"Kata siapa hanya pria yang harus berjuang? Wanita juga perlu. Setidaknya, berjuang untuk hidupnya sendiri. Dengan begitu, dia tidak akan terlalu menyulitkan pria yang dicintainya."
-Raya Aurora-
Raya Aurora terbangun dalam pelukan posesif seorang Raditya Malvino. Semalam, setelah saling mengutarakan perasaan, mereka tertidur sambil berpelukan di sofa toko Raya. Mencurahkan rasa rindu dan lelah yang terpendam selama 1 minggu.
Raya menyadari bahwa tidak seharusnya dia bungkam dan kabur dari masalah, hingga mengakibatkan kondisi semakin kacau. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk seseorang yang dicintainya. Kalau saja ketika pertama kali melihat Radit berpelukan dengan wanita yang ternyata adalah klien WO Radit, dia langsung menanyakannya, pasti semua akan baik-baik saja walaupun gadis itu tetap akan merasa sakit hati. Mengingat wanita itu juga ternyata mantan pacar Radit.
Namun, dia berpikir lagi. Kalau saja kondisinya semulus itu, dia pasti tidak akan menerima penawaran dari Aldo dan Bima. Mungkin sudah jalannya seperti ini, aku harus fokus mengejar cita-citaku sebagai penulis profesional dan mungkin rasa cintaku pada Radit harus diuji dengan cara seperti ini. Raya menarik kesimpulan.
"Dit, bangun!" Raya membangunkan Radit yang masih menenggelamkan kepala di pundaknya.
"Em ... nggak mau," tolak Radit dengan suara parau. "Masih kangen," tambahnya.
Raya tersenyum singkat, lalu menepuk tangan Radit yang melingkar erat di perutnya. "Bangun! Lo nggak kerja? Gue nggak mau hidup sama pengangguran."
"Berisik, Ay. Lo tuh ada wujudnya atau enggak, tetep aja berisik. Pusing kepala gue! Lagian nih, gue bukan pengangguran, gue owner WO. Tuh, kantor gue di sebelah!" Radit membantah dengan matanya yang masih terpejam.
"Ya udah, bangun dulu. Gue mau kerja, mau ke kantor Kak Aldo. Entar kalau gue pergi tanpa pamit, lo galau lagi; nyariin," ejek Raya.
"Kayak lo nggak galau aja kalau nggak ketemu gue," balas Radit, lalu melepaskan pelukannya. Membuat gadisnya bisa bernapas dengan lega.
"Gue ke kamar mandi duluan," kata Raya, lalu bergegas ke kamar mandi yang terletak di lantai atas. Raya memang pernah menyimpan peralatan mandi dan beberapa baju ganti di sana.
Kini tinggallah Radit seorang diri bersama nyawanya yang belum kumpul. Dia mengucek-ucek mata sambil menggaruk-garuk kepalanya. Laki-laki itu memang jarang mandi dengan bersih semenjak Raya pergi tanpa pamit. Kemudian, dia berjalan ke kantornya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Namun, ternyata itu membuat Raya panik ketika kembali ke sofa dengan tampilan yang segar dan rapi, lalu mendapati Radit tidak ada. Gadis itu tidak bisa berpikir jernih, sama seperti ketika Radit pergi tanpa pamit dari rumahnya, padahal hanya minum kopi di warung. Pada beberapa waktu, jatuh cinta memang membuat manusia kehilangan separuh dari dirinya.
Raya meraih ponsel, lalu menekan nomor ponsel Radit. Tidak ada nada sambung, tidak ada suara Radit. Hanyalah suara operator wanita yang mengatakan bahwa nomor yang dihubungi sedang tidak aktif. Raya semakin panik, lalu bergegas memasukkan pakaian kotornya ke dalam tas dan tidak lupa membawa buku catatan yang dia jadikan sebagai alasan kenapa dia ke sini kemarin sore. Kemudian, berjalan cepat menuju pintu gerbang toko.
"Udah rapi?" Suara Radit menghentikan langkah Raya yang tergesa-gesa.
Raya terkejut, dia memegangi jantungnya yang nyaris copot. Lalu gadis itu memindai Radit dari atas sampai bawah dengan matanya. "Lo abis dari mana?"
"Mandi."
"Di mana?"
Bukannya langsung menjawab rasa penasaran Raya, Radit malah merapikan rambutnya yang masih basah sambil berkaca di depan jendela toko. Tanpa sadar, dia telah memberikan efek yang segar bagi mata Raya. "Di kantor gue-lah. Kalau gue nungguin lo mandi dulu, kelamaan. Nanti lo telat lagi nyampe di kantor Aldo," jawabnya kemudian.
