“Kesabaran adalah cermin yang membolak-balikan kehidupan.” ~Arza
Rumah itu memiliki halaman yang luas dengan empat lantai termasuk lantai atap yang terdapat rumah kaca untuk bersantai. Ada pilar-pilar besar yang menyokong teras lalu beberapa jendela kaca mengkilat dengan bingkai berwarna putih. Di belakang rumah ada kolam renang sementara di luar tepat dekat pintu masuk terdapat kolam dengan air mancur. Rumah impian, begitu batinku ketika pertama kali datang ke rumah itu. Dan hingga kini pun aku masih mengucapkan kata-kata yang serupa.
Hanya saja istana yang indah itu menyimpan begitu banyak luka di dalamnya, bahkan kenangan-kenangan pahit para penghuninya. Raja dengan dua permaisuri yang bertolak belakang, para pangeran yang kesepihan serta dua antagonis mereka yang ditakdirkan terpesorok ke neraka. Bahkan hingga saat ini aku masih merasa asing dengan rumah itu.
Aku menemukan ibu di teras belakang dekat kolam renang ketika tanpa sepengetahuannya aku mengunjungi rumah itu. Namun dia tampaknya tak sendiri disana. Ada seseorang di hadapannya dan Ibu tampak sedang berbicara serius dengannya. Dia seorang laki-laki dengan warna rambut hitam kecoklatan, suaranya terdengar agak berat tetapi cukup familier bagiku. Aku mencoba melebarkan penglihatanku dan menemukan sosok Arza-lah yang tengah bersama ibu.
Setelah kasus itu resmi ditutup, Arza memang dibebaskan begitu saja. Meskipun dia masih harus bertanggung jawab dengan membiayai pengobatan korban hingga sembuh. Beberapa hari sejak ia bebas, aku juga belum sempat menemuinya. Sehingga ada perasaan aneh yang sedikit membayangiku ketika melihat sosoknya disana. Aku tidak bisa mengatakan bahwa itu kerinduan.
“Bagaimana kau bisa dekat dengan Freya?” Tanya ibu dengan nada suara yang agak tinggi. Dia menatap Arza yang masih berdiri dengan santainya sembari mengantongi kedua tangannya di dalam saku hoddie. Aku berhenti dibalik pintu untuk mengamati pembicaraan mereka.
“Kenapa? Apa kau tersinggung karena aku dapat memahami dia lebih baik darimu?” sahut Arza terdengar begitu santai, seolah tidak sedang berbicara dengan orang yang lebih tua darinya. Tidak menjadi sebuah rahasia jika dari awal Arza memang tidak menganggap ibu seperti ibu tirinya, dia hanya menganggap ibu seperti istri dari ayahnya. Sama sepertiku yang menganggap ayah Arza hanya sebatas suami ibu.
“Arza, kau tidak mungkin dekat dengan Freya begitu saja bukan? Aku tahu tipe anak seperti apa dirimu.” Ujar ibu lagi membuat pembicaraan mereka lebih serius. Aku tidak menduga jika pokok permasalahan yang tengah mereka bahas adalah tentang diriku.
Arza tersenyum miring, dia lebih terlihat mencibir pernyataan ibu. “Bukankah kau yang memintaku mengawasinya sebagai seorang kakak? Apa kau lupa?”
“Aku tidak lupa! Tapi satu hal yang aku tahu adalah kau bukan tipe anak yang akan memenuhi permintaanku tanpa sebab. Aku paham bagaimana jalan pikiran anak sepertimu!”
“Jangan terlalu percaya diri!”
“Kau tidak tahu apapun tentangku. Kau hanya terancam dengan keberadaanku, benarkan ibu?” perkataan Arza yang lebih terdengar memancing emosi ibu. Dia pun menatap ibu dengan tatapan tajamnya. Aku tidak tahu jika seburuk itu perseteruhan mereka.
“Apa rencanamu yang sebenarnya?” Tanya ibu menantang balik tatapan Arza.
