Namaku Reinar Lani. Nama yang tidak istimewa, tapi sangat berharga bagiku. Bunda bilang nama apapun yang kita miliki akan berharga jika kita dapat membawa nama itu dengan baik. Aku terlahir dari rahim seorang ibu hebat dan dewasa atas didikan ayah yang bijaksana. Tapi, enam bulan yang lalu Ayah telah pergi meninggalkan aku dan bunda karena sebuah kecelakaan pesawat yang menewaskan ratusan korban dan ayah menjadi salah satunya. Keadaan kami saat itu sangat terpuruk. Kami jatuh miskin dan bunda sering sakit. Tapi, bunda selalu mencoba memberikan kekuatan untukku, meski aku tahu bunda sangat lemah dariku.
Sejak kecelakaan itu aku dan bunda selalu menjadi bahan pembicaraan warga. Bahkan tak ada satupun teman yang mau menemuiku lagi. Aku tidak mengerti apa yang mereka permasalahkan. Sering kali aku bertanya pada bunda. Tapi, bunda tak pernah menjawab malah memarahiku tidak jelas.
Sejak saat itu sekolah menjadi tempat paling angker untuk aku datangi. Tempat yang enggan untuk aku singgahi.
Di sekolah teman-teman memanggilku 'si anak bisu'. Kalian pasti berpikir jika aku ini anak tuna rungu. Atau keterbelakangan fisik tidak bisa berbicara atau mendengar. Tidak, aku tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku bisa mendengar dengar baik dan aku bisa berbicara dengan fasih.
Jika kalian bertanya kenapa aku di sebut anak bisu?
Jawabannya sederhana karena aku lelah di perlakukan tidak baik di kelas hingga aku memutuskan untuk membungkam dan menutup rapat-rapat dendang telingaku.
Hari ini aku datang tiga puluh menit setelah pembelajaran dimulai. Suasana kelas yang tadinya tertib menjadi kacau ketika aku datang dan berdiri di ambang pintu kelas.
"Maaf bu Rahayu saya telat," ucapku menunduk. Berharap bu Rahayu mengizinkanku untuk mengikuti pelajaran. Hanya kalimat itu yang setiap pagi aku lontarkan di ambang pintu. Karena hampir setiap hari aku terlambat datang ke sekolah.
"Ngapain kamu datang ke sekolah anak bisu?" teriak salah satu temanku sembari berdiri dan berlagak tidak suka padaku.
"Gak ada yang nanya kamu telat atau tidak." sahut temanku yang lainnya.
"Udah pulang saja sana."
Kicauan ini yang sering menjadi sarapan pagi untukku. Inilah salah satu alasan kenapa aku hanya diam. Karena rasanya tidak ada gunanya juga membalas ucapan mereka yang ada malah keributan dan jadi masalah. Aku tidak mau menambah beban hidup bunda.
"SUDAH DIAM!" teriak bu Rahayu dan seketika semua kicauan itu reda.
Bu Rahayu menurukan kacamata kecil ke ujung hidungnya. "Oh... Oh kamu lagi yang terlambat. Sudah ibu katakan kalau tidak niat untuk sekolah lebih baik tidak usah sekolah. Daripada setiap hari terlambat. Ibu juga cape harus memberikan hukuman apalagi sama kamu." omel bu Rahayu lalu ia menghela nafas, "sudah kamu masuk!"
Aku mengangguk dan melangkah perlahan masuk ke dalam kelas. Semua siswa kembali ricuh tak terima jika aku di perizinkan masuk dan mengikuti pelajaran.
"Kenapa dia diperbolehkan masuk bu?"
"Jangan izinkan dia masuk bu!"
"Nanti kelas kita ternodai virus dia."
Sahutan-sahutan itu melintas di telingaku.
Entah sampai kapan aku harus merasakan penyiksaan ini. Dan aku tidak pernah mengerti kenapa mereka begitu tidak senang jika aku hadir dan masuk ke dalam kelas.
Apa karena aku sudah miskin tidak kaya lagi? Apa aku sudah tak pantas sekolah setelah jatuh miskin? Pertanyaan-pertanyaan itu yang sering melintas di benakku. Tapi, sayangnya hingga saat ini aku belum bisa memastikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Semua itu masih menjadi tanda tanya besar dalam hidupku.
