Katarina tiba-tiba merasa seperti Ariel The Mermaid, ia akan hancur menjadi buih jika harus tinggal lebih lama lagi di samping Josh. "Terima kasih ya, Josh, dah nganterin aku ke mall." Ditinggalkannya pintu mobil Josh yang terbuka dan segera melesat pergi. Tangan Josh yang terulur tidak sempat menahannya.
Ia berlari tanpa arah, kemanapun asal bisa menghindar dari Josh. Nafasnya memburu menahan emosi dan sekarang ia merasa pusing, seakan darahnya sudah habis terkuras. Ia harus bersembunyi.
Dalam bilik kecil itu, telepon genggamnya bergetar berkali-kali – telepon dari Josh – Katarina hanya bisa terpaku menatap nama di layar telepon genggamnya. Jarinya seakan beku dan lupa caranya menjawab telepon. Dikeluarkan lagi surat Josh dari dalam tasnya dan dibacanya lagi lambat-lambat isi surat itu yang ditulis dengan tulisan tangan Josh yang rapih.
Dear Katarina,
Kat, aku mau kamu tau kalau aku sayaaaaang banget sama kamu, makanya untuk ngomongin ini ke kamu rasanya berat. Aku mau minta maaf sebelumnya, keluargaku pindah ke Amerika besok, yang artinya aku juga harus ikut kesana.
Aku gak tau gimana harus nyampein berita ini ke kamu. Aku sempet nulis di WA, tapi sepertinya gak sopan bilang sama kamu lewat WA. Aku mau ngomong langsung, tapi gak berani kalau harus liat mata kamu. Jadi, kutuliskan di surat ini aja biar kamu bisa baca di depanku.
Dan karena aku sayang sama kamu dan aku tau kamu itu tipe setia, aku gak mau kamu nungguin aku, aku takut ingkar. Aku juga gak mau jadi beban pikiran kamu selama kamu kuliah, jadi ... kita putus dulu ya, Kat. Kamu jangan nangis. Aku pasti balik lagi ke Indo, Kat ... untuk cari kamu lagi. Aku janji.
Love – Josh.
Katarina merasa rohnya barusan melayang melewatinya, ia tidak menangis. Ia hanya diam, tidak tau bagaimana harus merespon surat Josh. Mengapa Josh mengatakan keluarganya akan pindah ke Amerika sekarang, ketika besok dia sudah pergi? Apakah ini hanya alasannya karena Josh tidak lagi menyukainya, seperti Billy? Kalau ya, seharusnya dia jujur saja. Kenapa nasib buruk percintaan menyertainya terus seperti bayang-bayang di sore hari? Dan seribu satu pertanyaan lainnya muncul di pikirannya berganti-gantian, membuatnya mual.
Telepon genggamnya berbunyi lagi. Ia memperhatikan tanda waktu yang tertera disana, hampir dua jam sudah ia bersembunyi di toilet wanita dengan pikiran kosong. Nama Hadi tertera di layar, jarinya swipe untuk menjawab. "Di?"
"Lagi dimana, Kat?"
"Di mall, jalan-jalan. Bosen di rumah terus." Katarina mendengar suaranya bergetar, buru-buru ia mengatupkan tangannya diatas bibirnya.
"Gue kesana ya."
"Gak usah, Di, gue bisa pulang sendiri." Lagi-lagi suaranya bergetar. Katarina mengusap keningnya untuk mencari ketenangan,ujung jarinya terasa dingin dan gemetar.
"Tunggu gue di sana, Kat. Gue jemput lo sekarang juga." Suara Hadi memaksa sebelum sambungan telepon itu terputus.
Ia menarik nafas, air mata hanya berupa genangan dipelupuk matanya yang menggelayut abadi. Ingin ia keluar dari persembunyiannya sekarang dan pergi berjalan-jalan untuk menghilangkan perasaan yang mengganggunya dan menunjukkan pada Hadi bahwa tidak ada yang terjadi, bahwa ia baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, entah mengapa kakinya terasa lemah dan tidak mampu menopang tubuhnya.
Tidak sampai 15 menit, telepon genggamnya berbunyi lagi. "Dimana, Kat?"