“Lakukan apa yang ingin kau lakukan padaku! Kau ingin balas dendam bukan? Lakukanlah!” teriak wanita itu.
Tidak ada orang di rumah itu selain ibu, Arza dan aku. Dani dan Miko tidak terlihat sementara Tuan William tentu masih berada di kantornya. Para pelayan di rumah itu pun tidak terlalu ikut campur sehingga mereka tak peduli jika ada anggota keluarga yang tengah bersiteruh di rumah itu.
“Tapi jangan menggunakan kebencianmu padaku untuk mengubah Freya menjadi lebih buruk! Dia bukan anak yang mempunyai keberanian besar untuk melawan ayahmu jika tidak ada seseorang di belakangnya. Dan kau menggunakan dia untuk menghancurkanku bukan?” tuduhan Ibu.
Aku tak melihat raut wajah Arza berubah. Dia masih tampak santai seperti sediakala. Namun aku yang mengetahui sebenarnya pun merasa keberatan dengan tuduhan ibu. Arza tidak pernah sekalipun memanfaatkanku untuk balas dendamnya. Dia justru menolongku dari penderitaan yang disebabkan ibu. Yang aku lakukan tempo hari pun sama sekali tidak ada hubungannya dengan Arza. Aku murni membelanya di depan Tuan William karena ia memang tak salah.
“Apapun yang aku lakukan? Aku tidak merasa ambil bagian dalam perubahan karakter Freya. Aku pikir dia lebih baik sekarang, lebih kuat dan tabah menerima perbuatan ibunya.”
“Arza!” tukas ibu,
“Kau membawa pengaruh buruk bagi Freya! Apakah kau pikir aku tidak tahu bahwa kau diam-diam membawa Freya ke klub malam? Kau mengenalkan anak polos itu dengan dunia gelapmu?”
“Itu tidak benar!” Arza berusaha membantahnya kali ini. Namun ibu tak berhenti begitu saja untuk menyudutkannya.
“Kau semakin liar setelah ibumu depresi. Siapa yang tidak tahu bagaimana kelakuanmu di luar. Kau pergi ke klub malam, pergaulanmu dengan orang-orang yang lebih dewasa darimu, kau minum-minum hingga menabrak seseorang dan membuatnya koma. Itu semua adalah kelakuanmu yang tidak diketahui orang lain, tapi aku mengetahuinya…” ucapan ibu yang kali ini semakin mengada-ngada. Aku lebih mengenal Arza dibanding dia. Dan Arza tidak seperti yang ibu tuduhkan. Itu memang sebuah club malam, private party yang diadakan anak-anak kelas atas. Dan Arza hanya berada disana untuk melakukan hobinya, tidak seperti pikiran ibu.
“Kau terlalu sok tahu!” tukas Arza kali ini.
“Apa yang tidak aku tahu? Bahkan tentang ibumu yang sedang depresi pun aku tahu. Dia terlihat menyedihkan sama sepertimu yang kekurangan kasih sayang.”
“Jangan bawa-bawa nama ibu!” kali ini giliran Arza yang membentaknya. Dia dalam posisi terbalik sekarang. “Apa kau tak malu menyebut nama ibuku tanpa merasa berdosa? Kau yang bertanggung jawab dibalik penderitaan ibu. Dan pantas menerima apa yang sedang kau terima saat ini! Kau tidak akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupmu.”
Ibu terdiam oleh perkataan Arza. Tampak jelas guratan ketakutan di wajahnya. Namun bukan ibu namanya jika menyerah begitu saja oleh seseorang yang dianggapnya tidak sebanding.
“Aku tidak butuh kebahagiaan. Yang aku butuhkan hanya harta ayahmu! Kau harus tahu bahwa perlahan tapi pasti posisimu sebagai pewaris di keluarga ini tidak lagi kuat. Dan aku akan memastikan bahwa kau tidak akan bisa lagi menyombongkan dirimu! Kau akan diusir oleh ayahmu tanpa sepeserpun.”
Aku menutup mulutku tidak percaya. Jadi semua ini hanya tentang sebuah harta. Ibu takut jika perbuatanku melawan Tuan William akan mengancam posisinya dalam merebut harta tuan William. Aku tidak tahu jika pemikiran ibu akan semakin kotor setiap harinya. Bagaimana mungkin ia berpikiran untuk menyingkirkan Arza dari ayahnya sendiri.
“Ibu…” teriakku memotong pembicaraan. Awalnya aku bermaksud untuk berdamai dengan ibu dan melupakan semua perbuatannya di masa lampau. Akan tetapi ibu seolah tidak pernah berubah, dia selalu berulah dan bahkan lebih buruk setiap harinya. Aku merasa sangat malu mempunyai ibu sepertinya.
“Freya? Sejak kapan kau?” Tanya ibu yang tampak gelagapan mendapatiku di ambang pintu. Arza ikut mengalihkan pandangannya ke arahku. Namun aku menghidari tatapannya karena malu.
“Aku mendengar semua! Dan aku benar-benar malu mempunyai ibu sepertimu!”
“Freya!”
“Kenapa ibu tidak pernah berubah? Kenapa ibu semakin buruk setiap harinya? Apa semua yang ibu dapatkan tidaklah cukup?”
“Freya! Freya! Dengar ibu! Kau salah paham!”
Ibu dengan hati-hati berjalan menghampiriku. Dia mencoba meraih punggung tanganku untuk menenangkanku yang mulai menghujaninya dengan tatapan tajam. Namun aku menepisnya begitu saja hingga ia tertuduk. Bola mataku terasa panas karena terus-menerus menatap ibu, butiran bening yang membasahi permukaannya pun meluncur begitu saja. Sudah kesekian kalinya ibu membuatku kecewa. Dan kali ini aku benar-benar malu pada Arza karena mempunyai ibu sepertinya. Arza tidak berkata apa-apa. Itu membuatku semakin ingin melarikan diri. Semua impianku yang telah ku bangun bersamanya, rencana kami untuk melarikan diri bersama. Semua itu hancur sudah, karena aku bahkan terlalu malu hanya sekedar menampakan diri di hadapannya.
“Freya!”
Ibu mengejarku hingga halaman depan rumah. Dia berhasil meraih tanganku sehingga langkahku pun terhenti olehnya. Aku mengusap dengan kasar air mata yang mengalir di pipiku. Sementara ibu tampak terengah-engah mengatur nafasnya.
“Kau salah paham Freya!” belanya tapi aku tidak ingin menyahuti. “Itu tidak seperti apa yang kau lihat. Ibu… tidak serius dengan perkataan ibu! Itu hanya untuk membuat anak itu ketakutan.” Penjelasannya.
“Tapi ibu harusnya tahu diri sebelum mengatakan semua itu!” balasku tampak membalikan badan. “Aku tidak sedikitpun mengenali ibu yang sekarang. Ibu semakin buruk setiap harinya dan itu membuatku sangat malu mempunyai ibu sepertimu.”
“Freya!”
“Ibu jangan mengatakan apapun lagi! Aku sudah muak! Aku bahkan tidak ingin melihat ibu untuk selama-lamanya!” kata-kata yang meluncur begitu saja dari mulutku. Kata-kata yang aku sendiri tak dapat menahannya. Aku tahu jika kata-kataku terdengar kurang ajar, aku seorang anak yang tidak menghargai ibunya. Namun semua itu tidak tanpa alasan. Jika saja ibuku seperti ibu pada umumnya, mungkin aku tidak akan bersikap se-kasar itu padanya.
“Freya! Ibu mohon… maafkan ibu! Ibu hanya asal bicara, ibu tidak benar-benar akan melakukan semua itu.” ujarnya ketika aku telah melangkah menjauh darinya. Aku tidak menyahuti. Namun suaraku hanya tertahan di kerongkonganku. “Aku harap begitu! Aku harap ibu tidak benar-benar melakukannya!”