"Why can't you hold me in the street? Why can't I kiss you on the dance floor? I wish that it could be like that. Why can't we be like that? Cause I'm yours."
'Little Mix - Secret love song'
Anna.
"Menikahlah Anna." ucap Papa saat makan malam dirumah malam itu.
Aku sudah hampir putus asa dengan permintaan kedua orang tuaku untuk segera menikah. Memang usiaku sekarang telah menginjak 28 tahun dan tidak memiliki siapapun untuk diajak menikah. Bagi sebagian orang, mungkin kondisiku ini sangat menyedihkan. Orang bilang mungkin kecantikanku dan karir yang bagus membuat pria - pria segan mendekatiku. Tetapi, mereka tidak pernah tahu alasan sebenarnya. Akulah yang menutup hatiku untuk pria lain, kecuali Harrys.
Harrys adalah pria yang membuatku tidak pernah ingin berpaling pada siapapun. Setiap hari berada di sampingnya membuatku terbiasa dengan kehadirannya. Sebagai sekretarisnya, aku menyimpan banyak hal tentangnya yang mungkin tidak diketahui orang lain. Namun, sebagai kekasihnya, aku masih memiliki banyak tanya tentang apa isi hatinya sesungguhnya. Hubungan diam - diam yang telah terjalin selama lima tahun antara aku dan Harrys membuat hatiku telah menjadi miliknya sepenuhnya. Namun, dimanapun itu, hubungan diam - diam tidak akan pernah bergerak maju. Itulah yang terjadi antara aku dan Harrys.
Pertemuan pertamaku dengan Harrys adalah ketika ia menghadiri undangan pernikahan temannya di sebuah hotel. Saat itu, aku yang baru saja lulus dari Business School di Australia dikenalkan pada Harrys. Pertemuan pertama yang membuatku langsung jatuh cinta padanya. Usianya masih 25 saat itu, namun pengalamannya di dunia bisnis sudah di atas rata - rata. Tetapi, setiap pertemuan pertama tidak selalu menjanjikan untuk pertemuan kedua.
Namun semesta mempunyai rencananya sendiri. Aku bertemu lagi dengan Harrys saat interview pekerjaan di sebuah perusahaan multinasional. Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa Harrys adalah CEO di perusahaan itu. Saat itu, aku melamar sebagai manajer pemasaran, namun aku justru berakhir sebagai sekretaris. Harrys sendiri yang memaksaku untuk menjadi sekretarisnya. Menurutnya, saat itu ia benar - benar membutuhkan sekretaris karena yang sebelumnya mengundurkan diri. Entah kenapa, pada saat itu aku menyetujui begitu saja permintaan Harrys.
Itu adalah awal dilema berkepanjangan yang aku alami saat ini. Tidak ada orang yang tahu tentang hubunganku dengan Harrys kecuali keluargaku. Bersama Harrys membuatku memiliki dunia. Tetapi, dunia tidak pernah tahu bahwa aku memiliki Harrys.
"Bagaimana hubunganmu dengan Harrys sekarang?" Papa melanjutkan pertanyaannya di tengah - tengah makan malam.
"Semuanya baik, Pa." jawabku sambil memainkan brokoli yang ada di piring.
"Lalu kenapa kalian tidak mencoba serius? Kalian berdua sama - sama sudah saatnya menikah. Apa lagi yang ditunggu?" tanya Papa.
"Restu keluarga Harrys, Pa." jawabku jujur.
"Bagaimana mau direstui kalau Harrys sendiri tidak pernah mencoba mengenalkanmu pada keluarganya." Nada bicara Papa berubah seketika saat aku menyebutkan restu keluarga Harrys.
"An, seharusnya kamu pikir lagi tentang hubunganmu dengan Harrys. Bukannya Papa sama Mama itu melarang kamu berhubungan dengan Harrys, tetapi harus pasti juga dong. Mau sampai kapan kalian seperti itu terus?" Mama kali ini ikut angkat bicara juga.
