Chapter 8: They Heard A Secret Recorder
Sang surya makin memancarkan berkas-berkas cahayanya, menembusi jendela-jendela kediaman Brandon Cherlone yang di Area London. Ketiga anak-anak bilyuner itu sudah sampai di sana sejak beberapa jam sebelumnya.
Farah berbaring nyaman di lantai atas. Asyik memanjakan diri di dalam realitas virtual yang menjadi pilihan favoritnya. Begitulah kebiasaannya jika sedang mengalami kekalutan akibat banyak tekanan dan beban pikiran.
Saat ini, kematian sang ayah telah menyumbang sekian banyak pengaruh besar yang memenuhi seluruh ruang dalam dirinya.
Sementara Don dan Sarron tengah asyik menjadi detektif di ruang santai Brandon. Mencari sebanyak mungkin hal yang dapat dijadikan petunjuk untuk memecahkan misteri pembunuhan itu—dan jikalau seandainya dapat—sekaligus menemukan semua pelakunya.
Mereka menemukan banyak sekali rekaman pembicaraan bisnis dalam komputer sang ayah. Seputar Cherlone Companies dan Cherlones Enterprise, tetapi masih dalam kadar permukaan luar.
Tentu saja, Brandon tergolong orang yang cerdik dan lihai, di samping kepiawaian dan intuisi bisnisnya.
Kemudian, tanpa sengaja, Sarron berhasil membuka sebuah rekaman percakapan sangat rahasia—dikiranya sebagai suatu album foto romantis kedua orang tuanya. Data itu ‘dilindungi’ oleh cover berupa gambar ikon foto keluarga.
Dicobanya memasukkan nama depan sang ibu kandung sebagai kata kunci—Greta Helmont—tanpa diduga sama sekali, ternyata dapat menembus kunci pengaman.
Terdengar suara seorang laki-laki dan seorang perempuan di situ. Kedua suara yang tampaknya sengaja dikaburkan, supaya sulit sekali mendeteksi siapakah pasangan pemilik suara.
Juga tidak memuat percakapan dari awal, dan terputus—belum sampai kedua orang misterius ini menuntaskannya.
Don dan Sarron memutar ulang sampai belasan kali.
"Pokoknya kau bilang pada kedua Cherlone haram itu," kata si perempuan bernada tegas, "aku tidak mau tahu bagaimana caranya."
"Apakah aku harus memberitahukannya pada pangeran? " tanya si laki-laki.
Setiap kali mendengar bagian ini, muka Don dan Sarron berubah pucat. Berulang kali mereka sekilas mencuri pandang dan lantas saling mencurigai.
"Terserah kau saja, itu urusanmu dengan dia," terasa sekali nada ketus pada suara si perempuan.
"Perlu kau tahu, aku tidak mau dicap sebagai penghianat Cherlone. Apalagi si Brandon," ancam si laki-laki tidak mau kalah.
"Raja bukanlah ancaman," ucap si perempuan menasihati dengan angkuhnya, "Kalau kau sungguh penggemar catur, kau seharusnya tahu musuh besarmu adalah benteng, kuda dan menteri, tolol! "
"Well, selama ini, kedua mataku tak pernah lepas dari putri haram yang diadopsi keluarga Craft. Aku selalu memantau dan mengikuti Cheryl yang lugu, polos, dan tak tahu apa-apa itu ke mana pun dia pergi tanpa sepengetahuannya."
"Apa lagi yang kau tahu, dan kau lakukan selama ini?"
"Kita aman, karena sejak mengadopsi Chester, keluarga Lombardo yang bagaikan keledai itu benar-benar tidak pernah memberitahu identitas asli pada si pangeran haram."
Si laki-laki misterius mengucapkan kata-kata terakhirnya dengan derai suara tawa beraroma kebusukan serta kejahatan.
Don dan Sarron menelan ludah setiap sampai pada bagian itu. Merasa ngeri dan sangat terancam.
Sedangkan si perempuan hanya tertawa puas dalam desahan sebelum menyambung, "Bagus sekali. Selesai raja kita lumat, kita bereskan dan singkirkan Daxton dari semua yang mengasyikkan ini."
Kontan dalam benak masing-masing, Don dan Sarron bertanya-tanya siapa pemilik nama yang dimaksud dalam percakapan. Nama yang sudah cukup umum dipakai orang di dunia masa depan ini.
Tidak berhenti sampai di situ. Pada detik berikutnya, muncul nama umum lain yang disebut si perempuan, yang berbicara lagi.
"Bagaimana dengan Farrel? Apa yang harus kita lakukan padanya?"
"Apa maksudmu dengan pertanyaan itu, tak lain dari melenyapkannya juga? Kalau soal dia, aku belum memikirkan lebih jauh. Lagipula untuk apa?"
"Dia bisa jadi kuda hitam yang cukup berbahaya. Ingat itu! Dia bisa mengancam posisi kita, dan menjerumuskan kita ke dalam jurang!"
