Hatiku tergerak untuk membantu meyakinkan pihak keluarga korban untuk menyelesaikan kasus tersebut dengan jalan damai. Aku sudah masuk terlalu dalam pada kehidupan Arza dan tidak mungkin mengabaikan penderitaannya. Aku tidak peduli dengan rencana Arza, pikirku telah dirasuki oleh pikiran ratu dalam bidak catur. Dimana saat raja yang dicintainya dalam posisi berbahaya maka sang ratu lah yang harus maju terlebih dahulu untuk melindungi sang raja, bukan sebaliknya. Permainan catur tidak seindah harapan manusia dimana seorang perempuan yang mengharapkan perlindungan.
Ratu dalam permainan catur adalah bidak yang terkuat. Ia dapat melangkah kemana pun yang ia inginkan. Berbeda dengan raja yang hanya selangkah saja dapat terpojok. Mungkin karena itu perang antar wanita sesungguhnya lebih berbahaya dibandingkan perang kaum laki-laki. Jauh sebelum aku mengetahui hal ini, perang antara ratu dengan permaisuri lainnya telah dimulai. Dan hasilnya sang ratu harus mengalami kehancuran berkali-kali lipat, sementara sang raja tetap berdiri dengan kokohnya.
“Kalian tidak akan bisa membayar nyawa orang yang kami sayangi, Tidak dengan berapapun!” ucapan wanita lusuh di ruang ICU itu.
Dia tengah menunggui suaminya berhari-hari dan berharap laki-laki itu segera membuka matanya. Sementara dipangkuannya sedang tidur seorang bocah kecil dengan nyenyaknya. Aku jadi teringat tentang diriku beberapa tahun yang lalu. Saat tiba-tiba saja berada di sebuah rumah sakit dan mendengar bahwa ayahku telah pergi dari dunia.
Pengacara dan ayah Arza tidak berhasil melakukan mediasi. Aku pikir aku tahu dimana letak kesalahannya. Mereka terlalu yakin bahwa uang yang mereka tawarkan dapat menyelesaikan segalanya, namun tanpa itikad baik semua itu sia-sia. Apalagi untuk orang-orang yang jiwanya memang telah banyak terluka seperti mereka. Menganggap bahwa orang-orang itu dapat di beli dengan uang. Dia menawarkan sejumlah uang tanpa meminta maaf atas apa yang diperbuat oleh putranya. Tentu saja hal itu membuat suasana semakin keruh.
“Aku tahu siapa yang aku hadapi adalah orang terpandang. Sementara kami hanyalah orang biasa. Tapi aku yakin tuhan akan berpihak pada kami dan bukannya orang yang bersalah.”
Aku kehilangan kata-kataku di awal. Melihat wanita itu tampak begitu menderita, membuat rasa ngilu menjalari hatiku. Aku tidak bisa bersikap egois dengan mendukung usaha Tuan William membebaskan anaknya. Tetapi, aku juga tidak bisa mengabaikan Arza yang mungkin menderita disana.
“Maafkan aku! Tapi yang berada dipenjara adalah kakak tiriku. Anda mungkin mengenalnya sedikit tentangnya dari berita televisi. Setahuku dia juga bukan seorang anak yang beruntung. Dia harus menerima banyak kenyataan tentang keluarganya di usia itu. Selain itu, ibu kandungnya juga sangat membutuhkannya. Jadi ku harap tolong pertimbangkan tawaran dari mereka.”
“Bukan aku yang melaporkan kasus itu ke polisi. Kakak iparku lah yang melakukannya, jadi aku tidak berhak untuk memutuskan apapun. Lagipula kau kelihatan masih muda, kau tidak akan mengerti tentang kehidupan orang dewasa.”
“Tapi aku juga pernah merasa di posisi anda, ketika ayahku meninggal karena kecelakaan. Jika saja saat itu aku sudah sebesar ini mungkin aku juga akan menghukum orang yang membuat ayahku meninggal. Tetapi pikirkanlah bahwa suami anda masih hidup. Dia mempunyai kemungkinan untuk sembuh. Dan aku yakin dia pasti akan bangun. Tolonglah pertimbangkan tawaran itu!”
Aku tidak berharap banyak pada usahaku membujuknya. Bahkan pengacara handal kepercayaan keluarga Arza pun tidak bisa menyakinkannya, mana mungkin aku yang hanya gadis SMA dapat melakukannya. Akan tetapi aku tetap berharap agar takdir di dunia ini dapat berlaku adil, entah itu pada wanita itu dan suaminya, maupun pada Arza yang sebenarnya tidak bersalah sedikitpun. Seandainya saja aku tidak berjanji bahwa aku akan merahasiakan tentang Dani, maka aku mungkin tidak begitu merasa tersiksa seperti saat ini.