"Lalu Anna harus bagaimana juga Ma? Harrys tidak pernah mau mengenalkan Anna pada keluarganya dan Anna juga tahu alasan Harrys melakukannya. Anna hanya.... Tidak bisa berbuat apa - apa, Ma." Jawabku dengan putus asa. Aku memang sudah benar - benar putus asa pada hubunganku dengan Harrys. Rasanya sudah sangat lelah menjalani hubungan tanpa kepastian ini. Jika bukan karena cintanya yang terlalu dalam pada Harrys, aku mungkin tidak akan bisa bertahan hingga sejauh ini.
"Kalau begitu relakan saja dia, An. Bukalah hatimu untuk orang lain yang memang serius denganmu. Seseorang yang membawamu pada satu tujuan. Bukan jalan di tempat seperti itu." Jawab Mama yang langsung membuatku merasakan nyeri di dada. Setiap kali ada bayang - bayang untuk merelakan Harrys, aku selalu merasakan sakit yang luar biasa di hati.
"Bagaimana kalau Papa kenalkan dengan anak teman kantor Papa. Ia lulusan luar negeri juga sama seperti kamu. Anaknya baik dan sopan. Papa pernah bertemu dia di kantor dan sekali melihatnya Papa langsung menyukai anak itu." Papa memperburuk suasana hatiku.
"Papa mau jodohin Anna?" tanyaku dengan nada tidak enak. Sejak dulu aku selalu membenci sesuatu yang berhubungan dengan perjodohan.
"Bukan jodohin Ann. Papa hanya ingin mengenalkan kamu saja. Kalau jodohin itu kan berarti sudah pasti kamu nikah sama dia. Kalau nanti kamu tidak suka sama dia, ya sudah kalian kan bisa berteman saja." Jawab Papa dengan bijak.
Aku diam saja. Semua ucapan Papa memang tidak pernah salah. Ia adalah Papa yang sangat baik untukku selama ini. Ia tidak pernah memaksaku untuk melakukan sesuatu yang tidak aku sukai. Ia memberikanku semua kebebasan selama itu bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk ketika aku menolak bekerja di kantor Papa dengan alasan tidak mau dicap mengandalkan orang tua yang menjabat sebagai pimpinan di sana.
"Nanti kapan - kapan Papa akan undang dia ke rumah ya, Ann. Biar kamu bisa kenalan sama dia." Papa masih melanjutkan saja pembahasan tentang perkenalan itu.
"Terserah Papa saja." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku sebelum berjalan pergi menuju kamar di lantai dua.
Malam ini, aku memang menginap di rumah orang tuaku di Bandung. Harrys sedang berada di Singapura selama 3 hari dan berada sendiri di apartemen akan membunuhku. Jadi aku putuskan untuk pulang.
Sejak dua tahun yang lalu, aku dan Harrys tinggal di apartemen yang sama, hanya berbeda lantai saja. Berada di satu apartemen akan memudahkanku atau Harrys untuk saling menemui satu sama lain dan bersama - sama tanpa harus orang lain tahu. Namun kenyataannya, Harrys lebih sibuk berurusan dengan bisnisnya di luar negeri ketimbang bertemu denganku.
Aku meraih I-phone yang tergeletak di meja kamar. Tidak ada pesan apapun yang masuk. Entah sedang berada di mana Harrys sekarang. Sejak siang tadi, saat aku mengantarkannya di bandara, Harrys hanya menghubungiku sekali sesaat setelah ia telah landed di Chang-I Airport. Padahal, aku tahu persis bahwa meeting baru dilakukan besok pukul 10 pagi.
Aku mengetik beberapa huruf yang lalu ku kirimkan pada Harrys. Namun, hingga dua jam berlalu, Harrys tidak kunjung membalasnya. Ia lupa janji yang baru diucapkannya tadi siang kalau ia akan menghubungiku malam ini. Sebenarnya, aku sudah terbiasa dengan kebiasaan Harrys yang seperti ini. Jika ia pergi ke luar negeri sendiri, ia selalu tiba - tiba menghilang tanpa kabar dan tiba - tiba kembali begitu saja, tanpa jadwal yang pasti. Aku selalu mencoba memahami kesibukan Harrys yang memang tidak seperti pria lain pada umumnya. Ia adalah pewaris dari perusahaan - perusahaan besar yang dimiliki keluarganya, dan kesibukan seperti ini wajar baginya.