Usai perkataan yang diiringi campuran ekstrem rasa cemas, ngeri, kebencian sekaligus amarah tersebut, suara kedua orang itu terputus-putus. Pembicaraan mereka berubah menjadi tidak jelas untuk sekian detik. Hingga akhirnya rekaman pun berhenti.
Wajah Don dan Sarron kian pucat setelah memutar ulang rekaman untuk kesekian kali. Merasa sangat yakin kalau kedua pemilik suara merupakan sosok-sosok pembunuh Brandon Cherlone.
"Raja? Pangeran?" tanya Sarron mengulangi dengan penasaran dan ketakutan yang makin menumpuk, "Aku sungguh tidak mengerti."
"Perempuan ini benar-benar tidak punya perasaan, atau mungkin sudah kehilangan," sahut Don beranalisa dengan tenangnya, "Tega nian dia bilang kedua adik kita itu dengan sebutan tambahan haram. Tapi setidaknya, kau sudah tahu nama sepasang kembar Cherlone—Chester dan Cheryl."
"Yang kau ramal semalam bahwa mereka akan ada di sini hari ini juga," balas Sarron—mengungkit lagi peristiwa yang mengejutkan dirinya dan Farah, dengan nada sindiran penuh arti.
"Apa kau mau bilang kalau aku yang sengaja mengundang mereka dengan membunuh Ayah?" tanya Don tersinggung dalam kehalusan nadanya.
"Kau sendiri yang mengatakannya. Aku tidak bilang begitu loh," balas Sarron membela diri dengan nada datar.
"Tuan Pengacara, keinginan Anda-lah yang mendorongku berkata begitu dengan pikiran setajam pisau."
"Daripada kita berdua berdebat tentang siapa yang lebih layak jadi tersangka di antara kita, lebih baik mencari nama Daxton dan Farrel," ujar Sarron menyarankan dengan bijaknya.
"Usul yang baik," sahut Don menyeringai, "Apa kau lupa kalau nama ibu tiri kita itu Lynn Farrel?"
"Jikalau memang dia yang dimaksud dalam rekaman, untuk apa lagi perempuan itu berurusan dengan Ayah dan kita sekeluarga? Bukankah dia sudah mendapatkan apa yang diinginkannya?"
"Jika memang demikian halnya, semalam kau bersandiwara dengan sempurna," puji Don—balas menyindir balik, sambil bertepuk tangan dengan nyaring, "Sudah kuduga bahwa adik pintarku ini telah mengetahui skandal besar seorang Brandon Cherlone."
"Semua yang kita lakukan ini karena warisan," kata Sarron mantap, tapi pada detik berikutnya, mencuat keraguan dalam hati, "Aku masih tak habis pikir sikap Farah yang membela mati-matian kesucian ayah."
"Kau yakin betul?" tanya Don sambil menaikkan alis matanya, "Ingat, perempuan dalam rekaman itu menyalahkan si kuda hitam. Lebih baik, kita lihat saja data dan dokumen lain di dalam rumah ini."
"Tapi jangan terlalu lama juga, Don. Seperti katamu tadi tentang kedatangan Chester dan Cheryl—siapa tahu mereka sedang dalam perjalanan ke sini. Mungkin, ada baiknya kita dan Farah bersiap-siap dahulu sekarang," kata Sarron mengingatkan sekaligus menasihati.
Kemudian, dengan satu jari menunjuk ke arah waktu pada layar komunikasi, dia menyambung, "Sekitar satu jam lagi, sudah saatnya makan siang loh."
"Ronald pasti sedang menyiapkannya," balas Don setelah berpikir dan memutuskan, "Bilang saja padanya hidangan untuk lima orang. Jika mereka sampai tidak datang, dia dan tiga pelayan lainnya bisa menghabiskannya.”
"Tolong sekalian juga ke lantai atas, supaya Farah ikut mempersiapkan diri. Paling tidak, aku bakalan lima menit lagi di sini," kata-kata tambahannya kepada adik laki-lakinya itu.
"Oke bos," ledek Sarron menyeringai. Segera dia bergegas menuju ruangan dapur, sebelum naik ke tingkat teratas rumah.
Ternyata dalam menit-menit terakhir itulah, Don menemukan dokumen lain yang menyeret beberapa orang lain lagi untuk layak terlibat dalam pembunuhan ayahnya. Tersimpan aman dalam sistem komunikasi dalam rumah Cherlone itu. Dengan dua kata kunci yang adalah namanya sendiri—sang pewaris utama.
Alangkah kagetnya Don melihat rekaman visual yang terbilang seru tersebut.
Sederet pertengkaran di dalam Cherlone Companies. Juga tidak ketinggalan serangan perang dingin Brandon kepada beberapa rival bisnisnya.
@Kang_Isa Terima kasih atas supportnya, kang
Comment on chapter #3