Chapter 1: Interesting Family Conversation
"Dua orang Cherlone bakalan ada di sini sekitar dua puluh empat jam lagi," ramal seseorang berpakaian rapi dengan segelas kecil wine di tangan.
Dua orang yang mendengarnya mengernyitkan dahi. Yang laki-laki berdiri dekat pintu masuk. Namanya Sarron Cherlone. Yang perempuan duduk di sofa dengan sikap anggun. Farah Cherlone. Keduanya juga memegang segelas kecil wine di tangan.
Yang kelihatannya punya bakat meramal masa depan tadi itu Donnie Cherlone—anak tertua. Sang calon pemegang tampuk kekuasaan di dalam keluarga beserta bisnis besar yang dirintis sang ayah. Sebagai anak laki-laki pertama, Don benar-benar mewarisi karisma dan bakat bisnis ayah mereka, Brandon Cherlone—salah satu tokoh bisnis yang belakangan jadi panutan.
Ketiga anak Cherlone itu sedang berkumpul di ruang keluarga di salah satu kediaman besar keluarga mereka. Tak biasanya mereka melewatkan waktu bersama pada malam hari biasa, bukan di akhir pekan ataupun waktu libur. Bahkan pada hari Minggu atau penanggalan merah sekalipun ketiganya suka sulit mempertemukan waktu mereka karena kesibukan masing-masing.
"Apa maksudmu?" tanya si anak tengah kebingungan. Sarron yang piawai di ruang pengadilan sebagai pengacara handal.
"Ya, aku juga tidak mengerti," protes si bungsu, satu-satunya anak perempuan saat itu. Bernada setuju dengan Sarron.
"Kau yang hebat dalam hukum," kata Don sambil menunjuk Sarron, "Kukira kau juga menelusuri seluk beluk dan kekuatan hukum keluarga kita."
Sarron makin tak mengerti. Lalu ia bergerak menuju adiknya yang diam saja di sofa. Kedua mata Farah beralih pada Sarron saat Don melakukan hal itu tadi. Ia juga merasa makin tak jelas saja.
"Well," desah Don, lalu sambil mengatupkan telunjuk dengan jempol di dekat mukanya, ia melanjutkan, "Ayah kita mempunyai rahasia besar."
Nada dan volume suaranya mengatakan kalau barang-barang di sekitar mereka punya potensi jadi mata-mata. Pendengar yang baik, tapi tidak cukup baik untuk menyimpannya sendiri saja.
"Bicara saja yang jelas!" kata Farah separuh membentak, tak sabaran. Sudah letih dengan gaya bicara Don yang suka berputar-putar, bertele-tele, dan berbelit-belit.
"Jangan bilang kalau Ayah punya anak lagi dari perempuan lain selain dari ibu kita," terka Sarron.
"Tepat sekali, adik pintar!"
Farah terbelalak.
"Jangan macam-macam! Brandon Cherlone adalah orang yang terhormat," sanggahnya keras dengan nada tinggi. Hingga berdiri dari sofa.
Lalu dengan penuh penghormatan dia menyambung, "dan laki-laki itu tak lain adalah ayah kita sendiri yang tercinta."
"Tanpa mengurangi rasa hormat padanya, adik kecilku yang tercinta," bujuk Don dengan senyuman yang menenangkan, "kenyataannya, sudah cukup lama aku menemukan fakta-fakta ini."
"Berapa lama?" tanya Sarron yang sudah haus dengan rasa penasaran.
"Kira-kira... ehm," sambil berpikir, Don membasahi lidahnya lagi dengan seteguk kecil wine sebelum bercerita, "lima tahun lalu, aku sedang mencari-cari suatu dokumen penting di komputer rumah ini. Di antara kumpulan foto yang ditampilkan di layar, terselip foto Ayah bersama seorang perempuan lain. Dari situ iseng-iseng kuadakan penyelidikan kecil-kecilan. Ternyata asyik juga jadi detektif."
Melihat ekspresi puas sang kakak yang nakal, Farah menghardiknya, "Tega sekali kau mencurigai dan berbuat begitu pada Ayah!"