"Lho?" Raya bingung ingin berkata apa. Dia hanya mengerutkan kening sambil mengacungkan jari telunjuknya di hadapan Radit.
"Kenapa bengong? Ayo, gue anter!"
"Emang gue tadi minta dianterin, ya?"
"Enggak. Sebagai calon masa depan lo yang indah, gue akan memberikan perhatian tanpa lo minta."
Tiba-tiba Raya teringat sesuatu. "Dit, lo ya yang mindahin gue dari meja kerja ke kamar gue di kantor Kak Aldo? Lo ya yang ngirim paket buat gue?"
Radit yang sedang berjalan di hadapan Raya menghentikan langkahnya sejenak. "Iya, dong. Siapa lagi yang berani dan yang boleh kayak gitu selain gue?" katanya sambil mengedipkan sebelah mata. "Terus lo udah buka paketnya?"
"Belum."
"Haduh, dasar cewek lelet!"
"Lo ngatain gue lelet?"
"Iya, lelet dalam hal cinta."
"Radit, nyebelin! Gue nggak mau naik mobil lo. Gue mau naik kereta aja."
"Tukang ngambek. Tukang kabur. Nggak tanggung jawab. Nggak sabar."
"Radit!" Raya menatap laki-laki yang mengejeknya dengan penuh emosi, sementara bibirnya cemberut.
"Baru gitu aja kayak udah mau nangis sih, Ay. Ayo, masuk! Abis ini, gue juga harus ketemu orang dari toko bunga," kata Radit, lalu menuntun Raya masuk ke dalam mobilnya.
"Oh ya, lo udah nggak ngekos di sana, ya?" tanya Raya tiba-tiba, ketika mereka sudah sama-sama berada di dalam mobil.
Radit menyalakan mesin mobilnya, lalu keluar dari kompleks perkantoran. "Iya, gue udah balik ke apartemen."
"Balik ke apartemen? Gue nggak pernah tahu kalau lo punya apartemen." Raya bingung. Rasa penasarannya memuncak.
Radit tersenyum singkat, lalu cengengesan. "Sebenarnya, gue tinggal di apartemen sebelum masuk ke kosan itu."
"Terus kenapa lo ngekos kalau lo udah tinggal di apartemen?" cecar Raya.
Radit menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia merasa rahasia yang sudah disimpan selama 1 tahun sebentar lagi akan terbongkar dan harus dibongkar. "Gue pindah ke kosan karena lo tinggal di situ, Ay."
Raya semakin penasaran. "Maksudnya gimana?"
"Ya, begitu."
"Maksudnya dari awal lo udah naksir sama gue? Terus karena lo tahu gue tinggal di kosan itu, jadi lo ikut pindah?" Raya terpaksa mengutarakan kesimpulan yang tebersit dalam benaknya.
"Kurang lebih begitu."
"Ha, beneran? Kok gue nggak pernah tahu, ya?" seru Raya, tak percaya. Namun, hatinya semerbak oleh ribuan bunga mawar. Radit sudah mencintainya lebih dulu? Dia mendadak merasa seperti seorang putri yang spesial di hati laki-laki itu.
"Makanya, lo tuh jangan lelet-lelet amat coba dalam cinta!"
Lalu, perasaan itu seketika luruh. Radit selalu saja menghancurkan suasana. "Radit!" pekiknya.
"Lo tahu dari mana kalau gue udah nggak ngekos?"
"Dinda yang cerita."
"Oh."
"Lo sama Dinda ada apa sih, Dit?"
"Emangnya ada apa? Baik-baik aja kok, Ay."
--
Setibanya di kantor Rivmedia Utama yang terletak di Jakarta Selatan, Radit terkesiap sekaligus bergetar. Raya mencium pipinya agak lama. Sebuah ciuman manis yang pertama kali dia dapatkan dari gadisnya. Setelah itu, mereka saling bertatapan sambil tersenyum penuh arti, sebelum akhirnya berpisah.
Namun, ternyata mereka tidak benar-benar berpisah. Ketika Raya sudah memasuki kantor, Radit mengurungkan niat untuk melajukan kembali mobilnya. Dia diam-diam mengikuti gadis itu.
Ketika tiba di meja front office, dia menyapa dan meminta izin pada resepsionis untuk masuk. Sang resepsionis pun dengan senang hati mengizinkannya karena Radit sudah pernah datang ke sana. Radit terus berjalan ke ruangan Raya. Lalu, dia berhenti beberapa senti dari pintu masuk ruangan itu. Dia mendengar dan melihat keributan.
