Kemana pun aku berlari, aku tak bisa benar-benar pergi. Semua hal buruk itu akan terus terjadi berulang-ulang. Aku seperti terlahir dari rahim seorang pendosa besar, lalu dosa itu menempel padaku seperti tulang belulang. Hingga akhirnya seluruh dunia mengutukku dan berusaha mendorongku agar terperosok ke dalam lembah yang disebut neraka. Mereka tak mengijinkanku tinggal di bumi karena mereka-lah yang paling suci.
Setengah semester yang berlalu bagaikan ajal yang hampir sampai di kerongkongan-ku. Aku hampir saja kehilangan statusku sebagai siswa di SMA itu karena beberapa masalah yang terjadi selama beberapa bulan ini. Aku tidak seceroboh itu hingga hampir kehilangan beasiswa namun semua itu seolah telah direncanakan oleh seseorang.
“Freya… aku minta maaf ya! Aku tidak bisa satu kelompok denganmu…”
Jia menghampiriku sesaat setelah pelajaran olahraga selesai. Aku masih bertahan di hall dan memunguti beberapa bola basket yang berserakan dan Jia membantuku. Aku mendapat hukuman hari ini karena tak memiliki kelompok dalam permainan bola lempar sehingga aku tak bisa mengikuti pelajaran. Aku tidak bisa memaksa mereka menganggapku kelompok mereka sementara tak ada satu pun teman di kelasku yang bersedia menerimaku di kelompok mereka. Akibatnya setiap pelajaran usai, aku pun harus membersikan hall untuk menambah nilai mata pelajaran olahraga-ku.
“Tidak perlu merasa bersalah! Kau berhak memilih kelompok yang kau inginkan.” Timpalku berusaha menghibur diriku sendiri.
“Tapi aku merasa menjadi teman yang buruk!” sahut gadis itu lagi sembari menunduk. Aku meletakkan beberapa bola itu di dalam keranjang dan kembali menghampiri Jia di tepi.
“kau teman yang baik, buktinya kau masih mau berteman denganku meskipun semua orang menjauhiku karena rumor itu.” Jia tak lagi membantah perkataaanku, dia hanya tersenyum tipis menanggapinya. Sejujurnya aku masih menyimpan beberapa pertanyaan pada gadis itu mengingat alasannya berteman denganku. Tetapi melihatnya tampak merasa bersalah, aku pun mengurungkan niatku. Aku mungkin mulai mempunyai sedikit kepercayaan tentang sebuah pertemanan.
Jangan hanya berfokus pada dirimu sendiri Freya sayang! Kau harus membuka dirimu dan berteman dengan semua orang bahkan jika mereka membencimu sekalipun. Itu salah satu kata-kata ayah yang masih aku ingat. Aku seorang yang tertutup sehingga tak begitu mempunyai teman dahulu. Bahkan sekarang pun mungkin aku sudah terbiasa jika tak memiliki teman.
Setelah beberapa menit kemudian, aku telah selesai membersihkan hall. Bola-bola di dalam keranjang itu pun telah ku masukan ke dalam gudang, semua selesai tepat waktu. Sementara Jia menungguku di pintu. Kami masih mempunyai lima menit sebelum jam pelajaran selanjutnya. “Apakah semua sudah beres?” Tanya Jia padaku, aku pun mengangguk dengan lega. Namun dia sepertinya mengamati sesuatu di wajahku.
“Kemarin aku melihatmu memakai sebuah kalung dengan liontin daun semanggi, tapi kenapa sekarang aku tidak melihatnya di lehermu. Apakah kau melepaskannya hari ini?”
Aku bergegas memeriksa dadaku ketika Jia mengatakan kalung yang sering ku pakai itu tak ada. Itu adalah satu-satunya benda pemberian ayah yang masih tersisa. Aku tidak pernah melepaskannya sehari pun dan bahkan tidak pernah lupa untuk mengenakannya. “Benar… kalungku hilang! Aku harus bagaimana? Aku tadi memakainya.” Ucapku begitu panik. Aku tidak ingin kehilangan benda itu. Ia satu-satunya yang memberiku kekuatan untuk bertahan.
“Apa kau yakin tidak meninggalkannya di suatu tempat?” Tanya Jia lagi. Dan aku yakin akan hal itu. “Mungkin kalung itu terjatuh saat kau berada di gudang. Kita harus memeriksanya.”
“Benar… itu pasti terjatuh saat aku berada di gudang. Aku akan mencarinya dahulu, kau pergi saja!” ujarku dengan gegabah. “Kau yakin tidak membutuhkan bantuanku?”
“Kau akan terlambat masuk ke kelas jika menungguku. Jadi pastikan saja kau memberitahu bu. Marni jika aku akan sedikit terlambat.”
“Baiklah kalau begitu aku akan pergi terlebih dahulu…”
Tanpa menghiraukan Jia lagi, aku langsung berlari ke dalam gudang dan mencari di antara peralatan-peralatan olahraga itu. Aku tidak berpikir panjang hingga tak menyadari jika semua itu adalah jebakan. Saat aku hendak memeriksa keranjang bola, tiba-tiba saja pintu gudang tertutup. Aku berusaha membukanya kembali namun pintu itu terkunci dari luar. Seseorang sepertinya sengaja mengunciku dari luar dan kemudian mematikan lampu di dalam gudang hingga sepenuhnya gelap. Aku tidak bisa mengendalikan diriku kala itu. Aku berteriak begitu keras sembari memukul pintu gudang namun sepertinya tidak ada satu pun orang yang mendengarkanku.
