“Kakak berubah!” ucap Sam padaku tiba-tiba.
“Apa yang kau maksud Sam? Berubah bagaimana?”
“Entahlah, hanya kakak sendiri yang tahu,” bocah itu justru meninggalkanku di kamar sendiri.
“Sam! Aku belum selesai bicara, kenapa kau meninggalkanku? Kau justru yang berubah!” aku mengikutinya hingga sampai depan pintu kamar mandi. Sam berhenti sejenak dan menoleh padaku.
“Katakan!” ujarnya membuat alisku berkerut. Aku bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berbeda padaku.
“Kenapa nada suaramu seperti itu padaku? Kau tidak pernah seperti itu padaku dahulu!” tukasku dengan nada tinggi. Sam menghembuskan nafas panjangnya.
“Aku benci kakak yang mulai dekat dengan Arza! Bukankah sejak dulu mereka selalu membenci kita? Mereka menghina ibu di belakang kita. Apa kakak lupa?”
“Sam! Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu? Kau tidak tahu apa-apa! Kau hanya anak kecil dan tidak seharusnya kau ikut campur dengan urusan ibu atau orang-orang yang membencinya!” aku kehilangan kontrol pada adikku sendiri. Sam hanya diam, dia membiarkan aku berbicara sebelum menutup pintu kamar mandi begitu saja.
“Ya! Aku memang anak kecil! Aku tidak tahu apa-apa! Tapi aku tidak pernah lupa apa yang mereka lakukan pada kita! Aku tidak akan berhenti membenci mereka!” teriak anak itu dari dalam kamar mandi.
Aku tidak tahu apakah keputusanku mempercayakan perasaanku pada Arza adalah hal yang tepat. Tidak hanya status kami yang berbeda namun juga karena dia merupakan salah satu orang yang membenci ibuku. Entah bagaimana hatiku bisa terbawa oleh arus yang dimilikinya. Aku pun merasa terhanyut begitu saja tanpa sempat menolak pesona yang ia berikan. Terapung di atas sungai perasaan yang membuat jalan pikiranku hanya dapat bergerak dengan pilihannya.
“Kita sudah sampai!”
Arza membangunkanku ketika mobil yang kami tumpangi telah terparkir di pelataran sebuah bangunan berlantai dua dengan cat tembok berwarna putih. Di sekeliling area itu adalah rerumputan hijau seperti taman, lalu sebuah ayunan kecil dan kolam ikan di tengahnya. Aku masih mengamati sekitar begitu Arza telah membukakan pintu mobil agar aku keluar.
“Kita dimana?” tanyaku padanya yang tak langsung dijawab olehnya.
“Bandung!” dia hanya menjawab singkat. Dalam hati aku terkejut karena telah melakukan perjalanan ke Bandung dalam semalam. Aku tidur sepanjang perjalanan sehingga tak mengetahui dia hendak membawaku kemana.
Arza berjalan mendahuluiku melewati jalan setapak diantara rerumputan. Matahari pagi membelai sedikit semi sedikit anak rambutnya sehingga membuat ujungnya agak kemerah-merahan. Sementara wajahnya tampak sedikit lusuh karena tak tidur sepanjang malam.
“Kenapa kita kemari?” aku berusaha meminta penjelasan sembari mengikuti langkahnya menuju pelataran rumah bertingkat dua itu. Di sekitar rumah itu tidak banyak pemukiman, beberapa sudut tempat bahkan banyak ditemui kebun-kebun tea. Udaranya pun sangat bersih dan sejuk.
“Ini rumahku!” jawabnya begitu kami sampai di depan pintu. Aku pun berhenti sejenak menatap punggung Arza dan bersiap menanyakan lebih lanjut. Tak lama kemudian dia berhasil membuka pintu kaca itu. Arza melenggang masuk begitu saja sehingga kau tak sempat mengatakan apapun.
Ruangan itu beraromakan lavender dengan pencahayaan yang tak terlalu terang, hanya ada sinar matahari yang melambai-lambai dari sela tirai jendela. Suasananya sunyi terasa begitu damai. Di beberapa sudut tembok juga terdapat banyak lukisan klasik dan salah satunya mengambarkan seorang wanita berambut panjang yang berdiri diantara perkebunan tea.