Harrys sendiri juga pernah mengeluh padaku saat kami sedang berdua di apartemen,
"Ann, aku capek." Ucapnya malam itu. Ia tidur di pangkuanku dan dari wajahnya ia memang tampak lelah sekali setelah seharian ia harus meeting di Singapura, Surabaya dan langsung kembali ke Jakarta malam itu juga.
Aku hanya tersenyum tipis seraya mengelus rambut Harrys pelan.
"Rasanya pengen banget bisa berdua saja sama kamu setiap harinya seperti ini." Lanjutnya.
"Setiap hari kan kita juga berdua di kantor." Balasku dengan senyum.
"Tetapi aku kan tidak bisa manja sama kamu, Ann. Tidak bisa bersandar di pundakmu. Tidak bisa tidur dipangkuanmu seperti ini. Atau tidak bisa memelukmu." Harrys terdengar manja sekali. Ia selalu begitu saat kami hanya berdua saja. Manja dan sangat bergantung padaku.
"Aku pengen melepaskan perusahaan saja Ann. Biar aku enggak capek begini dan bisa terus sama kamu." Lanjut Harrys.
"Kamu yakin? Perusahaan itu kan punya keluargamu Rys." Balasku. Aku tahu persis Harrys tidak pernah serius dengan ucapannya untuk meninggalkan perusahaan.
"Ya, kalau bisa Ann. Aku lebih nyaman begini sama kamu. Enak." Jawab Harrys yang membuatku tertawa kecil.
"Harrys sayangku, kalau kamu mau begini terus sama aku, makanya aku jangan ditinggalin terus." Ucapku saat itu yang membuat Harrys tertawa juga. Ia lalu bangkit dari tidurnya dan mengecup pipiku.
"Maafin aku yaa sayang karena sering ninggalin kamu. Lain kali aku janji buat enggak sering - sering pergi." Ucapnya lalu menarikku dalam pelukannya. Ia terdengar serius dengan ucapannya dan saat itu aku berharap Harrys benar - benar serius dengan ucapannya. Kenyataannya, dua hari setelah itu, Harrys pergi ke Hongkong selama seminggu. Lalu, dua minggu kemudian, ia pergi ke New York selama satu bulan. Dan sejuta perjalanan bisnisnya ke luar negeri lainnya. Dan sekali lagi, aku hanya bisa mengerti dan mengerti lagi tentang betapa sibuknya Harrys, termasuk malam ini ketika Harrys tidak menghubungiku sama sekali.
-00-
Anna.
Sore hari ini hujan turun dengan derasnya. Aku memasuki pintu sebuah café setelah menembus hujan dari tempat parkir ke dalam café. Beberapa tetes air hujan membasahi bajuku di bagian pundak. Kurapikan kembali kemejaku sebelum masuk ke dalam café.
Setelah di dalam, aku mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang nyaman dan aku memilih tempat duduk di pojokan yang bersebelahan langsung dengan jendela kaca besar sehingga aku bisa melihat keluar. Aku duduk dan memesan secangkir cappucinno panas pada waitress yang menghampiriku. Ku buka tas dan mengambil handphone. Tidak ada notifikasi pesan apapun. Harrys masih belum memberikan kabar sejak semalam. Ia masih di Singapore karena pekerjaannya belum selesei. Jadi jika dihitung sejak aku di Bandung kemarin, ia sudah hampir semingga di sana.
Alunan lagu dari Coldplay yang berjudul Fix You mengalun pelan di ruangan dan secangkir cappucinno sudah terhidang di meja. Hujan juga masih turun dengan deras. Tiga hal itu seolah berharmonisasi dengan suasana hatiku yang galau. Masih ingat betul dengan yang kedua orangtuaku ucapkan beberapa hari yang lalu dan itu cukup kuat untuk menggoyahkan pertahananku pada Harrys. Apalagi didukung dengan rapuhnya hubunganku dengannya belakangan ini.
