan cepat sebilah pisau. Tangannya lemas sesaat, membuat bidikannya melenceng ke bawah dari kepala, namun tetap fatal mengarah ke leher target. Sosok itu jatuh tersungkur ke rerumputan, meredam suara tubuhnya hingga Sa’rah sendiri tak mendengarnya.

   Anehnya, semuanya yang lain menoleh, lalu menyebar. Langkah itu cepat dan tak terduga, hingga Sa’rah tak menyadari seorang dari mereka sudah di belakangnya dengan pedang terhunus. Insting Sa’rah bekerja cepat, tepat sebelum ayunan pedang itu usai, tubuh Sa’rah sudah berguling , menyebabkan pedang itu membelah udara kosong.

   Sa’rah berlari. Melawan satu kawanan penuh orang setangguh itu bukanlah levelnya. Belum dua langkah, seorang dari mereka sudah menghadang. Sebuah pedang melayang cepat, Sa’rah tak sempat menghindar. Dengan segenap kekuatan, ia menghentikannya dengan tepisan belati. Ting! Suara besi beradu memecah keheningan.

   Dalam sepersekian detik selanjutnya, tangan kiri Sa’rah menghantam telak perut lawannya. Sosok itu tak rubuh, namun sempoyongan, memberikan waktu yang cukup untuk Sa’rah berlari.

   Kali ini tak ada yang mencegatnya. Hentakan lari Sa’rah tidak secepat biasanya berkat luka dari miasma. Ia berhenti, ratusan depa di depan matanya terlihat kabut miasma yang mendekat. Itu mengejutkan, miasma itu kembali.

   Di belakaangnya, dua sosok itu mengejar. Sa’rah menyongsong musuhnya. Berkat adanya miasma, ia tak punya kesempatan untuk mundur sejenak dan mengatur strategi. Dengan keyakinan ia mulai maju dengan belati terhunus.

   “Nariente Xaftaist,” kobaran api terpercik di belatinya. Api yang melapisi belati itu panas hingga dapat memotong kayu gelondongan berdiameter lima jengkal dengan sekali tebas. Sa’rah mulai mengayunkan belati, juga dua lawannya. Dalam pertarungan jarak pendek, jangkauan pedang memang lebih luas daripada belati, namun kecepatan serta akurasi sayatan belati dapat sepuluh kali lebih tajam daripada pedang.

   Wush! Sa’rah berhasil menebas dua orang itu dengan cepat. Satu di pinggang dan satu di paha. Berkat perbedaan tinggi keduanya, Sa’rah dapat menunduk hingga jatuh di titik lenyap dua orang itu. Ia memang tak bisa berlari cepat, namun kelincahan tubuhnya masih melekat. Dengan itu, ia kembali berlari memutar.

   Namun itu tidak sebentar. Sekejap kemudian, tubuhnya jatuh ke tanah. Punggungnya tertekan. Setelah ia tersadar, ia sudah ditimpa oleh seorang. Kepala Sa’rah terbentur, pandangannya mulai kabur. Ia dipaksa bangun oleh orang di punggungnya. Ia tak bisa berontak, tangannya terkunci.

   Sejenak, sebuah darah terkucur di tangannya. Sa’rah tahu kalau itu bukan darahnya. Maka dengan kengerian sesaat, ia memberanikan menoleh, mendapati sosok yang ia rasa-rasa tak asing.

   Satu hal yang membuat sosok itu tak asing: sebilah pisau lempar di lehernya. Sa’rah terperanjat sesaat sembari tak percaya. “Tidak mungkin!” serunya sembari berusaha melepaskan diri. “Tidak ada seseorang yang dapat bertahan setelah lehernya tertembus!”

   Sa’rah benar-benar tak percaya dengan apa yang ia saksikan. Ia dengan sia-sia meronta melawan cengkraman dingin dari sosok itu. Ia diseret. Dalam perjalanannya itu, ia melihat dua sosok yang juga tak asing: satu dengan paha tersayat dan satunya dengan pinggang yang tampak jelas terkoyak. Mereka berjalan dengan terseok dan pincang, namun kenyataan bahwa masih dapat berjalan dengan luka semacam itu membuat Sa’rah sadar siapa sosok di balik jubah dan topeng hitam itu.