Aku menangis untuk pertama kalinya di tempat itu. Ketakutanku sejak kecil adalah pada kegelapan, terutama di ruangan sempit. Aku merasa seakan-akan tak dapat bernafas, sementara dalam beberapa detik keringat dingin mulai membanjiri tubuhku. “Tolong buka pintunya! Aku mohon...” suaraku yang tak lagi sekeras semula. Aku terduduk bersandar di pintu gudang sembari memegangi dadaku yang terasa sesak. Pada siapa aku harus meminta pertolongan, di dunia ini aku merasa hanya hidup seorang diri. Aku membayangkan kematian, mungkin akan terasa gelap dan sepi.
“Ayah… tolong aku! Tolong aku...” suaraku yang semakin parau. Aku menyekat air mataku berkali-kali sembari memukul-mukul pintu gudang namun semua itu tak berarti apapun. Aku hanya terus menunggu dan menunggu hingga seseorang dapat mendengarku.
Entah beberapa waktu kemudian, terdengar suara samar-samar dari luar. Aku tak tahu sudah berapa lama terkurung hingga aku cukup kesulitan hanya sekedar berdiri. Tapi aku tak bisa menyerah semudah itu, setidaknya aku ingin membalas perbuatan orang yang melakukan semua ini padaku. Grendel pintu di luar terdengar berdecit, aku berdiri dengan sisa tenagaku. Tempat itu terasa pengap hingga keringat membasahi seluruh tubuhku.
Perlahan-lahan pintu gudang yang terbuat dari besi itu bergerak, menampakan sedikit demi sedikit cahaya dari luar. Mataku terasa silau memandang cahaya itu, namun aku paksakan untuk melihat. Seriring dengan cahaya yang semakin menampakan diri itu, aku melihat pula bayangan seseorang. Dia berdiri di balik pintu itu dengan tubuhnya yang jakun. Aku terjatuh begitu saja ketika pintu gudang itu telah terbuka sepenuhnya. Paru-paruku yang mengambil oksigen terlalu banyak membuat kepalaku pening. Aku masih melihat kedua kaki yang panjang itu berdiri disana, dia hendak menghampiriku dan mengulurkan tangannya padaku. Namun ketika aku menatap wajahnya seketika itu pula kebencianku yang semakin dalam merasuki pikiranku.
“Kenapa kau melakukan ini padaku?” tuduhanku padanya tanpa berpikir panjang. Aku menolak uluran tangannya dan berusaha kembali berdiri dengan semampuku. “Apakah kebencianmu begitu dalam padaku hingga kau melakukan semua ini?”
Aku tak dapat menahan air mataku yang kembali menetes. Air mata itu adalah titik dimana aku benar-benar merasa lelah. Aku aku hampir tak pernah mengelurkan air mata bahkan itu di pemakaman ayahku sekalipun. Matanya masih menyala untuk menyorotiku, namun bibirnya masih membisu. Dia berusaha mengulurkan tangannya kembali untuk membantuku berjalan namun aku dengan sigap menepis tangannya. “Apa kau begitu membenciku?” teriakku padanya untuk kesekiankalinya. “Aku tidak pernah melakukan apapun. Itu semua salah ibuku… itu semua ibuku…” jeritku semakin tak tertahankan. Aku menangis dengan sekeras-kerasnya. Bully-ing yang mereka lakukan padaku selama beberapa bulan ini masih dapat aku tahan, akan tetapi dengan mengunciku di gudang itu sungguh keterlaluan.
“Aku tidak bersalah apapun. Aku tidak melakukan apapun…” tangisanku tak dapat lagi terbendung. Aku hanya menatap laki-laki itu masih diam membeku. Dia tak perlu mengatakan apapun padaku karena aku memang tak ingin mendengarkan apapun darinya. Dia pasti tertawa di dalam hatinya karena berhasil membuat hidup begitu menderita.
Langkah kakiku yang gontai berusaha meninggalkan tempat itu, namun beberapa detik kemudian tubuh itu tiba-tiba menariku ke dalam pelukannya. Aku membeku menjadi bongkahan es seketika itu. Dia; Arza tanpa sedikitpun penjelasan, melakukan suatu hal yang tidak terduga olehku. Meski pada awalnya aku berusaha memberontak dan melepaskan diri, namun perlahan demi perlahan pelukan hangat itu mampu meluluhkan hatiku. “Aku tidak melakukan semua ini padamu… Aku tidak pernah melakukannya.” Bisik laki-laki itu tepat di sebelah telingaku.
Aku masih merasa kehilangan jiwaku saat Arza melepaskan pelukannya. Dia masih menatapku dengan tatapan datar seperti biasa, namun entah mengapa separuh dari diri laki-laki itu adalah orang asing bagiku. Dia menyapukan jarinya di permukaan pipiku dan menyekat beberapa air mata disana. Kulit tangannya terasa begitu hangat kontras dengan perlakuan dinginnya selama ini. Aku kehilangan beberapa suku kata untuk menanyakan maksud dari perkataannya karena sedetik kemudian, kejutan itu tak berhenti begitu saja. Arza menggenggam tanganku dan menarikku melangkah bersamanya.