Kau tidak akan pernah tahu siapa orang di sampingmu, di hadapanmu dan di belakangmu hingga kau benar-benar memahami seperti apa mereka di dalam kehidupanmu.
~Freya
“Jia……” Arza meneriakan nama itu dengan lantang ketika kami telah tiba di sebuah café outdor dekat pusat perbelanjaan yang tak jauh dari sekolah kami. Aku tak tahu jika aku telah terkunci di gudang hampir tiga jam hingga pelajaran di sekolah benar-benar telah usai. Dan Arza entah dari mana ia menemukanku di tempat itu dan menolongku. Namun aku tak lantas percaya begitu saja padanya karena aku masih yakin bahwa dia terlibat dalam segala hal yang berhubungan dengan pembullly-an itu.
“Jia…!” panggilnya untuk kesekiankalinya.
Dia melepakan genggaman tangannya ketika kami tiba di sebuah meja dekat pintu masuk. Disana terlihat beberapa siswa dengan pakaian seragam yang sama seperti yang aku kenakan. Di meja itu pula aku melihat Jia, rupanya seseorang yang dipanggil Arza adalah Jia teman sekelasku.
“Katakan padaku, kau yang melakukan semua itu bukan?” pertanyaan Arza yang sedikitpun tak aku mengerti. Dia memandang Jia dengan tatapan geram. Aku tak tahu jika selama ini dia mengenal Jia, namun sepertinya hubungan mereka pun lebih dari sekedar mengenal satu sama lain.
“Apa yang kau maksud Arza?” Jia tersenyum canggung sembari menyahuti pertanyaan Arza. Aku masih memandangi Jia dalam diam. Di sebelahnya juga tampak beberapa teman sekelasku yang semuanya memusuhiku, aku juga baru menyadari jika Jia dan mereka saling akrab satu sama lain hingga berkumpul bersama.
“Kau yang mengunci Freya di dalam gudang bukan? Aku tahu bahwa semua itu perbuatanmu!” tuduhan Arza yang membuatku terkejut. Aku sedang berpikir jika Arza hanya salah menuduh Jia.
“Kenapa kau tampak begitu yakin aku yang melakukannya. Bahkan apa yang terjadi pada Freya pun aku tidak tahu apa-apa!”
Hingga saat itu aku masih tak dapat mempercayai siapapun termasuk itu Arza. Hingga barulah ketika Arza merampas ransel milik Jia dan menumpahkan segala isinya ke atas meja. Aku baru menyadari sesuatu hal yang tak beres dari Jia. Aku menemukan kalung pemberian ayahku di dalam ranselnya. Aku berpikir kalung itu telah hilang saat aku berada di gudang dan Jia sendirilah yang mengusulkan padaku untuk memeriksanya. Ternyata tanpa sepengetahuanku, Jia-lah yang mengambilnya.
“Apa kau dapat menjelaskan kalung ini pada Freya?”
Bola mata Jia tampak berkelik untuk mencari alasan. Namun gadis itu masih tetap tak mengakuinya. “Aku tidak tahu jika kalung itu ada di tas-ku, seseorang pasti mencoba menjebakku. Kau harus percaya padaku, Freya!”
“Lalu kenapa kau tidak mencari Freya saat kau tahu dia tak berada di kelas hingga jam pelajaran usai?” Tanya Arza lagi berusaha memojokan Jia. Kali ini gadis itu pun kesulitan untuk menjawab. “Kau jelas-jelas tahu bahwa Freya kehilangan kalungnya tapi kenapa kau justru berkumpul dan bersenang-senang di tempat ini bersama yang lainnya?”
“Aku… aku…”
Kali ini Arza tak membiarkan Jia menjawabnya. Dia langsung menarik pergelangan tangan Jia dan membawanya menjauh dari tempat itu. Aku masih diam membeku bahkan teman- teman sekelasku yang berada disana pun memilih meninggalkan tempat itu. Aku berusaha mencari Arza dan Jia setelahnya dan menemukan mereka tengah berbicara di lantai basement pusat perbelanjaan.
“Kenapa kau melakukan semua itu?” Tanya Arza setengah berteriak.
“Melakukan apa? Aku tidak mengerti…”
“Kau juga yang menyebarkan rumor tentang Freya bukan. Kau yang menyuruh teman-temanmu membully Freya dan kau juga yang menguncinya di gudang. Kenapa kau melakukan semua itu padahal aku tidak pernah menyuruhmu melakukannya?”
