"Waktu adalah sesuatu yang tidak pernah berdusta. Ia akan membuktikan apa yang tersembunyi dari manusia."
-Anonim-
Anna.
Matahari belum bersinar begitu terang saat aku berjalan keluar dari apartemen. Tas ransel kecil menggantung di pundakku dan tentu saja kacamata hitam. Sebenarnya memakai kacamata hitam di pagi hari akan terlihat aneh bagi orang lain. Namun, aku akan lebih terlihat aneh dengan mata sebengkak sekarang ini.
Aku menunggu lift yang masih berjalan turun dari lantai 25. Saat pintu terbuka, ku langkahkan kakiku memasuki lift. Jariku menekan tombol B2 untuk menuju ke parkiran mobil. Aku berniat untuk pulang ke Bandung dengan menyetir mobil sendiri. Saat lift sampai di lantai 18, tiba – tiba pintu terbuka, dan seorang pria masuk ke dalam dengan menggunakan setelan jas rapi. Aku bisa melihat betapa terkejutnya pria itu melihatku, seperti terkejutnya aku melihatnya pergi sepagi ini. Aku hanya diam saja saat Harrys berdiri di sampingku karena aku tidak tahu harus berbuat atau berbicara apa.
Tiba-tiba tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya erat sekali. Seketika, aku merasakan aliran darahku mengalir begitu cepat seiring dengan detak jantungku. Kakiku menjadi sangat lemas dan mataku mulai memanas lagi. Jauh di dalam hatiku, ingin sekali memeluk Harrys dengan sangat erat dan menumpahkan semua perasaan yang berkecamuk di dada saat ini. Namun, aku tidak sanggup melakukannya. Logikaku melarangku untuk melakukan itu.
"Kamu mau ke Bandung naik apa?" tanya Harrys memecah kesunyian.
"Naik mobil sendiri." Jawabku singkat.
Harrys menoleh dan menatapku. "Anna, biarkan driver yang mengantarmu. Aku tidak mau terjadi apa-apa denganmu karena kamu kelelahan nyetir ke Bandung."
"Tidak apa-apa, Rys. Aku bisa sendiri. Aku sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri." Jawabku tanpa menoleh sedikitpun.
Harrys.
Aku diam. Ucapan Anna seperti sebuah tusukan. Pelan namun sangat menyakitkannya. Entah sengaja atau tidak, Anna mungkin sedang menyindirku yang sering membiarkannya melakukan semuanya sendiri tanpa aku.
"Kamu mau ke mana?" tanya Anna tiba-tiba. Anna menanyakan sesuatu yang tidak aku harapkan untuk ditanyakan olehnya. Kenapa? Karena aku tidak ingin menyakitinya lagi dengan berbohong padanya.
"Bali." Jawaban itu muncul begitu saja. Ia mungkin akan tahu kebohonganku karena ia tahu persis aku tidak ada jadwal ke Bali pagi ini. Tetapi Anna, aku tidak punya jawaban lain. Aku merutuki diriku sendiri yang terus-terusan membohongi Anna.
Anna.
Sesuatu sedang mengusik batinku saat ini tentang Harrys. Seingatku, Harrys tidak punya janji dengan siapapun pagi ini.
"Bali." Jawaban Harrys membuatku semakin bertanya – tanya.
"Sudden meeting? Aku tidak ingat ada jadwal itu." Balasku.
"Iya. Kemarin baru ada kesepakatan untuk ketemu di Bali dan aku belum sempat bilang ke kamu An." Harrys menjawab pelan.
Aku hanya bisa berpura-pura mengangguk-angguk meski dalam hati aku tetap merasa ada yang tidak beres. Sebisa mungkin,aku menepis semua keraguanku pada Harrys.
"Take care ya." Ucapku saat pintu lift terbuka. Aku memilih untuk mendahului Harrys keluar dari lift.
Harrys.
Melihat Anna berlalu begitu saja dariku, ada sakit yang menyeruak dari dalam hatiku. Naluriku mengatakan untuk mengejar Anna dan memeluknya. Aku tidak mempedulikan Anna yang meronta dilepaskan. Ia adalah kekasihku, aku berhak memeluknya karena aku masih sangat merindukannya. Egoku berkata seperti itu.
"Sebentar saja Ann. Aku sangat merindukanmu." Ucapku saat Anna terus meronta untuk dilepaskan. Aku tahu Ann, kamu mungkin tidak lagi nyaman dengan pelukanku. Namun, pelukanmu adalah kenyamanan yang tidak pernah aku dapatkan dimanapun. Aku membatin.
Lima menit aku memeluk Anna tanpa berbicara apapun, sampai akhirnya aku melepaskan tanganku. Aku melihat Anna yang menatapku penuh tanda tanya. Aku tahu Ann, kamu bertanya-tanya dengan sikapku, tetapi aku mohon maafkan aku yang tidak berdaya ini.
Anna.
Ia akhirnya melepaskan pelukannya. Matanya masih menatapku dengan sangat dalam. Banyak hal yang aku lihat dari sorot matanya dan satu hal mengganjal di hatiku. Aku merasa seperti akan ditinggalkan.
