Sisi manusia yang pasti dimiliki adalah cahaya dan kegelapan.
Mereka persekongkolan yang abadi. ~Arza
Aku hanya berdiri mematung di samping pintu ICU, sementara Arza duduk sembari memejamkan matanya di ruang tunggu ketika tiba-tiba saja Miko muncul disana. Dia satu-satunya dari ketiga bersaudara itu yang seumuran denganku. Namun kerena kepandaiannya Miko lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan di Singapura. Miko sering pulang beberapa minggu sekali tiap bulannya dan hari itu ia baru saja tiba. Aku tak tahu apa yang membuatnya datang ke tempat itu dengan raut wajah cemas, namun aku menduga jika diantara mereka memang pernah ada suatu hubungan yang lebih rumit.
“Apa yang kakak lakukan lagi pada Jia?” sergah pemuda itu begitu sampai di hadapan Arza. Dia mengusap wajahnya dengan kasar seolah begitu mengkhawatirkan gadis itu. Aku tidak pernah melihat Miko begitu panik sebelumnya, dihadapanku dia selalu memiliki eksepresi datar seperti yang lainnya.
“Kau tidak perlu cemas! Tidak akan ada yang terjadi pada gadismu!” balas Arza yang semakin membuatku penasaran. Miko tertawa kecil namun itu hanya nada mengejek. Aku pikir mereka kakak beradik yang akur dan baik-baik saja namun ternyata tidak juga.
“Kakak sama saja sejak dulu. Tidak pernah peduli pada Jia, yang kakak lakukan hanya menyakitinya.” Ucapan Miko mempertegas segalanya. Aku berusaha untuk tidak mendengar pembicaraan mereka namun jarak kami yang tidak terlalu jauh membuatku tak sengaja mendengarnya. “Sudahlah… Miko! Aku malas berdebat denganmu! Banyak hal yang lebih penting dari Jia…”
Arza berdiri hendak melangkahkan kakinya namun Miko menahan lengan tangannya. “Kakak mau kemana?” ujarnya lagi. Arza hanya menatapnya datar semberi melepaskan tangan Miko. Dia menarik nafas sejenak kemudian menghembuskannya.
“Pulang…” jawabnya.
Hal itu membuat Miko tampak semakin jengkel, “Setelah apa yang kakak lakukan pada Jia? Kakak mau pergi begitu saja?”
“Miko!” suara Arza dengan nada tinggi. Aku hampir tersentak tahkala mendengar suara itu. “Aku tidak melakukan apapun pada Jia. Kau bisa tanyakan padanya saat dia bangun nanti, dan apa pula yang telah dia lakukan pada temannya?” Pandangan Arza mengarah padaku saat menyebutkan kata ‘teman’, hal itu pun membuat keberadaanku mulai disadari Miko.
“Kau…?” tanyanya membuatku sedikit terintimidasi. Aku tak terlalu mengenal baik kedua bersaudara itu meskipun kami tinggal bersama selama bertahun-tahun. Melihat situasi saat kami bertemu saat ini membuatku sedikit tak nyaman, aku seperti orang asing yang tidak dikenal siapapun.
Tak lama kemudian seorang dokter keluar dari ruang ICU, dia adalah dokter yang memeriksa Jia. Aku tak yakin jika Jia mengalami hal serius, namun dokter itu tampaknya bukanlah dokter biasa. “Apa ada keluarganya disini? Aku harus berbicara beberapa hal.”
“Keluarganya sedang di luar negeri, mereka tidak bisa datang tetapi kakakku adalah walinya.” Sahut Miko menjawab semua pertanyaan dokter.
Aku baru tahu hal itu karena selama berteman dengan Jia, aku tak mengetahui apapun tentangnya. Aku juga bukan orang yang terlalu suka dengan kehidupan pribadi orang lain.
“Jika seperti itu aku perlu berbicara dengan walinya.”
Aku tak tahu apa yang membuatku terus bertahan di tempat itu. Kenyataan bahwa aku orang yang begitu asing diantara mereka, membuatku seolah-olah begitu transparan. Harusnya ku tak perlu ikut ke rumah sakit atau pergi begitu saja saat Jia telah dipindahkan ke ruang perawatan tetapi aku tetap saja bertahan di tempat itu, hanya sekedar menyaksikan mereka berdua.