Jia diam untuk beberapa saat lalu kemudian tiba-tiba tertawa. Ekspresi wajahnya berubah dengan cepat. Dia tak tampak seperti Jia yang aku kenal.
“Kau memang tidak akan pernah menyuruhku melakukan semua itu. Membalas dendam pada orang-orang yang membuatmu menderita. Tapi aku melakukannya atas kemauanku sendiri. Aku melakukan itu untukmu, untuk orang yang aku cintai.” Perkataan itu terasa menghantam jantungku hingga berkali-kali. Aku tidak pernah berpikir jika seseorang di balik semua itu adalah satu-satunya orang yang aku anggap teman. Cara bicaranya juga berbeda. Seolah aku justru orang asing diantara mereka.
“Kau seperti seorang psikopat Jia, kau tidak seperti Jia yang ku kenal sejak kecil!” ucap Arza lagi masih dengan nada suara yang terdengar begitu dingin. Mereka saling mengenal bahkan sebelum aku mengenal salah satu dari mereka.
“Memangnya siapa yang membuatku hingga menjadi psikopat? Itu adalah kau! Kau laki-laki dingin yang sombong, yang tidak pernah mempedulikan perasaanku.”
“Aku peduli padamu sama seperti aku mempedulikan Miko dan Dani, kau saja yang tidak pernah memahami itu…” Jia tertawa untuk kesekiankalinya namun aku melihat dari kejauhan jika air matanya juga menetes. Ternyata hal yang tak pernah aku tahu adalah hubungan Jia dengan ketiga bersaudara itu.
“Kau yang tidak mamahami bahwa aku tidak butuh perhatian seperti itu, aku ingin lebih dari itu… aku menyukaimu. Apakah kau tidak paham akan semua itu?” ujar Jia dengan suara lantang.
Dia tampaknya telah kehilangan kendali pada dirinya hingga sedetik kemudian gadis bertubuh mungil itu mencium bibir Arza dengan paksa. Aku menutup mulutku tak percaya. Jia yang aku lihat kala itu sungguh berbeda dari Jia yang aku kenal selama ini. Aku seperti orang bodoh yang telah lama mereka permainkan.
“Jia… apa kau gila!” bentak Arza berusaha melepaskan dirinya. Jia menatapnya dengan mata berkaca-kaca kemudian berlari meninggalkan laki-laki itu. Aku berpapasan dengannya di ujung Basement namun dia tak mengatakan apapun. Jia tampak begitu terkejut karena melihatku berada disana pula. Dia juga menyadari jika aku telah mengetahui segalanya.
“Jia…!” teriak Arza yang terdengar bergema di seluruh basement. Aku mencoba menahan pergelangan tangan Jia agar ia tak lari.
“Kenapa kau ingin lari?” ujarku berusaha mengintimidasinya. Aku tidak peduli lagi jika pernah menjadi teman baikku. Bagiku kepercayaanku pada orang lain telah sirna begitu saja. Aku telah kembali menjadi diriku yang semua, yang membenci segalanya. Arza telah sampai dihadapan kami ketika aku masih menunggu penjelasan Jia. Dia sama terkejutnya seperti Jia saat melihatku berada di sana. Namun Arza juga memilih diam dan membisu.
Beberapa kali Jia berusaha melepaskan genggaman tanganku, namun aku berusaha menahannya dengan keras. Dia tampak ingin melarikan diri dari pertanyaanku. “Biarkan dia pergi!” ujar Arza padaku.
Seketika pergelangan tanganku pun melemah. Dia masih membela Jia meskipun mengetahui semua perbuatan gadis itu padaku. Tanpa sadar aku pun melepaskan pergelangan tangan Jia dan hal itu membuatnya dapat berlari pergi. Aku masih memandangi wajah Arza dengan tatapan mengintimidasi sama seperti tatapannya padaku selama ini. Namun tiba-tiba saja suara tubuh Jia yang terjatuh membuat kami mengalihkan pandangan seketika. Tubuh Jia telah tergeletak di lantai Basement, aku dan Arza pun bergegas mengampirinya.
“Jia… Jia… bangun! Apa kau mendengarku?” ujar Arza dengan panik sembari menggendong tubuh gadis itu keluar area basement. Aku mengikutinya sembari bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara kami