Jemariku memainkan layar handphone yang menampilkan fotoku dan Harrys beberapa bulan yang lalu saat kami berdua menghabiskan weekend di Gili Trawangan. Sore itu, aku dan Harrys duduk berdua di tepi pantai, tanpa pekerjaan yang membebani. Hanya kami berdua, duduk dan berbicara tentang banyak hal. Lima tahun bersama Harrys, momen seperti itu adalah sesuatu yang langka karena lima tahun itu selalu dipenuhi dengan pekerjaan dan bisnisnya.
Aku mengalihkan pandanganku dari layar handphone. Mataku tertuju pada tetesan air hujan di luar yang cukup deras hingga membanjiri bumi. Begitulah cara langit mencintai bumi, meski mereka tidak pernah bisa saling merengkuh, tetapi langit selalu memberikan apa yang bumi butuhkan bahkan sebelum bumi memintanya. Langit mengirimkan hujan untuk menyampaikan pada bumi betapa rindunya ia pada bumi. Cinta yang romantis namun tragis. Aku menyeruput cappucinno ku yang mulai dingin.
Handphoneku berbunyi, dan dilayar tertera nama Harrys. Aku langsung meraihnya.
"Hai."
"Hai. Dimana Ann?"
"Café for some coffee."
"What about apartment for some of me?"
Aku langsung tersenyum mendengarnya. "Be there in a while." Aku menutup telepon dan memasukkannya ke dalam tas. Setelah membereskan semua barangku, aku berjalan menuju kasir untuk membayar lalu berlari - lari kecil menuju mobil.
-00-
Anna.
Aku sampai di lantai 18 apartemen. Tanpa menekan bel, Aku langsung masuk ke dalam apartemen Harrys karena aku dan Harrys sama - sama tahu password ruangan masing - masing. Sebenarnya karena kami memasang password yang sama. Ruangannya gelap hanya ada sedikit cahaya dari pantri. Aku mencari - cari Harrys saat tiba - tiba seseorang memelukku dari belakang.
"Aku merindukanmu, Anna." Bisik Harrys di telingaku. Seperti guyuran hujan di musim kemarau, hatiku yang hampa selama beberapa hari langsung terasa damai.
"Aku juga merindukanmu, Rys." Aku berbalik dan memeluk Harrys dengan sangat erat. Aku ingin menumpahkan semua gejolak di hatiku pada Harrys, tetapi hanya dari pelukan semacam ini.
"Waah, sepertinya kamu lebih kangen aku ya." Ucap Harrys saat ia menyadari betapa eratnya pelukanku saat ini.
"Kamu jahat sih, pasti selalu lupa sama aku kalau sudah di luar negeri." Aku berucap manja pada Harrys, mencoba menutupi semua yang ia rasakan saat ini.
"Aku tidak pernah melupakanmu Anna. Justru karena aku ingin segera ketemu kamu, makanya aku berusaha untuk menyelesaikannya secepat mungkin. Bahkan aku meninggalkan meeting hari ini karena aku tidak sabar memelukmu seperti ini." Jawab Harrys. Ia tidak terdengar seperti merajuk atau mencoba menenangkan hatiku. Harrys serius dengan ucapannya. Ia memang benar - benar merindukanku.
Aku tersenyum dari balik pundak Harrys. Hatiku sedikit lega mendengarnya juga merindukanku seperti aku merindukan pria ini.
"Ayo makan malam Ann. Aku sudah menyiapkan steak favoritmu dan wine yang aku beli dari Singapore." Ucap Harrys. Ia menggandengku ke pantri. Dan ternyata cahaya kecil yang aku lihat tadi adalah lilin yang Harrys siapkan di meja makan.
Ia sudah menyiapkan dua porsi steak dan sebotol wine di meja makan. Ia bilang ingin candle light dinner denganku, hanya saja kami berdua tidak mungkin untuk melakukannya di luar. Pamor Harrys di hotel berbintang maupun restoran mewah sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Itulah kenapa selama bertahun - tahun bersama, kami berdua belum pernah jalan - jalan berdua ke tempat umum kecuali untuk urusan bisnis atau kebetulan sedang berada di luar negeri.
Aku dan Harrys duduk berhadapan di meja makan. Harrys menuangkan red wine ke gelasnya dan gelasku.
"Maaf ya Ann, aku cuma bisa mengajakmu makan malam seperti ini." Ucap Harrys sambil mengangkat gelas wine nya.
