Chapter 9: Welcome Home, Chester and Cheryl (part 1)
Chester dan Cheryl berdiri persis di depan gerbang masuk rumah Brandon Cherlone yang di Area London, ketika waktu menunjukkan sepuluh menit berlalu dari pukul sebelas siang. Akhirnya mereka menemukan juga lokasi yang dituju, dan berhasil tiba di tempat.
Tak lama keluar dari Cheap And Smart Fashion—toko pakaian tempat Daxton Phelps bekerja—mereka naik ke dalam otobus. Bus yang mengantar si pasangan kembar kita ini ke daerah Distrik Tujuh Area London.
Keduanya duduk bersebelahan. Cheryl menyandarkan kepala ke pundak Chester.
"Pikiranku agak lelah akhir-akhir ini," curhatnya sambil menghembuskan nafas.
Chester mengelus pelan rambut pirang itu. Benaknya melihat betapa banyak beban pikiran dan emosi yang memenuhi otak Cheryl.
Tangan yang semula menyentuh rambut digerakkannya menghampiri pundak saudarinya itu yang berada di sisi lain. Memegangnya dengan amat erat—merangkul kuat badannya.
Dengan lembut dan perlahan dikecupnya kening Cheryl yang tertutup poni, lalu berbisik, "Beristirahatlah sebentar."
Orang-orang di sekitar mereka di dalam bus melirik atau memandang, sepertinya dengan tatapan iri. Kalau diperkirakan waktunya, belum genap tiga jam lamanya mereka bertemu untuk pertama kali seumur hidup.
"Terima kasih," balas Cheryl lirih, lalu mulai memejamkan mata. Setengah menit kemudian, irama nafasnya menunjukkan dirinya tengah tertidur.
Chester mulai iseng berpikir apakah kemampuan unik indigonya dapat dipakai untuk mengintip mimpi seseorang. Terpikir sejak dirinya memperhatikan kedua bola mata yang tersimpan dalam kelopak Cheryl bergerak-gerak.
Tetapi kemudian logikanya berbicara. Mimpi itu kan termasuk benak visual, bukanlah pikiran yang berbicara. Visual merupakan wilayah keunikan indigo Cheryl, sedangkan miliknya sendiri lebih tertuju pada wilayah pikiran.
Cheryl kelihatan cukup lelah. Kira-kira setengah jam lamanya terlelap pulas di pelukan Chester, yang hatinya sudah sangat merindukan kehangatan kedekatan saudara seperti itu.
Rambut pirangnya sempat agak acak-acakan ketika terbangun. Dengan cekatan Chester merapikannya kembali.
"Di mana kita sekarang? Apa kita sudah sampai?" tanya Cheryl sambil mengusap kedua matanya.
Setelah rambutnya rapi, dia meledek, "Sepertinya beruntung sekali perempuan yang jadi pacarmu."
"Sebentar lagi, sayang," jawab Chester atas pertanyaan Cheryl tadi. Merasa tersanjung, dia menyambung sambil nyengir lebar, "Semua laki-laki di dunia pasti melakukan itu pada pasangannya, bukan pada perempuan di sebelah rumah."
Cheryl tertawa renyah mendengarnya, katanya, "Rupanya kau juga punya selera humor yang bagus."
Kemudian dipandanginya sosok kembaran laki-lakinya ini dengan ekspresi pura-pura misterius, dia melanjutkan, "Aku jadi ingin tahu... bagaimana tampang jelekmu?"
Sambil mengatakan itu, dengan gerakan yang cepat, tangan kanannya menyergap hidung Chester. Tangan yang lain sukses merekam ekspresi konyol saudaranya ini dengan kamera ponsel. Rupanya dia melepas kepenatannya dengan gaya kekanak-kanakan. Kegirangan sekali.
Saat keduanya masih memperebutkan ponsel Cheryl dengan kekanak-kanakan, pintu bus terbuka.
"Di sinilah tujuan kita," kata Chester menyadarkan kalau mereka harus segera beranjak keluar sebelum pintu menutup kembali.
"Hei, kita saling menyapa 'kau' dan 'aku' sejak bertemu," protes Cheryl ketika kakinya menginjak tanah Distrik Tujuh, "memangnya kita belum saling mengenalkan nama."
"Mau dipanggil apa?"
"Terserah kau saja. Selama ini, semua orang di sekitar memanggilku Cheryl, kecuali keluarga angkatku."
"Tahu permainan catur? Itu saja," sahut Chester.
"Dasar kau catur jelek!" ledek Cheryl sambil menjulurkan lidah.