Aku duduk di bangku paling belakang di samping lemari buku. Sebenarnya aku tak pernah terima di perlakukan seperti ini. Tapi, apa daya? Aku sekarang sudah miskin untuk makan pun harus mengorek receh. Kalau aku melawan bisa-bisa mereka melaporkanku pada pihak berwajib dan aku sudah tidak bisa apa-apa lagi.
"Sekarang kerjakan soal yang ada di papan tulis? Bila sudah menemukan jawabannya boleh langsung jawab di papan tulis dan jelaskan pada lainnya," ujar bu Rahayu.
"Baik bu..." timpal semua siswa serentak.
***
Lonceng berdering begitu keras menandakan jam istirahat. Huft, kegaduhan mulai terjadi ketika bu Rahayu meninggalkan kelas. Hal yang tak pernah aku inginkan jam istirahat dan jam kosong di kelas. Yang selalu aku pikirkan sejak pertama melangkah masuk ke dalam kelas adalah cepat pulang. Aku tidak ingin berlama-lama di dalam neraka seperti ini. Sesekali terlintas dibenakku untuk aku mengakhiri hidup. Itu hal terbodoh yang pernah aku pikirkan.
"heh, anak bisu harusnya lo itu gak pantas duduk di bangku itu," ujar anak lelaki yang duduk di depanku.
Seorang siswi tersenyum sinis, "pantasnya dia itu duduk di kolong jembatan atau gak di samping rel kereta."
"hahaha... " serentak semua siswa tertawa.
Begitu senangnya mereka menertawakanku.
Pikiranku tidak konsen mendengar ocehan-ocehan mereka karena kepalaku terasa sangat sakit. Hingga tak lama dari itu darah segar mengalir dari hidungku. Sontak aku usap dengan kedua telapak tangan, tapi tiada henti darah ini terus mengalir.
"ih, jijik banget si."
"awas jangan dekat-dekat nanti kalian semua tertular virus dia."
"kita ke kantin aja yuk."
"sana lo ke UKS. Kotor kelas kita nanti sama darah lo."
Perlahan aku berjalan menuju UKS. Hati aku menjerit sekeras-kerasnya merasakan penyiksaan ini. Tapi, tubuhku berusaha menompang semua rasa sakit ini. Sampai kapan aku mendapatkan ketidakpedulian ini? Aku sungguh lelah.
***
Sepulang sekolah aku menemukan bunda tergeletak di depan rumah. Beberapa gorengan jatuh dan berceceran tak jauh dari bunda tergeletak. Aku panik dan spontan menggoyahkan tubuh bunda. Tapi, bunda tidak bangun juga. Aku rasakan detak jatungnya, masih terdengar walau lemah. Aku merasa sedikit lega karena bunda masih ada di dunia ini.
"Tolong...! Tolong..." teriakku.
"Tolong...." teriakku lagi sembari memeluk tubuh bunda di pangkuanku. Beberapa orang lewat di depan jalan, tapi mereka mendadak tuli tidak mendengar teriakkanku. Mereka melihatku ada, tapi mereka mengganggap keberadaan aku dan bunda tiada.
"Pak, pak. Tolongin bunda saya pak." ucapku pada seorang bapak-bapak yang baru saja melintas di depan kami. Bapak itu melihat kami dan sempat menatap lama keadaan bunda setelah itu ia menggelengkan kepalanya sembari menaik-turunkan bahunya. Seolah kami di bawah sini adalah kotoran yang harus di hindari. Bapak itupun pulang tanpa sepatah katapun.
Hati ini seolah di tusuk ribuan panah. Sakit, begitu sakit saat orang-orang di sekitar tak memperdulikan aku dan bunda. Kristal bening ini jatuh begitu deras di pipiku.
"Bunda...."
Sepuluh menit kemudian masih dengan posisi yang sama. Bunda membuka matanya. Huh, lega rasanya.
"Huh, alhamdulillah akhirnya bunda siuman juga. Bunda pusing? Bunda lemas? Bunda mau Rein ambilkan minum?" tanyaku pada bunda.
Bunda perlahan duduk sambil memegang kepalanya. "Bunda tidak apa-apa Rein. Bunda hanya pusing."
