Gelapnya malam membuat bimbang. Apakah aku harus mencari matahari hanya untuk menemuimu?
……
Hari sudah semakin gelap. Azmariah mulai tidak bisa melihat seperti biasa lagi. Dia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah dan menetap di sekolah.
Dia tidak sadar kalau sedari tadi Mansa ada di belakangnya. Menunggu dan khawatir.
“Malam, gelap, sunyi …,” gumam Azmariah. “Izinkan aku menetap seperti ini hinga semua baik-baik saja.”
“Mar …,” panggil Mansa lirih.
“Mansa belum pulang?” tanya Azmariah tanpa menoleh ke Mansa.
“Lo rabun ayam, ya?”
“Enggak, kok!”
Mansa menghela napasnya lalu menepuk bahu kiri Azmariah. “Ikut gue aja,” ucapnya.
Azmariah berdiri dari duduknya. Dia sangat hati-hati dengan langkah kakinya. Sebenarnya, Mansa memperhatikannya dalam diam dengan menahan tawa. Azmariah yang kebingungan saat berjalan seperti itu adalah kelucuan sendiri untuknya.
“Sa … lo dimana?”
Tangan Mansa meraih tangan Azmariah yang meraba-raba angin di sekitarnya. Azmariah terkejut hampir berteriak.
“Ke rumah gue aja. Lo gak mau ketemu sama mereka, kan?”
Azmariah mengangguk.
“Pegangan, jangan dilepas,” titah Mansa.
Azmariah mengangguk.
Mansa menghela napasnya pelan lalu menarik tangan Azmariah dengan lembut. Dingin yang dirasakan tangan Azmariah bebubah menjadi hangat. Dia merasa, Mansa sedikit berbeda dengan sebelumnya.
Tanpa dia sadari, senyum dibibirnya terukir dengan indah. Namun, ia baru sadar satu hal yang mengganjal saat sampai di parkiran.
“Sa, di rumah lo … ada siapa?” tanya Azmariah.
Mansa menoleh kearahnya, walaupun Azmariah tidak melihat. “Mamah gak pulang sampai minggu depan, Papah ada tugas di luar kota, Fansa ada kegiatan nasional di Jakarta empat hari. Intinya gue tinggal sendiri,” jawab Mansa santai.
“K-kayaknya… gue gak usah ikut lo, deh,” ucap Azmariah tersenyum kikuk lalu mundur beberapa langkah dengan miring.
“Lo mikir apa?” tanya Mansa datar.
Azmariah menggeleng dengan kuat. “K-kan gini, kalau ada perempuan sama laki-laki satu atap, itu gak baik! Pokoknya, gak baik!” seru Azmariah.
Mansa memicingkan matanya lalu menahan tawanya. “Jawab jujur, Mar. Lo rabun ayam, kan?”
“Enggak!”
“Tapi, lo ngomong sama pohon manga, bukan sama gue,” jawab Mansa.
“Masa …,” gumam Azmariah lalu meraba pohon manga yang tepat di depannya. “Sa … lo dimana …?” lirihnya pasrah.
“Ngaku dulu, lo rabun ayam, kan?”
Azmariah mendengus kesal. “Iya!” serunya.
Mansa terkekeh pelan. Dia memegang tangan kiri Azmariah dan menariknya untuk mendekat.
“Gue nyalain motor dulu, lo pegang tas gue dulu,” ujar Mansa tersenyum.
Seusai Mansa menyalakan mesin motornya, Azmariah naik dengan perlahan. Mansa masih berusaha menahan tawanya dengan melihat Azmariah yang buta khusus malam hari seperti ayam pada umumnya.
“Gak apa-apa, Sa?” tanya Azmariah.
“Gak apa-apa. Pegangan.”
Mansa menancapkan gas dan langsung kembali ke rumahnya bersama Azmariah.
……
“Masuk, Mar. anggap rumah sendiri,” ucap Mansa.
Mata Azmariah tidak bisa berkedip melihat rumah Mansa yang besarnya bukan main. Bahkan matanya hampir keluar.
“Gak usah lebay gitu juga,” gumam Mansa lalu menghela napasnya, “cepet, mau masuk gak? Apa lo di luar aja?” tanyanya.
“Iya, iya!”
@yurriansan makasih banyak kak sudah mampir^^
Comment on chapter 03. Pulang BarengAku suka nama mansa garem wkwkwkwkw
Oke kak,^^