3 tahun kemudian,
Angin berhembus kencang menerbangkan ujung scraf yang aku kenakan ketika tiba di bandara Oslo. Sengatan udara dingin yang terbawa olehnya bahkan melewati cela mantel bulu yang menutupi tubuhku. Aku memandang langit biru di atas kepalaku hanya sekedar menyapa beberapa burung yang terbang disana. Matahari tampak tidak terlalu gembira, tetapi tidak sedang bersedih pula. Sinarnya terasa samar-sama, tidak menyengat seperti di negara tropis. Sementara deretan pegunungan dengan pucak bersalju begitu memanjakan mataku. Rasanya seperti melihat es krim crone rasa coklat dengan ujung vanilla yang meleleh. Aku ingin mencoba meluncurkan kakiku disana menyentuh salju sekaligus menikmati bagaimana bermain sky.
Akhirnya setelah menyimpan harapan begitu lama, aku tiba di negara itu. Meskipun tidak untuk melarikan diri dan menetap di salah satu pinggiran kotanya. Sekolah baruku di Bogor ternyata tidak seburuk yang aku pikirkan. Meskipun aku tidak mendapatkan beasiswa tetapi sekolah itu sangat menghargai kemampuanku di bidang catur. Aku mengikut berbagai perlombaan catur atas nama sekolah. Mulai dari hanya tingkat sekolah, provinsi lalu nasional hingga akhirnya sampai di Norwegia untuk pertandingan internasional. Siapa yang dapat menduga jika rencana tuhan akan sebaik ini.
Hanya saja, aku tidak mempunyai informasi tentang keberadaan Arza. Selama tiga tahun terakhir aku masih mengingat bayang-bayangnya di dalam kehidupanku. Aku tidak tahu seperti apa dia dan di mana dia tinggal di negara itu. Tidak ada satupun dari keluarganya termasuk itu Miko dan Dani yang tahu tentang keberadaannya. Harapanku pun terasa buta. Bagaimana pun Norwegia tidaklah kecil, ada beberapa Kota yang mungkin menjadi tempat tinggal Arza selain kota Oslo.
“Freya! Kau mau langsung istirahat di hotel atau jalan-jalan mengelilingi Oslo? Kita masih mempunyai banyak waktu untuk menyegarkan otakmu.” ujar pelatihku. Dia salah satu guru di sekolahku yang telah membimbingku sampai sejauh ini.
Aku melangkahkan kaki untuk menyusulnya. Beberapa kopor telah dimasukan ke dalam bagasi taxi. Hanya tinggal kami berdua memutuskan hendak kemana terlebih dahulu. “Aku ingin langsung jalan-jalan Pak. Tetapi jika bapak ingin istirahat, bapak bisa tinggal di hotel. Aku bisa menjaga diriku!”
“Apa kau yakin?” tanyanya.
Aku pun mengangguk dengan cepat. Waktuku tidak banyak, hanya beberapa hari di Norweg dan ku tidak ingin kehilangan waktuku. Setidaknya aku ingin mencari sedikit jejak Arza di negara itu. Meskipun aku mungkin tidak akan bertemu dengannya.
Begitu kami hendak masuk ke dalam mobil, angin kencang kembali menerbangkan scraf-ku. Aku berhenti sejenak untuk memperbaikinya. Leherku bisa saja membeku jika aku tidak memakainya. Namun sebelum aku benar-benar masuk ke dalam mobil. Sepasang sepatu boot hitam tiba-tiba berhenti tepat dihadapanku. Sepasang sepatu itu seolah tengah menatapku. Aku pun mendongak karena tertarik. Dan dalam beberapa detik kemudian dunia yang tengah bergerak itu seolah membeku.
Seorang pemuda dengan mantel hitam dan rambut fringe yang disisir ke belakang berdiri di pelataran bandara yang tak jauh dari tempatku berdiri. Mata berwarna coklat selaras dengan warna sweter di dalam mantelnya. Aku membeku seperti gundukan es saat mata itu menatapku dengan begitu dalam. Tatapan mata dan senyuman yang aku rindukan.
“Arza…” ujarku dengan suara parau. Ada kepulan uap yang keluar dari bibirku ketika menggumamkan namanya. Arza dengan langkah ringannya berjalan beberapa menghampiriku. Sementara aku masih berusaha memperjelas pengelihatanku. Aku takut bahwa sosoknya hanya fatamorgana dari kerinduanku.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya.
Aku ingin mengumpat, memaki dengan panjang tentang bagaimana keadaanku setelah kepergiaannya. Dia tidak tahu bertapa hancurnya aku kala itu. Tetapi hal itu tidak aku lakukan karena rasa rinduku yang meluap-luap.
“Aku baik! Kau sendiri?”
Dia tak menyahuti perkataanku. Aku pun tak peduli dengan jawabannya. Tanpa sadar air mata yang hangat meleleh di permukaan pipiku. Air mata yang tidak pernah akan aku keluarkan tanpa perasaan yang begitu dalam. Pembicaraan kami terlalu aneh untuk dua orang yang tidak bertemu dalam kurung waktu yang cukup lama. Aku tidak tahu harus berkata selain rasa lega karena perjumpaan yang tak terduga tersebut.
“Bagaimana kau bisa mengetahui kedatanganku?” tanyaku disela isakan.
Dia tersenyum dengan lesung pipit yang entah mengapa baru aku sadari begitu manis. Arza tidak berubah, sorot matanya masih sedingin salju. Akan tetapi rona bahagia yang tampak diwajahnya cukup menjelaskan padaku bahwa dia baik-baik saja. Dia berhasil memulai kehidupannya menjadi seseorang yang baru.
“Karena aku tidak benar-benar pergi darimu Freya… aku selalu mengetahui apapun tentang dirimu.” Jawabnya membuat mataku semakin panas.
Angin kencang kembali bermain dengan scraf-ku. Dia mencoba melangkah kembali dan membenarkan lilitan di leherku. Aku menatapnya cukup lama dalam jarak sedekat itu. Dia pun membalas tatapanku dengan manik-manik mata yang bercahaya. Kami pun tak dapat menahan diri untuk saling memeluk erat. Meluapkan segala hal yang sekian lama terpendam. “Akhirnya aku dapat menemukanmu…” isakku.
“Aku yang lebih dulu menemukanmu! Kita adalah takdir yang baru.” Balas Arza.
Akhir dari kehancuran adalah sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih indah dari semula. Kehancuran dari kehidupan di masa lalu kami hanya suatu pembelajaran. Kami tumbuh dewasa dan melupakan kebencian karena kehancuran itu. Aku memandang Arza sebagai danau yang indah setelah letusan gunung Patuha dan dia menganggapku danau yang indah yang ditemukannya di gunung Patuhan. Aku mencintainya dan kami tak peduli lagi siapa diri kami masing-masing. Ini bukanlah seperti sindrom Brothercomplex, cinta kami adalah cinta murni dua anak manusia. Cinta yang bukan terlarang bagi sesama. Cinta kami membangun pribadi kami untuk memaafkan satu sama lain.
Selesai