"Yasudah bunda kita masuk ke rumah dulu. Nanti Rein ambilkan obat untuk bunda." ujarku sambil membantu bunda untuk bangkit dari duduknya. "Bunda kuat?"
Bunda hanya mengangguk. Aku lingkarkan tangan bunda di bahuku. Rumah sederhana ini menjadi keluh kesah semua masalah.
Ku baringkan bunda di tempat tidur. Bunda terlihat sangat pucat. Aku ambil segelas air putih dan memberikannya pada bunda. Aku ingin menangis berteriak lelah dengan keadaan ini. Terkadang aku selalu berpikir bahwa ini semua kesalahan ayah. Ayah bilang ia pergi ke Singapur untuk meeting perkerjaan selama 3 bulan saja, tapi kenapa ayah pergi untuk selamanya. Bunda dan aku sangat membutuhkan ayah. Tapi, keluar darisitu aku berusaha untuk berpikir logis ini bukan salah ayah, tapi takdir Tuhan yang membawaku ke dalam keadaan seperti sekarang.
"Bunda, kenapa bunda bisa pingsan tadi? Bunda gak sarapan ya tadi pagi?" tanyaku.
"Iya Rein bunda lupa gak sarapan tadi pagi, jadi bunda lemas. Rein jangan khawatirkan bunda, bunda baik-baik saja," jawab bunda dengan nada rendah. "Gimana sekolahnya sayang?"
Ini pertanyaan yang paling aku benci dari segala hal. Aku benci jika bunda bertanya seperti itu. Karena aku harus membohongi lagi bunda. Aku tidak mau, aku takut dosaku menumpuk karena kebohonganku. Tapi, aku tidak mau melihat bunda semakin terpuruk mendengar kenyataanku.
"Baik-baik saja bunda," alibiku.
Batinku selalu berseru keras-keras untuk berkata jujur sama bunda. Itu sulit, sangat sulit. Aku takut menyakiti bunda.
***
Matahari menampakkan wajahnya. Cahayanya masuk ke celah-celah bilik kayu rumah kami. Waktu terasa begitu cepat kala senja menemui fajar. Hari ini seperti biasanya aku membantu bunda berjualan sebelum berangkat ke sekolah.
Pagi ini kepalaku terasa begitu sakit, pandangan mata kabur, dan detak jantung begitu cepat. Sesekali aku memijat pelipis berharap dapat menghilangkan sedikit rasa sakit di kepalaku. Setelah beberapa saat aku terdiam akhirnya pandanganku kembali terlihat normal dan kepalaku sudah sedikit membaik.
Langkah demi langkahku menyusuri trotoar jalan. Sambil membawa beberapa bungkus nasi uduk untuk ku jual. Sudah berapa jauh aku berjalan belum ada satupun nasi uduk yang terjual.
Hari ini begitu melelahkan. Entah kenapa rasanya kepalaku ini sering terasa sakit. Dan sekarang rasa sakit yang hebat aku rasakan. Langkahku mulai tak seimbang.
"Kenapa kepalaku sakit sekali?" ucapku sembari memegang tiang listrik di pinggir jalan agar tubuhku tidak sempoyongan.
Perlahan pandanganku berubah menjadi gelap, tapi aku coba untuk memulihkan. Satu detik kemudian hanya kegelapan yang aku rasakan.
"Mba, mba!"
Samar terdengar suara seseorang. Perlahan kesadaranku kembali dan perlahan aku buka mata. Awalnya kabur ku lihat, beberapa detik kemudian jelas kulihat seorang pria di hadapanku.
"Kamu siapa?" tanyaku padanya. Tempat apa ini? Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan tempat aku terbaring sekarang. Aku tahu ini pasti di klinik atau rumah sakit.
"Em.. Hai. Aku Reza. Tadi aku lihat kamu jatuh di pinggir jalan," jawab pria itu.
"Oh, hai. Terimakasih Reza. Maaf merepotkanmu!" sahutku sambil tersenyum kecil.
Ternyata masih ada orang yang mau membantuku. Meski aku lihat anak ini berumur tak jauh dariku. Seragam putih abu-abunya sudah memastikan bahwa dia masih remaja sepertiku.
"Sama-sama. Oh iya tadi dokter sempat menyarankan untuk pengambilan darah. Dan aku menyetujuinya. Maaf jika aku lancang. Soalnya aku sudah bingung," ujar Reza.