Arza masih belum kembali dari ruangan dokter. Di ruangan itu pun tinggallah aku dan Miko yang mematung di samping ranjang Jia. Gadis itu tampaknya memiliki penyakit yang cukup serius hingga membuat Miko begitu mencemaskannya. Keadaan Jia kala itu cukup kontras dengan apa yang selama ini aku lihat dari dirinya. Dia gadis yang menarik dan cukup baik, aku juga mulai merasa nyaman berteman dengannya jika Jia yang sebenarnya memanglah Jia yang aku kenal. Hidup terlalu banyak menyimpan sisi kegelapan dari setiap orang dan kita tidak pernah dapat memahaminya. Bagaimana seorang gadis biasa seperti Jia dapat melakukan hal licik pada orang yang menganggapnya teman.
“Bagaimana kau bisa mengenal Jia?” pertanyaan Miko untuk pertama kalinya padaku. Aku hanya terkejut untuk beberapa saat sebab pemuda itu sama dinginnya dengan Arza hingga tak pernah sekalipun bertegur sapa ataupun berbicara meski kami tinggal satu atap. Rumah yang kami tempati itu memang terlalu besar hingga jarak antara penghuni satu dengan penghuni lainnya begitu jauh.
“Dia teman sekelasku.” jawabku singkat tidak banyak menjelaskan. Aku tidak tertarik menceritakan semua pada Miko.
“Apakah Jia melakukan sesuatu yang buruk padamu?” tanyanya lagi seolah dia mengetahui dengan pasti bagaimana sifat dan kepribadian Jia selama ini. Aku pun tidak tahu harus menjawab. “Jika benar, maka kau bukan orang pertama yang ia celakainya. Jadi lupakan saja semua yang pernah dia lakukan padamu. Kau tidak akan mampu melakukan apapun termasuk itu melaporkannya pada polisi!”
Aku sedikit tersinggung dengan perkataan Miko, Secara tak sengaja dia meremehkanku. Dia pikir aku bisa memaafkan Jia begitu saja. Tetapi siapa dia pula hingga seolah begitu membela Jia lebih dari siapapun. Aku bukanlah seseorang yang baik seperti yang mereka pikirkan atau seorang peran utama dalam sinetron yang selalu tertindas. Jika saja aku mau melakukannya, aku pasti sudah membalas perbuatan Jia.
“Jam besuk di rumah sakit ini sudah habis, sebaiknya kau pulang. Aku akan menunggu di mobil!” ucapan Arza memotong pembicaraan kami. Dia tiba-tiba saja muncul diambang pintu entah sejak kapan.
“Kakak duluan saja! Aku masih ingin berada di sini.” Tolak Miko. Dia masih tak mau menatap Arza. Miko tampaknya mempunyai empati yang lebih besar pada Jia, ketimbang Arza.
“Terserah kau saja!” balas laki-laki itu sinis. Tanpa berbicara lebih panjang dia kemudian berbalik kembali menuju pintu. Beberapa langkah kemudian dia kembali berhenti dan menyadari keberadaanku di antara mereka.
“Apa kau tak pulang? Bukankah besok kau harus pergi ke sekolah?” ujarnya padaku seolah-olah dia seorang kakak yang begitu perhatian. Miko menatapku dengan tatapan aneh dan hal itu membuatku sedikit canggung. Aku pun segera melangkahkan kaki mengikuti Arza. Aku tidak pernah berharap laki-laki itu akan mengantarku pulang. Setidaknya sepanjang koridor aku terus menjaga jarak dengan Arza. Dia hanya mengingatkanku, bukan berarti hendak mengantarku. Lagipula setan apa yang merasuki laki-laki itu jika berniat mengantarku pulang.
Kami berpisah di area lobi ketika Arza hendak berbelok menuju tempat parkir, sementara aku menuju halte busway. Dia melihatku sedikit dengan ekor matanya ketika aku mengambil langkah lain. Pemuda bertubuh jakun yang selalu menjadi idola itu pun kemudian behenti dan menatapku dari belakang. “Kau mau kemana?” tanyanya yang seketika itu menghentikan langkahku.
“Tunggu saja di lobbi! Aku akan mengantarmu pulang.” Ujarnya seakan membuatku terperanjat. Aku sedang membicarakannya di dalam hati dan dia sepertinya mendengar yang aku katakan.