Lain halnya dengan Sarron. Terlihat berpikir, agak sedikit merenung. Tidak memedulikan Farah yang memukul dada Don cukup keras. Untunglah badan Don cukup atletis.
"Kenapa kau tidak membelaku?" protes Farah pada Sarron.
Beranjak dari sikap diamnya, Sarron menjawab pelan namun tegas menusuk, "Karena Ayah pasti buat surat wasiat. Dengan harta yang cukup berlimpah, tidak mungkin Ayah tidak mengerjakannya. Iya kan, Don?"
Farah bertambah kesal. Dia membentak kedua kakak laki-lakinya, "Apa-apaan kalian ini! Ayah bahkan belum memasuki umur yang pantas untuk buat surat wasiat! Apa kalian menghendaki Ayah cepat-cepat mati?"
"Bukan begitu maksud Don," giliran Sarron menenangkan Farah, "Aku mengerti niatnya. Tenanglah, jangan pakai emosi."
Sarron memegang lembut lengan Farah dan mengelus-elusnya. Perempuan itu menenggak habis wine-nya untuk menghangatkan pikiran. Lalu duduk kembali di sofa. Tanpa bicara apa-apa lagi.
Sedangkan Sarron bergerak maju. Separuh berhadap-hadapan dengan Don.
"Ceritakan pada kami, siapa yang kau temukan menjadi bagian dari keluarga kita. Apakah kita semua di sini punya adik laki-laki? Atau perempuan?"
"Kedua-duanya, Sarron. Dari perempuan itu, Ayah mendapat sepasang Cherlone kembar—laki-laki dan perempuan. Sayangnya, ibu tiri kita tidak pernah dinikahi oleh Ayah, sekalipun bisa dilakukannya secara diam-diam."
"Artinya," Sarron menimpali, "mereka lahir sebagai anak-anak Cherlone di luar pernikahan resmi. Mereka juga punya kekuatan hukum yang sama kuatnya dengan kita bertiga tentang warisan Ayah. Meski selama ini keberadaan dan hubungan mereka sebagai Cherlone tidak diakui dunia."
"Tepat sekali. Seharusnya, keterlibatan dan pengaruhmu dalam hukum membuatmu menjadi anak Cherlone yang pertama mengetahui soal ini."
"Belum tentu juga loh. Jangan terlalu yakin, Don. Kita belum pernah melihat dan mengenal mereka. Siapa tahu salah satunya sudah lebih dulu mengenal hukum daripada diriku."
Keduanya menoleh sedetik kemudian, saat Farah bertanya dengan nada tinggi dan mencibir, "Kenapa baru bilang sekarang, Don?"
Sambil melirik Sarron, Farah tidak menghilangkan sikap ketusnya, "Jangan bilang kalau semua ini sebagian langkah untuk mendapatkan warisan!"
Don tertawa, separuh bercanda, "Tenang saja Farah, bagianmu pasti aman di tangan kami berdua."
Sarron hanya tersenyum kecil. Mengamati adiknya yang makin judes saja, dan kakaknya yang terlihat menguasai semua situasi. Mereka boleh tertawa senang karena ramalan Don ternyata tepat.
Sekitar dua belas jam sesudahnya, sepasang adik kembar mereka berada di tempat yang sama bersama ketiga kakaknya. Salah satu ruang keluarga Cherlone.
Keceriaan Don, Sarron dan Farah berubah menjadi kedukaan besar seluruh keluarga.
Pada malam sebelumnya, ketiganya boleh menyinggung soal warisan Brandon. Namun dini hari ini—entah kapan waktu persisnya—tanpa diketahui siapa pun, sang bilyuner meregang nyawa. Dan ketika ditemukan pada pagi harinya, sudah dalam keadaan tak bernyawa.
Satu hal yang langsung diingat Farah ketika mendengar kabar duka mengejutkan itu, tak lain adalah ramalan Don malam sebelumnya.
Lalu, bagaimana kisah si indigo kembar? Mereka adalah tokoh utama kita.
Misteri pelik keluarga asal mereka menjadi kasus pertama bagi keduanya. Karena di sinilah mereka dipertemukan. Chester Cherlone dan Cheryl Cherlone.
@Kang_Isa Terima kasih atas supportnya, kang
Comment on chapter #3