"Tidak apa-apa jika itu harus. Tapi, untuk apa dokter mengambil darah aku. Apa aku sakit parah?" tanyaku bingung.
"Dokter bilang takutnya ada masalah dengan organ tubuh kamu yang menyebabkan kamu pingsan," jawab Reza.
"Oh, begitu. Baiklah. Kapan hasilnya keluar?"
"Sedaritadi hasilnya sudah keluar, tapi aku tidak diperbolehkan menerima hasilnya. Kecuali orangtuamu. Ayah, ibu kamu dimana?"
Aku mengeryit bingung sebegitu pentingkah hasil itu hingga Reza tidak diperbolehkan menerima hasil itu, "ayahku sudah tiada enam bulan yang lalu. Ibuku sedang berjualan."
Reza terdiam beberapa saat terlihat sedang berpikir.
"Kalau gitu biar ayah aku saja yang mengambil hasil lab nya. Gimana?"
"Ayah kamu? Tidak usah Reza nanti merepotkan ayah kamu sekarang saja aku sudah merepotkan kamu."
"Tidak repot ko. Ayahku bekerja di rumah sakit ini. Ayahku dokter. Dan oh iya aku belum tahu nama kamu, nama kamu siapa?" sahut Reza tersenyum lebar padaku. Aku lihat senyuman itu begitu tulus.
"Baiklah, kalau tidak merepotkan. Namaku Reinar Lani, kamu boleh panggil aku Rein." jawabku sambil membalas senyuman Reza.
***
"Rein.. Rein!" teriak Reza diambang pintu berjalan masuk ke dalam ruangan.
"Kenapa?" tanyaku.
"Ayahku sudah ambil hasil lab nya," jawab Reza.
"Syukurlah, bagaimana hasilnya? Oh iya kamu tidak sekolah?" tanyaku.
"Nanti ayahku kesini. Aku bolos," jawab Reza terkekeh.
Aku merasa bersalah sama Reza karena menolongku ia sampai bolos sekolah. Karena aku juga ayahnya harus repot-repot mengambilkan hasil lab. Uh, bunda, jika bunda tahu bunda pasti sangat khawatir sama Rein. Tapi, hari ini aku bersyukur bertemu orang baik seperti Reza.
"Nah itu ayah!" ucap Reza ketika seorang pria parubaya berpakaian putih-putih menghampiri kita.
Rasanya aku takut sekali mendengar hasilnya. Entah kenapa rasa takut begitu besar menyelimuti pikiranku. Apa sesuatu yang buruk akan terjadi padaku? Aku mencoba menghilangkan rasa gelisah.
"Ayah ini Rein. Rein ini ayah aku."
Ayah Reza tersenyum padaku sebagai sapaan baik untukku.
"Hai, om. Maaf menganggu kerja om mengambilkan hasil lab Rein," ujarku.
Ayah Reza hanya membalas ucapanku dengan senyuman. Kemudian dia mengusap rambutku beberapa kali. Kenapa dengan Ayah Reza ini?
Aku mengerutkan kening bingung.
"Kamu anak yang cantik," ucap Ayah Reza. "Seharusnya kamu tak perlu tahu ini Rein."
Aku semakin bingung dibuatnya. Ada apa denganku? Kenapa aku? Pertanyaan itu hanya bisa aku ucapkan keras-keras di dalam hati.
"Apa orangtua Rein mengidap penyakit?" tanya Ayah Reza.
"Setahu Rein ayah dan bunda tidak mengidap penyakit apapun." jawabku.
Ayah Reza menghela nafas panjang, "terpaksa Om harus menjelaskan ini. Menurut hasil lab Rein mengidap HIV atau Aids."
Mataku terbelaklak, telingaku seketika memeka mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ayah Reza. Sebuah ketidakmungkinan yang malah menjadi kenyataan pahit yang harus aku telan mentah-mentah.
Aku menggeleng-gelengkan kepala tidak yakin dengan ucapakan Ayah Reza.
Terlihat Rezapun terpelongon mendengar pernyataan ayahnya.
