Awal bulan Juli yang panas – dimana liburan masih berlangsung – murid-murid SMA III yang sudah dinyatakan lulus sibuk mencari universitas yang diinginkan untuk melanjutkan perjuangan mereka mencapai cita-cita.
Katarina sedang berbaring di ranjangnya. Laptop di depannya membuka laman daftar universitas di Jakarta. Ia masih mencari-cari jurusan apa yang ingin di tekuninya dan di universitas mana. Ayah masih bersikukuh memasukkan Katarina ke jurusan Ekonomi, mengikuti jejak kakaknya, namun jurusan itu yang malah dihindarinya. Ia tidak mau lagi berkutat dengan angka yang bukan miliknya. Pekerjaannya nanti bukanlah urusan tiga tahun lulus, namun sesuatu yang akan dijalaninya seumur hidup.
Selain dipusingkan dengan masalah universitas, Katarina juga memikirkan Josh yang minggu-minggu terakhir ini seperti hilang kabar – tidak ada telepon darinya, bahkan berkunjung juga tidak lagi – padahal liburan panjang masih berlangsung. Katarina menarik nafas panjang dan membenamkan kepalanya dalam boneka besar kesayangan yang diberikan sahabatnya sebagai kado sweet seventeen tahun lalu. Huft! Ia merindukan Josh.
Pernah Katarina meneleponnya, namun Josh menolak teleponnya. Kemudian pesan singkatnya masuk, mengatakan dia sedang berada di tempat pembuatan visa. Apakah mungkin Josh sedang pelesir ke luar negeri bersama keluarganya dan tidak ingin Katarina tau? Mungkin Josh ingin memberikan kejutan pada Katarina dengan membawa oleh-oleh dari sana?
Katarina mencoba menghibur diri sendiri dengan memikirkan hal-hal baik untuk mengusir rasa galau yang menyelimutinya sekarang mengenai hubungannya dengan Josh. Kemudian dengan sabar, ia menunggu kabar dari Josh sambil browsing calon universitas yang akan ditandanginya esok lusa.
Telepon genggamnya berbunyi, dengan antusias Kataruna menjawab teleponnya, "Josh?"
"Aku ke sana ya, Kat."
"Gak usah Josh. Kita ketemuan di mall yuk, aku bosan di rumah terus."
"Mau kujemput?"
"Ya udah. Tapi tunggu aku 30 menit ya untuk berberes."
25 menit kemudian Josh sudah sampai di rumah Katarina. Buru-buru Katarina menuruni tangga rumahnya untuk menyeret Josh pergi, hatinya sudah bengkak menahan rindu. Ketika ia menjejakkan kakinya di lantai bawah, Katarina menemukan ayah sedang berbicara dengan Josh di ruang tamu mengenai Katarina yang masih belum menentukan jurusan apa yang diinginkannya. Ia memutar bola matanya tak percaya. Bokap aneh banget, untuk apa ya bokap ngadu sama Josh? Itu kan keputusan gue.
Tapi gak papa deh, untung bukan Bunda yang ketemu Josh, batinnya. Bunda kemarin menanyakan apakah hubungannya dengan Josh serius atau tidak, mengingat Josh terlahir di keluarga dengan status sosial jauh diatas mereka. Bunda meminta agar Katarina memutuskan hubungannya jika salah satu dari mereka tidak serius.
Katarina tidak menjawab pertanyaan Bundanya. Jika Bunda hanya bertanya padanya, maka ia akan menjawab ya, dia serius; namun ia tidak tau apakah Josh juga sama seriusnya menjalani hubungan ini. Josh bisa saja berpaling darinya dengan mudah dan menemukan barisan perempuan sudah menunggunya. Katarina tidak memungkiri bahwa pikiran itu terkadang membuatnya khawatir.
"Yah, aku pergi dulu ya. Ayo, Josh!" Katarina berjinjit mencium pipi Ayah dengan sayang, kemudian ia menarik tangan Josh dengan cepat, khawatir Ayah akan menghentikan dan menguliahinya di depan Josh.
Tidak seperti biasanya, Josh belum bicara sepatah katapun sejak mereka meninggalkan rumahnya. Lelaki itu diam sepanjang perjalanan, raut wajah tampak serius tanpa senyuman. "Josh cemberut terus, ada apa?"
"Nanti kuceritakan sampai di mall ya, Kat." Josh berkata-kata tanpa menatapnya. Katarina terdiam, perasaannya memberikan signal buruk.
Jalanan yang lengang mengantarkan mereka sampai di Mall cukup cepat. Setelah memarkirkan mobilnya dan mematikan mesin, Katarina menarik tangan Josh yang hendak keluar. "Josh, cerita. Disini, sekarang."
Josh menatapnya lekat, kemudian ia menarik nafas berat dan terdiam. Katarina menarik tangan Josh dan menggenggamnya sambil mencoba membuka pembicaraan, "Kemarin dua mingguan jalan-jalan kemana? Ada souvenir untuk aku, ya?" Katarina tersenyum manis.
Manik mata Josh masih menatapnya tanpa senyum. "Kat, aku ... aku gak bisa cerita. Ini, bacalah, kutuliskan semuanya disini." Josh memajukan tubuhnya dan meraih ke sisi dashboard di depan Katarina. Dikeluarkannya ... sebuah amplop? Bukan oleh-oleh seperti yang diharapkan Katarina.
Terheran-heran, Katarina menerima surat itu dan membuka amplopnya perlahan sambil matanya menatap Josh. Ia membacanya, kemudian membacanya lagi, dan sekali lagi. Matanya kemudian menatap Josh tidak percaya.
"Kat, aku minta maaf."
"Gak papa, Josh. Gak papa."
"Kat ... aku ...," Kata-kata Josh menggantung di udara. Katarina menatap lelaki di depannya, menunggu kata-kata selanjutnya. Namun tidak ada sepatah kata lainnya yang keluar.