"Yang penting bisa makan sama kamu saja sudah cukup, Rys." Jawabku seraya mengangkat gelas wine.
Aku memang tidak pernah meminta hal - hal berlebihan pada Harrys. Bagiku, sesuatu yang romantis tidak harus selalu mewah ataupun berkelas, bisa melakukan sesuatu berdua saja itu sudah cukup romantis bagiku. Dan menurut Harrys, ia menyukaiku karena hal itu. Aku tidak pernah menuntut Harrys bahkan sekalipun aku tidak pernah merengek untuk dibelikan sesuatu.
"Bagaimana bisnismu di Singapore?" tanyaku sambil menyantap sirloin steak di piring.
"Bisakah kita tidak membicarakan tentang pekerjaan Anna? Aku ingin berbicara tentang kita saja." Jawab Harrys.
Aku sedikit terkejut dengan perubahan Harrys. Ia tidak pernah absen untuk menceritakan perjalanan bisnisnya padaku setelah pulang dari luar negeri.
"Baiklah. Apa yang ingin kamu bicarakan tentang kita?" tanyaku.
"Bagaimana kalau kita liburan Ann? Kamu mau kemana, Bali, Raja Ampat, atau Thailand? Atau kita ke Ha Long Bay saja?" Harrys balik bertanya padaku.
"Kenapa tiba - tiba liburan Rys?" Aku semakin bertanya - tanya dengan perubahan sikap Harrys.
"Ya, kita kan sudah lama tidak berlibur, Anna. Tidak ada salahnya kan kalau aku mengajakmu untuk berlibur."
Aku diam. Bukan liburan yang sebenarnya aku harapkan, tetapi kepastian dari Harrys di saat kedua orang tuaku mengharapkan itu.
"Mungkin kita lebih baik ke Macau saja ya, kebetulan aku kesana minggu depan. Jadi nanti aku akan mengajakmu." Harrys selalu memutuskan sesuatu tanpa menanyakan dulu apakah lawan bicaranya setuju.
"Aku tidak bisa." Jawabku singkat. Aku tahu persis jika pergi berlibur sekaligus mengikuti Harrys bertemu rekan bisnisnya di luar negeri, yang akan terjadi adalah aku berakhir di kamar hotel dan tidak melakukan apa - apa. Kekecewaan kembali merambati hatiku.
Harrys.
Untuk pertama kalinya Anna menolak ajakanku. Sesuatu mencuat dalam pikiranku. Ada sesuatu yang terjadi dengan Anna.
"Kenapa Ann? Tidak ada jadwal meeting kan minggu depan." Tanyaku mencari tahu. Ku letakkan pisau dan garpu di piring.
"Aku ada acara dengan orang tuaku." Jawab Anna.
Aku mencoba menelisik ke dalam hatinya melalui bola matanya. Bersama Anna selama lima tahun, Anna tidak akan bisa berbohong dengan matanya. Ia bahkan tidak pernah bisa berbohong padaku. Namun kali ini aku tahu ia sedang berbohong.
"Baiklah, kita bisa merencanakannya untuk dua minggu lagi. Aku akan mengambil a week off biar kita bisa berlibur tanpa harus ada urusan bisnis." Aku mencoba mencairkan suasana dengan mengalah.
Rinduku pada Anna membuatku ingin mengalah saja dan tidak ingin memulai pertengakaran dengannya. Anna hanya diam saja tidak menyahut apa - apa. Ia meletakkan alat makannya dan meminum red wine nya sampai habis. Pipinya bersemu merah, begitu juga bola matanya yang mendadak merah.
Anna apa yang sebenarnya mengganggu hatimu, aku bertanya - tanya dalam hatiku.
"Lalu kamu mau kemana, Anna untuk liburan nanti?" tanyaku lagi. Aku sendiri mencoba berpura - pura tidak menyadari perubahan Anna.
"Aku mau ke rumahmu, Rys." Jawab Anna tegas.
Aku tersentak mendengar jawaban Anna. Rasanya aku tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Selama ini, Anna tidak pernah menuntutku untuk membawanya ke rumah dan bertemu kedua orang tuaku, tetapi kali ini dengan tegas ia memintanya.