Jauh di dalam hatiku, aku masih saja menggali-gali tentang diriku sendiri. Bagaimana aku bisa terbangun dan menjalani hidup dengan begitu hal yang tak akan dirasakan oleh orang-orang pada umumnya. Aku mengatakan bahwa kakiku tidak siap untuk bergerak mengatasi segalanya sendiri. Aku hanya seorang prajurit biasa yang tersisa di depan sang raja. Sekali aku maju melangkah, aku tidak dapat kembali ke tempat semula. Langkahku adalah langkah yang dibatasi oleh status sosialku dan sementara takdirku hanya sebagai umpan untuk kemenangan mereka.
Namaku Freya, aku menyandangnya tanpa tahu arti dari namaku sendiri. Nama itu terdengar seperti seorang ratu yang pernah ada di antara mitologi Yunani. Atau bahkan ratu es dalam film The Huntsman: Winter War, itu film yang baru dirilis tahun yang lalu sesudah aku tumbuh dewasa. Mana mungkin ratu es dalam film itu secara kebetulan bernama Freya. Ibuku sepertinya telah menggariskan hidupku sebagai satu-satu gadis dengan hati es yang membeku. Namun itu sebelum aku mengenal Arza−sang pangeran salju dalam hidupku. Setidaknya dia melepaskan kutukan hati yang membeku di dalam diriku tanpa menghancurkannya.
Aku merasa berhutang banyak pada Arza. Dia seakan telah menarikku dari jurang kehidupan yang suram. Tanpa mimpi, tanpa harapan karena status yang kusandang sebagai anak pelakor. Itu tidak buruk jika aku juga kejam seperti ibuku, tetapi pemikiranku selalu bertolak belakang dengannya sehingga justru aku yang tersiksa. Arza sudah seperti oksigen di dalam hidupku. Aku semakin bergantung pada keberadaannya seiring berjalannya waktu. Melihatnya dalam kondisi saat ini membuatku sangat terluka. Apa yang terjadi pada Arza yang arogan dahulu? Pada Arza yang sombong? Pada Arza yang dingin? Semua itu tidak lebih dari ekspektasiku semata. Siapapun Arza yang aku pandang selama ini, dia tetaplah manusia biasa. Manusia yang diciptakan dengan memiliki keburukan serta kebaikan yang beriringan.
Dia juga bukan lagi kakak tiriku sejak saat itu. Sejak kebecian kami berubah menjadi perasaan indah sepasang anak manusia yang saling jatuh cinta. Aku memang lebih menganggap Arza sebagai seseorang yang aku cintai dibandingkan kakak tiri, sehingga berjuang demi dirinya dan kebebasannya adalah kemauanku sendiri.
“Kau tidak perlu datang kemari lagi!” ucap wanita itu padaku ketika aku mengunjunginya kembali beberapa hari kemudian. Penampilannya sudah lebih baik. Ada sedikit rona cerah di wajahnya yang menunjukan kelegahan. Aku pikir mungkin ada perkembangan dengan keadaan suaminya.
“Aku sudah mencabut tuntutan atas kakak tirimu.” Perkataannya lagi yang kali ini terasa meledakkan dopamine dalam otakku. Aku tidak pernah sebahagia itu mendengarkan ucapan seseorang.
“Apa yang anda katakan benar?” ujarku berusaha menyakinkan. Semua itu terlalu tiba-tiba, seperti keajaiban. Padahal baru beberapa hari yang lalu aku datang kepadanya untuk memohon dan dia untuk terakhir kalinya tidak ingin mengubah keputusannya dengan menerima tawaran damai.
“Suamiku sudah siuman kemarin malam. Selain itu beberapa hari yang lalu setelah kau datang, ada anak laki-laki yang kira-kira berumur 13 tahun mendatangiku dan memohon padaku untuk membebaskan kakaknya. Aku tidak sempat menanyakan siapa namanya tetapi anak itu meminta maaf sambil menangis padaku. Aku juga awalnya tidak mengubah keputusanku tetapi melihat suamiku siuman, aku pikir tidak adil jika aku terus melanjutkan kasus itu.”
Aku mendengar dengan seksama penjelasannya. Aku masih terlalu senang hingga tak dapat mempercayainya. Anak laki-laki itu pasti Dani. Diantara kami hanya dia yang berumur 13 tahun. Tetapi aku tidak menyangkah jika akhirnya ia mau mengakui kesalahannya. Meskipun itu tidak dihadapan ayahnya. Dia melebihi ekspektasiku. Dan bahkan karena pengakuannya, keajaiban itu muncul membangunkan laki-laki itu. Semua yang terjadi dalam kurung waktu ini, membukakanku sebuah pandangan baru tentang saudara-saudara tiriku. Sebagaimana mereka yang masih manusia biasa, masih anak-anak yang tumbuh remaja, penuh gejolak dan sedang merangkak menuju kedewasaan sempurna.