"Hati-hati di jalan ya, Ann. Jangan lupa beri tahu aku kalau kamu sudah sampai Bandung." Ucap Harrys dengan sangat lembut. Ia lalu mengecup keningku dan berlalu pergi dari hadapanku. Sebisa mungkin, aku berusaha tersenyum meski aku merasakan sakit di dalam dada ini. Dan rasa sakit itu semakin merayapi di setiap langkah yang aku ambil. Semakin jauh aku berjalan dan berseberangan dengan Harrys, semakin sakit pula yang aku rasakan.
Aku membuka pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi. Tanganku tidak langsung menyalakan mesin mobil, karena perhatianku tertuju pada pria yang sedang masuk ke dalam sedan mewah yang menjemputnya. Semakin lama pandanganku semakin kabur karena airmata yang merangsek keluar. Entah kenapa, aku merasakan ada yang salah dengan semua ini, tetapi aku tidak tahu apa. Akhirnya aku menangis juga di mobil, bahkan ketika aku sudah memacu mobil menuju Bandung, airmata ini masih tidak mau berhenti juga.
Jalanan Jakarta sudah cukup ramai pagi ini. Aku baru sampai separuh jalan saat Harrys tiba-tiba menelepon. Baru saja tadi bertemu Harry di apartemen, kenapa sekarang ia meneleponnya. Tanganku memasang headset di telinga lalu menekan layar handphone untuk menerima telepon.
"Halo, Rys." Aku berusaha mengontrol suaraku yang serak karena terlalu banyak menangis.
"Sudah sampai di Bandung, Ann?" tanya Harrys.
"Belum. Baru separuh jalan. Ada apa?" Aku balik bertanya pada Harrys.
"Enggak apa-apa Ann, aku hanya ingin ngobrol denganmu saja. Sebenarnya semalam aku ingin ngobrol banyak denganmu, tetapi kondisinya tidak memungkinkan."
"Maafkan aku. Aku terlalu terbawa emosi semalam." Jawabku. Meskipun aku berusaha bersikap seperti biasa, tetapi aku tetap tidak bisa mengucapkan kata-kata sayang padanya seperti yang selalu aku lakukan. Namun aku tidak ingin Harrys tahu apa yang sedang berkecamuk di hatiku saat ini. Sikap Harrys semalam cukup membuatku tahu, akan sangat sulit sekali baginya memenuhi keinginanku.
"Justru aku yang seharusnya minta maaf Ann, aku belum bisa mengenalkanmu pada orang tuaku sebagai calon istriku. Maafkan aku Ann. Maafkan aku yang cuma bisa menyakitimu saja." Ucapnya di seberang telepon.
Kamu terlalu banyak meminta maaf, Rys. Bukan itu yang aku inginkan. Aku hanya membatin saja. Kenyataannya aku hanya diam saja karena aku tidak tahu jawaban apa yang tepat untuk membalasnya. Yang pasti, apa yang baru saja Harrys katakan membuatku yakin Harrys tidak akan pernah membawaku bertemu dengan kedua orang tuanya.
"Anna..."
"Ya.."
"Kalau nanti kamu bertemu seseorang yang menurutmu lebih baik dari aku, aku tidak akan melarangmu An." Aku tidak percaya Harrys baru saja mengatakan kekonyolan itu. Mendengarnya saja membuat pertahananku langsung tumbang. Ia baru saja melepaskanku dengan ucapannya tadi.
"Kamu ngomong apa? Kenapa harus bicara begitu, Rys?"
"Karena aku merasa bersalah padamu, Ann. Aku berdosa padamu. Itulah kenapa aku tidak akan menghalangimu." Suara Harrys berubah menjadi serak.
"Harrys, please jangan bicara seperti itu. Kita masih bisa mencari jalan keluarnya." Aku mencoba menahan gejolak emosi. Diantara segala kemungkinan, aku masih ingin mempertahankan hubunganku dengan Harrys.
"Baiklah Anna. Aku harus berangkat dulu. Nanti setelah dari Bali, aku akan menyusulmu ke Bandung." Ucap Harrys sebelum menutup teleponnya.
Belum kering airmataku tadi dan Harrys baru saja menambahkannya dengan ucapannya tadi. Tidak bisakah ia tidak menyakitiku terus menerus seperti ini? Aku benar – benar tidak percaya Harrys baru saja menyerah dengan hubungan yang sudah terjalin selama lima tahun ini. Tidakkah ia menganggapnya sebagai sesuatu yang berharga untuknya? Lima tahun mengenal Harrys, membuatku tahu ia adalah tipe orang yang tidak mudah menyerah pada apapun, namun untuk seseorang yang mencintainya, ia menyerah semudah itu.
Sebenarnya, apa yang salah dengan diriku hingga ia benar-benar tidak ingin mengenalkanku pada keluarganya? Aku memang tidak lahir dari keluarga dengan gurita bisnis seperti Harrys, namun Papa adalah pejabat Bank yang cukup disegani di lingkungan perbankan. Physically, I'm also qualified enough to be his wife. Aku juga tidak pernah melakukan sesuatu yang memalukan publik. Lalu, apa yang salah denganku, Rys?
-00-