"Kemungkinan besar HIV yang Rein idap adalah bawaan Rein sejak lahir karena gen pembawa HIV yang diturunkan dari ayah atau ibu Rein, bisa jadi kedua orang tua Rein mengidapnya. Maaf om harus menjelaskan ini. HIV yang Rein idap menyebar begitu cepat. Sitem imun dalam tubuh Rein terus menurun karena antibody Rein tidak kuat menahan penyebaran virus HIV ini. Penyakit ini menyerang antibody, ia akan melumpuhkan antibody Rein agar bisa menyebar dan menyerang organ tubuh Rein lainnya," jelas Ayah Reza.
Bukan hanya terkejut dan tidak menyangka. Tapi, ini sebuah ujian berat untuk aku terima dan jalani. Mendengar penjelasan dari ayah Reza, aku merasa putus asa. Dan berpikir bahwa hidupku hanya tersisa untuk esok. Rasa takut menyelimuti pikiranku saat ini. Air mata tak terbendung lagi jatuh begitu saja membasahi pipiku.
"Ayah, ayah jangan bercanda. Jangan coba untuk menakut-nakuti Rein, Yah," ucap Reza bingung.
"Ayah serius, ayah tidak bermaksud menakut-nakuti. Tapi, ini harus Rein ketahui. Takdir seseorang tidak dapat kita ketahui kapan bertemunya dan dimana. Yang perlu kita lakukan adalah tetap mensyukuri ujian yang ia kasih seberat apapun itu. Ikuti saja apa yang diperintahkan Tuhan, om yakin Tuhan akan memberikan keselamatan untuk Rein. Jangan menyerah dan berpikir pasti waktu hidup Rein sedikit lagi. Tidak ada yang tahu kapan seseorang tidak perpijak di bumi lagi. Rein bisa berdoa memohon pada Tuhan agar Rein di berikan hidup yang cukup agar Rein bisa memperbaiki diri dan menyelesaikan urusan Rein. Mungkin ucapan om sedikit menyinggung umur. Tapi, satu kata terakhir untuk Rein, semangat dan tetap berdoa."
Ucapan yang terlontar dari ayah Reza semakin menyiksa aku. Bagaimana bisa aku terima keadaan ini jika aku saja masih belum bisa melihat bunda bersedih dan terpuruk. Air mata ini tak sungkan berjatuhan begitu deras. Nafasku terasa sesak.
Tidak ada kata yang bisa aku ucapkan lagi. Hanya air mata yang bisa menjelaskan semua kesedihanku.
***
Sore ini langit terlihat muram seolah mengerti keadaanku saat ini. Aku pulang diantarkan oleh Reza. Aku tidak diperizinkan untuk pulang, tapi karena aku memaksa untuk pulang dengan alasan untuk memberitahukan ini pada bunda. Tapi, entah sampai sekarang aku bingung bagaimana menceritakan semua ini pada bunda.
Kutatap langit yang diselimuti kumpulan awan nimbus yang siap menjatuhkan jutaan tetes air hujan. Sesekali aku rasakan angin yang berhembus ke wajahku. Tak berselang waktu lama tetes demi tetes air jatuh ke permukaan. Kurasakan air hujan yang semakin menderas itu menghantamkan wajahku. Ku hirup semerbak bau tanah basah. Sesekali aku menutup mata. Ketenangan kurasakan saat ini.
"Rein... Rein!" ucap Reza membuyarkan semua khayal dalam ketenanganku.
"Iya, Za. Kenapa?"
"Kamu kedinginan tidak? Rumahmu masih jauh atau tidak? Kalau masih jauh lebih baik kita berteduh dulu."
"Tidak, aku tidak kedinginan. Rumahku dikit lagi sampai. Nah, itu depan belok kiri sudah sampai." ucapku sambil menunjuk jalan.
Tak perlu waktu lama aku dan Reza sudah sampai di rumah. Terlihat bunda sedang ke bingungan dan khawatir di depan. Aku tidak tega melihat bunda seperti itu. Maafkan aku bunda.
"Terimakasih, Za."
"Sama-sama. Jangan berfikir hidup kamu ini hanya tersisa sedikit Rein, aku yakin kamu pasti kuat dan harus yakin kalau Rein bisa sembuh. Sampai bertemu besok di rumah sakit, salam untuk bunda kamu. Semoga kita selalu dipertemukan ya Rein," ucap Reza tersenyum.