   Ia berpikir bahwa ia sudah gila. Dengan tawa kecil, ia mencoba menolak pikiran gila yang sempat terbersit di kepalanya. Detik-detik terasa amat cepat, ia sudah di bawa menuju tengah desa, tempat di mana kawannya yang lain sudah menunggu menjadi mayat. Sa’rah mengedarkan pandangan, mendapati sosok yang ia kenal tengah berlutut tak berdaya. Sa’rah memandangnya sejenak, mengamati sorot mata coklat yang hilang harapan itu.

   “Gawain!” pekik Sa’rah. Namun sia belaka, suaranya sudah tak lagi sampai di telinga siapapun—kerongkongannya sudah mulai membusuk akibat miasma. Sa’rah lemas terkulai begitu dua sosok dari topeng hitam melepas gandengan lengan mereka. Ia sulit bernapas. Lama-kelamaan pandangannya kabur selaiknya tirai yang ingin menutup sandiwara hidupnya, juga tepuk tangan samar-samar yang ia dengar di telinganya. Ia sekarat.

   Gawain yang mengenali sosok Sa’rah langsung mendekat dengan menyeret lututnya. Ia tak sanggup bangun, tidak setelah melihat semua orang terbunuh di depannya. Ia tak sanggup mengatakan apapun—bahkan orang bisu masih dapat bersuara parau dengan tenggorokannya.

   Beberapa saat lalu, ketika ia membuka mata, tubuhnya masih kaku, ia tak mampu bergerak hingga ia diarak oleh beberapa sosok berjubah hitam ke alun-alun desa. Saat sampai, beberapa warga desa tertunduk dengan tangan terikat, berlutut tanpa daya.

   “Tunjukkan dirimu!” ucap suatu gema yang berasal dari angkasa. Gawain menengok ke atas, mendapati asap sudah membumbung. Barusan itulah, ia tersadar bahwa seisi desa sudah luluh lantah dan hanya enam orang di depannyalah yang masih hidup.

   “Kau!” semua orang di sana menengok menuju angkasa, “anak berambut coklat, adakah yang kau sembunyikan?!” gema suara itu menggelegar menggetarkan hati.

   Gawain yang tak mengerti apapun menjawab dengan lugu, “saya tak menyembunyikan apapun.”

   Slash! Sebuah tebasan pedang mengayun cepat bahkan sebelum Gawain berhenti berkata. “Dasar pembohong! Sampai kapan kau bersembunyi, huh?!” ujar gema angkasa itu dengan lantang.

   Gawain menatap jeri. Darah segar terciprat dari pangkal leher salah seorang warga desa. Tak lupa, kepalanya itu menggelinding di tanah. Mata Gawain mengkerut, mendapati air muka jeri dari kepala itu. Mata Gawain mulai buncah, ia mendongak ke langit dan berkata, “demi sumpahku pada Dewa Than’atos dan saudarinya, Ker’ui yang memegang penuh kendali atas kematian seorang jiwa, aku tidak berbohong! Aku tak punya apapun untuk disembunyikan! Jika kalian mengincar harta, maka ambil sajalah tabungan yang ada di rumah pohonku! Ada koin emas dan bahkan beberapa butir perma—

   Slash! Kepala seseorang kembali melayang dari lehernya. Kali ini seseorang penjahit tua yang sudah rabun. Mata Gawain mulai membuncah, amarahnya mulai meluap, kali ini ia berkata, “apa yang kalian lakukan?! Kalian tak berhak mengambil nyawa orang lain! Apakah kalian tak punya hati hingga mudah untuk menebas pedang kali—“ belum selesai Gawain berujar pada si algojo, lidahnya kelu dengan peristiwa yang ada di depannya.