"Panggil saja catur jelek, aku tidak keberatan," balas Chester meledek kembali. Dengan bergaya mempermainkan Cheryl, dia berujar meneruskan candaannya, "daripada kau yang tadi memencet hidungku. Seperti anak kecil saja."
"Oke, anak kecil!" sahut Cheryl dengan mimik yang mulai serius, "Kita bertemu saja di rumah Brandon Cherlone, dan lihat saja nanti," lalu dia berlari meninggalkan saudara kembarnya itu.
"Cher!" panggil Chester lantang. Menghentikan lari Cheryl, yang sudah beberapa meter jauh ke depan.
Cheryl diam mematung. Dia sadar, panggilan sayang keluarga Craft yang dipilih Chester. Ada beberapa teman sekolah dan kuliah yang merasa nyaman dengan Ryl—nama yang terasa janggal baginya.
Kali ini Chester mulai serius setelah Cheryl berbalik dengan gaya merajuk, katanya, "Maafkan aku."
Dia bergerak maju melebarkan kedua tangan. Memeluk sosok perempuan yang bakalan terdekat dengannya sampai akhir hidup. Mereka berpelukan tanpa kata.
Di depan gerbang, Cheryl masih kesal. Disenggolnya Chester supaya membaca pikirannya, "Ches, jika sekali lagi kau mengataiku anak kecil, tidak sudi aku mau melihatmu lagi."
"Ya ampun, Cher," keluh Chester seakan tak percaya, "Tolonglah, kita ini bersaudara kandung, bahkan kembaran. Masa sih kau...," dia kehabisan kata-kata, namun batinnya berbicara banyak.
Dan yang terpenting, Cheryl mampu memahaminya. Senyum kecil tersungging di bibir tipis yang manis itu.
Kini mereka berhadapan dengan mesin rumah keluarga Cherlone. Ada tombol merah di sisi depan kotak berbentuk segi empat di samping gerbang, untuk ditekan oleh orang yang akan bertamu.
Tangan kanan Chester menekan tombol merah itu. Memang jika kau berada di luar rumah, tidak akan terdengar bunyi apa-apa.
Tapi tak lama kemudian, layar kecil yang terpampang di depan kotak akan menyala dan menampilkan si pemilik rumah. Itu jika sang pemilik tak mampu membayar orang yang bertugas sebagai pengawas keamanan—memonitor semua CCTV yang terpasang—sekaligus penerima tamu.
Tentu tidak halnya dengan keluarga Cherlone yang super kaya. Tampil seseorang berperawakan cukup besar serta wajah yang terkesan tegas dan kuat pada layar.
"Siapa kalian? Apakah sudah membuat janji dengan salah seorang penghuni rumah ini?" dia bertanya dengan sikap yang tidak ramah.
"Apakah Don atau Sarron atau Farah Cherlone ada di dalam?" balas Chester bertanya dengan sopan.
"Sudah ada janji bertemu?" malah si pengawas keamanan balik bertanya dengan nada yang kian tegas.
"Belum, tapi...," jawab Chester lantang.
"Tidak bisa!" potong orang itu mantap, "Harus sudah ada janji, kecuali keluarga terdekat!"
"Kami adik mereka," kata Chester nekat.
Untuk sekian detik tampaknya orang itu kebingungan atau berpikir sejenak, sebelum dia berkata lebih tegas lagi, "Jangan coba-coba menipu, atau kulaporkan kalian ke polisi!”
"Anak-anak Cherlone cuma tiga. Tidak ada yang lain lagi selain Don, Sarron dan Farah! Di luar mereka, semuanya adalah penipu!" ujarnya menambahkan seperti orang yang sedang marah-marah saja.
Cheryl mencoba cara lain dengan berkata, "Sebelum lapor polisi, laporkan saja dulu pada mereka! Setidaknya Don atau Farah yang melihat kami."
Pengawas itu tak kalah cerdik—dibalasnya dengan sinis, "Pasti itu usaha pertama untuk mengelabui dengan cara memengaruhi pikiran mereka, dengan tipuan busuk kalian! Sudah banyak yang mengaku-ngaku sebagai anak Brandon. Kalian pikir aku baru bekerja di sini satu dua hari, ha!"
"Tapi kami benar-benar adik mereka," sahut Chester tenang.
bersambung ke part 2
* dialog di part ini yang dicetak miring kembali menunjukkan bakat indigo Chester.
@Kang_Isa Terima kasih atas supportnya, kang
Comment on chapter #3