“Ada yang datang disaat ada yang pergi. Begitulah siklus di dunia ini.”
Memutuskan pindah dari sekolah yang telah lama menjadi impianku tidaklah mudah. Aku bisa saja tetap bertahan di sekolah itu hingga Lulus dan tak kehilangan kesempatan melanjutkan pendidikan di luar negeri. Namun itu bukan jaminan bahwa aku dapat menyusul Arza ke negeri utara. Ku pikir meskipun aku pindah ke Bogor dan melanjutkan pendidikan di sekolah yang tidak terlalu terkenal, aku masih mempunyai harapan untuk menyusul Arza. Meskipun jalan yang aku lalui akan lebih panjang dan lebih dari semula.
Aku mempelajari satu hal di dunia ini dari kepergian Arza, bahwa saat sesuatu pergi maka akan datang sesuatu yang lain, meskipun tidak benar-benar dapat menggantikannya. Ketika aku baru membereskan beberapa berkasku di sekolah tak sengaja aku bertemu kembali dengan Jia, seorang teman yang aku tidak tahu mengapa dapat kupanggil teman. Dia mengunjungi sekolah ditemani Miko. Rupanya mereka pulang selama liburan. Jia menyapaku terlebih dahulu seperti biasa. Dan aku berharap banyak untuk memperbaiki hubunganku yang selalu memburuk setiap bertemu dengannya. Setidaknya aku tidak ingin kebencianku kembali merasuk ke dalam kehidupanku dan menghancurkannya lagi seperti yang pernah terjadi antara aku dan Arza.
“Freya! Apakah aku bisa berbicara denganmu berdua?” katanya. Aku ingin menghindar tetapi dia tidak memberiku kesempatan untuk melakukannya. “Kudengar Arza meninggalkanmu?” ujarnya kembali membuat langkahku terhenti.
“Dia laki-laki yang jahat bukan? Memang seperti itulah dia,” Namun aku tidak melihat nada cibiran dari perkataannya. Dengan senyuman tipis dan nada bicara yang terdengar parau itu. Manik-manik matanya juga berkaca-kaca seolah dia juga merasakan rasa sakit yang aku rasakan karena kepergian Arza.
“Yah,” kali ini aku mencoba menyetujui perkataannya. “Dia memang laki-laki jahat yang pernah aku kenal. Tapi aku tidak menyesal pernah mengenalnya,” Jia tidak mencoba menampik perkataanku dan justru mengucapkan kata-kata yang sama sekali tidak pernah ku bayangkan.
“Aku minta maaf padamu,” ucapnya. Dia tidak punya alasan untuk mengatakan hal itu padaku setelah kami tak bertemu untuk waktu yang cukup lama. “Aku sadar bahwa aku tidak mempunyai teman selain kau. Aku terlalu egois karena menganggap Arza hanya untukku. Dia adalah cinta pertamaku atau mungkin hanya cinta monyet-ku. Aku berusia 6 tahun saat pertama kali mengenal Arza dan masih terlalu kecil untuk memahaminya semua itu. Tapi sekarang aku sudah merasa dewasa, setidaknya dengan penyakit yang aku derita harusnya aku harus berusaha melakukan yang terbaik dalam hidupku.”
“Apa kau baik-baik saja?”
“Yah, aku baik! Hanya saja, tidak sebaik dahulu. Kau tahu apa yang terjadi padaku bukan?”
“Hm, setidaknya kau punya Miko disampingmu...”
“Aku juga sedikit bersyukur tentang itu,”
Aku dan Jia saling tersenyum. Aku tidak lagi mempunyai dendam pada Jia meskipun dia telah melakukan sesuatu yang jahat padaku. Bagiku semua hanya kenangan pahitku selama berada di sekolah itu. Aku mengucapkan kata selamat tinggal lebih baik dibandingkan saat Jia hendak pindah ke Singapura. Kami menjadi teman kembali seiring dengan berjalannya kedewasaan dalam diri kami masing-masing. Jia mempunyai seorang penjaga yang dapat menggantikan Arza, dan dia tak lain adalah Miko. Gadis itu masih sedikit beruntung dari aku setelah Arza meninggalkan kami berdua.