   Slash! Itu kepala seorang penggembala muda yang ia kenal. Gawain hampir rubuh. Baginya, gembala muda itu sudah ia anggap saudara sendiri. Kepala gembala muda itu melayang tak jauh, lalu tergeletak dan menggelinding. Seseorang dari mereka menendang kepala itu menjauh, meninggalkan bercak darah sejauh kepala itu melayang. Gawain akhirnya bergerak, lalu menunduk bersujud, “apapun! Kuberikan apapun! Aku mohon ampuni mereka! Jika aku yang kau incar, kau tak usah membuatku seperti ini untuk diriku menyerahkan diri!

   Hening. Pedang algojo berhenti berayun. Gawain menangis syukur bahwa tak ada kepala yang melayang. Setelahnya ia mendongak ke langit, mendapati jawaban dari gema angkasa, “berikan dia anak muda! Cepat berikan atau tak bakal ada yang tersisa dari mereka!”

   “Oh wahai gema di angkasa, hamba tak mengerti siapa yang Anda maksud,” sekarang, nada bicara Gawain tampaklah betul seperti memohon pada Dewa dan Dewi. Ia tak peduli, bahkan mungkin sekarang ia berbicara dengan salah satu dari Dewa dan Dewi. “Anda dapat melihat betul bukan, bahwa saya ini hanya orang miskin yang bahkan tak ingat masa lalunya! Saya orang menyedihkan! Saya tak punya siapapun yang Anda maksudkan! Mungkin Anda salah mengenali hamba dengan orang lain!

   Kali ini, pedang yang dipegang algojo itu jatuh dari pegangannya. Gawain bernapas lega, mengira bahwa si gema angkasa mengampuni nyawa. Namun tidak. Dalam sepersekian detik kemudian, algojo menjambat rambut penjahitHhalf-Elf, lalu menghantamkannya telak ke tanah. Satu kali, gadis itu sempat meronta. Dua kali, gadis itu masih sanggup berteriak. Tiga kali, gadis itu memohon ampun.

   Hantaman itu terjadi hingga tujuh kali. Itu hukuman kematian yang menyakitkan sekaligus perlahan. Wajah gadis itu remuk, sebagian kulitnya mengelupas dan bercampur dengan tanah.

   Gawain rasanya ingin berteriak, namun sia belaka. Ia baru tersadar bahwa ia tidak mempunyai lidah yang lengkap. Jadi, dialognya selama ini bahkan tak keluar dari tenggorokannya. Ia mencoba meronta, namun kuncian di lengannya semakin erat.

   Sisa dua orang terakhir memiliki kematian yang paling menyakitkan. Gawain memejamkan matanya, tak mau lagi melihat kematian yang keji itu, namun ia cukup tahu dari jeritan yang ia dengar. Memilukan hati, mencabik jiwa.

   Enam half-elf itu sudah tewas di tangan keji sang algojo, meninggalkan Gawain yang masih beku. Sorot matanya hampa, seolah sinar hidup sudah menguap beserta jiwanya. Sejenak, ia menundukkan kepala, melihati genangan darah yang mulai mengalir. Sekejap kemudian, ia mendongaki langit, mengikuti ujung asap di langit.

   Gawain merasakan perasaan janggal. Sekelebat bayangan samar terlihat di kepalanya. Ia merasa pernah mengalami mimpi serupa. Ia termenung sesaat, membiarkan jiwanya tenang. Jika ia dalam mimpi, seseorang pasti akan membangunkannya. Iya, Gawain yakin itu. Ia punya seorang gadis itu, gadis yang ia cintai dan juga mencintainya, meskipun hubungan mereka tidak berjalan seperti yang Gawain harapkan. Namun Gawain tahu, di tiap mimpi buruknya, tangan gadis itu akan menariknya kembali ke dunia.

   Perlahan, Gawain menutup mata, buta dengan dunia.

   Setelah itu, ia mendengar suara jernih gadis itu memanggilnya. Ah, Gawain senang ia kembali. Perlahan pula, ia membuka mata.

   Dan di saat itulah, ia akhirnya menerima bahwa ia sudah terbangun dari mimpinya. Gawain mendapatkan kekuatan untuk meronta, ia menyeret lututnya hanya untuk meraih gadis itu.