"Anna... kenapa kamu mau ke rumah?" aku tidak bisa menutupi keterkejutanku.
"Karena aku ingin serius denganmu Rys. Aku ingin kita berjalan ke depan." Jawab Anna.
"Selama ini kita sudah serius Anna. Dimana letak ketidakseriusanku padamu?" Aku mencoba mencerna ucapan Anna.
"Aku hanya ingin kepastian darimu, Rys."
Sesaat ucapan Anna seperti menyengatku. Entah apa yang membuatnya menyerangku bertubi - tubi seperti ini. Hingga, aku akhirnya menyadari kemana arah pembicaraan Anna.
"Kamu mau kita menikah?" tanyaku.
"Apalagi yang kita cari Rys selama lima tahun ini kalau kita tidak pernah serius dengan hubungan kita. Kamu tidak ingin menikah denganku?" Anna mulai meninggikan nada suaranya.
"Anna, tunggu. Kita bisa bicarakan ini dengan baik - baik dan kamu tidak perlu meninggikan suaramu seperti itu." Aku berusaha menekan emosiku melihat Anna seperti itu.
Anna diam dan tertunduk, namun dari balik rambut panjangnya yang menutupi sebagian wajahnya, Aku bisa melihat ia menitikkan airmata. Aku benar - benar tidak tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi padanya hingga ia bersikap seperti itu. Aku bangkit dan berjalan mendekati Anna. Berlutut dan merengkuhnya dalam pelukanku. Aku membiarkan Anna menangis dalam pelukanku.
"Aku akan mengatur waktu untuk bisa mengajakmu ke rumah Anna." Ucapku pelan di telinga Anna untuk menenangkannya.
Ia mengangguk pelan dan melepaskan pelukanku
"Aku mau cuti seminggu Rys. Aku mau pulang ke Bandung." Ucapnya sebelum akhirnya ia bangkit dari duduknya dan meninggalkanku seorang diri. Sementara aku hanya bisa menatap punggung Anna hingga menghilang ke balik pintu. Aku merasakan sakit menyerang sesuatu dalam dadaku. Sesuatu yang aneh sedang merayapi hatiku. Tiba - tiba aku merasakan ketakutan yang sangat akan kehilangan Anna.
Aku berdiri lalu mengambil gelas wine dan meminumnya sampai habis. Aku bingung dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Keinginanku untuk membahagiakan Anna tiba - tiba pupus begitu saja ketika mendengar Anna menolak ajakanku ke luar negeri dan malah meminta bertemu orang tuaku. Sebuah permintaan yang hampir tidak mungkin akan aku lakukan mengingat sikap Papa saat bertemu Anna beberapa tahun yang lalu. Rasanya masih ingat betul sikap Papa yang tidak menghiraukan Anna saat aku mengajak Anna ke pertemuan keluarga. Sikap Papa membuatku mengurungkan niat. Lalu, bagaimana jika aku mengajaknya ke rumah sekarang? Anna akan menemui neraka yang tidak akan pernah ia inginkan seumur hidupnya.
Tanganku merogoh saku celana dan mengambil sebuah cincin emas putih. Mataku menatap nanar ke cincin yang sedang aku mainkan diantara jari - jariku. "Maafkan aku Anna." aku berucap lirih. Mataku memandang ke luar jendela apartemen dan tanganku menggenggam erat cincin itu.
Anna.
Aku duduk sendiri di kamar sembari memeluk kakiku. Mataku mungkin sudah bengkak karena terlalu lama menangis. Air mata ini tidak berhenti keluar sejak aku bersama Harrys tadi. Mungkin sudah satu jam lebih aku memaksa air mataku keluar. Pikiranku kacau sejak pembicaraan dengan Papa dan Mama di Bandung beberapa hari yang lalu. Dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang? Siapa yang akan aku korbankan?Apakah aku akan meninggalkan Harrys demi kedua orangtua ku? Ataukah aku akan terus berkeras untuk mempertahankan hubunganku dengan Harrys? Dan setiap kali hatiku begitu dominan, aku tahu akan sangat berat untuk meninggalkan lelaki yang sangat aku cintai itu.
-00-