“Kapan-kapan aku akan mengujungimu di Bogor saat liburan.”
“Tentu, kau boleh berkunjung kapanpun yang kau mau. Kau masih menjadi temanku hingga sekarang!”
******
Tinggal bersama ibu dan keluarganya jauh lebih sulit dari kehidupanku tanpa uang dan harta. Selain karena Arza yang telah mengilang dari lingkungan itu, aku juga seakan tidak memiliki alasan untuk bertahan di rumah itu. Biarlah aku menghukum ibu dengan membiarkannya melepaskanku. Dia tidak akan lama untuk menangisi penyesalannya, dia akan melewati masa sulitnya dengan kehidupannya yang baru. Tanpa aku dan tanpa Arza maupun ibunya. Mungkin seiring berjalannya waktu kata “Pelakor” itu akan dihapuskan dari kehidupan ibu. Di dunia ini tidak akan ada yang abadi, begitu pula dengan status yang dimilikinya. Semua akan terkubur oleh waktu perlahan demi perlahan.
Langkahku meninggalkan ibu pun juga tanpa dendam ataupun kebencian. Aku sudah sangat bersyukur jika dia tidak mempersulitku untuk tinggal bersama nenek. Dari kata-kata Sam, aku berusaha memahami bahwa seburuk apapun dirinya, dia tetaplah ibuku. Dia berusaha tidak melepaskanku hingga akhir meskipun ada pilihan baginya untuk meninggalkanku bersama nenek sejak dulu. Dia masih memiliki kepedulian pada anak-anaknya meskipun dengan cara yang tidak baik sekalipun.
“Kakak baik-baik ya bersama nenek! Setelah aku lulus, aku akan menyusul kakak ke Bogor. Aku tidak mau lagi berpisah dengan kakak,” Senyumanku mengembang ketika mendengar perkataan Sam sore itu di terminal bus Jakarta menuju Bogor. Meski senyumanku terkesan memaksa tetapi senyuman itu tulus untuk melepas kepergianku dari kota itu.
“Kau juga! Jaga dirimu selama aku tidak ada,” pintaku padanya. Sam membawakanku beberapa kopor hingga di tepat di area Bus yang hendak aku tumpangi.
“Kau tidak ingin memeluk kakakmu atau sekedar mengucapkan selamat tinggal?” godaku saat kami kembali berhenti untuk memasukan beberapa koporku ke dalam bagasi barang di bagian samping bis. Aku mungkin akan mengkhawatirkan Sam setelah ini, bagaimanapun itu.
“Untuk apa mengucapkan selamat tinggal! Itu terdengar seperti perpisahan untuk selamanya. Lagipula saat liburan, aku juga akan mengunjungi nenek dan kakak. Kalau pelukan, tidak ah… aku pikir kakak lebih membutuhkan pelukan seseorang yang kakak rindukan disana. Hm… aku sungkan menyebutkan namanya,”
Aku cukup tertegun dengan ucapan Sam. Kata-kata itu lebih mirip seperti huruf-huruf dalam teka-teki silang yang ingin aku temukan. Tentang alasan seseorang tak ingin mengucapkan selamt tinggal. Aku pikir akan kejam jika kita tak mengatakan apapun saat kita pergi. Selamat tinggal, sampai jumpa kembali, semua itu kata perpisahaan yang tidak pernah aku dengar dari Arza.
Namun sore itu Sam menyadarkanku tentang arti perpisahan yang tak pernah terucapkan. Aku secara tiba-tiba memahami dari perkataan Sam tentang alasan mengapa Arza tidak pernah mengucapkan selamat tinggal padaku. Jawaban itu adalah karena kami masih mempunyai harapan untuk saling bertemu satu sama lain, di tempat yang lain.