   Melihat ulah Gawain, si algojo menyiapkan pedangnya, mengancam.

   Gawain tak menggubris ancaman itu. Malahan, lebih baik ia memilih mengakhiri hidupnya. Gema angkasa terdengar berteriak, namun Erno tak mendongak atau mendengarnya sedikitpun. Ia sudah selangkah lagi. Tangannya sudah maju dan mencoba mendekap Sa’rah.

   Tempias cahaya rembulan terbias di mata pedang berlumur darah. Merah terang, membawa pesan kematian dari langit malam yang dingin dan luas itu, begitu luasnya hingga Dewa dan Dewi sendiri kagum dan berbangga diri dengan dunia ciptaan mereka. Namun tidak pemuda itu, ia mulai mengutuki dunia yang ia tinggali; dunia di mana darah dan air mata tak pernah berhenti mengalir juga di mana harapan dapat menjatuhkan orang ke jurang keputus-asaan.

   Sepotong bayangan buram menyergap di kepala Gawain. Potongan itu nyata, seolah ia pernah mengalaminya sendiri. Api dan darah. Iya, itu adalah ingatannya sendiri; ingatan yang selama ini menjadi trauma tersendiri di kepalanya hingga membuatnya buta dan lupa dengan ingatannya itu, juga dengan amarah serta dendam tak berujung.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • haruray

    ntap

    Comment on chapter Fiveteen: Persona
  • KurniaRamdan39

    @Ardhio_Prantoko Thanks Mas Ardhio atas semangatnya!

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
  • Ardhio_Prantoko

    Aku sih YES sama cerita ini. Alurnya kompleks dan terarah. Implementasi figur tokohnya aku suka. Ditunggu kelanjutannya. Respect for writer

    Comment on chapter Fourteen: Retribution
Similar Tags
Code: Scarlet
25387      4945     16     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.
Gareng si Kucing Jalanan
10693      3448     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...
Gray November
3760      1296     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...
Nope!!!
1492      686     3     
Science Fiction
Apa yang akan kau temukan? Dunia yang hancur dengan banyak kebohongan di depan matamu. Kalau kau mau menolongku, datanglah dan bantu aku menyelesaikan semuanya. -Ra-
Unbelievable Sandra Moment
596      431     2     
Short Story
Sandra adalah remaja kalangan atas yang sedang mengalami sesuatu yang tidak terduga apakah Sandra akan baik-baik saja?
Triangle of feeling
493      351     0     
Short Story
Triangle of feeling sebuah cerpen yang berisi tentangperjuangan Rheac untuk mrwujudkan mimpinya.
Kinara
4804      1687     0     
Fantasy
Kinara Denallie, seorang gadis biasa, yang bekerja sebagai desainer grafis freelance. Tanpa diduga bertemu seorang gadis imut yang muncul dari tubuhnya, mengaku sebagai Spirit. Dia mengaku kehilangan Lakon, yang sebenarnya kakak Kinara, Kirana Denallie, yang tewas sebagai Spirit andal. Dia pun ikut bersama, bersedia menjadi Lakon Kinara dan hidup berdampingan dengannya. Kinara yang tidak tahu apa...
Trip
940      476     1     
Fantasy
Sebuah liburan idealnya dengan bersantai, bersenang-senang. Lalu apa yang sedang aku lakukan sekarang? Berlari dan ketakutan. Apa itu juga bagian dari liburan?
The Last Mission
615      375     12     
Action
14 tahun yang silam, terjadi suatu insiden yang mengerikan. Suatu insiden ledakan bahan kimia berskala besar yang bersumber dari laboratorium penelitian. Ada dua korban jiwa yang tewas akibat dari insiden tersebut. Mereka adalah sepasang suami istri yang bekerja sebagai peneliti di lokasi kejadian. Mereka berdua meninggalkan seorang anak yang masih balita. Seorang balita laki-laki yang ditemuka...
MERAH
473      334     0     
Short Story
Seluruh warna tertuang di dunia, dan tidak bisa untuk menghindarinya