Yang aku rasakaan sekarang bahwa ucapan Reza adalah kalimat terakhir yang bisa aku dengar dari Reza.
Aku tersenyum lebar, "Amin, semoga Tuhan mengizinkan kita bertemu kembali."
Aku tahu Reza ingin memberikan kekuatan atas kenyataan ini, tapi itu sulit untuk aku terima.
Setelah motor Reza melesat ke jalanan. Perlahan aku berjalan menghampiri bunda. Dengan keadaan basah kuyup seperti ini.
"Darimana saja kamu Rein? Yaampun sampai basah kuyup seperti ini kehujanan. Bunda khawatir. Gimana kalau sakit? Daya tahan tubuh kamu kan lemah tidak seperti yang lain. Sore-sore gini baru pulang. Kehujanan pula. Kamu habis darimana aja sih?" ucap bunda begitu cemas. "Kenapa diam saja Rein? Yasudah masuk dulu keringkan badan kamu!"
Bunda menarik lenganku. Tapi, terhenti ketika aku menahan tubuhku. "Bunda bilang daya tahan tubuh Rein lemah? Darimana bunda tahu?" tanyaku.
Bunda terlihat bingung dan berpikir. "Iya karena bunda cemas sama kamu Rein. Bunda takut kamu sakit."
"Nggak, bunda menyembunyikan sesuatu dari Rein kan?" ucapku.
"Bunda gak menyembunyikan sesuatu Rein. Bunda, bunda hanya..."
"Bunda hanya menyembunyikan tentang penyakit HIV yang Rein idap selama ini kan bunda?" ujarku memotong pembicaraan bunda. Seketika bunda terlihat terkejut atas apa yang tadi aku ucapkan.
"Kenapa bunda diam? Apa Rein benar? Rein berharap kalau Rein salah. Tapi, Rein mohon agar bunda jujur. Kenapa kita selalu jadi bahan pembicaraan orang? Kenapa Rein selalu di bully di sekolah? Kenapa tidak ada satupun orang yang mau berteman sama Rein? Selama ini bunda tidak pernah mau menjelaskan semua ini. Kenapa bunda kenapa? Apa karena penyakit yang Rein idap ini?" ucapku sedikit menaikkan nada bicara. "Kenapa bunda diam saja?" tanyaku sambil berjongkok di bawah kaki bunda. Dan tiada henti kristal bening ini jatuh untuk kesekian kalinya.
"Iya, iya kamu benar Rein. Maafkan bunda sayang maafkan bunda," jawab bunda dengan isak tangis yang pecah. "Bukan bunda tidak ingin menceritakan persoalan penyakit kamu Rein. Tapi, bunda takut menyakiti Rein. Bunda takut kehilangan Rein."
Aku mengusap air hujan dan air mata yang membasahi wajah, "apa ayah juga mengidap penyakit yang sama seperti Rein?"
"Iya nak," jawab bunda dengan tangis yang semakin kencang. "Sebenarnya, sebenarnya..."
"Sebenarnya apa bunda?"
"Sebenanrnya ayah pergi ke singapur bukan untuk rapat masalah pekerjaan. Tapi, untuk berobat dan pada akhirnya ayah meninggal saat melakukan perawatan intensif disana. Bukan karena kecelakan pesawat."
Deg, sebuah pernyataan yang sangat menyakitkan aku dengar. Bunda menarik tubuhku dan mendekap tubuhku. Begitu sakitnya kenyataan ini harus aku terima.
***
Tok... Tok... Tok
"Iya siapa?" tanya bunda setelah membuka pintu dan melihat seorang wanita dewasa berdiri di depan pintu. Bunda memperhatikan wanita itu secarik amplop berada di genggamannya. Dan saking takutnya wanita itu menggunakan masker.
"Saya Rahayu gurunya Rein. Mau memberikan surat peringatan ini. Karena sudah dua bulan ini Rein tidak masuk sekolah. Kalau anak ibu masih mau bersekolah, ibu di harap bisa datang ke sekolah dan menghadap ke kepala sekolah. Terimakasih," ucap bu Rahayu terburu-buru. Setelah memberikan surat itu ia pun terbirit-birit pergi.
"Sama-sama," jawab bunda.