Raya dan dua laki-laki yang dia kenal sedang berdebat. Teo terlihat begitu berapi-api menyalahkan Raya, sementara Bima mendengarkan Teo sambil sesekali melirik ke arah Raya yang terlihat shock. Melihat pemandangan itu, Radit ingin bergegas memasuki ruangan, lalu balas memaki-maki Teo. Kakinya sudah ingin melangkah, tapi tiba-tiba ada yang menahan pundaknya.
"Jangan! Ini urusan interen perusahaan gue, biar gue yang urus."
"Lo urus editor lo itu! Jangan seenaknya aja ganti-ganti penulis. Lo nggak lihat tuh Raya gemeteran?"
"Maaf ya Mas Teo, Mas Bima, proyek ini baru berjalan 1 minggu. Oke, aku salah karena nggak bisa menepati target puisi mingguan yang diberikan oleh Mas Teo. Aku salah dan menyesal. Mulai hari ini akan aku perbaiki semuanya. Lagipula, di surat kontrak masa kerjasama kita 3 bulan. Selama 3 bulan tidak ada yang boleh memutus kontrak. Kalau ada yang memutus kontrak, akan dikenakan denda. Mas Bima boleh aja memberhentikan aku, lalu mengganti penulis, tapi Mas Bima harus membayar denda ke aku." Terdengar suara Raya membela diri di hadapan Teo dan Bima.
"Tuh, lo lihat sendiri 'kan? Raya bisa melawan. Dia berjuang."
Radit menghela napas lega. "Raya emang kuat," akunya.
"Selama 1 minggu ini mungkin dia terlihat lemah dan linglung karena lo."
"Sorry."
"Sekarang dia udah bangkit lagi juga karena lo. Gue udah susah-susah bikin penerbitan ini buat bantu dia mewujudkan cita-cita, karena gue melihat potensi dalam diri dia yang nggak bisa dilihat oleh penerbit-penerbit lain. Tugas lo gampang, dukung dia dan jangan bikin masalah sama hatinya."
"Siap, Bos!"
"Sekarang lo pergi."
"Kok lo jadi ngusir gue?"
"Ini kantor gue. Gue berhak ngusir orang yang nggak berkepentingan."
"Oke, gue pergi," ujar Radit dengan sedikit kesal. "Do," panggilnya pada Aldo.
"Apa lagi?"
"Thank's ya, udah baik sama Raya."
Aldo mengangguk dengan wajah datar. Kemudian, Radit pun pergi meninggalkan kantor penerbitan Rivmedia Utama. Seperti halnya Raya, Radit juga merasa harus berjuang lebih keras lagi untuk masa depan mereka berdua.
--
"Mas Teo tadi kenapa marah-marah, Ray?" Yasmin membuka percakapan ketika sedang makan siang dengan Raya di balkon kantor. Tempat favorit mereka untuk mengobrol.
"Oh, itu. Mas Teo mau ganti penulis, katanya aku kurang profesional."
"Terus gimana?"
"Ya, nggak jadi. Kesel nggak sih baru seminggu udah dikritik habis dan disuruh berhenti?"
"Tapi apa benar kamu itu direkrut cuma karena Mas Aldo suka sama kamu?"
"Hem? Maksud kamu?"
"Gosipnya gitu."
"Enggak. Aku sama Kak Aldo memang sudah berteman sejak kami kerja di kantor papanya, tapi Kak Aldo juga tahu aku bisa menulis. Jadi, dia ajak aku kerjasama bikin buku. Udah, gitu aja."
"Mas Aldo memang kelihatan banget suka sama kamu. Bahkan, tadi dia membela kamu."
"Aku juga membela diriku sendiri, Yasmin."
"Kamu yakin nggak memanfaatkan perasaan Mas Aldo ke kamu untuk menyelamatkan karier kamu di sini?"
"Maksud kamu apa sih, Yas? Emang kamu pikir, aku nggak pantas ada di sini kalau hanya mengandalkan kemampuanku?"
"Iya, yang aku lihat sih begitu."
Raya ingin membalas perkataan Yasmin yang asal itu, tapi tiba-tiba Teo muncul; memanggilnya. Dengan terpaksa, Raya bangkit, lalu membawa nasi catering yang baru dimakannya tiga suap dan mengikuti Teo ke ruangan mereka. Yasmin dan Teo terbuat dari tanah apa, sih? umpat Raya dalam hati. ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi