“Aku seperti setetes embun yang terus jatuh ke bawah.”
Katanya hidup tenang dan bahagia adalah kehidupan yang mengalir seperti air. Tetapi dalam hidup ini aliran air tidak selalu bersifat tenang. Ada air yang alirannya tenang tetapi meliuk-liuk mengikuti kanal, ada pula yang lurus sejajar tetapi mempunyai aliran yang cukup deras. Namun satu hal yang pasti dari aliran air adalah selalu jatuh ke bawah.
Aku ingin merasakan bagaimana meluncur jatuh di sebuah air terjun, mungkin itu berbeda dari rasanya jatuh yang aku rasakan. Hidup mengikuti arus yang selalu jatuh ke bawah bukan tanpa rasa sakit. Setiap kali meliuk, ada beberapa batu yang menghantam. Perih, ngilu dan bahkan memar. Hati manusia bukan juga sebuah spons yang saat di pukul akan kembali ke bentuk semula. Ia rapuh dan sulit menyembuhkan lukanya sendiri.
Angin di atas gedung bergerak kencang menyengat kulit pipiku. Beberapa gumpalan awan disana terasa hanya sebatas telapak tanganku. Mereka bercat-kan warna muram abu-abu. Matahari sore hanya cukup menyinari beberapa ruas-nya, dia habis menangis di balik awan. Sudut Kota dan jalanan yang tampak dari atas hanya seperti koloni semut di lubangnya. Bergerak ada yang saling berlawanan namun teratur. Bagaimana jika ada raksasa yang hendak terhempas kesana. Akankah mereka akan terguncang dengan mayat berlinangan darah.
Seperti yang aku katakan, aku ingin meluncur seperti air terjun. Meracuni tubuhku atau mencekik leherku tidak akan mengakhiri aliran air dari kehidupan. Hanya air yang meluncur dari atas tebing yang akan menghancurkannya. Barangkali jika ia beruntung ia akan menjadi buih yang menguap menuju surga. Untuk sesaat, ada secuil pikiran di kepalaku yang mengatakan itu dan mendorongku untuk meluncur dari atas gedung.
“Freya!” panggilannya dengan suara datar. Dia tidak terdengar panik atau cemas saat aku mencoba berdiri di atas tembok pembatas di lantai atap gedung. Dia mungkin tahu aku sudah mabuk bersama David tadi. Sehingga dia menyusulku ke tempat itu.
“Kau sedang apa?” tanyanya lagi. Tapi aku tidak mempedulikannya. Lebih tepatnya aku malu untuk menatapnya. Dia bergerak selangkah lagi untuk menghampiriku.
Kepalaku pusing karena minuman alkohol yang baru pertama kali ku cicipi dengan David. Pada akhirnya aku pun terjebak dengan kebiasaan anak-anak di club itu. Mungkin ibu benar jika semakin hari kelakuanku semakin buruk, semakin mendekati anak-anak metropolitan yang di luar batas. Tetapi semua itu bukan karena pengaruh Arza, melainkan karena kebencianku pada diriku sendiri.
Aku pun putus asa. Karena memperbaiki sesuatu tidak semudah menaruh harapan pada masa depan, sesuatu yang memang telah hancur sejak awal tidak bisa dengan mudahnya aku perbaiki. Harusnya aku tidak menjadi anak yang baik, melainkan mempunyai jalan pikiran yang licik dan picik seperti ibuku, sehingga aku tak perlu membencinya. Tapi sifatku selalu bertentangan dengan sifat ibu. Dan mencoba menyadarkan ibu hanya tindakan sia-sia.
“Turunlah!” kali ini dia memberi perintah. Aku harus menyayat hatiku dengan senyuman setiap kali menatapnya, mengapa harus Arza yang datang. Mengapa harus dia yang setiap kali peduli denganku? Dia mempunyai masalah yang jauh lebih banyak, kenapa harus datang padaku? Itu membuatku semakin malu untuk menatapnya.
“Aku tidak akan bunuh diri. Kau tahu itu?” sahutku dengan terbata.
“Aku hanya takut kau terpeleset dan jatuh dari sana. Kau masih dalam pengaruh alkohol!”
Perkataannya menyayat hatiku. Tidak! Kebaikan Arza tidak pantas untukku. Aku menuruni tembok pembatas itu dengan hati-hati. Meski penglihatanku sedikit kacau tapi aku tetap dapat mengendalikan diriku. Arza berdiri kaku sembari menatapku. Warna hitam pada celana dan cardigannya membuatnya tampak seperti malaikat maut yang tengah mengadiliku.
Aku berusaha mensejajarkan kedua kakiku, berdiri tegak melawan otakku yang semakin oleng. Aku tidak tahu bahwa pengaruh alkohol sangatlah buruk. Itu tidak seperti ramuan yang dapat menghapus memori otakku melainkan hanya mengacaukannya sejenak.
“Berhentilah bersikap baik padaku!” bisikku parau kepadanya. Namun Arza hanya dia tak menyahuti. Barangkali dia hanya ilusi dan Arza yang sesungguhnya telah pergi sejak tadi. Dia telah melihatku dalam keadaan hancur. Tidak lagi memegang semua nasehat-nasehat darinya. “Aku tidak pantas menerima kebaikanmu...” lanjutku.
Tubuh Arza kembali perlahan menghampiriku. Dia membisu bersama langit yang semakin tertutup rapat. “Aku sudah bilang padamu, tetaplah menjadi Freya yang semestinya!” ujar laki-laki itu. Aku tidak henti-hentinya mengirup aroma alcohol yang dibawa angin dari tubuhku. Aku tidak bisa berkata-kata.
“Kesalahanmu adalah yang kau perbuat, sementara kesalahan ibumu tidak ada hubungannya denganmu.”
Aku mengerti dengan baik perkataan Arza. Kemana arahnya berbicara dan tentang siapa yang disinggungnya. Tetapi aku tidak merasa lega begitu saja seperti sediakala.
“Kau akan semakin dewasa Freya! Setiap kau berhasil menghadapi kenyataan yang membangunkan pemikiranmu. Kau masih memiliki mimpi-mimpi yang menunggumu di masa depan.” Perkataan Arza sekali lagi. Bagiku kata-kata itu menjadi pembeda antara aku dengannya. Dia masih dapat bangun meskipun telah jatuh berkali-kali. Sementara aku semakin jatuh, semakin menginginkan kematian. Mimpi-mimpi yang aku bangun hanya karena keberadaan Arza di sampingku sebagai perekatnya. Dan ketika aku justru ingin melepaskan diri darinya, mimpi itu pun ikut terlepas sudah.
“Aku tidak punya mimpi. Tidak ada lagi...” tandasku.
“Kau masih memilikinya!”
“Tidak!” aku membantah dengan tegas.
“Aku sudah membuang mimpiku. Aku sadar siapa diriku, lahir dari rahim siapa! Lagipula aku tahu kau tak akan melarikan diri bersamaku. Kau tidak akan membawaku, kau sudah merencanakan pembalasan dendam dengan meninggalkanku, aku tahu!”
Kini giliran Arza yang membisu. Tawarannya padaku, tempo hari, di kawah Ciwedey, dia mengajakku pergi bersama melarikan diri. Tetapi aku tahu itu hanya basa-basi. Dia tidak akan menungguku untuk pergi bersama. Dia telah merencanakannya hanya pergi bersama ibunya. Itulah alasan yang membuatku semakin kecewa.
“Lagipula… aku juga terlalu malu untuk bersamamu. Setiap kali kau menunjukan penderitaanmu, kau seperti menyiksaku dengan rasa bersalah. Seolah akulah yang melakukan itu padamu, dosa ibuku yang menempel pada diriku lah yang terus menghantuiku. Aku mati-matian ingin menghapus dosa itu darimu tetapi semua yang terjadi padaku dan pada kehidupanmu tidak pernah berhenti. Mungkin itu seperti balas dendam yang kau maksud dahulu. Aku jatuh cinta padamu tetapi aku tak pantas untuk mendapatkan itu. Aku putus asa… aku terlalu jatuh padamu...” luapan perasaanku yang tak sanggup lagi terbendung oleh diriku. Aku dengan langkah gontai melewati tubuh Arza yang membeku.
Entah karena pengaruh alkohol atau memang murni keberanianku, aku menyatakan perasaan padanya sebagai hal terakhir yang mungkin akan menjauhkanku darinya. Aku telalu melambung tinggi karena harapan untuk bersama Arza, sementara perkataan ibu yang tak pantas itu seperti menjatuhkanku hingga tak bernyawa. Mana mungkin kami dapat bersama sementara aku lahir dari rahim seseorang yang dibenciannya. Aku pun sungguh putus asa hingga memilih menjauhinya, dibanding dia yang harus terlebih dahulu menjauhiku. Aku sadar atas siapa diriku dan harusnya ibuku juga begitu. Seandainya,