***
Esok harinya bunda datang ke sekolah dan menemui kepala sekolah berhubung membicarakan surat yang kemarin bu Rahayu beri. Setelah berbincang panjang lebar dengan kepala sekolah bunda di antarkan oleh kepala sekolah untuk bertemu dengan bu Rahayu di kelas.
"Bu Rahayu, maaf menganggu ada yang ingin disampaikan oleh ibu ini," ujar kepala sekolah.
"Baiklah. Anak-anak harap tenang,"
Bunda pun masuk ke dalam kelas melihat keadaan kelas yang aku tempati.
"Selamat siang. Saya tahu sekolah ini mempunyai pendidikan yang sangat baik. Saya tahu adik-adik sekalian ini pintar dan berbudi pekerti. Tapi, sayangnya rasa sok tahu saya itu salah," ucap bunda. Lalu, bunda mengalihkan pandangannya ke bangku paling belakang. "Huh, bangku paling belakang itu tempat sebuah pengasingankan?" semua siswa dan bu Rahayu diam.
"Anak saya dulu di asingkan disana. Di buat bungkam dan tuli oleh perlakuan yang tidak senonoh. Anak saya sudah jengah dengan penyiksaan yang kalian berikan. Tapi, sayangnya anak saya tidak pernah cerita semua ini pada saya. Dia hanya memendam semua rasa sakitnya sendirian. Saya baru tahu perihal ini semua satu minggu sebelum saya berada disini sekarang. Ternyata saya juga salah mengenai pendidikan baik yang ibu ajarkan pada anak-anak," ucap bunda menoleh bu Rahayu. "Pendidik nya saja tidak memahami sopan dan santun. Tapi, saya bersyukur, sangat bersyukur karena tiga hari yang lalu Tuhan telah menyelamatkan anak saya dari cemoohan dan ketidakadilan hidup. Tuhan telah menyimpan anak saya di tempat paling tenang di sisinya. Tuhan telah menghilangkan rasa sakitnya selama ini. Terimakasih sudah mengasingkan anak saya, mengata-ngatai, membenci dan tidak memperdulikan anak saya. Saya harap anak saya tenang setelah saya sampaikan amanat ini bahwa anak saya sudah ikhlas dan memaafkan semua orang yang telah menyakitinya. Terimakasih atas perhatiannya. Selamat siang," jelas bunda membuat semua yang berada di dalam kelas terdiam kaku, tidak berkata sepatah katapun. Bahkan setelah bunda pergi kelas itu masih sunyi senyap.
***
Disudut ruangan ini aku melihat orang-orang yang menginjakku, menghinaku, menjauhiku terdiam bisu tanpa sepatah katapun keluar dari mulut pedas mereka. Disini aku bisa melihat kehidupan yang sebenarnya. Aku harap mereka merasakan hal yang aku rasakan saat aku tidak pernah dianggap di dunia.
Aku tidak akan pergi meninggalkan bangku pengasinganku. Aku akan tetap duduk disini melihat siapa lagi korban yang akan merela asingkan. Biarkan bangku ini menjadi kenangan paling pahit selama aku hidup.
Bunda, maafkan Rein yang pergi mendahului bunda. Rein sedih melihat bunda terpuruk dan hidup sendirian seperti ini. Tapi, Rein lega terimakasih bunda sudah menyampaikan amanat Rein.
Sekali lagi aku ingin ucapkan,
Aku Reinar Lani, aku benci di sendirian. Tapi, setelah aku pergi dari dunia ini aku mempunyai banyak teman. Aku tidak sendirian lagi. Tidak ada rasa sakit lagi. Tiga hari yang lalu rasa sakit yang begitu hebat aku rasakan. Tubuhku seakan ditusuk ribuan pelatik. Sakit yang tak tertahan. Tapi, tak lama rasa sakit itu mulai memudar dan aku tenggelam dalam sebuah kegelapan. Sebuah titik cahaya putih aku lihat dan aku raih. Ia menyelamatkanku dari kegelapan ke sebuah tempat paling terang. Sekarang aku bisa merasakan hidup. Meski aku tak rela melihat bunda hidup sendirian. Aku sudah tenang, terimakasih telah membenciku karena penyakit menjijikan ini. Aku pergi.
Terimakasih telah membaca
πππ