Lalu ada sebuah piano di ujung ruangan dekat tangga menuju lantai dua yang kemudian menghubungkannya dengan sebuah pintu ke halaman belakang. Kulihat dengan samar-samar sosok bayangan wanita bergaun putih dan rambut terurai berada disana. Ia duduk di teras belakang sembari mendengarkan sebuah musik di telinganya.
Aku mencoba memperjelas penglihatanku, melangkahkan kaki lebih dekat. Wanita itu seperti tak asing, mungkin karena ia pernah muncul di Televisi. Namun aku tak yakin karena penampilannya tampak sedikit berantakan. Aku mengamatinya cukup lama hingga akhirnya wanita itu menyadari keberadaanku. Pikiranku pun jadi salah tingkah terlebih ketika dia menatapku dari tempatnya.
“Kau siapa?” tanyanya dengan suara serak yang seketika membuatku gelagapan. Arza tidak ada disana sehingga aku tidak bisa menghindari. “Apa kau teman Arza?” tanyanya lagi. Aku pun mengangguk canggung.
“Sudah lama sekali Arza tidak membawa temannya kemari…” ujarnya lalu kembali menutup mata sembari bersandar di teras belakang.
Aku baru menyadari jika wanita itu adalah ibu kandung Arza, wanita yang telah ibuku khianati. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali, mengingat ibu adalah assistant-nya saat masih menjadi artis terkenal. Dan aku tidak pernah menyangkah jika ia akan berubah begitu banyaknya hingga tak mengenaliku.
“Kau sudah bertemu ibuku?” Ujar Arza yang entah muncul dari mana. Kulihat pakaiannya telah berganti dengan sweeter abu-abu dan celana panjang. Dia juga membawa dua buah Mug berisi tea hangat untukku. Aku menerimanya tanpa bicara dan menunggunya memberi penjelasan lebih lanjut.
“Emosinya sedikit tak stabil karena depresi sejak bercerai dengan ayah dan karena itulah ia mundur dari dunia hiburan. Ibu juga menjalani perawatan di rumah ini selama beberapa tahun terakhir yang bahkan tidak diketahui siapapun termasuk ayahku.”
Aku meniup ujung Mug itu sebelum meminum tea hangat itu. Rasanya dadaku ikut menghangat ketika minuman itu mengalir di kerongkonganku. Aku pun sedikit menerawang hingga muncul pertanyaan di benakku. “Kenapa kau memberitahku? Bukankah itu rahasia keluargamu?”
Arza tersenyum miring, lalu mengangkat kedua bahunya. “Entahlah, aku hanya ingin mengajakmu kemari saja! Aku tidak bisa menceritakan kondisi ibuku pada siapapun dan bahkan itu pada Miko maupun Dani.”
Aku terhenyak, “jadi kau mempercayaiku?”
Arza tak menjawab. Aku merasa cukup bersalah. Mungkin aku terlalu berlebihan menilainya karena seberapa dinginnya Arza, dia tetap mempunyai kehangatan dalam dirinya. Dia juga tak mungkin se-jahat yang aku pikirkan.
“Naiklah dan ganti bajumu! Ada beberapa baju ibu yang mungkin pas untukmu. Aku akan memanggil bibi untuk menyiapkannya!” dia mengalihkan pembicaraan.
“Boleh memangnya?” tanyaku memastikan.
Dia mengangguk, “Tentu saja! Lagipula ibu hanya suka memakai gaun putih akhir-akhir ini.” ujar laki-laki itu sebelum kembali meninggalkanku menuju dapur. “Oh…ya! Setelah sarapan aku akan mengajakmu jalan-jalan!” lanjutnya lagi sembari meletakkan gelas Mug-nya di atas wastafel. Dia tak kembali untuk beberapa saat namun aku yakin dia tersenyum dibalik punggungnya.
Sama sepertiku yang terlewat begitu senang mendengarnya. Aku merasa seperti ada sesuatu di dalam diriku yang meletup-letup, bahkan rasa bahagiaku terasa hampir meledak. Bagaimana orang yang dahulu aku benci dapat membuatku merasa bahagia? Dia kakak tiriku, musuhku tapi juga teman dan cinta pertamaku.